Demokrasi, Berkesenian, Wanita, Dan Anak-Anak Bali

Demokrasi, Berkesenian, Wanita, Dan Anak-Anak Bali

Kiriman Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar.

Suara gamelan bagaikan denyut nadi dan menari adalah bak aliran darah masyarakat Bali. Hasrat berkesenian itu tampak hampir dalam setiap lekuk kehidupan dan pada sebagian besar insan-insannya, tak terkecuali pada kaum wanita dan anak-anak. Tak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang terkagum-kagum dengan kiprah kaum wanita dan bocah-bocah Bali di bidang seni yang disaksikannya pada pembukaan Bali Democracy Forum (BDF) III, Kamis (9/12) lalu, di Nusantara Room, The Westin Hotel, Nusa Dua.

Begitu SBY memasuki ruangan bersama para pemimpin dunia lainnya, gemerincing suara gamelan yang sayup-sayup merdu menyambut santun. Tak seperti lazimnya, para penabuh gamelan Semara Pagulingan itu bukan kaum pria melainkan dimainkan dengan lentur oleh puluhan wanita dengan senyum tersungging. Suasana terhampar teduh dan hikmat.Setelah alunan gamelan peninggalan zaman kejayaan keraton Bali itu senyap, lalu disambung dengan denting nada-nada magis gamelan Gender Wayang. Perhatian seluruh hadirin kemudian tertuju pada sekelompok bocah gabungan wanita dan laki-laki yang memainkan dengan lincah salah satu gamelan Bali yang memiliki teknik permainan nan kompleks itu.

Seusai pembukaan BDF yang ditandai dengan suguhan tari Selat Segara–sebuah cipta tari yang bertema persahabatan dan perdamaian antar negara yang dibawakan sarat aura oleh lima orang gadis ayu–secara spontan SBY menghampiri para penabuh wanita dan bocah-bocah itu. Terjadi dialog akrab antara presiden dengan para penabuh gamelan Semara Pagulingan dan Gender Wayang tersebut. Sembari memberi salam hangat, SBY menyampaikan apresiasinya dengan seni karawitan dan tari yang dibawakan penuh pesona oleh kaum wanita dan anak-anak Bali.

Tentu saja, para penabuh wanita Asti Pertiwi dan penabuh anak-anak Asti Kumara berbangga dan tersanjung atas apresiasi dari orang nomor satu di negeri ini, Presiden SBY. Para seniman wanita dan anak-anak  keluarga besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu tampak berseri-seri saat menjawab beberapa pertanyaan presiden. Rektor ISI Prof. Dr. I Wayan Rai S., MA yang mendampingi, juga tampak terharu dengan perhatian SBY terhadap dunia seni. Menurut Prof. Rai, presiden tampak begitu peduli terhadap penanaman nilai-nilai seni dan budaya sebagai bagian dari wahana pembentukan karakter bangsa.

Perhatian eksplisit terhadap khasanah kesenian bangsa sepatutnya memang diberikan secara tulus oleh para pemimpin kita. Masih segar dalam ingatan bagaimana apresiasi yang ditunjukkan Presiden SBY saat menyaksikan sendratari pada pembukaan Pesta Kesenian Bali (PKB) di panggung terbuka Ardha Candra, 12 Juli lalu. Kendati gerimis hujan cukup deras, presiden SBY yang didampingi Gubernur Bali Made Mangku Pastika dengan berbasah-basah tetap tenang menyaksikan sendratari kolosal “Anggada Duta“ hingga akhir. Ucapan terima kasih yang disampaikannya usai pementasan dengan menyalami para penari, penabuh,  narator, dan penggarap lainnya adalah sebuah kasih maesenasisme yang menggugah nurani para pelaku seni.  Apresiasi yang demikian adalah api yang mampu mengobarkan semangat para seniman mengabdi pada dunianya, jagat seni, barometer kebudayaan sebuah bangsa.

Demokrasi Berkesenian Wanita Dan Anak-Anak Bali, selengkapnya

Konser Gamelan Dharma Suara Memukau Bali

Konser Gamelan Dharma Suara Memukau Bali

Kiriman Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Kebyar Legong yang disuguhkan grup gamelan dan tari  dari Amerika di Taman Budaya Bali pada awal Juli itu, menggugah masyarakat Bali terhadap ekspresi artistik karya para maestro terdahulu. Sebab, Kebyar Legong adalah salah satu karya agung yang menjadi tonggak penting awal berbinarnya gamelan Kebyar yang menggeliat fleksibel dalam kancah kesenian dan ritual keagamaan masyarakat Bali. Seperti kita ketahui, Gong Kebyar yang hampir dimiliki oleh setiap banjar atau desa tersebut, perkembangannya kini, secara kuantitas dan kualitas, semakin semarak. Penyebarannya bukan hanya di Bali dan kota-kota besar di Indonesia namun telah mendunia. Perkembangan tata garap musikalnya pun bukan hanya mengawal gending-gending klasik namun juga kian kreatif dan progresif berkontekstualisasi dengan perkembangan zaman.

Tari Kebyar Legong yang tak bisa dipisahkan dengan perkembangan awal Gong Kebyar juga mencerminkan aspek estetik fisikal dan muatan spirit mental yang lentur terhadap perkembangan zaman. Simaklah koreografi tari ini yang merepresentasikan karakteristik seni Bali Utara (kebyar) dan Bali Selatan (legong). Secara artistik konseptual, tari ini sebagian menampilkan unsur-unsur kebyar yang cepat, energik, dan dinamis serta sebagian lagi memasukkan unsur-unsur legong yang lembut, luwes, dan anggun. Konsep artistik perpaduan kebyar dan legong dalam tari Kebyar Legong tersebut seakan melontarkan pesan mengakuan terhadap keragaman ekspresi seni dan budaya  Bali, yang, kini semangatnya dapat dikontekstualisasikan secara lebih luas, baik dalam kancah kesenian maupun dalam interaksi antar budaya.

Sebagai ekspresi artistik budaya, kesenian Bali kini diapresiasi masyarakat mancanegara. Grup Dharma Swara New York telah  menunjukkan kepada masyarakat penonton betapa mereka begitu respek terhadap nilai estetika dan dimensi kultural dari gamelan dan tari Bali. Selain tampil di arena PKB, dengan antusias nan bahagia mereka pentas berkeliling Bali seperti di Jagaraga (Buleleng), Kerambitan (Tabanan), Tulikup (Gianyar) dan Ubud. Kesempatan pentas di tengah masyarakat Bali ini juga dipakai kesempatan untuk memberikan penghormatan dan sekaligus menawarkan kreativitas seni dengan mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan musikal pada gamelan. Andy McGraw, salah satu anggota Dharma Swara yang telah lama belajar gamelan di Bali, menjelajahi nada-nada Gong Kebyar dalam bingkai musik eksperimental yang diberi judul “Sikut Sanga“, menghidangkannya pada masyarakat Bali untuk dicicipi.

Hidangan konser gamelan dan pentas tari Dharma Swara New York di Bali tampaknya dinikmati lahap masyarakat penonton. I Nyoman Saptanyana, komposer alumnus ISI Denpasar yang sejak tahun 2001 membina Dharma Swara, merasa bersyukur atas perhatian tinggi masyarakat Bali terhadap penampilan pecinta gamelan dan tari Bali warga Amerika itu. Saptanyana yang juga staf konsulat RI New York mengungkapkan, kesukacitaan itu dirasakan oleh 28 orang penabuh dan penari Dharma Swara yang datang ke Bali dengan biaya sendiri-sendiri. Apresiasi tulus masyarakat Bali tersebut, tentunya, kata Saptanyana, semakin memompa semangat Dharma Swara mengibarkan kesenian Bali, budaya luhur Indonesia, di negerinya Barack Obama.

Kadek Suartaya

Konser Gamelan Dharma Suara Memukau Bali Selengkapnya

Gamelan Bali Menggetarkan Jantung Moscow

Gamelan Bali Menggetarkan Jantung Moscow

Kiriman Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Suara gamelan Bali yang renyah, lincah, dan membuncah terasa menghangatkan dinginnya kota Moskow. Sore hari pada pertengahan Agustus lalu, di sebuah institut musik klasik yang sangat prestisius di Rusia, Moscow Tchaikovsky Conservatory, para musisi dan peminat musik setempat menikmati konser gamelan Bali yang disajikan oleh para  seniman Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Suguhan tabuh Gambang Suling yang melodius dan tabuh Kebyar Ding yang dinamis dicermati sekitar 300 penonton yang memenuhi Rachmaninov Hall itu.

Adalah peringatan 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Rusia yang mengantar hadirnya konser gamelan Bali di Republik Federasi Rusia itu. Atas kerja sama KBRI Moscow dan Ditjen Dikti Kementerian Pendidikan Nasional, 22 orang insan seni Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar diutus menampilkan kesenian Nusantara di tiga kota Rusia itu. Di tengah sajian puspa warna tari Nusantara itulah, tim kesenian ISI menampilkan konser gamelan yang di tengah masyarakat Bali lazim disebut pentas tabuh. Dua tabuh, Gambang Suling dan Kebyar Ding, menggetarkan dan memukau masyarakat penonton yang menyimaknya dengan sumeringah.

Masyarakat Bali yang intim dengan seni tabuh pategak tentu cukup mengenal tabuh Gambang Suling dan Kebyar Ding. Gambang Suling adalah tabuh kreasi karya empu karawitan Bali I Wayan Beratha. Tabuh berdurasi sekitar 10 menit ini berungkap melodius, menstranformasikan gending Jawa, “Suara Suling“, yang menjadi sumber inspirasi tabuh ciptaan tahun 1963 ini. Sedangkan Kebyar Ding adalah kreasi lawas zaman pra kemerdekaan, sekitar tahun 1930-an, karya I Made Regog, memiliki komposisi rumit, sarat dinamika, kaya ornamentasi dan dimainkan dalam tempo cepat.

Musik Timur, gamelan dari Indonesia, termasuk amat asing
di Rusia. Senandung gamelan (Jawa dan Bali) hanya dapat dipergoki secara insidental di KBRI Moscow. Berbeda dengan keberadaan gamelan di negara maju lainnya seperti Eropa Barat, Amerika, dan Jepang, yang perkembangannya pesat, baik dipelajari dan dikaji secara formal di universitas-universitas maupun disuntuki sebagai kancah eksploratif estetik-musikal. Kini, di benua Eropa, umumnya geliat gamelan Bali dapat dijumpai di belahan barat seperti Inggris, Jerman, Belanda dan Swiss. Sedangkan di daratan Eropa Timur gamelan Bali hampir tak terdengar dentingnya

Musik asli Indonesia, gamelan, kini telah mendunia. Dunia internasional mulai berkenalan dengan gamelan, sejak komponis Prancis Claude Debussy (1862-1918) menonton gamelan di Pameran Semesta yang digelar di Paris pada tahun 1889 untuk memperingati 100 tahun Revolusi Prancis. Masyarakat benua belahan Eropa semakin menaruh perhatian terhadap gamelan ketika kemudian  pada tahun 1931, The International Colonial Ekxposition yang digelar di Perancis menampilkan pementasan gamelan dan tari dari Desa Peliatan, Gianyar, sebagai utusan pemerintah kolonial Belanda.

Rusia sebagai negara federasi pecahan Uni Soviet—musuh utama Amerika saat era perang dingin—kini baru mulai berkenalan dengan gamelan. Kendati sedikit terlambat, sebagai rumpun bangsa-bangsa penyayang keindahan yang banyak melahirkan seniman kaliber dunia, masyarakatnya begitu peka dengan muatan keindahan budaya bangsa lain seperti tampak saat menyaksikan suguhan konser gamelan Bali di Moscow itu. Margaritha Karatygina, Kepala Departemen Hubungan Internasional Moscow Tchaikovsky Conservatory menyambut gembira konser gamelan Bali yang disajikan ISI Denpasar itu serta optimis bahwa pementasan tersebut akan mendorong minat mahasiswa musik Rusia untuk mendalami lebih jauh seni musik Timur, khusunya gamelan dari Indonesia.

Kadek Suartaya

Keterangan gambar:

MEMUKAU—Tari dan konser gamelan Bali menggetarkan jantung kota Moscow dan memukau para musisi Rusia.

Gamelan Bali Menggetarkan Jantung Moscow selengkapnya

Ketika Dewi Sita Dikalahkan Luna Maya

Ketika Dewi Sita Dikalahkan Luna Maya

Kiriman Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Kelir (layar wayang) dibentangkan di sebuah bale-bale di tepi jalan umum di desa Sukawati, Gianyar. Malam itu, Selasa (12/10) lalu, dalang senior setempat, I Wayan Wija (60 tahun), tampil mementaskan wayang kulit berkaitan dengan odalan sebuah pura. Ketika malam telah menjelang, belencong (lampu wayang) dinyalakan dan gamelan gender ditabuh empat orang pengerawit. Tak tak tak, cepala (dijepit pada jemari kaki kanan dalang) menghentak-hentak menggarisbawahi tuturan kisah yang diangkat dari epos Mahabharata. Tapi, sungguh menyedihkan. Pementasan wayang itu hanya disaksikan segelintir penonton.

Tahun 1970-an, pementasan wayang kulit masih mengundang takjub. Saat itu, sebuah rencana pagelaran teater wayang merupakan kabar yang menggembirakan yang pementasannya ditunggu-tunggu khalayak banyak. Para penonton menyaksikan dengan penuh perhatian keseluruhan proses dan detail pementasan, baik yang disajikan dalam konteks ritual keagamaan maupun pertunjukan wayang dalam ajang profan. Bagaimana aksi dalang di balik layar dalam meragakan boneka pipih dua dimensi itu tak luput dari perhatian penonton. Bagaimana asyiknya penonton menyimak adegan demi adegan sepanjang 3-4 jam dan kemudian mendiskusikan seusai pementasan, menunjukan begitu karismatiknya kesenian yang diduga sudah mempesona penonton pada zaman Airlangga, abad ke-11 itu.

Pesona wayang kulit Bali terasa mulai redup ketika industri budaya global seperti film, video, dan media televisi merambah seluruh sudut dunia.

Kehadiran media elektronik modern yang menerobos ruang-ruang keluarga hingga kamar-kamar pribadi itu mengguncang stabilitas dan integralitas masyarakat dengan nilai-nilai budayanya, termasuk juga terhadap ekspresi kesenian yang menjadi identitas etniknya. Pentas wayang kulit Bali kiranya juga didera involusi, tergerus zaman yang dengan gencar menawarkan beragam bentuk  budaya instant. Revolusi televisi yang menyatukan  masyarakat dunia dengan kemasan informasi, dan terutama homogenitas  budaya populernya sungguh memporakporandakan sikap dan keragaman budaya yang sebelumnya dikawal  komunitasnya dengan penuh kebanggaan.

Tereduksinya kebanggaan itu terjadi terhadap hampir sebagian besar  jagat seni tradisi.  Kini, eksistensi seni tradisi, termasuk seni pertunjukan, khususnya ungkapan seni sebagai tontonan, pada umumnya kalah saing dengan kemasan tontonan media elektronik televisi. Media massa televisi yang berkembang pesat di tanah air  dengan beragam sajian hiburannya telah menyita begitu banyak waktu masyarakat kita sehingga tak berkesempatan dan mungkin kurang berminat lagi mencari kepuasan batin yang sebelumnya diberikan seni tradisi. Kini, di Bali sudah lazim terjadi pagelaran Arja, Drama Gong, dan Wayang Kulit misalnya, sepi penonton karena kebetulan pada jam yang sama sedang ditayangkan acara musik, infotaiment atau sinetron favorit.

Wayang Kulit adalah salah satu seni tradisi yang dulu amat berwibawa kini termasuk lemas lunglai diremas hegemoni sajian hiburan media elektronik modern. Apresiasi masyarakat Bali terhadap wayang sebagai seni pentas tontonan yang sarat tuntunan ini kian pupus. Tengoklah pementasan wayang dalang Wayan Wija tersebut. Totalitas seniman yang juga dikenal sebagai dalang Wayang Tantri itu, yang,  berkisah dengan penuh kesungguhan tenggelam dalam kubangan suasana yang tak menguntungkan. Di depan bentangan layarnya, lalu lintas kendaraan dan manusia berseliweran. Sementara itu sekelompok anak muda obral obrolan sesukanya, tak mau peduli.

Ketika Dewi Sita Dikalahkan Luna Maya Selengkapnya

Gender Wayang di Banjar Kayumas Kaja

Gender Wayang di Banjar Kayumas Kaja

Kiriman I Nyoman Gede Haryana

Bali adalah merupakan daerah yang sangat kental dengan tradisi seni dan budaya dimana hal tersebut sangat lah besar pengaruhnya pada kehidupan dan kepribadia masyarakat Bali . Salah satu dari tradisi dan budaya yang seolah-olah sudah menjadi nafas kehidupan orang Bali adalah seni karawitan (gambelan).

Gambelan merupakan sebuah orchestra Bali yang terdiri dari bermacam-macam barungan gambelan gambelan (instrument) yang terbagi kedalam 3 golongan yaitu : golongan tua ,golongan madya ,dan golongan baru ,dimna masing-masing golongan tersebut memiliki banyak jenis barungan gambelan seperti : Selonding , Gambang ,Gender Wyang , Semar Pegulingan ,Gong Kebyar ,Gong Luang ,dan masih banyak lagi barungan gambelan yang lainnya yang mempunyai laras pelog dan selendro . Dapat dipahami bahwa hidupnya gambelan Bali ditengah-tengah masyarakat yang telah luluh berefleksi dengan aktifitas kehidupan sehari-hari , dalam struktur masyarakat yang bervariasi . Kenyataan ini terlihat jelas karena gambelan Bali muncul dalam Nafas nya yang murni,memiliki cirri-ciri,identitas dan kekhasan yang masih didukung kuat oleh system kehidupan masyarakat setempat.

Begitu banyaknya jenis barungan gambelan Bali, namun masing-masing gambelan mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda , salah satu perangkat gambelan yang akan dibicarakan dalam konteks tulisan ini adalah gender wayang , yang merupakan sebuah barungan gambelan yang digolongkan kedalam gambelan golongan tua . Gender Wayang adalah music atau gambelan yang merupakan barungan gender , yang dipakai untuk mengiringi pertunjukkan Wayang Kulit.

Masing-masing daerah umunnya mempunyai cirri khas yang berbeda mengenai asal mula suatu barungan gamelan terutama pada gender wayang , dalam penelitian ini penulis menekankan untuk menjelaskan serta mengetahui asal mula serta fungsi dari Gender Wayang yang terdapat di salah satu daerah di Kota Denpasar  antaranya di daerah Br. Kayumas Kaja , Desa Dangin Puri, Denpasar Timur , dan hal ini biasa di alami dengan factor perkembangan dunia global dengan banyak pengaruh dunia luar masuk ke pulau Bali , maka dari itu sejarah sangat penting dalam kehidupan apapun terutama pada gamelan Gender Wayang agar paling tidak diketahui serta dipahami oleh generasi penerus serta menghindari dari kepunahan suatu kebudayaan leluhur yang kita miliki.

Asal Usul

Setelah wawancara dengan Bapak I Wayan Suweca SS,kar, menurut informasi yang saya dapatkan adanya gambelan gender wayang di Kayumas Kaja dimulai pada  tahun 1932 di rumah Pan Madri ( sebutan bapak untuk anak pertama)  , dimana anggotanya terdiri dari Pan Madri ,Pan Kandra , Pan Ruki dan Pan Runa adapun instrumen gambelan tersebut merupakan pinjaman dari keluarga Pan Madri di Desa Panjer , Denpasar Selatan oleh Pan Made Regeg. Kemudian Pan Madri ini membentuk sekha gender wayang,sesudah itu pada generasi ke dua ada penambahan pemain yaitu Iwayan Konolan atau dipanggil Pan Weca dan disaat itu dibentuk juga sekha batel untuk mengiringi Wayang Ramayana yang anggota nya terdiri dari keluarga dari banjar Kayumas Kaja dan banjar Kaliungu dan sekha ini berkembang dengan dipilih nya untuk mengiringi dalang-dalang terkenaldi Denpasar seperti Ida Bagus Tegal dari Tegal Denpasar , Ida kaja Bagus Bindu Dari Kesiman , Ida Bagus Ngurah dari Buduk , Ida Bagus Suyoga dari Bongkasedan masih banyak dalang-dalang terkenal lainnya. Dengan dipilih nya sebagai juru pengiring wayang kulit sekha ini banyak sekali mendapat pengalaman dari dalang-dalang yang diiringi karena mempunyai style-style sendiri- sendiri .Gender Wayang Kayumas Kaja memiliki style yaitu style has Kayumas Kaja misalnya dari bentuk gender wayang dan lagu-lagunya ,setelah gender ini trus dipakai untuk mengiringi akhirnya dikembalikan lagi ke Pan Madri dan pada tahun 1948 meminjam ke Tampak Gangsul oleh orang yang terpandang dari Tampak Gangsul menurut sejarah nya gender dari Tampak gangsul ini hadiah dari Kerajaan Bali di Denpasar yang kualitas nya sangat baik dan metaksu. Dengan dipakai nya gender itu semakin terkenal lah gender kayumas di daerah badung dan sekitarnya ,kemudian karena banyak sekali mengiringi pewayangan maka pada tahun 1972 gender tersebut dikembalikan karena gender tersebut tidak boleh dipinjamkan lagi karena pada saat itu di Tampak Gangsul sedang kacau balau,maka pada saat itu juga Pan Weca membuat lagi tetapi dengan style nya sendiri dengan meniru style gender di Tampak Gangsul dari bentuk , laras sesuai dengan aslinya ,daun gender dibuat oleh Pande Mieg dari Tiingan ,Klungkung dan pelawahnya oleh Pan Weca sendiri . Sejak itulah PanWeca selaku pimpinan sekha gender wayang di Kayumas Kaja membuat gender Khas Kayumas kaja untuk di jual belikan ,sampai sekarang gender wayang di kayumas sudah digenerasikan oleh anak dan cucu dari pan Weca dan tetap eksis sampai saat ini dan dikenal di daerah Bali maupun di luar Bali.  Adapun instrumen yang dipakai adalah 2 tungguh pemade dan 2 tungguh kantil , plawah nya style bebadungan yaitu plawah gender wayang tidak ada tatakan atau panyangga di bawahnya karena ada unsur-unsur filosofi yang terkandung pada instrument tersebut karena kayu yang dipakai pada gender itu adalah kayu “Las Celagi” karena dipercaya kayu tersebut memiliki nilai-nilai mistis.

Gender Wayang di Banjar Kayumas Kaja selengkapnya

Gamelan Gong Luang Di Banjar Kedaton Desa Kesiman Petilan

Gamelan Gong Luang Di Banjar Kedaton Desa Kesiman Petilan

Kiriman I Wayan Arik Wirawan

Di Bali setiap peninggalan benda seni selalu menyimpan sejarah tersendiri. Begitu pula dengan sejarah keberadaan Gong Luang yang menurut Prasasti Purana Pura menyebutkan gamelan ini sudah ada sejak zaman kerajaan Udayana. Selain itu, Prasasti Pura Kedaton dan Prasasti  Abasan, Bajarangkan  Klungkung  juga menyebutkan serta memaparkan detail dari gamelan Gong Luang.

Gong Luang atau biasa disebut Gong Saron oleh masyarakat Banjar Kedaton  merupakan satu-satunya gamelan Gong Luang yang ada di Desa Kesiman Petilan Kecamatan Denpasar Timur. I Wayan Turun  yang merupakan salah satu penabuh dan sesepuh gamelan Gong Luang di Banjar Kedaton menyebutkan  bahwa  keberadaan Gong Luang ini berawal dari adanya lomba desa tingkat provinsi pada tahun 1987. Banjar Kedaton pun ditunjuk untuk membuat prosesi upacara Pitra Yadnya atau Memukur, yang dimana upacara Memukur ini harus diiringi dengan  gamelan Gong Luang. Sedangkan pada saat itu banjar Kedaton belum memiliki seperangkat barungan Gamelan Gong Luang. Warga banjar lalu mengadakan rapat dengan penglingsir Puri Pemayun Kesiman dan sepakat untuk meminjam Gambelan Timbung  yang sekarang berada di rumah Bapak Ebuh di Gelogor. Gamelan Timbung yang terbuat dari bambu ini pun dimanfaatkan sebagai pengganti Gong Luang untuk mengiringi upacara memukur pada saat lomba desa tersebut.

Setelah perlombaan ini selesai, warga banjar dan penglingsir/ tetua  puri kembali mengadakan rapat untuk merencanakan membeli satu barungan (barungan adalah untuk menyebutkan satu kelompok atau alat gamelan yang terdiri dari berbagai jenis-jenis instrumen dengan jumlah tertentu) Gamelan Gong Luang, mengingat dari fungsinya yang sangat penting dalam ritual dan upacara Agama Hindu. Hal ini pun mendapat dukungan dari penglingsir puri yang suatu saat pasti akan memerlukan gamelan Gong Luang. Setelah mengadakan penggalian dana, maka Banjar Kedaton membeli  gamelan Gong Luang seharga Rp. 3.750.000 pada saat itu. Gamelan ini dibuat oleh Pande Sukerta di Desa Blahbatuh Gianyar dan mencari sikut atau contoh di rumah Pak Tedun di Sangsi Singapadu. Setelah Banjar Kedaton memiliki gamelan Gong Luang, warga banjar  membentuk sekaa (sekaa adalah organisasi sosial di Bali yang mempunyai kegiatan-kegiatan dan tujuan tertentu)  Gong Luang di Banjar Kedaton serta mencari pelatih untuk mengadakan pelatihan dan pembinaan gending-gending atau repertoire Gong Luang. Kemudian warga banjar sepakat untuk mencari pembina Gamelan Gong Luang di Singapadu yang bernama Pan Muji. Adapun gending-gending atau repertoire yang diberikan oleh Pan Muji adalah:

1.      Gending Lilit Panji Alit

2.       Gending Lilit Nyora

3.      Gending Lilit Warga Sari

4.      Gending Lilit Panji Cinada

5.       Gending Lilit Panji Demung

6.       Gending Sih Miring

Yang dimana gending – gending tersebut masih dipergunakan oleh sekaa Gong Luang banjar Kedaton Kesiman sampai sekarang. Sekaa ini sekarang beranggotakan 25 orang dan mempunyai sistem kepengurusan yang diganti setiap 2 tahun sekali.

Gamelan Gong Luang Di Banjar Kedaton Desa Kesiman Petilan Selengkapnya

Loading...