Analisis Tekstual Gending Kethuk Bagian II

Analisis Tekstual Gending Kethuk Bagian II

Analisis Tekstual Gending Kethuk 2 Kerep Minggah 4 Laras Slendro Pathet Sanga, Bagian II

Kiriman I Nyoman Kariasa, Dosen PS Seni MKarawitan

Perangkat Gamelan

Dalam menyajikan gending Gambir Sawit, menggunakan perangkat gamelan ageng. Dalam satu kesatuan perangkat gamelan ageng terdiri dari dua kelompok. Satu kelompok berlaras pelog dan satu lagi berlaras slendro. Setiap kelompok tadi dalam karawitan Jawa disebut dengan Pangkon. Jadi dalam menyajikan gending Gambir Sawit memakai gamelan ageng pangkon slendro lengkap. Adapun ricikan-nya adalah ; rebab plonthang, gender barung, gender penerus, bonang barung, bonang penerus, slenthem, demung, saron barung, saron penerus, gambang,  clempung, siter, kenong, kempul, kethuk kempyang, engkuk (kemong dua pencon), sepasang kemanak, suling, gong suwukan, gong ageng, seperangkat kendang. Gending Gambir Sawit tidak hanya dimainkan dalam gemelan pangkon slendro pathet sanga, terkadang juga dimainkan dalam pangkon pelog pathet nem. Dimainkanya dalam pelog nem gending Gambir Sawit kurang memiliki gereget. Karena dalam pelog nem terkesan lebih girang dan riang. Hal ini tentu tidak sesuai dengan esensi gending yang diinginkan. Namun dalam slendro pathet sanga-lah kecocokan rasa didapat dengan nuansa hening, agung  dan wingit.

Beberapa pakar karawitan Jawa menyatakan bahwa dalam penggarapan gendhing, pengrawit diberikan kebebasan untuk menterjemahkan, memberi makna, serta menafsirkan garap sesuai dengan rasa estetik musikalnya. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Rahayu Supanggah menyatakan bahwa karawitan bersifat fleksible dan multi interpretable. Artinya para pemain ricikan terutama ricikan garap bebas menafsirkan kemungkinan-kemungkinan garap sebuah gendhing. Hal ini kemungkinan ‘salah’ atau ‘benar’ tidak terjadi. Yang terjadi hanyalah penak dan ora kepenak atau munggah dan ora munggah. Ricikan-ricikan yang melakukan interpretasi tersebut antara lain ; rebab, gender, kendang,dan bonang. Dalam gending Gambir Sawit menurut pengamatan dan rasa musikal kami, peranan rebab dan sinden sangat dominan dalam melakukan cengkokan. Dengan tuntunan rebab, pesinden mampu membuat cengkokan mengalun sangat indah. Hal ini juga didukung oleh pola tabuhan gender dengan pola tabuhannya mampu membuat cengkokan yang enak didengar. Ricikan gambang dan siter bertugas memainkan tempo dan membuat pola tabuhan mengisi ruang-ruang balungan dengan lincah dan enerjik. Tak kalah penting adalah ricikan bonang dengan teknik permainan atau pola tabuhan imbal dan sekaran memberikan warna garap sangat kaya. Kendang dalam hal ini selain sebagai pemurba irama, juga membuat variasi pukulan terutama dalam permainan kendang ciblon yang masuk menjelang inggah. Selain ricikan-ricikan tadi peranan gerong juga tak kalah pentingnya. Selain melantumkan syair-syair gerongan, juga melakukan senggaan dan keplokan untuk meramaikan dan mendukung suasana. Sistem garap inilah letak estetika, keunikan gending ini, yang didukung oleh  keahlian para pemain ricikaan garap dalam menafsirkan balungan gending dengan variasi-variasi cengkokan-nya. Sehingga para penikmat hanyut dalam keasyikan menikmati cengkok dan tabuhan. Mungkin tidak hanya penikmat yang hanyut dalam menikmati gendhing, melainkan pemain juga hanyut dalam menikmati tabuhan-nya sendiri.

Analisis Tekstual Gending Kethuk 2 Kerep Minggah 4 Laras Slendro Pathet Sanga, Bagian II, Selengkapnya

Drama Tari Gambuh Berlinang Air Mata

Drama Tari Gambuh Berlinang Air Mata

Kiriman Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Drama tari Gambuh adalah mata air seni pertunjukan Bali. Para peneliti dari Barat seperti Walter Spies  dan R. Goris dalam karangannya yang berjudul “Overzicht van Dans en Tooneel in Bali” (1937)  menyebut drama tari ini oertype van alle tooneel on alle muziek (asal atau sumber dari drama dan gamelan yang ada di Bali). Tetapi kini semakin sulit menjumpai pementasan seni pertunjukan kebesaran zaman kejayaan keraton Bali tersebut. Ternyata, jika diteliksik, agaknya drama tari ini telah lama tersungkur. Para seniman pegiatnya kian langka. Masyarakat Bali masa kini seperti tak memiliki relasi kultural dan subyektifitas estetik lagi dengan teater sepuh Gambuh.

Namun, Minggu (19/12) siang lalu, sebuah ritual keagamaan di Desa Bona, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, berhasil menghadirkan pementasan drama tari Gambuh. Menariknya, teater Gambuh yang disimak asyik penonton dalam suasana religius-komunal itu, dibawakan oleh para seniman muda, baik para penari maupun penabuhnya. Adalah para mahasiswa dan dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang  ngayah dengan penuh kesungguhan mementaskan kesenian langka tersebut. Berorientasi dari sebuah episode cerita Panji yang memang lazim diangkat dalam Gambuh, penonton dapat menyaksikan keagungan seni pentas bergengsi era feodalisme Bali itu yang kini berteduh dalam payung ritual keagamaan.

Pada  era keemasan raja-raja Bali, khususnya pada masa Dalem Waturenggong (1416-1550), tari Gambuh adalah seni pertunjukan prestisius kesayangan seisi istana. Hampir setiap puri di Bali memiliki panggung khusus untuk pagelaran Gambuh yang disebut bale pegambuhan. Para seniman Gambuh yang menonjol direkrut menjadi seniman istana dan diberi status sosial yang terhormat. Namun ketika kolonialisme kemudian menggedor Bali yang menggerogoti kekuasaan kaum bangsawan, Gambuh limbung tanpa ampun. Sekarang, seni pertunjukan yang diduga berasal dari Majapahit dan jejak-jejaknya sudah muncul di Bali saat pemerintahan Udayana pada abad ke-11 ini, hanya dapat dipergoki bila ada upacara keagamaan yang dianggap penting, seperti yang diselenggarakan masyarakat Desa Bona tersebut.

Beruntung,  di Desa Batuan, Sukawati, Gianyar, kini teater Gambuh masih diusung oleh masyarakatnya. Dalam bingkai sosial adat dan ritual keagamaan, seni pertunjukan ini cukup bernafas normal. Pun Gambuh gaya Pedungan yang telah kehilangan maestronya, I Gede Geruh,  kini dengan segala daya berusaha dikawal oleh seniman setempat. Dua gaya drama tari Gambuh ini, Gambuh Pedungan (Denpasar) dan Gambuh Batuan (Gianyar), masih mencoba eksis di tengah ketakpedulian masyarakat Bali. Baik Gambuh gaya Pedungan maupun Gambuh gaya Batuan dianggap memiliki ciri dan identitas yang masih dianut oleh  pendukungnya masing-masing. Di ISI Denpasar, kedua gaya ini wajib dipelajari oleh mahasiswa yang menerjuni seni tari.

Sebagai  warisan  kesenian kraton, pada  dasarnya  drama tari Gambuh adalah ungkapan seni yang serius dan rumit. Polanya  ketat dan penyajiannya  protokoler.  Bobot  artistiknya  mencuat  dari kompleksitasnya,  baik koreografinya maupun  komposisi  musiknya. Elemen  musik dan tari dalam gambuh sangat terikat. Setiap tokoh, di samping  masing-masing  memiliki  tatanan tari tersendiri,  harus mempergunakan  bahasa Jawa Kuno dengan alunan retorika yang telah terpola juga. Setiap  tokoh memiliki iringan  musik tersendiri  yang  jelimet berliku-liku, rata-rata  berukuran panjang. Beberapa suling panjang adalah instrumen utama dari ansambel gamelan Gambuh. Alat musik bambu ini bertugas membawakan seluruh melodi gending, baik tabuh instrumental maupun gending iringan tari. Untuk memainkan suling-suling panjang ini cukup sulit, diperlukan tehnik permainan nafas dan keterampilan bermain suling selain juga kepekaan musikalitas yang tinggi.

Drama Tari Gambuh Berlinang Air Mata, Selengkapnya

Tabuh Kreasi Pepanggulan Gamelan Smarandhana “Lemayung”, Bagian II

Tabuh Kreasi Pepanggulan Gamelan Smarandhana “Lemayung”, Bagian II

Kiriman I Nyoman Kariasa, Dosen PS Seni Karawitan

4. Deskrepsi-Analisis

Sebagai komposisi karawitan Bali, Tabuh Kreasi Lemayung tetap menggunakan tiga konsep dasar yaitu konsep Tri Angga (kepala, badan, dan kaki) Kepala dalam hal ini karawitan Bali disamakan dengan kawitan dalam bentuk gineman. Tabuh kreasi Lemayung ini menggunakan model gineman dengan motif kalimat-kalimat lagu pendek yang dibawakan oleh masing-masing kelompok tungguhan yakni gangsa, reyong, kendang secara bergantian.  Disini pola tabuhan-nya sudah mulai keluar dari kebiasaan seperti terlihat pada pola kekendangan, pengrangrang trompong, dan gegenderan. Yang dimaksudkan dengan keluar dari kebiasaan adalah, jalinan pola kekendangan-nya memakai hitungan ganjil, menggantung dan putus pada  tengah-tengah hitungan. Pola kekendangan ini bagi pengendang yang mempunyai ketrampilan dan pengalaman terbatas akan terasa sangat sulit.  Pengrangrang trompong memakai dua model patet dan di tengah-tengah permainan diselingi oleh permainan gangsa dan reyong yang permainan reyong-nya diluar kebiasaan yakni memainkan reyong secara berundag-undang atau model stratapikasi dari nada tinggi ke rendah bergulung gulung seperti ombak di pantai. Pada segmen kedua permainan gineman trompong berganti patet bernuansa slendro dan memasukan instrumen violin yang alunan melodinya terkesan sangat sedih dan menyayat hati. Melodi ini juga dirangkai dengan memadukan pukulan nyogcag oleh tungguhan kantil yang menggambarkan kesedihan masyrakat “cilik”. Pada pola gegenderan memakai kotekan tungguhan gangsa dengan pembagian lima hitung pada satu pukulan kajar yang bisanya atau lazimnya dalam satu ketukan, kotekan-nya dibagi menjadi empat sub divisi.  Selain gangsa, reyong turut bermain dengan pola yang tidak lazim pula yaitu disamping memakai pola hitungan lima, reyong dibunyikan dengan memukul dan menutup secara bersamaan sehingga menghasilkan suara enek atau suara yang tidak los.

Selanjutnya dari bagian satu menuju kebagian dua dijembatani dengan sebuah kebyar pendek sebagai pertanda pergantian struktur dari kawitan ke  bagian pengawak. Bagian pengawak, tabuh ini bermain dalam pebedaan tempo dan hitungan pada tungguhan pembawa melodi dengan tungguhan garap yakni reyong dan gangsa. Dibentuk dengan kalimat lagu yang terdiri dari empat baris dalam satu gongan memakai patutan selisir. Setiap barisnya dilakukan penonjolan-penonjolan kolompok tungguhan secara bergantian. Perbedaan yang selaras ini mengasilkan harmoni  yang enak didengar dan dinamika yang dinamis  dengan penonjolan masing-masing kelompok tungguhan tadi. Permainan ini mengingatkan kita pada situasi pemilu yang masing –masing kelompak masyarakat saling berlomba mencari dukungan menonjolkan diri. Sehingga kelompok-kelompok masyarakat netral bingung dalam menentukan pilihan. Untuk mencari pengulangannya diselingi dengan satu kalimat lagu yang melodi dan ritmanya lebih lincah dan menggugah yang lazim disebut dengan pengelik. Bagian ini terjadi perpindahan patutan dari selisir ke patutan tembung. Pada tungguhan reyong dan gangsa dalam memainkan tabuhannya memanfaatkan nada-nada pemero untuk memperkaya ornamentasi dalam memainkan kotekan. Bagian kedua ini diulangi dua kali putaran dan langsung menuju ke bagian ke tiga.

Tabuh Kreasi Pepanggulan Gamelan Smarandhana “Lemayung”, Bagian II, selengkapnya

Televisi sebagai Konstruksi Realitas, Bagian II

Televisi sebagai Konstruksi Realitas, Bagian II

Kiriman Arya Pageh Wibawa, Dosen PS Desain Komunikasi Visual

Analisis

1. Iklan

Menurut Jeffkins (1997), iklan adalah cara menjual melalui penyebaran informasi, dimana merupakan suatu proses komunikasi lanjutan yang membawa para khalayak ke informasi terpenting yang memang perlu mereka ketahui. Dengan kata lain, iklan adalah suatu cara membicarakan hal-hal tertentu kepada khalayak ramai, sebagai calon konsumen, mengenai suatu produk, baik barang maupun jasa, melalui berbagai media komunikasi massa, baik cetak maupun elektronik, dengan bermacam metode untuk mempengaruhi atau mendorong masyarakat, sebagai calon konsumen, agar tertarik untuk membeli barang atau jasa tersebut. Sebagai contoh adalah iklan pemutih kulit Pond’s Flawless White. Secara tekstual, pencitraan yang diberikan adalah penyamarataan antara kulit yang putih dengan kecantikan. Hal ini dapat dilihat dari narasi yang dibangun berupa adanya ketertarikan pria hanya kepada wanita yang memiliki kulit yang putih. Secara wacana, iklan pemutih kulit pada wanita ini menunjukkan ketundukan seorang wanita terhadap kekuasaan pria, dimana dapat dilihat dari cara wanita yang harus mengubah warna kulitnya yang berwarna menjadi putih. Khalayak pemirsa diajak untuk beropini bahwa kulit yang putih adalah superior dan wanita diajak untuk mengganti warna kulitnya dengan warna putih. Ini adalah bentuk konstruksi realitas yang ada dimana menurut Wolf (2004), model pencitraan yang mensyaratkan perempuan bisa dikatakan cantik dengan harus putih dan langsing adalah merupakan mitos yang menghanyutkan. Dia menjelaskan bahwa mitos tersebut telah merusak perempuan dan membuat mereka terobsesi meraih citra ideal tentang kesempurnaan fisik. Bahkan tidak sedikit perempuan tega merusak diri sendiri karena terpenjara oleh mitos kecantikan tersebut. Mitos kecantikan perempuan adalah suatu bentuk destruktif dari kontrol sosial dan juga merupakan reaksi terhadap meningkatnya status perempuan, ketika perempuan kini lebih dihargai dan diperhitungkan secara profesional baik dalam dunia bisnis maupun politik.

2. Berita (News)

Klaus Jensen (1995) mengambil pendekatan kepuasan dalam menyimpulkan empat kegunaan berita bagi khalayak :

1.      Kegunaan dalam konteks, misalnya menonton televisi berita menjadi bagian dari ritual domestik, terutama laki-laki

2.      Kegunaan informasional, televisi berita mengikuti perkembangan yang terjadi di dunia

3.      Kegunaan legitimasi, memirsa televisi berita memberikan khalayak pemahaman terhadap kontrol atas pelbagai peristiwa dan pengertian berbagi makna perihal dunia bersama orang lain

4.      Kegunaan diversional, televisi berita seperti hiburan, ketika misalnya pemirsa menikmati mengikuti beberapa kisah yang tengah berkembang

Burton (2000) mendefinisikan berita menjadi :

1.      Berita sebagai genre, formula elemen kuncinya dibatasi oleh konvensi yaitu materi presentasi berita, nilai berita, dan kelayakan berita. Contoh sederhana adalah seperti liputan6 (SCTV), materi presentasinya adalah seputar kejadian yang sedang bahkan baru berkembang dengan penyajian gambar dan efek suara yang lebih bersifat formal, sorotan kamera serta narasi yang ditunjukkan adalah bersifat formal. SERGAP (RCTI), materi representasi yang dihadirkan adalah tentang seputar kejahatan yang meresahkan masyarakat dan lain sebagainya. Penyajian acara berita ini, agak sedikit mengarah ke informal dan bahkan menampilkan sosok selain pembaca berita yang dominan.

2.       Berita sebagai drama, berita bersifat dramatis dikarenakan watak sebuah cerita, seperti penceritaan tentang seorang satgas bencana yang sedang menolong korban bencana di suatu lokasi.

3.      Berita sebagai praktik profesional, ketika seorang wartawan mengklaim sebagai profesional seperti yang mereka lakukan

4.      Berita sebagai komoditas

Bertolak dari pemikiran marxis tentang produksi massal, tentang cara-cara di mana relasi sosial kekuasaan dikendalikan oleh kepentingan komersial atau determinisme ekonomi.

5.      Berita sebagai Wacana

Berita mengandung wacananya sendiri, didalamnya terdapat makna tentang apa berita itu, makna yang dihasilkan lewat cara penggunaan kode-kode didalamnya.

Televisi sebagai Konstruksi Realitas, Bagian II, selengkapnya

Tabuh Kreasi Pepanggulan Gamelan Smarandhana “Lemayung”, Bagian I

Tabuh Kreasi Pepanggulan Gamelan Smarandhana “Lemayung”, Bagian I

Kiriman I Nyoman Kariasa, Dosen PS Seni Karawitan

1. Pendahuluan

Lemayung adalah sebuah komposisi karawitan Bali yang menggunakan gamelan Smarandhana sebagai media ungkap. Komposisi ini berbentuk  tabuh kreasi pepanggulan. Sebelum membicarakan Tabuh kreasi pepanggulan, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu apa itu tabuh kreasi. Tabuh kreasi adalah komposisi karawitan Bali yang diaransir baru, kendatipun unsur–unsur materi tradisinya  masih sangat menonjol, yang dikreasikan adalah unsur–unsur musik yang melekat didalamnya seperti isi, teknik permainan, tempo, dinamika dan lain-lain. Sedangkan pepanggulan berasal dari kata panggul yang artinya alat untuk memukul gamelan. mendapat awalan pe– dan akhiran –an menjadikan kata “pepanggulan”.  Kata ini dalam karawitan Bali berarti menabuh memakai panggul yang lebih menekankan kepada tungguhan kendang.

Sebagai perbandingannya seperti adanya  Tabuh Kreasi Kekebyaran dan Tabuh Kreasi Lelambatan. Tabuh Kreasi Kekebyaran yaitu komposisi karawitan yang bentuk dan unsurnya diaransemen baru yang diilhami oleh pola-pola kekebyaran dan tentu saja  menggunakan Gong Kebyar sebagai media ungkap. Sedangkan Lelambatan Kreasi adalah komposisi karawitan yang mengkreasikan atau mengaransemen bentuk dan unsur- unsur tabuh lelambatan klasik sehingga nampak baru. Penggunaan tungguhan kendang dan trompong sangat menentukan jenis komposisi yang dimainkan. Tabuh Kreasi Kekebyaran menggunakan kendang gupekan (kendang yang dipukul dengan tangan) dan tidak menggunakan tungguhan trompong. Walaupun tungguhan ini digunakan dalam menyajikan tabuh kreasi, hal ini hanyalah sebagai kebutuhan estetis dan bukan berfungsi sebagaimana halnya dalam tabuh lelambatan selaku tungguhan penandan gending yang membawakan melodi. Dalam Tabuh Lelambatan kendang yang digunakan adalah kendang cedugan yaitu kendang yang ukurannya lebih besar dan menggunakan panggul untuk membunyikannya, dan tentu saja menggunakan tungguhan trompong yang  kehadirannya mencirikan  bahwa tabuh yang dimainkan adalah Tabuh Lelambatan.

Tabuh Kreasi Pepanggulan boleh dikatakan  mengadopsi atau diilhami oleh kedua jenis komposisi diatas.  Yang dimaksudkan mengadopsi disini adalah Tabuh Kreasi Pepanggulan menggunakan seluruh tungguhan yang ada dalam barungan Gong Kebyar termasuk trompong, kendang cedugan, bebende dan kempli, yang mana tungguhan ini merupakan tungguhan penentu dalam memainkan gending-gending lelambatan. Akan tetapi Tidak menggunakan bentuk, struktur, dan hukum-hukum lelambatan.   Sedangkan pengadopsian dari Tabuh Kekebyaran terletak pada motif pukulan instrumen garap seperti gangsa, kendang, dan reyong. Jadi Tabuh Kreasi Pepanggulan adalah komposisi karawitan yang menggunakan kaedah-kaidah lelambatan dan kaedah-kaidah kekebyaran dalam penggarapannya. Adapun pementasannya dalam ajang Festival Gong Kebyar, Tabuh Kreasi Pepanggulan digunakan untuk mengganti nomer Tabuh Lelambatan Kreasi. Di dilihat dari pola garap dan penyajiannya Tabuh Kreasi Pepanggulan lebih cendrung mengarah ke lelambatan.

2. Gamelan Semarandhana

Gamelan Smarandhana adalah sebuah barungan gamelan Bali yang dibuat pada tahun 1988 oleh seorang empu karawitan Bali yaitu I Wayan Berata. Pembuatan gamelan ini merupakan keberlanjutan dari Gamelan Genta Pinara Pitu yang mengabungkan antara gamelan Gong Kebyar yang merupakan gamelan berlaras pelog lima nada  dan gamelan Semar Pegulingan yang berlaras pelog tujuh nada. Secara tungguhan gamelan ini sama dengan gamelan Gong Kebyar. Hanya saja masing-masing tungguhan kelompok gangsa, reyong dan trompong (tungguhan melodik) mendapat dua tambahan nada pada angkep (oktaf) ke-dua.

Tabuh Kreasi Pepanggulan Gamelan Smarandhana “Lemayung”, Bagian I, Selengkapnya

Televisi sebagai Konstruksi Realitas, Bagian I

Televisi sebagai Konstruksi Realitas, Bagian I

Kiriman Arya Pageh Wibawa, Dosen PS Desain Komunikasi Visual

Pengantar

Televisi adalah salah satu bentuk mass media yang mempunyai pengaruh sangat besar dalam membentuk konstruksi realitas. Hampir sebagian besar waktu luang manusia dihabiskan di depan pesawat televisi. Sehingga dapat dikatakan bahwa televisi adalah salah satu bentuk dari budaya popular manusia. Menurut survey yang dilakukan (Allen, 1992) disebutkan bahwa khalayak di Inggris, misalnya, menghabiskan rata-rata lebih dari sepertiga jam terjaganya untuk menonton televisi. Di Amerika, rata-rata jam yang dihabiskan untuk menonton sekitar dua kalinya. Orang Amerika “rata-rata” akan menghabiskan lebih dari tujuh tahun menonton televisi (Kubey and Csikszent-Mihalyi, 1990). Bila dibandingkan dengan media-media lain, televisi bersifat istimewa karena kesediaannya yang lengkap. Dan ada sesuatu yang juga lebih spesial perihal program televisi ini, yang secara langsung terkait dengan representasi suatu kelompok sosial (Burton, 2000).

Program-program yang ditayangkan televisi cukup beragam. Mulai dari iklan sampai opera sabun. khayalak pemirsa tidak serta merta dapat langsung menterjemahkan program-program yang ditayangkan televisi. Seperti yang diungkapkan oleh Hall (dalam John Storey, 1996)

“kesalahanpahaman yang bersifat secara harfiah pastilah ada. Penonton tidak mengetahui istilah-istilah yang digunakan, tidak bisa mengikuti logika argumen atau penjelasan yang kompleks, tidak akrab dengan bahasa tertentu, menemukan konsep-konsep yang terlalu asing atau sulit atau dikelabui dengan narasi yang berbelit-belit. Namun, lebih sering para broadcaster risau bahwa khalayak gagal mengambil makna seperti yang mereka maksudkan. Apa yang sesungguhnya ingin mereka katakana adalah bahwa para pemirsa tidak beroperasi dalam kode yang ‘dominan’ atau yang lebih disukai”.

Pemahaman yang terjadi merupakan sebuah titik temu antara program dengan sekumpulan persepsi yang ada serta penilaian yang telah ada sebelumnya dalam benak pemirsa.

Setiap representasi yang dihadirkan lewat program-program televisi, merupakan bagian kompleks dari representasi lainnya. Misalnya representasi tentang kelelakian bisa juga merupakan bagian dari misalnya “suami” atau bisa juga berarti bahwa dalam program tertentu, merupakan sebuah gambaran tentang gender atau pekerjaan. Menurut Fairlough (1995), representasi dalam teks media boleh dikata berfungsi secara ideologis sepanjang representasi itu membantu mereproduksi hubungan sosial berkenaan dengan dominasi dan eksploitasi. Menurut pandangan marxis (Burton, 1999) berargumen bahwa media secara umum merepresentasikan pandangan konservatif tentang isu-isu sosial, dan merepresentasikan pelbagai nilai dan kepentingan orang-orang yang memiliki kekuasaan dalam masyarakat, yang biasanya menolak pandangan orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan (p.85). Menurut teori feminis, perspektif feminis tentang media dan masyarakat tertarik kepada bagaimana media dan masyarakat tertarik kepada bagaimana media mengonstruksi pandangan-pandangan tentang perempuan. Mereka tertarik pada pelbagai implikasi bagi sosialisasi melalui gender (p.87).  Teori postmodernisme lebih tertarik kepada pelbagai kesenangan dalam teks daripada efek-efeknya yang mungkin terhadap masyarakat (p.89). Menurut Burton (2000), representasi dapat dipahami tatkala berfungsi secara ideologis dalam memproduksi relasi sosial yang berbentuk dominasi dan eksploitasi. Dalam pandangan Burton ada beberapa hal yang perlu dimengerti berkaitan dengan representasi sehingga relasi sosial yang berwujud dominasi dan eksploitasi ini terbentuk, yaitu stereotip, identitas, perbedaan, pengalamiahan dan yang tidak bisa dilupakan pula adalah ideologi.

Proses melihat gambar televisi yang tersusun atas representasi-representasi adalah proses yang kompleks. Melihat bukan sekadar aktifitas visual. Tindakan melihat hanya merupakan bagian dari persepsi, yang dalam prosesnya harus memahami apa yang dilihat. Ada persoalan pengalaman budaya yang dihubungkan dengan penglihatan atau pencerapan ini. Menurut Burton (2000), melihat citra/gambar dalam televisi terbagi menjadi dua yaitu melihat sebagai sudut pandang kritis dan melihat sebagai posisioning spasial atau temporal. Melihat dengan sudut pandang kritis adalah menggunakan frasa berdasarkan posisi pemirsa namun terutama berdasarkan konotasi kritisnya. Stuart Hall (1977) menggambarkan tiga “sudut pandang” untuk melihat dengan sudut pandang kritis ini yaitu :

Televisi sebagai Konstruksi Realitas, Bagian I, Selengkapnya

Loading...