Technical Meeting Pameran Ujian Tugas Akhir Mhs FSRD

Technical Meeting Pameran Ujian Tugas Akhir Mhs FSRD

Dalam Rangka Ujian Tugas Akhir Mahasiswa FSRD ISI Denpasar, akan diadakan Pameran Karya Tugas Akhir Mahasiswa sebagai ajang Promosi terhadap karya seni terbaik yang dihasilkan oleh mahasiswa kepada masyarakat, baik lokal maupun internasional. Sehingga Pameran akan diadakan di luar kampus yaitu : di SIKA GALLERY, Jln Campuan Ubud Gianyar. sehingga dengan diadakan pameran di sika gallery akan mempermudah proses promosi karena mengingat Sika Gallery yang berada di kawasan kota seni dan budaya yang sudah terkenal di dalam maupun luar negeri. yang akan diadakan dari tanggal 18 Januari – 1 Pebruari 2011, dan pembukaan pameran tanggal 18 januari 2011 pk. 18.30 wita. sedangkan kegiatan ujian tugas akhir akan diadakan dari tanggal 24 – 28 pebruari 2011.

Maka dalam rangka persiapan acara tersebut diadakan acara Meeting Technical, untuk membahas dan berkoordinasi persiapan acara pameran tersebut.

DSCN0737
DSCN0738

Wedhus Gembel Halahala Mandaragiri, Bagian I

Wedhus Gembel Halahala Mandaragiri, Bagian I

Kiriman Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Bukan hanya gunung Merapi, Bromo, dan Anak Krakatau saja yang belakangan meletus. Sabtu (27/11) malam lalu, gunung Mandara juga meletus dahsyat. Yang mengerikan, wedhus gembel yang dimuntahkan gunung Mandara mengandung halahala yaitu racun yang mematikan. Racun yang dimuntahkan dari puncak gunung itu mengancam segala mahluk hidup.

Tetapi masyarakat Jawa Tengah yang menyaksikan letusan gunung Mandara itu tampak tenang-tenang saja bahkan menikmatinya dengan rona suka cita.

Meletusnya Mandaragiri itu adalah sebuah pementasan sendratari yang digelar di Pendhapa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Jawa Tengah. Sendratari berjudul “Siwa Wisaya“ itu merupakan persembahan para mahasiswa ISI Denpasar yang disuguhkan sebagai penampilan pamungkas dalam pentas Mebarung Gong Kebyar Se-Jawa dan Bali yang diselenggarakan oleh ISI Surakarta. Duel Gong Kebyar yang berlangsung dua malam, 26-27 Nopember lalu itu, menghadirkan empat grup Gong Kebyar yakni ISI Surakarta, ISI Yogyakarta, Puspa Giri Semarang, dan ISI Denpasar.

Kisah gunung Mandara yang disuguhkan oleh 60 orang mahasiswa ISI Denpasar itu terasa kontekstual dengan bencana alam letusan gunung yang kini sedang merisaukan masyarakat Indonesia. Cerita tentang Mandaragiri sangat akrab pada masyarakat Jawa pencinta wayang kulit. Karena itu, Pemutaran Mandaragiri yang merupakan bagian awal dari epos Mahabharata yang digarap dalam sendratari berdurasi 25 menit, menjadi komunikatif. Penonton yang memenuhi Pendhapa menyimak dengan antusias dan tekun tampilan artistik dan lontaran pesan yang digarisbawahi secara verbal oleh dalang atau narator dalam bahasa Jawa Kuno dan Indonesia.

Alkisah pada zaman satyayuga, para dewa dan raksasa bersepakat bekerja sama mencari tirta amerta atau air kehidupan abadi. Untuk mendapatkan air suci itu adalah dengan cara mengaduk lautan susu, ksiarnawa, dengan sebuah gunung. Pada hari yang telah ditentukan,  gunung Mandara di Pulau Sangka digotong oleh Hyang Antaboga dan diceburkan ke tengah samudra. Agar gunung mengapung, kura-kura Kurma menyangga di dasar laut dan dewa Indra menduduki puncak gunung. Naga Basuki yang membelit gunung, kepalanya dipegang para raksasa dan ekornya ditarik oleh para dewa. Mandaragiri diputar. Samudra mendidih dan topan menyamuk. Para penghuni gunung terpelanting binasa dan habitat lautan bergelimpangan.

Dari puncak gunung mandara menyembur gumpalan hitam pekat. Para dewa dan para raksasa bersorak girang, berebut hendak mereguk gumpalan yang mencair  itu. Dewa Siwa yang mengawasi sepak terjang para dewa dan raksasa itu dengan sigap merebutnya dan dengan seketika meminumnya. Leher Dewa Siwa menjadi biru legam terbakar karena yang diminum oleh Dewa Siwa adalah halahala alias racun pembunuh. Para dewa dan raksasa penasaran dan kembali memutar gunung Mandara yang kemudian mengeluarkan cairan bening wangi, tirta amerta. Para raksasa dengan garang menguasai dan melarikan. Beruntung Dewa Wisnu dapat merebut dengan tipu rayu menjadi bidadari. Tirta amerta itu kemudian ditebar Dewa Wisnu untuk kebahagian segenap manusia dan kedamaian jagat.

Wedhus Gembel Halahala Mandaragiri, selengkapnya

Oleg Tamulilingan, Tari Cinta Kasih Bali

Oleg Tamulilingan, Tari Cinta Kasih Bali

Kiriman Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Dua istilah dalam bahasa Bali, oleg (goyang) dan tamulilingan (kumbang), digabungkan untuk menyebut sebuah cipta seni tari yang lahir pada tahun 1952. Tak disangka, tari yang bertutur tentang sepasang kumbang, jantan dan betina, yang sedang menjalin asmara di sebuah taman bunga itu, masih mempesona hingga hari ini. Oleg Tamulilingan, tari duet buah kreasi dan inovasi I Ketut Marya tersebut, dalam perjalanannya, menjadi karya seni pertunjukan monumental yang belum tertandingi hingga kini. Masyarakat Bali seakan tak pernah bosan mengaguminya. Pun, tidak sedikit para gadis Bali yang dengan bangga membawakan gemulai anggun, lenggok  si kumbang betina nan ayu ini.

Tengoklah pada Kamis (25/11) malam lalu di Gedung Mario, Tabanan. Beberapa pasang penari Oleg Tamulilingan, sarat antusias adu keperigelan dalam sebuah kompetisi. Luh Kade Pebria Satyani (18 tahun), misalnya, tampak menunjukkan totalitasnya mensinergikan wiraga-wirama-wirasa, bersama pasangannya (kumbang jantan),  tampil dengan aura dan gairah berbinar. Begitu juga para penari Oleg yang lainnya, semuanya pentas dengan semangat membuncah. Gereget tersebut, selain digedor oleh motivasi lomba, tampaknya juga digelorakan oleh stimulasi cinta seni budaya luhur bangsa sendiri. Lebih-lebih bagi masyarakat Tabanan, tari Oleg Tamulilingan dan Ketut Marya diusung sebagai salah satu ikon dearahnya. Patung Oleg Tamulilingan dipajang di depan Gedung Mario (diabadikan dari nama Marya yang oleh orang barat disebut Mario).

Tari Oleg Tamulilingan dan Mario telah menyatu dan melegenda. Sejatinya,  tari Oleg diciptakan melalui proses berliku oleh pribadi seorang Ketut Marya yang unik. Ekspresi artistik  yang terakumulasi dalam tari Oleg, memang sepenuhnya merupakan formulasi estetik Ketut Marya. Tetapi  iringannya yang merupakan kerangka konseptual dalam sebuah koreografi, Marya disokong pengerawit tangguh yaitu Wayan Sukra asal Marga, Tabanan dan disempurnakan oleh Anak Agung Gde Mandera, Gusti Kompyang, dan Wayan Lebah dari Peliatan, Gianyar. Sedangkan dari aspek gagasan, tari Oleg terinspirasi oleh foto-foto ballet klasik duet “Sleeping Beauty” yaitu tentang kisah percintaan putri Aurora dengan kekasihnya Pangeran Charming, yang ditunjukkan kepada Marya oleh seorang budayawan Barat yang menetap di Kaliungu, Denpasar, John Coast.

Tari Oleg Tamulilingan diciptakan Marya ketika usianya menapak lebih dari 50 tahun. Di usia senjanya, Marya  asyik memanjakan kegemarannya berjudi sabungan ayam. Ketika ada ajakan kepadanya untuk bergabung dengan sekaa gong Peliatan, Ubud, Gianyar, Marya  tak menggubrisnya dengan alasan dirinya sudah tua. Baru ketika salah satu muridnya, I Sampih, yang memintanya dengan segala bujuk rayu menciptakan sebuah tari baru untuk sekaa gong Peliatan yang akan melawat ke luar negeri, ia tertarik. Sebagai seorang seniman tulen, ketika berkesempatan melawat ke Eropa, Kanada, dan Amerika serikat pada tahun 1957 dan 1962, Marya tampil dengan taksu berbinar memukau penonton dengan membawakan tari ciptaannya, Kebyar Terompong.

Oleg Tamulilingan, Tari Cinta Kasih Bali, selengkapnya

Gamelan Bali Mendunia Tanpa Tanda Tanya

Gamelan Bali Mendunia Tanpa Tanda Tanya

Kiriman Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Pada awalnya, mebarung gamelan menguak dari Buleleng. Dari desa-desa di Bali Utara itu, sekitar tahun 1930-an, merebak ke seluruh Bali. Sejak Pesta Kesenian Bali (PKB) digelar tahun 1979, duel gamelan dan tari ini sangat populer di tengah masyarakat Pulau Dewata. Tetapi, kini, pentas secara kompetitif gamelan ini mulai merambah pulau Jawa. Pada tanggal 26-27 Nopember lalu misalnya,  masyarakat pecinta seni Jawa Tengah, terpana oleh sajian mebarung gamelan Bali yang digelar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Empat grup gamelan, tiga dari tanah Jawa dan satu dari Bali, tampil adu tangguh. Penonton tampak menikmatinya dengan begitu antusias bak suasana pentas mebarung di Bali.

Pada malam pertama (26/11), pentas secara berhadapan tim gamelan ISI Surakarta dengan ISI Yogyakarta. Sajian konser gamelan dan tari yang ditampilkan mirip dengan festival atau parade Gong Kebyar di arena PKB. Ada tampilan dua konser tabuh dan suguhan nomor tari atau sendratari. Demikian pula mebarung pada malam kedua (27/11) yang menampilkan ISI Denpasar dan grup gamelan Puspa Giri Semarang menyuguhkan materi seni karawitan dan tari yang diwajibkan panitia. Tak dinyana, penampilan tiga grup gamelan Bali dari Jawa tidak kalah tangguh dengan sajian para mahasiswa ISI Denpasar.

Tradisi mebarung gamelan di Bali dan gebrakan mebarung gamelan Bali di Jawa tak bisa dilepaskan dari pesatnya perkembangan Gong Kebyar. Ansambel gamelan yang lahir di Bali Utara pada tahun 1915 ini, kini, hampir dimiliki oleh setiap banjar atau desa di Bali. Belakangan, tak sedikit dari pribadi-pribadi, sanggar-sanggar seni, kantor-kantor pemerintah dan swasta yang memiliki barungan gamelan yang biasanya dimainkan oleh sekitar 30-40 orang penabuh ini. Sedang di Jawa, sekolah-sekolah atau institut-institut seni dan sanggar-sanggar tari juga mengkoleksi dan mempelajari salah satu gamelan yang paling populer ini. Selain itu, kini gamelan Gong Kebyar telah menyebar ke pelosok Nusantara yang dibawa atau diprakarsai oleh para transmigran asal Bali. Ritual agama Hindu di pura pura di daerah transimigrasi di Sulawasi, Kalimantan, Sumatera misalnya telah lazim disertai dengan gemerincing permainan gamelan Gong Kebyar.

Di tengah masyarakat Bali, Gong  Kebyar  berfungsi fleksibel menyertai berbagai kepentingan pentas seni, baik presentasi estetik murni maupun persembahan dalam konteks ritual keagamaan. Gamelan ini sangat umum  dikenal,  baik oleh msyarakat Bali sendiri maupun oleh para peminat musik  luar Bali. Gamelan  ini kini malahan  sudah menyebar  ke luar negeri, di Amerika Serikat ada grup gamelan Gong Kebyar Sekar Jaya dan di Jepang ada grup Sekar Jepun yang sangat aktif menggelar pementasan. Gaya permainan musik Kebyar yang cepat, energik, atraktif, ramai dengan variasi jeda-jeda yang diungkapkan dengan penuh daya pikat, bergairah, dianggap mewakili dan menjadi ciri khas  musik Bali secara keseluruhan.

Fenomena semakin banyaknya sebaran Gong Kebyar di Nusantara bahkan ke seantero jagat memunculkan sebuah wacana yang didiskusikan dalam sebuah seminar pada tanggal 26 Nopember di ISI Surakarta, menjelang pentas Mebarung Gong Kebyar. Tiga pakar seni dan budaya tampil sebagai nara sumber yakni Prof. Dr. Rahayu Supanggah, SKar, Prof. Dr. I Wayan Rai, S.MA, dan Prof. Dr. Ida Bagus Yudha Triguna membahas topik “Musik Bali Mendunia?”, (dengan tanda tanya). Para peserta yang terdiri dari mahasiswa dan dosen serta para peminat seni, mengikuti dengan tekun seminar setengah hari yang berlangsung hangat itu.

Gamelan Bali Mendunia Tanpa Tanda Tanya, selengkapnya

Holistic Education – Apa itu?

Holistic Education – Apa itu?

Pendidikan di Indonesia merupakan satu sektor yang paling banyak mendapat perhatian. Bukan karena pentingnya sektor ini tetapi karena semua permasalahan tampak menyatu di dalam sektor ini dan sampai sekarang permasalahan tersebut jangankan terurai dan dapat diselesaikan, bahkan usaha pemetaan masalahnya pun masih belum menunjukkan tanda-tanda akan segera usai. Semua usaha sebenarnya telah dilakukan, hanya saja tidak jarang usaha tersebut dilakukan setengah hati atau bahkan tidak jarang menggunakan cara yang sangat tidak elegan seperti mengedepankan sebuah jargon baru dengan isi yang sebenarnya sudah lama ada. Akibatnya tentu saja mudah ditebak, persoalan yang ada bukannya diselesaikan tetapi justru ditambah.

Persoalan lain yang juga tidak kalah merisaukannya adalah munculnya anggapan karena sebuah jargon berhasil dikedepankan lengkap dengan argumentasi akademisnya maka persoalan pendidikan dianggap telah selesai. Padahal anggapan semacam ini tidak kalah berbahayanya dibandingkan dengan permasalahan yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Jargon penting, motto penting, penentuan visi dan misi juga penting. Tetapi jika hanya berhenti sampai di sini lalu beranggapan bahwa semuanya ’beres’ maka tentu saja salah besar. Persoalan lama dalam dunia pendidikan bukan saja tidak terselesaikan – dan mungkin memang tidak akan pernah terselesaikan –  tetapi sejumlah persoalan baru ternyata terus menerus ditambahkan.

Pendidikan Holistik Dunia

Sebagai bagian dari filsafat pendidikan, pendidikan holistik didasarkan pada premis bahwa setiap orang mampu menemukan jati diri, makna, dan tujuan hidup dalam kaitannya dengan masyarakat, alam, dan nilai-nilai kemanusiaan seperti perhatian, kasih sayang dan perdamaian.  Pendidikan holistik bertujuan menggali dari setiap orang potensi jati diri dan kemampuan untuk mengasihi sesama ditambah dengan kecintaan untuk terus menerus belajar dan mempelajari ilmu pengetahuan. Definisi ini diyakini berasal dari Ron Miller, orang yang dikenal memprakarsai jurnal Holistic Education Review. Pada perkembangan berikutnya istilah ini seringkali dikaitkan dengan tipe pendidikan yang lebih demokratis dan berwajah kemanusiaan.

Robin Ann Martin (2003) mengatakan, seperti yang dicatat dalam situs http://en.wikipedia.org/wiki/Holistic_education, bahwa pada tingkatan yang lebih umum, apa yang membedakan pendidikan holistik dengan jenis pendidikan lainnya ternyata terletak pada tujuannya, pada perhatiannya terhadap pengalaman pembelajaran, dan pada kesepakatan meletakkan pendidikan dalam kaitannya dengan nilai-nilai utama kemanusiaan dalam lingkungan pembelajaran.

Scott H. Forbes dan Robin Ann Martin dalam sebuah makalah – berjudul What Holistic Education Claims About Itself: An Analysis of Holistic Schools’ Literature – yang dipresentasikan pada Konferensi Tahunan Para Peneliti Pendidikan Amerika yang diselenggarakan pada bulan April 2004 di San Diego, California, menegaskan bahwa jika seseorang mencoba merunut asal muasal pendidikan holistik pasti akan menemui kesulitan karena konsep ini pada dasarnya sudah ada sejak zaman dulu dan dapat ditemukan dalam hampir semua konsep pendidikan yang salah satu daya pendorongnya adalah sikap religius kemanusiaan.

Tetapi juga tidak dapat disangkal bahwa nama-nama seperti Jean-Jacques Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott, Johann Pestalozzi, Friedrich Fröbel, and Francisco Ferrer juga berkontribusi besar dalam pembentukan konsep pendidikan holistik. Jejak-jejak pemikiran mereka yang tersebar dalam banyak karya – sastra, filsafat, pendidikan, dan kajian humaniora lainnya – dapat dilacak perannya dalam konsep ini. Para teoris yang lebih modern seperti Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John Dewey, John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard Gardner, Jiddu Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman, Ivan Illich, and Paulo Freire, suka atau tidak suka, juga harus diakui mempunyai andil dalam pendidikan holistik, meskipun apa yang dikenal sebagai pendidikan holistik ketika itu memang belum mencapai bentuknya yang sekarang.

Bentuk pendidikan holistik mulai muncul pada era tahun 1960-an, ketika pergeseran paradigma kebudayaan mulai terjadi, Berikutnya pendidikan holistik dalam ranah psikologi muncul pada era 1970-an. Era ini ditutup dengan sebuah konferensi interrnasional tentang pendidikan holistik yang diselenggarakan oleh universitas California di San Diego pada bulan Juli 1979. Pemrakarsa konferensi internasional ini adalah Mandala Society dan Pusat Eksplorasi SDM.

Perkembangan berikutnya dapat dilihat pada sejumlah institusi pendidikan – dasar, menengah atau tinggi – yang menerapkan konsep bahwa pendidikan holistik berkaitan langsung dengan masalah hubungan antar sesama, dengan tanggung jawab, dan dengan penghormatan terhadap kehidupan itu sendiri.

Pendidikan Holistik PH

Ada sejumlah institusi pendidikan tinggi yang menyatakan – secara berterang atau tidak berterang – bahwa konsep dasar yang digunakan adalah konsep holistik. Salah satu diantaranya adalah institusi pendidikan tinggi yang berlokasi di dekat Jakarta.

Menurut tokoh penting di balik insitusi pendidikan ini, pertanyaan fundamental yang harus ditanyakan dalam kaitannya dengan bidang pendidikan adalah ’siapa yang memiliki anak-anak?’ atau ’siapa yang menjadi pemilik anak-anak-anak muda?’ Jawaban terhadap pertanyaan ini menjadi penting karena berdasarkan jawaban inilah orientasi pendidikan seseorang akan terungkap dengan sendirinya.

Di negara sosialis atau komunis semua orang menjadi milik partai. Anak-anak pun menjadi milik partai. Bahkan ketika berada di rumah pun anak-anak menjadi milik partai atau milik negara. Maka dari itu tidak mengherankan jika anak-anak dibesarkan dan dididik berdasarkan sistem yang telah ditentukan oleh negara.

Di Indonesia – sebuah negara yang mempunyai falsafah Pancasila – semua orang termasuk anak-anak dipersepsikan menjadi milik masyarakat. Maka dari itu semua orang dididik sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Dan karena masyarakat Indonesia sekarang ini berada dalam era yang dikendalikan oleh bisnis dan industri – termasuk di dalamnya bisnis dan industri dunia maya – maka masyarakat tampaknya menjadi puas jika anak-anak mereka memperoleh pendidikan yang memampukan generasi muda untuk masuk dan berkompetisi dalam dunia yang seperti ini.

Pada bagian lain dunia – dunia timur – anak-anak dianggap sebagai milik orang tua, tepatnya miliknya sang ayah. Dalam masyarakat yang seperti ini kesulitan muncul karena keinginan masing-masing ayah dapat berbeda satu sama lainnya. Akibatnya dapat ditebak dengan mudah. Ada beragam keinginan, ada beragam kepentingan. Yang satu dapat saja berbeda secara ekstrim dengan yang lain, sehingga pendidikan menciptakan peluang untuk hidup yang lebih seimbang menjadi sangat kecil atau bahkan tidak ada.

Tampak jelas bahwa tiga pandangan yang telah disebut ini menyebabkan orientasi pendidikan tidak holistik. Orientasi dapat dikembalikan ke jalur holistik jika setiap orang percaya dan yakin bahwa anak-anak milik Tuhan. Jika anak-anak milik Tuhan, maka otoritas yang dimiliki orang tua bukan berasal dari orang tua itu sendiri, melainkan berasal dari Tuhan. Maka dari itu orang tua tidak dapat seenak-perutnya mengatur dan memaksanakan kehendak pada anak-anak. Anak-anak bukan milik mereka, tetapi milik Tuhan, karenanya hanya berdasarkan perintah Tuhan-lah seharusnya anak-anak dibimbing dan memperoleh pendidikan. Pertanyaanya, perintah Tuhan yang mana? Tentu saja perintah Tuhan dalam kitab suci.

Sampai di sini tentu saja tidak ada masalah. Semua orang Indonesia sepakat bahwa salah satu sumber panduan pembinaan kehidupan adalah kitab suci. Dunia pendidikan harus melandaskan dirinya pada kitab suci. Tetapi hal yang sederhana ini menjadi masalah, manakala realitas menyatakan bahwa mereka yang menggebu-gebu menyuarakan masalah pendidikan holistik justru melakukan perbuatan yang bertentangan dengan isi kitab suci. Atau dengan kata lain apa yang terjadi bila mereka yang meyakini bahwa dunia pendidikan yang baik adalah pendidikan yang holistik, dan pendidikan yang holistik adalah pendidikan yang berusaha menghasilkan manusia-manusia yang kehidupannya seimbang, dan manusia yang hidupnya seimbang selalu dituntun oleh kitab suci, justru melakukan manipulasi perbuatan yang tidak sesuai dengan isi kitab suci? Apakah seperti potret buram dunia pendidikan tinggi kita yang sekarang ini?

Jadi disinilah kunci permasalahannya. Keteladanan – sebuah kata yang semakin langka ditindaklanjuti oleh banyak orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Sayang memang, tetapi itulah faktanya!

Dr. Tri Budhi Sastrio
Universitas Pelita Harapan – Surabaya

Sumber: http://dikti.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1821:holistic-education–apa-itu&catid=159:artikel-kontributor

Merekrut Dosen Peneliti

Merekrut Dosen Peneliti

Publikasi penelitian di Indonesia rendah.Demikian hasil survai setentang publikasi penelitian di Indonesia berkategori rendah. Survei yang dilakukan oleh  SCImago itu  menempatkan Indonesia pada posisi ke-64 dari 234 negara yang diteliti sepanjang tahun 1996 – 2008,jauh dibawah Arab Saudi,Pakistan,dan Bangladesh.

Hasil survei itu tidak mengagetkan lagi sebab sudah bukan rahasia umum kuantitas dan kualitas penelitian  dosen masih rendah. Menurut Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti),jumlah dosen yang meneliti belum mencapai 10 persen dari sekitar 150.000 dosen tetap di perguruan tinggi negeri dan swasta di seluruh Indonesia. Hanya sekitar 12.000 dosen yang terdata melakukan penelitian.

Jika riset saja enggan,bagaimana mempublikasikannya ?

Angka Kredit Dosen

Kalau dikatakan  dosen tidak meneliti tentu tidak betul juga karena penelitian bagi dosen merupakan tugas yang harus dilaksanakan seperti halnya mengajar. Tridarma Perguruan Tinggi menyatakan bahwa tugas staf akademik terdiri dari pengajaran,penelitian,dan pengabdian masyarakat. Satu saja dari ke tiga unsur  tersebut tidak  dipenuhi,maka jenjang kepangkatan dosen akan terhambat.Itu artinya karir dosen akan begitu-begitu saja.

Baik, dosen  negeri maupun swasta supaya pangkatnya naik ke jenjang yang lebih tinggi harus mengumpulkan angka kredit (kum). Kum itu berasal dari unsur pengajaran,penelitian,dan pengabdian. Ketika seorang dosen baru diangkat sebagai dosen tetap,khususnya pegawai negeri ,ia diangkat dengan golongan III b dengan jabatan asisten ahli madya, ,sesuai dengan syarat dosen harus S2. Selama setahun,dosen baru akan mengalami percobaan (calon pegawai negeri sipil) , jika sudah memenuhi syarat diangkat menjadi pegawai negeri secara penuh .

Agar dapat naik golongan dan jabatan yang lebih tinggi hingga mencapai profesor,maka dosen harus mengumpulkan kum yang diperoleh dengan melaksanakan tugas dosen seperti yang tercantum dalam Tridarma Perguruan Tinggi. Untuk naik dari golongan III/b ke III/c misalnya, diperlukan kum 100 point. Begitu seterusnya hingga dosen mendapatkan golongan tertinggi IV/e (Gurubesar) dibutuhkan keseriusan dan waktu yang panjang mengumpulkan angka kredit.

Penelitian merupakan salah satu unsur yang harus dilakukan dosen untuk naik golongan. Penelitian dosen dihargai dengan 5 point. Bila, penelitian dipublikasikan pada jurnal ilmiah ,maka nilainya menjadi 10 sampai 15.Apalagi kalau hasil penelitian itu dipubliksikan di jurnal internasional,kumnya bisa mencapai 50.

Namun faktanya, meski penelitian maupun publikasi ilmiah memiliki nilai yang sangat tinggi, namun dosen yang gemar meneliti merupakan kaum minoritas.Hal ini juga sebagai pertanda kepangkatan dosen di Indonesia tidak bertambah signifikan sepanjang tahun. Meski,telah bertahun-tahun jadi dosen,namun pangkatnya tidak naik-naik.Kebanyakan dosen di Indonesia pensiun pada Golongan IV/a.

Karenanya tak usah heran kalau jumlah profesor kita pun tergolong rendah di Asia.Kurangnya guru besar di universitas di Indonesia dengan demikian menjelaskan satu hal, bahwa kegiatan penelitian hampir tidak ada. Situasi ini terjadi di semua universitas baik yang besar maupun kecil.

Dosen Peneliti

Meski setiap tahun Dikti menambah anggaran penelitian bagi dosen,namun tetap saja bagi dosen,terutama yang berasal dari daerah merasa kesulitan menembusnya. Banyak dosen yang mengeluh karena sudah berkali-kali membuat proposal untuk menembus hibah penelitian yang ditawarkan dikti,namun tidak pernah lolos dari seleksi Reviwer Dikti.Akhirnya,kebanyakan dosen frustasi dan enggan berpartisipasi menembus hibah penelitian yang ditawarkan Dikti.

Apa sebab? Sebagian besar proposal penelitian yang dikirimkan ternyata tidak memenuhi kriteria yang sudah ditentukan Dikti. Dosen-dosen kita belum mempunyai kemampuan menyusun proposal penelitian yang berkelas sehingga harus gugur dari seleksi reviewer dikti yang ketat. Atmosfir PT kita yang masih berkultur pengajaran belum mampu mencetak peneliti .

Kalau sudah demikian yang perlu disalahkan adalah rekrutmennya. Sudah tahu bahwa salah satu tugas dosen meneliti,namun rekrutmen dosen tidak mensyaratkan kemampuan meneliti. Meski menjadi dosen harus lulusan S2 ,namun tetap saja kemampuan menelitinya minim sekali. Lalu bagaimana ?

Belajar dari negara maju,rekrutmen dosen tidak seperti di Indonesia yang hanya sekadar melakukan tes tertulis ,tes wawancara,dan tes mengajar. Agar dapat menjadi dosen  di negara maju,terlebih dulu menawarkan menjadi asisten dosen kepada lulusan terbaiknya. Selama menjadi asisten,universitas menawarkannya mengambil program master atau doktor di universitas yang bersangkutan. Semasa menjadi asisten,universitas akan melibatkannya membantu profesor senior melakukan penelitian. Baru, setelah menyelesaikan program doktor, universitas menawarkan posisi dosen kepadanya. Bila diterima,ia tidak langsung menjadi dosen tetap,namun dikontrak dulu selama beberapa  tahun agar dapat dinilai prestasi kerjanya.

Tentu saja penelitian yang dilakukan oleh dosen kontrak tersebut merupakan  salah satu variabel penting mengangkatnya menjadi dosen tetap. Bila ia berprestasi selama menjadi dosen,pihak universitas akan memudahkannya meraih jabatan profesor.Tidak rumit seperti di negara kita. Makanya,di negara maju,seperti Amerika Serikat usia profesor masih muda belia. Berbeda dengan di sini,sebagian besar profesor sudah berusia tua hingga tidak produktif lagi meneliti.

Mengharapkan tercipta kultur meneliti yang berujung pada publikasi ilmiah bagaimanapun harus dimulai dari input ,rekrutmen dosen. Sulit, kalau masih mengharapkan kepada dosen yang terbiasa mengajar untuk meneliti. Model-model rekrutmen yang dapat menjaring dosen yang bukan saja piawai berceramah,tapi juga ahli meneliti harus sudah dimulai sejak sekarang. Semoga.

Arfanda Siregar
Dosen Politeknik Negeri Medan

Sumber: http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1811:merekrut-dosen-peneliti&catid=159:artikel-kontributor

Loading...