by admin | Feb 4, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Lenggang girang dan dendang ceria kini kembali membuncah pada tari Janger. Jika dulu tari jenis pergaulan Bali ini lazimnya dibawakan oleh kalangan muda-mudi, belakangan kaum bapak-bapak dan ibu-ibu pun bergairah majangeran. Bahkan seperti dapat kita saksikan di arena Pesta Kesenian Bali (PKB) atau dalam tayangan televisi, beberapa grup Janger seluruh penarinya ibu-ibu. Kelompok ibu-ibu Banjar Babakan, Sukawati, Gianyar, misalnya, pertengahan September lalu menyajikan tari Janger di bale banjar setempat, sebagian menjadi pemain pria, kecak.
Janger biasanya dibawakan sekumpulan remaja pria dan wanita dalam jumlah yang seimbang banyaknya. Unsur utama yang disajikan dalam seni pertunjukan ini adalah tari dan nyanyi. Sebelum seluruh penari muncul di arena pentas, secara klasik diawali dengan nyanyian dan tari perkenalan oleh seluruh pemain dalam sebuah formasi menghadap penonton. Dalam perkembangannya, tari Janger tidak hanya menari dan melantunkan koor yang bersahut-sahutan namun juga ditambahkan dengan tampilan cerita yang dibawakan oleh pemain khusus. Janger yang disertai drama ini disebut Janger Malampahan alias Janger berkisah.
Tari Janger sempat mengalami trauma berat. Itu terjadi setelah peristiwa kelam G30S/PKI pada tahun 1965. Pementasan Janger yang saat itu didaulat untuk mengumandangkan jargon-jargon partai politik, terjerembab menjadi seni yang bergidik. Tak sedikit para pegiat Janger yang pentas sebagai corong politik PKI dibunuh atau dikucilkan dalam pergaulan sosial hingga bertahun-tahun. Namun seiring dengan perjalanan waktu, sekitar tahun 1970-an, Janger mulai berani menggeliat. Janger menunjukkan eksistensi sebagai seni pentas hiburan yang merakyat namun tak jarang diganduli pesan-pesan pembangunan pemerintah Orde Baru.
Adalah Bung Karno, presiden pertama RI, begitu gandrung dengan tari Janger. Keriangan dan penuh semangat yang menjadi karakter tari ini menggugah presiden berdarah Bali itu memberikan perhatian dan dorongan terhadap perkembangan seni pentas ini. Saat konfrontasi Indonesia dan Malaysia pada tahun 1963, sekaa-sekaa Janger yang marak di seluruh Bali dengan lantang memekikan “Ganyang Malaysia!“, baik dalam bentuk lagu maupun dalam lakon yang melengkapinya. Janger sebagai ungkapan seni juga sering diusung Bung Karno ke Istana Tampaksiring sebagai seni pentas terhormat bagi tamu-tamu negara.
Diduga cikal bakal munculnya tari Janger berawal dari budaya agraris tradisional. Untuk mengibur diri dan menghilangkan penat saat bekerja atau panen, masyarakat petani di Bali suka bernyanyi-nyanyi, baik secara sendiri-sendiri maupun secara berkelompok saling berbalas. Adapun lagu-lagu yang banyak dikumandangkan adalah gending-gending dari ritual tari sakral Sanghyang yang merupakan ritus penolak bala. Pada tahun 1930-an Janger bermunculan dengan gending-gending kerakyatan yang dikembangkan dari koor para pelantun wanita dalam tari Sanghyang itu.
Kendati gending-gending-nya dikembangkan dari seni sakral, sejatinya kelahiran Janger adalah sebagai presentasi estetik semata, seni hiburan profan. Sebagi seni balih-balihan, tari Janger sering dipergelarkan untuk memeriahkan upacara keagamaan hingga tampil sebagai seni pertunjukan turistik. Namun ada pula komunitas-komunitas yang tak hanya memfungsikan Janger sebagai seni pentas hiburan semata melainkan juga menghormati dalam konteks sakral. Sebuah komunitas di Bangli misalnya memaknai secara takzim kesenian Janger-nya sebagai tari keramat yang disebut Janger Maborbor dengan ciri pentas kesurupan menginjak bara api.
Janger Bergirang Ceria Pasca Trauma G30S/PKI selengkapnya
by admin | Feb 3, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman : I Wayan Mudra, Dosen PS Kriya Seni FSRD ISI Denpasar.
Nama lengkapnya adalah I Made Rai Alit Sujana, seorang alumni Institut Seni Indonesia Yogyakarta Jurusan Seni Rupa Murni Program Seni Patung tahun 2004, lahir di Desa Munggu Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung. Karya-karya yang dibuat menampilkan wujud-wujud seperti patung Siwa, Ganesha dan lain-lain. Bahan yang digunakan adalah pasir dan semen menggunakan teknik cetak. Alit Sujana adalah seorang yang kreatif dan selalu berinovasi untuk menemukan sesuatu yang baru terkait dengan pengembangan kompetensinya dan aktif mengikuti berbagai pameran. Disadari dalam perwujudan bentuk patung Ganesa tidak terlalu banyak dapat diinovasi, maka inovasi inovasi dilakukan pada teknik pewarnaan untuk menampilkan kesan yang berbeda dengan patung Ganesa ada dipasaran, sehingga alternative pilihan terhadap konsumen menjadi lebih banyak. Bahan-bahan yang digunakan adalah seperti kuas, amplas, sikat kuningan, cat tembok, PK, semir lantai, gambir, cat prada, dll.
Jika lebih didalami tokoh Ganesha memiliki cerita yang menarik, sehingga sebagai pengetahuan perlu diketahui cerita tersebut. Ganesha adalah merupakan putra dari Dewa Siwa dengan Dewi Uma / Durga. Ganesha adalah putra yang sangat perkasa, para dewapun sangat hormat kepadanya. Ganesha kecil tidak mengenal wajah ayahnya dan belum memiliki kepala gajah. Adapun sebab ganesha memiliki kepala gajah adalah ketika dia ditugaska oleh ibunya Dewi Uma untuk menjaga Dewi Uma sedang mandi. Pada saat itu datanglah Dewa Siwa ingin bertemu dengan istrinya yaitu Dewi Uma. Karena gelisah tidak pernah melihat wajah ayahnya, Ganesha tidak percaya bahwa yang datang yaitu Dewa Siwa adalah ayah sendiri. Ganesha pun tidak mengijinkan Dewa Siwa menemui Dewi Uma serta mengusirnya. Karena merasa Ganesha adalah anaknya, Dewa Siwa masih bersabar dan pergi meninggalkan Ganesha kemudian Dewa Siwa mengutus para dewa-dewa yang lainnya untuk menasehati Ganesha. Tetapi Ganesha malah menghajar para dewa dan hal tersebut membuat Dewa Siwa sangat murka dan kembali mendatangi Ganesha, kemudian dipenggallah kepala Ganesha oleh Dewa Siwa menggunakan Trisula. Dewi Uma sangat marah kepada Dewa Siwa mendengar hal tersebut dan menyuruh Dewa Siwa untuk mengembalikan kepala anaknya dan menghidupkannya kembali. Kemudian Dewa Siwa mengutus Dewa Wisnu untuk turun ke bumi mencari pengganti kepala Ganesha, Dewa Siwa bersabda makhluk apapun yang pertama kali dijumpai sesampai di bumi itulah yang akan dijadikan pengganti kepala Ganesha. Di bumi Dewa Wisnu berjumpa dengan seekor gajah dan dipenggallah kepala gajah tersebut sebagai pengganti kepala Ganesha. Dari sanalah Dewa Siwa menganugerahkan kepada Ganesha sebagai Dewa utama, barang siapa yang tidak mengawali pemujaan tidak memuja Ganesha maka sulitlah doa-doanya tersebut terkabul.
Adapun atribut yang dibawa Ganesha ada 40 macam dan pada umumnya Ganesha menggenggam Parusa atau Kapak yaitu symbol Ganesha melindungi dengan Parusa-Nya pada jalan mulus dari kejahatan, Parusa jerat diibaratkan pikiran Ganesha yang luar biasa bagaikan jerat yang menarik mereka yang sangat dikasihi-Nya untuk mendekat dan menjauhkannya dari kepungan serta menyelamatkan yang tersesat. Padma, teratai Ganesha menghendaki seluruh pikiran menjadi potensi yang diajarkan oleh bunga teratai yakni yang muncul dari kedalaman Lumpur hingga pada pemekaran kuncup yang tinggi diatas permukaan Moda Kapatra atau semangkok manisan lambing dari apa yang paling dikasihinya yaitu moksa atau pembebasan, yang termanis dari segala yang manis. Demikian ceritra singkat Ganesha sebagai bahan pengetahuan.
Teknik-teknik pewarnaan yang diterapkan Alit Sujana pada patung Ganesha adalah :
1. Teknik Pewarnaan Menyerupai Batu Antik Kemerahan
Teknik pewarnaan ini menggunakan bahan seperti cat tembok berwarna hitam, merah, coklat tanah, semir lantai, dan cat prada. Tahap pertama teknik ini adalah mengecat patung dengan cat tembok hitam menggunakan kuas. Perlu diperhatikan cat tembok yang digunakan haruslah kental, dioleskan ke patung dengan cara di cok-cok hingga memunculkan tekstur kasar. Setelah selesai tahap tersebut kemudian proses pengecatan dilanjutkan dengan menggunakan cat tembok warna merah yang tidak terlalu tebal. Diatas warna merah kemudian dilapisi cat warna coklat tanah yang tipis untuk menimbulkan kesan antic. Tahap selanjutnya adalah menghaluskan dengan amplas ukuran medium secara merata sehingga muncul corak berbintik-bintik dari kombinasi lapisan cat tersebut. Pada bagian ornament patung seperti ukiran pada gelang, mahkota dan hiasan badan lainnya ditambahkan cat prada. Terakhir adalah melapisi patung dengan semir lantai sebagai penguat warna, menghindari patung dari jamur dan lumut juga menghindari pengelupasan.
2. Teknik Pewarnaan Menyerupai Batu Kali (Bulitan)
Teknik ini bertujuan menghasilkan warna patung yang menyerupai warna batu kali (Bahasa Bali: bulitan).Bahan yang digunakan adalah cat tembok warna hitam. Tahapannya adalah pertama patung dilapisi cat tembok warna hitam, setelah kering kemudian dipoles dengan campuran PK dengan minyak tanah. Berbeda dengan teknik pewarnaan yang pertama cat hitam dalam teknik ini tidak di cok-cok melainkan dioleskan biasa tidak terlalu tebal sehingga tidak bertekstur. Tahapan selanjutnya patung ditaburi dengan talk atau bedak tipis dan merata. Untuk menampilkan kesan halus, terakhir digosok hingga mengkilap menggunakan semir lantai.
3. Teknik Pewarnaan Menyerupai Tembaga Antik
Teknik pewarnaan ini untuk menghasilkan warna patung yang menyerupai tembaga antik. Alat yang digunakan : kuas dan sikat kuningan, dan bahannya adalah semir sepatu hitam, cat besi warna tembaga, dan thiner A. Tahapan kerjanya adalah pertama mencampur cat tembaga dengan thiner A diaduk merata. Kemudian patung di cat menggunakan campuran cat tersebut dan dioleskan secara merata. Setelah cat benar-benar kering dilanjutkan dengan mengoleskan semir sepatu berwarna hitam. Selanjutnya digosok menggunakan sikat kuningan, hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek mengkilap kekuning-kuningan dan menghilangkan jejak sapuan kuas pada waktu proses sebelumnya.
4. Teknik Pewarnaan Menyerupai Batu Antik Kehijauan
Teknik ini hampir sama dengan teknik yang pertama, yang berbeda adalah adalah penggunaan cat tembok warna merah diganti dengan cat tembok warna hijau.
PUSTAKA
Chinmayânanda Svâmî, 2002. Kejayaan Ganesha. Surabaya : Penerbit. Paramita.
Bandem, I Made, 1996, Etnologi Tari Bali. Denpasar : Penerbit. Forum Apresiasi Kebudayaan
DATA DIRI
1. Nama Lengkap |
: Drs I Wayan Mudra, MSn. |
2. Alamat Email |
: [email protected]
|
3. Nomor Rekening |
: PT. BPD Bali Kantor Cabang Kamboja,
No. 037 02.12.01300-6. |
4. Surat Pernyataan |
: keaslian artikel dan belum pernah dimuat dimedia online dan atau diberbagai jurnal ISI Denpasar. |
by admin | Feb 2, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Tari Gandrung mungkin sudah identik dengan kawasan ujung timur pulau Jawa, khususnya Banyuwangi. Namun jika ditelusuri, seni pentas yang digolongkan sebagai tari pergaulan ini sebenarnya juga dapat dijumpai di pulau Lombok dan Bali. Keberadaaan kesenian ini di tengah budaya Jawa Timur, Bali, dan Sasak, hadir dengan kekhasan dan keunikannya masing-masing. Hanya, jika di Banyuwangi tari Gandrung hingga kini masih bergelinjang mesra dan di Lombok tetap berlenggok riang, di Bali kesenian ini hampir punah.
Seni pertunjukan sejenis Gandrung banyak dijumpai di Nusantara. Kesenian ini masih satu genre dengan Ketuktilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di wilayah Banyumas dan Joged Bumbung di Bali, dengan melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik (gamelan). Penampilannya senantiasa disertai unsur-unsur erotisme seperti tampak dalam tari Ronggeng di Jawa Barat dan juga Joged Bumbung di Bali.
Dalam bahasa Jawa, ’gandrung’ berarti ‘tergila-gila’ atau ‘cinta habis-habisan’. Pada masa lalu, penari Gandrung memang banyak mengundang debur asmara kaum pria, padahal para penari Gandrung itu sendiri adalah laki-laki. Di Banyuwangi kesenian Gandrung pada awalnya dilakoni oleh kaum pria, setidaknya hingga tahun 1890-an. Baru pada tahun 1914 penari wanita dihadirkan setelah kematian penari pria terakhir, Marsam. Gandrung wanita pertama Banyuwangi bernama Semi, seorang gadis kecil yang sakit-sakitan yang berkaul jika sembuh akan menjadi penari Gandrung.
Berbeda dengan di Banyuwangi, di Bali hingga kini tari Gandrung masih dibawakan penari laki-laki. Salah satu grup seni pertunjukan Gandrung yang masih bertahan adalah Sekaa Gandrung Banjar Ketapian Kelod, Denpasar, masih mempertahankan penari pria. Kesenian Gandrung yang disakralkan oleh komunitasnya itu lebih menampilkan diri sebagai presentasi estetik. Melalui iringan musik bambu yang disebut gandrangan, Gandrung Bali menyuguhkan raga keindahan tari yang lazim dijumpai dalam tari klasik Legong Keraton.
Seperti di Banyuwangi, diduga kuat tari Gandrung di Lombok pada awalnya juga dibawakan oleh kaum pria. Gandrung Lombok yang kini lazim dibawakan kaum wanita itu masih eksis sebagai sajian profan, menampakkan karakter Bali dan Banyuwangi. Nuansa Bali tampak kental pada tata tarinya yang sebagaian besar memakai perbendaharaan gerak tari tradisional Bali. Unsur Banyuwangi dihadirkan dalam balutan busananya khususnya pada gelungan atau tutup kepalanya. Struktur penyajian Gandrung Lombok adalah bapangan, tangis, penepekan, dan pengibingan. Pada bagian pengibingan, penonton pria masuk ke arena pentas berpasangan dengan sang penari. Urut-urutan penampilan Gandrung Lombok tersebut hampir sama dengan tari Joged Bumbung di Bali dimana bagian terakhir, pengibingan, yang paling ditunggu-tunggu partisipan pria dan penonton pada umumnya.
Interaksi fisik antara penari Gandrung dengan partisipan pria juga menjadi bagian utama pementasan Gandrung Banyuwangi. Struktur penyajian konvensional Gandrung Banyuwangi memang diurut menjadi tiga yaitu jejer, maju, dan seblang subuh. Jejer adalah bagian yang merupakan pembuka seluruh pertunjukan Gandrung dimana penari menyanyikan beberapa lagu dan menari secara solo. Para tamu yang umumnya laki-laki hanya menyaksikan dengan tenang. Maju atau ngibing adalah bagian terheboh yang berlangsung hingga larut malam bahkan sampai menjelang subuh. Dalam perkembangannya belakangan, bagian seblang subuh yang merupakan semacam ritual magis sering tak ditampilkan.
Banyuwangi Hormati Erotisme Gandrung selengkapnya
by admin | Feb 1, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Sudiatmika, mahasiswa PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Sebelum penulis menguraikan mengenai sejarah Gamelan Gong Kebyar yang ada di Br.Batannyuh Belayu, penulis akan sedikit mengulas kemunculan Gamelan Gong Kebyar. Gamelan – gamelan Bali khususnya tentang Gong Kebyar sudah banyak ada yang melakukan untuk diteliti, baik oleh para penulis dalam negeri ataupun penulis asing. Namu masalah asal mula Gamelan Gong Kebyar belum dapat terungkap secara jelas dan lengkap. Untuk mengungkap dan menguraikan asal mula Gamelan ini memang merupakan tugas yang tidak begitu mudah. Penulis menyadari begitu sulitnya menelusuri asal mula daripada gamelan ini, yang mana disebabkan sangat sedikitnya terdapat data – data mengenai asal mula gamelan ini, terutama data – data tertulis yang dapat dijadikan pegangan menelusuri asal mula gamelan ini lebih lanjut. Data – data yang berhasil dikumpulkan hanyalah besifat informasi.
Gamelan Gong Kebyar yan apabila dilihat berdasarkan skema semua dari pada semua jenis gamelan Bali yang ada di Bali dimana di dalam skema itu terdapat gamelan golongan tua, golongan madya dan golongan baru/muda. Nampak secara jelas bahwa Gamelan Gong Kebyar adalah tergolong gamelan Bali yang sangat muda usianya, temasuk kelompok gamelan Bali baru. Disini sedikit lebih tua dari gamelan jejangeran jejogedan dan lain sebagainya yang sama – sama tergolong kolompok gamelan Bali Baru.
Sejarah Gamelan Gong Kebyar di Br. Batannyuh
Pada awal adanya atau terbelinya Gamelan Gong Kebyar di Br. Batannyuh yaitu pada tahun 1996. Sumber – sumber yang didapatkan oleh penuli yaitu dari I Wayan Windia, beliu juga adalah seorang seniman karawitan Bali, sekarang umur beliau sudah hamper menginjak kepala 7.
Beliau menceritakan bahwa alasan dibelinya gamelan ini yaitu tidak lain karena sangat pentingnya peranan gamelan di Bali dan khususnya di Br. Batannyuh sebagai sarana Upacara Yadnya dan sarana hiburan bagi masyarakat sekitar.Dan beliau juga mengatakan gamelan yang ad di Br. Batannyuh ini sudah banyak masa – masa perkembangan dan perbaikan. Pada tahun 1996 gamelan tidak berisi ugal dan penyahcah yang sering disebut dengan istilah gong mini, namu seiring berjalannya waktu satu persatu instrument gamelan ini ditambahkan atau dilengkapi sehingga sampai saat ini terdapatlah barungan Gamelan Gong Kebyar yang lengkap di Br. Batannyuh saai ini. Gamelan ini biasanya dimainkan hanya pada hari – hari tertentu saja, misalnya pada saat Upacara Yadnya, untuk pementasan dan latihan – latihan bagi generasi penerus.
Berdasarkan uraian – uraian di atas beserta argumentasi sebagaimana dikemukakan di atas kiranya telah dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keberadaan atau di belinya barungan gamelan Gong Kebyar di banjar batannyuh yaitu sekitar tahun 1996 dan bentuk – bentuk tabuh kekebyaran sudah diciptakan pada tahun tersebut yang juga di pelopori oleh I Wayan Windia.
Sejarah Gamelan Gong Kebyar Di Banjar Batannyuh Belayu selengkapnya
by admin | Jan 31, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman I Kadek Ari Irawan, Mahasiswa PS Seni Karawitan.
Asal Mula
Untuk mengungkap sejarah asal mula suatu kesenian seperti seni gong kebyar di Desa Petang, sungguh tidak mudah. Kesulitan-kesulitan yang menyebabkannya adalah kurangnya data-data mengenai gamelan tersebut dan hampir tidak ada data-data tertulis yang memuat tentang gamelan gong kebyar tersebut.
Namun demikian dari beberapa informasi yang penulis hubungi, telah berhasil penulis kumpulkan sejumlah informasi baik dari anggota sekaa maupun informan-informan luar yang mampu memberikan keterangan mengenai data-data tentang asal mula dari gamelan gong kebyar ini.
Misalnya : I Gusti Made Ardana yang menjadi anggota sekaa gong di Desa Petang (wawancara pada tanggal 20 September 2010 di rumahnya banjar Petang Tengah) menerangkan bahwa gamelan gong kebyar yang ada di Desa Petang sekarang merupakan due pura Pucak Manik di Desa Petang. Karena Gamelan Gong Kebyar tersebut memang ada sejak dulu tetapi hanya ada beberapa tungguh gamelan yaitu yang sayatau kantil yang bentuk bilahannya yang istilah balinya metundu klipes, kekurangannya di buatkan di tiyingan klungkung sekitar tahun 1985, gong kebyar yang ada di Desa Petang, dulunya yang pernah dipinjam-pinjam oleh Puri Petang jadinya waktu itu belum tau siapa yang mempunyai gong tersebut, antara due Pura dan Puri Petang. Semenjak I Gusti Dipta menjadi kelian Desa, bingung menentukan gong kebyar tersebut, dan akhirnya ditetapkanlah gong tersebut due Pura Pucak Manik Petang dan dimintakan nama di Geria Kemenuh gong dan sekaanya dinamakan sekha gong Citra Gopta Petang dan kelian gong pertama pada waktu itu Anak Agung Gede Santaka, pelawah gong tersebut pada waktu itu masih polos belum diukir maupun di prada dan diprakarsai oleh I Gusti Dipta, pada ktu itu gong tersebut mengalami perkembangan dicarikanlah tukang ukir dari Blayu Tabanan yang bernama bapak Gunawan, akhirnya sekha gong tersebut benar-benar menjaga gong tersebut di bawah naungan Desa Adat Petang sampai sekarang, karena dulu sekaa tersebut belum melembaga dan sekarang gamelan tersebut di prada pada tahun 1996, dananya diperoleh dari sumbangan-sumbangan dan sekarang Desa Petang terjadi pemekaran pada tahun 2001 karena jumlah penduduknya sudah meningkat, sekarang Desa Petang tersebut menjadi 3 banjar yaitu : banjar Petang Kaja, banjar Petang Tengah, banjar Petang Kelod dan gong kebyar tersebut dimiliki ketiga banjar tersebut boleh dipakai oleh ketiga banjar tersebut. Disaat ada upacara agama atau piodalan di desa petang
Demikianlah secara singkat dapat diungkapkan tentang sejarah gamelan gong kebyar di Desa Petang.
Fungsi Dalam Upacara Agama
Kesenian Bali seni karawitan (gamelan) seni tari dan seni vocal (tembang) kesemuanya tidak bisa lepas dari upacara keagamaan (Agama Hindu) dalam uraian buku seni sacral dalam hubungannya dengan agama hindu di jelaskan sebagai berikut :
Seni Wali (Socred, relijius yaitu seni yang dilakukan di Pura-Pura dan di tempat-tempat yang ada hubungannya dengan upacara keagamaan sebagai pelaksana upacara dan upakara agama.
Bentuk Alat
Gamelan gong kebyar merupakan seperangkat gamelan yang dipergunakan untuk mengiringi upacara keagamaan khususnya agama Hindu dan mengiringi tari-tarian. Instrumen-instrumen gamelan gong kebyar di Desa Petang terdiri dari sebuah terompong, satu buah riong, dua buah ugal, empat buah ganse, empat buah kantil, dua buah jegog, dua buah jublag, dua buah kendang, satu buah ceng-ceng, satu buah kajar, satu buah kempli, dua buah gong, satu buah kempur, satu buah klemong, dan satu buah bende.
Sejarah Gamelan Gong Kebyar Di Desa Petang selengkapnya
by admin | Jan 28, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Arya Pageh Wibawa, Dosen PS Desain Komunikasi Visual
I. Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk sosial tentunya akan berinteraksi satu dengan yang lainnya. Interaksi adalah sebuah bentuk komunikasi. Macam-macam komunikasi sebagai bentuk interaksi manusia terdiri dari intrapersonal, interpersonal, kelompok kecil (small group), publik komunikasi, mass komunikasi (adler, 2006, p.6-8). Pembagian ini merupakan berdasarkan jumlah orang yang berkomunikasi, dimana tentunya mass komunikasi merupakan jumlah terbesar orang dimana memerlukan media yang harus memediasi komunikasi diantara mereka. Media yang mereka gunakan biasanya disebut mass media seperti koran, majalah, televisi, radio dan sebagainya.
Mass media berasal dari dua kata yaitu “mass” dan “media”. Mass mengacu pada penerimaan media secara besar-besaran (massive) seperti televisi, film dan sebagainya (Laughey, 2007, p. 1). Media merupakan bentuk jamak dari kata medium yang pada dasarnya adalah sarana teknis atau fisik untuk merubah pesan menjadi sinyal yang dapat ditransmisikan melalui saluran tersebut (Fiske, 1990, p.29). Sehingga mass media adalah no interaction among those co-present can take place between sender and receivers (tidak adanya interaksi diantara kehadiran media-media tersebut yang dapat mengambil tempat antara pengirim dan penerima) (Luhmann, 2000, p.2). Media bisa dibagi-bagi menjadi tiga kategori dasar (Danesi, 2002, p. 8) yaitu medium alami, medium buatan dan medium mekanis. Medium alami yaitu yang memancarkan gagasan dengan cara berbasis biologis (suara, ekpresi wajah, gerakan tangan, dan sebagainya). Medium buatan yaitu bagaimana gagasan direpresentasikan dan dikirimkan menggunakan satu artefak tertentu (buku, lukisan, patung, surat dan sebagainya). Medium mekanis, bagaimana gagasan dikirimkan menggunakan peralatan mekanis temuan manusia seperti telepon, radio, pesawat televisi, komputer, dan sebagainya.
II. Sejarah Perkembangan Media
Sebelum munculnya mass media yang ada sekarang manusia menurut sejarahnya menggunakan bahasa lisan dalam berkomunikasi. Bahasa lisan berbentuk tutur yang bersifat mitologis. Mitos-mitos lisan yang pertama adalah “teori tentang dunia” yang dikenal sebagai kosmogonik, kisah-kisah ini memiliki fungsi dalam menjelaskan bagaimana dunia terbentuk dan peran apa yang diberikan kepada manusia dalam tatanan kosmologis yang ada (Danesi, 2002, p.67).
Bahasa tulis muncul pada awalnya dipakai untuk merepresentasikan kisah-kisah karakter, dan simbol mitis. Piktograf sebagai awal munculnya bahasa tulis ditemukan datang dari zaman neolitik di Asia Barat. Mereka adalah bentuk-bentuk dasar pada benda-benda tanah liat yang mungkin dipakai untuk membuat cetakan pembuat citra (Schmandt-Besserat, 1978). Pemakaian yang teratur untuk pelbagai fungsi praktik sosial adalah yang dipakai di dalam sistem Sumeria sekitar tahun 3500 SM. Ini adalah sistem yang sangat luwes karena didalamnya terdapat tanda-tanda gambar yang dipakai untuk suatu pengertian abstrak seperti “tidur” direpresentasikan dengan gambar seseorang yang sedang telentang. Piktograf yang dipakai untuk merepresentasikan abstraksi kemudian akan lebih tepat disebut sebagai ideograf. Ideograf Sumeria disebut sebagai “cuneiform” yang artinya “berbentuk baji”. Kemudian Mesir sekitar tahun 3000 SM menggunakan sistem piktograf yang dikenal dengan nama “Hieroglif” yang dipakai untuk pelbagai fungsi-fungsi sosial, untuk mencatat nama-nama serta gelar para tokoh dan dewa. Tata penulisan Hieroglif pada tahun 2700 SM diganti menjadi bentuk yang dikenal “hieratik” ini dilakukan dengan menuliskan pena jerami tumpul dan tinta pada sebuah papyrus (awal dari penemuan bahan kertas), bukan pada kepingan tanah liat atau pada dinding.
Ketika piktografik menjadi semakin dipakai luas didalam peradaban kuno, lambat laun ia menjadi sistem yang semakin canggih, dengan cirri-ciri gambar yang semakin “padat”, sehingga bisa digunakan dengan lebih efisien. Dari perkembangan ini, terkristalisasilah sistem alphabet sejati. Alphabet adalah sistem simbol abstrak yang disebut huruf atau karakter, yang tidak mewakili seluruh konsep, melainkan bunyi-bunyi yang menyusun kata-kata. Alphabet ini merupakan capaian yang luar biasa. Ia memungkinkan dilakukannya perekaman secara efisiensi, pengabadian, dan penghantaran pengetahuan dalam bentuk buku. Seperti diungkapkan McLuhan (1964), kemelekhurufan buku merupakan sumber dari istilah obyektifitas. Tidak seperti nenek moyangnya yang melakukan komunikasi secara lisan, masyarakat-masyarakat yang sudah melek huruf cenderung memahami pengetahuan dan gagasan sebagai sesuatu yang terpisah dari yang memberikannya, dan dari sini mereka melihat bahwa sistem pengetahuan adalah kumpulan data obyektif yang mandiri.
Kajian Relasi Desain Dan Media, Selengkapnya