Semiotika, bagian II

Semiotika, bagian II

Oleh: Alit Kumala Dewi, S.Sn, Dosen PS DKV

Baudrillard
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006). Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu mengerek sebuah truk, tentu hanya ‘mengada-ada’. Karena, mana mungkin hanya karena sebutir pil seseorang dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk sebagai multivitamin yang memberi asupan energi tambahan untuk beraktivitas sehari-hari agar tidak mudah capek. Namun, cerita iklan dibuat ‘luar biasa’ agar konsumen percaya. Inilah tipuan realitas atau hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi pembuat iklan. Barangkali kita masih teringat dengan pengalaman masa kecil (entah sekarang masih ada atau sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional melihat atraksi seorang penjual obat yang memamerkan hiburan sulap kemudian mendemokan khasiat obat di hadapan penonton? Padahal sesungguhnya atraksi tersebut telah ‘direkayasa’ agar terlihat benar-benar manjur di hadapan penonton dan penonton tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya.

J. Derrida

Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.

Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya.

Semiotika, bagian II selengkapnya

Tema Kehidupan dalam Seni Lukis Pitamaha

Tema Kehidupan dalam Seni Lukis Pitamaha

Oleh: Drs. I Dewa Made Pastika

Judul  karya        : Pemandangan di Pura  Pengukur-ukuran.

Bahan                    : kanvas dan cat tempra.

Tahun pembuatan  : 1940

Seniman                : Ida Bagus Made.

Obyek lukisan:

Pura Pengukur-ukuran karya Ida Bagus Made, dengan obyek pura yang berada di tengah pemandangan alam. Pemandangan alam terdiri dari petak sawah dengan tanaman padi di depan  sebuah pancoran. Dua orang laki-laki sedang mandi dari air pancoran yang berasal dari sela sebuah  tebing. Sebuah tangga yang bertingkat-tingkat menuju pintu masuk pura dikelilingi berbagai jenis pohon-pohonan. Pada cabang pohon bertengger burung-burung, yang hidup bebas dalam kedamaian, dan tidak ada yang mengganggu. Di samping pepohonan terdapat bangunan suci lainnya, berbentuk dugul ada yang beratap satu dan ada yang beratap tiga. Pura Pengukur-ukuran berbentuk bangunan  meru atap bertumpang berada di tempat yang agak berjauhan dengan pintu masuk, di pojok kanan atas bidang gambar.

Sebuah bangunan lain yang berada di dalam sebuah tembok penyengker, yang kelihatan hanya atapnya saja. Di atas anak tangga terdapat dua ekor ayam yang sedang bertengger menambah keragaman bentuk sebagai pengimbang komposisi.

Lukisan Pura Pengukur-ukuran diselesaiakan hanya dalam hitam putih dengan teknik aburan yang pekat, tidak diberi warna sebagaimana lukisan lainnya.

Kesatuan (unity) atau keutuhan

Wujud karya lukisan berbentuk pemandangan alam, dengan bangunan berupa pintu masuk pura dengan tangga bertingkat-tingkat, bangunan pura, manusia dan binatang sebagai unsur-unsur membentuk keutuhan dalam menggambarkan situasi pura Pengukur-ukuran. Berbagai jenis pohon-pohonan, dengan daun-daun yang beraneka ragam bentuknya, digambar dengan teliti setiap lembar daun dan ranting secara  mendetail. Dalam hal ini  garis dengan ketebalan yang sama, garis-garis lengkung yang ritmis  sangat berperan dalam membentuk kesatuan. Bentuk lain seperti bangunan, manusia dan binatang dengan garis lurus dan lengkung sebagai kontour digoreskan  secara tegas, dan kuat menunjukkan karakter dari kekuatan  kegarisan dari Ida Bagus Made yang sangat berbeda dengan yang lainnya. Penyimpangan dalam bentuk variasi ritme-ritme garis, untuk menghindari kesan monotone dan statis dapat dilihat dalam menggambarkan bentuk pohon dan daunnya yang  sangat bervariasi. Karena bentuk yang monotone  akan cepat membosankan dan kurang daya tariknya.

Tema Kehidupan dalam Seni Lukis Pitamaha selengkapnya

Tinjauan Sejarah Seni Lukis Gaya Pita Maha

Tinjauan Sejarah Seni Lukis Gaya Pita Maha

Oleh: Drs. I Dewa Made Pastika

Seni lukis di Bali telah mulai tumbuh dan berkembang sejak jaman prasejarah. Hasil-hasil kebudayaan dan kesenian pada jaman itu seperti penemuan-penemuan sarkopagus, nekara-nekara dan benda-benda peninggalan dari batu lainnya. Peninggalan tersebut berisi hiasan-hiasan yang menunjukkan keahlian nenek moyang dalam membuat goresan-goresan dalam bentuk topeng dan hiasan lainnya (Goris, Dr, R, 13)

Peninggalan lain hasil kebudayaan  berupa pahatan-pahatan, berbentuk relief yang terdapat di obyek wisata Yeh Pulu di Desa Bedulu, Kabupatan Gianyar. Nama  Yeh Pulu berasal dari kata ” Yeh” dan ” Pulu”. Yeh berarti air dan  Pulu berarti gentong tempat penyimpanan beras, yang berada ditengah sebuah kolam, sebagai sumber air suci untuk keperluan upacara keagamaan. Relief ditatahkan di atas sebuah tebing menggambarkan realita kehidupan  di masyarakat

Beberapa prasasti  yang dikeluarkan oleh Raja Anak Wungsu pada abad ke 11, dikenal adanya kelompok yang mempunyai keahlian melukis, yaitu salah satu prasasti terdapat goresan motif wayang yang menggambarkan Dewa Siwa. Di dalam naskah naskah kuno berupa lontar-lontar yang biasa berisikan ceritera-ceritera legenda atau ceritera wayang banyak menggunakan illustrasi gambar yang indah dalam ukuran kecil atau miniatur. Illustrasi atau gambar tersebut merupakan cikal bakal seni lukis klasik Bali yang tumbuh dan berkembang hampir di seluruh Bali. (Suteja Neka, 1992, 11-12).

Seni Lukis wayang yang berkembang di Desa Kamasan Klungkung dimulai sekitar abad ke 15 dan mencapai puncak kemajuannya pada waktu pemerintahan Dalem Watu Renggong. Seni lukis umumnya yang mengambil tema-tema pewayangan, ceritera legenda, Ramayana dan Mahabrata disebut seni lukis gaya Kamasan. Di Desa Julah yaitu salah satu desa Bali Aga Karangasem berkembang seni lukis wayang berbentuk lebih sederhana dibandingkan dengan seni lukis gaya Kamasan. Sedangkan di Ubud tumbuh dan berkembang seni lukis wayang yang  bentuknya hampir menyerupai bentuk wayang  Kamasan

Disekitar  pertengahan abad ke 19 di Desa Kerambitan berkembang seni lukis wayang. Penampilan bentuk dan ekspresi wajah yang kuat, proporsi dan anatomi distilisasi atau diperpanjang. Penggambaran bentuk ornamen pada pakaian wayang menunjukkan kemegahan dengan beberapa ornamen yang tidak terdapat pada seni lukis gaya Kamasan. Seni lukis wayang yang berkembang di Desa Naga Sepaha Singaraja, Buleleng, bentuk wayang berasal dari wayang kulit. Pelukis Dalang Diah di Desa Naga Sepaha menggambar wayang di atas bidang kaca, yang menjadi lukisan wayang khas Buleleng. Bentuk wayang sangat berbeda dengan gambar wayang di Bali Selatan. Tokoh-tokoh raksasa di gambar lebih besar, sedangkan tokoh dewa-dewa lebih kecil. Teknik melukis mulai dari sketsa, kontour dan pewarnaan terbalik, mulai dari balik kaca.

Tinjauan Sejarah Seni Lukis Gaya Pita Maha, selengkapnya

Perkembangan Kerajinan di Desa Pengosekan

Perkembangan Kerajinan di Desa Pengosekan

Oleh: Gusti Agung Jaya CK, Dosen PS Kriya Seni

Mengamat bentuk produk seni menurut  Feldman menyatakan bahwa, bentuk merupakan manifestasi fisik dari suatu objek yang bisa diamati, memiliki makna, dan berfungsi secara struktural pada objek seni (Feldman, 1967: 30). Tidak  jauh berbeda dengan teori Clive Bell menerangkan, bahwa seni itu merupakan perbuatan menampilkan bentuk yang bermakna (significant form). Bentuk seperti ini adalah yang perlu ditampung oleh perasaan estetik, karena itu tidak  akan terlalu salah kiranya kalau dikatakan bahwa bentuk yang dimaksud adalah yang estetik sifatnya (Clive Bell dalam Sahman, 1993: 15).

Terkait dengan bentuk produk seni kerajinan di desa Pengosekan, merupakan produk budaya bangsa yang memiliki nilai seni dan ekonomi. Amatan terhadap produk seni kerajinan di desa  Pengosekan membuktikan  keragaman bentuk produk yang muncul di samping mengindikasikan adanya proses keberlangsungan aktivitas yang diwariskan dari tradisi sebelumnya, juga menandakan adanya perkembangan. Perubahan sosial budaya masyarakat pendukungnya juga sangat mempengaruhi bentuk, teknik, motif dan fungsi produk yang dihasilkan. perkembangan itu sangat wajar dalam rangka menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang senantiasa selalu berubah sesuai dengan tuntutan zaman. Sehubungan dengan perkembangan itu Supriadi menjelaskan perkembangan adalah akumulasi dari berbagai penemuan berlandaskan pada penemuan-penemuan terdahulu, sehingga lahir penemuan-penemuan baru akibat adanya revolusi paradigma. (Supriadi, 1997: 123-124).

Kehadiran unsur-unsur baru dalam rangkaian perkembangan budaya tidak berarti punahnya unsur-unsur lama, keduanya dapat hidup secara berdampingan, tumpang tindih atau bercampur.

Krajinan Ayaman Rontal (Bassket)

Secara umum karya seni kerajinan di pengosekan mengalami perkembangan bentuk dan fungsi. Perkembangan tersebut nampak  dinamis dari periode keperiode berikutnya. Berawal dari kerajinan ayaman rontal/nglopok diawali oleh I Wayan Silur dan I Made Seken sekitar tahun 1930-an. Bentuk kerajinan ayaman rontal/nglopok yang dihasilkan masih sangat sederhana berupa jenis bakul dengan ukuran kecil atau sebagai wadah penyimpan barang-barang kecil.

Datangnya  Rudolf  Bonnet seorang pelukis asal Belanda yang tinggal menetap di Ubud, yang membawa dampak  perkembangan seni rupa  di Ubud bukan hanya pada seni lukis dan seni patung, tetapi berdampak pula terhadap perkembangan karjinan  ayaman rontal di Pengosekan. Menurut keterang Mangku Made Gina, ketika Bonnet datang berkunjung ke Pengosekan ke rumah Gusti Ketut Kobot, secara kebetulan Ia melihat berberapa orang sedang membuat kerajinan ayaman rontal. Memperhatikan proses  mangayamnya  rumit dan bentuk bakul yang menarik tersentuh hatinya untuk membeli dan memesana dengan memberikan desain baru  bentuk vas bunga, guci dan baks, lengkap degan desain motifnya. Pada awalnya motif yang diterapan adalah motif ceracap sangat sederhana, kemudian berkembang pada motif-motif ornamen yang terdapat pada kain-kain songket.

Perkembangan baik bentuk maupun motif yang diterapkan dapat dilahat pada gamabar di bawah, sebauah bentuk karajinan ayaman rontal dengan ukuran yang agak besar  bermotif tumbuhan alam dan motif awan-awan,  mempresentasikan suasana alam yang tenang damai nan indah. Walaupun  pahon yang nampak terpotong terkesan janggal diakabatkan oleh ketentuan ukuran, nampak penyelesaiannya dipaksakan, tetapi menunjukan adanya perkembangan dan usaha perajin menyajikan karya seindah mungkin. Diamati dari bentuknya masik menyamai bentuk kerajinan yang lama.

Perkembangan Kerajinan di Desa Pengosekan, selengkapnya

Karajinan Pigura Kaca dan Cendera Mata di Desa Pengosekan

Karajinan Pigura Kaca dan Cendera Mata di Desa Pengosekan

Oleh: Gusti Agung Jaya CK, Dosen PS Kriya Seni

Berbarengan dengan meroketnya kerajinan ayaman rontal (basket) pada tahun 1980-an berkembang kerajinan pigura kaca. Seni kerajinan pigura kaca merupakan transformasi seni lukis fauna-flora gaya pengosekan pada media kayu. Munculnya kerajinan ini berawal dari seorang antropologi asal Amerika bernama Joose adalah teman I Dewa Nyoman Batuan yang menginap dirumahnya. Selagi melukis  Batuan didatangi oleh temannya, oleh karena di dalam kamarnya tidak ada kaca cermin. Joose minta agar kamarnya dilengkapi kaca cermin dengan bingkai dari kayu berukir.

Sebagai seorang seniman yang kreatif dan kaya akan ide-ide baru,Batuan mendesain bingkai kaca untuk temannya. Desain tersebut memakai hiasan flora-fauna  mirip lukisan gaya pengosekan yang dicetuskan oleh Dewa Made Kawan. Dalam mewujudkan bingkai kaca ini Batuan dibantu  oleh 2 (dua) orang tukang togog (pematung) bersaudara. Meraka  adalah I Wayan Meja dan I Made Meji tukang togog yang khusus membuat togog bedahulu. Setelah pigura kaca itu jadi, Batuan memperlihatkan dengan Joose sembari memasangkan dikamarnya. Ternyata Joose sangat senang dengan pigura kaca cermin yang bermotifkan flora-fauna itu.

Semenjak itu, Batuan manyuruh tukangnya membuat 20 samapai 30 pice untuk di pajang di studio lukisnya. Setiap tamu yang datang mengunjungi studionya, disamping menikmati lukisan, mereka sangat tertarik dan membeli 2 sampai 3 pice pigura kaca yang bermotif hiasan alam flora-fauna itu, usai mengapresiasi karya-karyanya. Model pigura kaca yang dicetuskan  Batuan bentuknya dapat dilihat pada gambar di bawah, yang mempresentasikan kehidupan pada alam fauna-flora. Burung kakak tua hadir bercanda hinggap pada dahan  nyiur seolah merayakan pertemuan yang berbahagia. Daun nyiur yang berwana hajau serta kembang sepatu yang sedang mekar di bawahnya isyarat kesuburan alam memberika kesan kedamaian, dan ketenangan. Dilahat dari bentuknya  yang terpola dalam segi empat nampak teresan kaku, tetapi imbangi dangan permainan garis pada bagian sisi atas menjadikan bentuk itu enak dipandang dan tidak kaku ketika dipasang pada dinding.

Karajinan Pigura Kaca di Desa Pengosekan, selengkapnya

Semiotika, bagian I

Semiotika, bagian I

Oleh: Alit Kumala Dewi, S.Sn, Dosen PS DKV

Semiotika berasal dari kata Yunani : semeion, yang berarti tanda. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. la mampu menggantikan sesuatu yang lain yang dapat dipikirkan atau dibayangkan Cabang ilmu ini semula berkembang dalam bidang bahasa, kemudian berkembang pula dalam bidang seni rupa dan desain komunikasi visual. (Tinarbuko, 2008:16) . Zoest (1993:1) berpendapat bahwa semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda

C.S Peirce

Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.

Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.

Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan menggairahkan.

Ferdinand De Saussure

Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut.

Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified.

Semiotika, bagian I Selengkapnya

Loading...