by admin | Feb 14, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman : Drs. I Wayan Mudra, PS Kriya Seni FSRD ISI Denpasar.
Men Brayut adalah tokoh seorang ibu dalam ceritera klasik masyarakat Bali yang melahirkan anak banyak bahkan sampai 18 orang. Karena kegigihannya, ibu ini berhasil membesarkan anak-anaknya. Ceritra ini telah lama menjadi ikon seorang ibu beranak banyak bagi masyarakat Bali. Ceritra Men Brayut tidak lekang oleh waktu, kisahnya selalu menjadi model pembicaraan bagi masyarakat Bali dari waktu kewaktu dari generasi kegenerasi. Namun penulis belum menemukan kisah ikon Men Brayut dalam uangkapan drama, tari, seni rupa, maupun dalam pemestasan lainnya.
Tokoh Men Brayut pada kondisi jaman sekarang sering dipakai sebagai contoh seorang ibu yang tidak patut ditiru karena beranak banyak yang berarti menyusahkan hidup keluarga. Kondisi saat ini ada yang mengganggap seorang ibu mempunyai 2 orang sudah, kemudian ikut program Keluarga Berencana sebagai solusi mensejahterakan keluarga. Dengan model seperti ini tujuan hidup yang lebih baik pada sebuah keluarga diharapkan lebih baik. Dengan beranak 2 orang pasutri berharap kebutuhan sandang, papan dan pangan seorang anak akan terpenuhi. Beban hidup yang semakin berat membuat tokoh Men Brayut semakin jauh dari peradaban kondisi jaman sekarang.
Pemahaman masyarakat terhadap tokoh Men Brayut di atas hanya dilihat dari sisi yang negatif saja yaitu beranak banyak yang tidak sesuai dengan kondisi jaman sekarang. Namun sebetulnya ada sisi positif yang perlu diteladani, yaitu kegigihannya dalam membesarkan anak-anaknya sehingga menjadi anak yang berhasil. Sisi ini yang tidak banyak ditiru oleh kebanyakan orang saat ini, bukti nyata dilapangan walaupun pasutri beranak 2 orang, namun mereka tidak mempunyai kegigihan untuk membela anak-anaknya dalam urusan kelangsungan pendidikan untuk hari tuanya. Mereka lebih banyak menyerah pada kondisi dan situasi lingkungannya. Akhirnya banyak anak-anak yang terlantar dan putus sekolah. Hal ini tidak perlu terjadi karena sebetulnya dia mampu kalau kegigihannya ada. Kadang terlihat prilaku yang kontradiksi dalam keluarga untuk hal-hal yang menyenangkan yang sifatnya memuaskan jasmani atau rohani keuangannya sedapat mungkin diusahakan. Namun sebaliknya untuk keperluan sekolah dan pengembangan anak usahanya menjadi kendor dengan alasan tidak ada biaya.
Dalam penciptaan karya keramik ini kami bermaksud mengungkapkan tokoh Men Brayut dalam wujud patung. Patung yang direncanakan bentuknya akan disesuaikan dengan kondisi bahan tanah liat sebagai media pembentuknya. Kami membayangkan keunikan seorang ibu dengan anak yang banyak dengan berbagai ekspresi seperti menangis, tertawa, dan lucu, dapat divisualisasikan dalam sebuah karya. Bentuk patung akan lebih banyak berfungsi sebagai media hias dalam suatu ruang, dan beberapa karya diselipkan fungsi praktisnya. Jadi penggarapan karya lebih dominan perencanaannya sebagai media hias, fungsi hanya sebagai pelengkap saja. Dari karya ini kami berharap image Men Brayut tidak dipandang dari sisi negatif saja namun juga dari sisi positifnya. Dari karya ihi juga kami berharap supaya tumbuh karya-karya patung dengan media keramik, untuk lebih meningkatkan khasanah seni patung di Bali khususnya. Karena belum banyak dibuat patung-patung keramik yang bersumber dari budaya kekhasan Bali.
Kami menemukan kesulitan dalam mendapatkan pustaka yang memuat khusus ceritera tentang Men Brayut. Namun demikian ternyata dari penelusuran beberapa sumber ceritra Men Brayut tersebut telah puluhan tahun lalu dikenal oleh masyarakat Bali dan banyak dikaitkan dengan pola pengasuhan anak. Seperti yang dikutif pada peringatan Hari Ibu 22 Desember 1939 di Denpasar, berikut ini.
Hari Ibu yang jatuh tiap 22 Desember untuk pertama kalinya diperingati pada Sabtu, 23 Desember 1939, di Gedung Taman Siswa, Denpasar. Peringatan Hari Ibu pertama di Denpasar diprakarsai oleh organisasi Peroekoenan Isteri Denpasar (PID), sementara yang ditunjuk sebagai ketua panitia adalah Nyonya Ida Bagoes Geredeg. Informasi tentang peringatan Hari Ibu yang dilaksanakan pertama kali di Denpasar ini bisa diketahui dari artikel berjudul “Peringatan Hari Iboe” yang dimuat majalah Djatajoe (terbit di Singaraja) edisi 25 Januari 1940. Artikel ini merupakan sambutan Nyonya Ida Bagoes Geredeg, yang dibacakan pada resepsi peringatan Hari Ibu tersebut.
“Men Brayut” Sumber Inspirasi Karya Patung Keramik Kreatif selengkapnya
by admin | Feb 13, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan
Eksotisme tentang sebuah pentas seni komunal yang dulu dapat disimak dalam rangkaian hari suci Galungan, kini selalu mengundang romantisme. Pentas seni nomaden yang dikenal dengan ngelawang itu, di masa lalu, memang pernah mengkristal menjadi peristiwa kesenian yang mewarnai Galungan bahkan tetap meriah hingga ritual Kuningan. Tetapi belakangan, pertunjukan keliling yang mementaskan puspa ragam seni tradisi Bali itu telah digerus perubahan zaman. Seperti tampak pada Galungan pertengahan Mei ini, begitu sulit memergoki sekaa-sekaa seni pertunjukan tampil penuh keintiman di tengah masyarakat.
Ngelawang memiliki makna melanglang lingkungan. Pada awalnya ngelawang adalah sebuah ritus sakral magis yang disangga oleh psiko-relegi yang kuat. Benda-benda keramat seperti Barong dan Rangda misalnya diusung ke luar pura berkeliling di lingkungan banjar atau desa yang dimaknai sebagai bentuk perlindungan secara niskala kepada seluruh masyarakat. Kehadiran benda-benda yang disucikan itu ditunggu dan disongsong dengan takzim oleh komunitasnya. Penduduk yang dapat memungut bulu-bulu Barong atau Rangda yang tercecer, dengan penuh keyakinan, menjadikannya obat mujarab atau jimat bertuah.
Tradisi ngelawang dalam konteks sakral magis sebagai persembahan penolak bala itu juga bermakna sama pada pentas ngelawang Galungan. Namun dalam perjalanannya, masyarakat Bali yang kreatif tak hanya ngelawang mengusung benda-benda sakral namun dibuat tiruannya untuk disajikan sebagai ngelawang tontonan. Dalam tradisi ngelawang Galungan tersebut, bentuk-bentuk seni balih-balihan seperti Arja, Janger, atau Joged misalnya juga dapat disaksikan masyarakat sebagai hiburan. Masyarakat yang haus hiburan menstimulasi pentas ngelawang menjadi wahana berkesenian yang konstruktif dan apresiatif.
Sebagai seni tontonan, ngelawang adalah suguhan seni pentas yang serius tapi juga santai. Untuk mengapresiasinya penonton tidak harus duduk kaku, namun bisa jongkok, berdiri atau bergelayutan, bersentuhan dan bergesekan sembari menikmati alam bebas. Hampir tak ada jarak antara pelaku seni dengan penonton, semua lebur dan menyatu. Kehadiran seni pentas ini tidak terikat oleh tempat, ruang dan waktu. Pertunjukan tari Topeng misalnya bisa terjadi di bawah pohon besar yang rindang, pementasan Barong bisa digelar di tepi sungai, drama tari Arja bisa hadir di jalan umum atau bahkan di tengah keramaian pasar. Ia bisa dijumpai pada sore atau malam hari dan mungkin juga di pagi hari.
Atmosfer pentas seni tontonan nan komunal kini telah sayup-sayup. Begitu pula ngelawang dalam konteks sakral-magis agaknya semakin redup. Pada tahun 1970-an, aura magis ngelawang itu masih berbinar. Rumah-rumah penduduk sekonyong-konyong didatangi misalnya oleh Barong Kedingkling. Figur-figur topeng yang bersumber dari cerita pewayangan Ramayana ini disongsong dengan antusias oleh seisi rumah. Diawali dengan sepotong tembang, misalnya tokoh punakawan Malen dan Merdah, lalu disusul tokoh Subali dan Sugriwa menari semenit dua menit di halaman merajan. Selesai. Kendati singkat, umumnya masyarakat senang dan percaya aura ritual-magis yang dipancarkan ngelawang Galungan itu akan memberikan keselamatan dan perlindungan.
Hasrat hidup damai dan terlindung dari segala bencana tersebut itulah kiranya yang menjadi akar ngelawang. Diduga, ngelawang berkiblat dari sebuah mitologi Hindu, Siwa Tatwa. Alkisah ketika Dewa Siwa dan Dewi Uma bercinta tidak pada tempat dan waktunya, harmoni terguncang. Akibatnya adalah kesengsaraan bagi umat manusia dan makhluk hidup yang lainnya. Sadar akan kekhilapannya itu, Dewa Siwa mengutus para dewa untuk menenangkan dan menenteramkan kembali seisi alam. Setiba di bumi, para dewa itu menciptakan dan mementaskan beragam bentuk kesenian. Lewat kasih pagelaran seni itu seisi jagat kembali damai. Makna ruwatan dalam mitologi Siwa Tatwa tersebut juga senafas dengan kandungan tolak bala dalam legenda hancurnya keangkaramurkaan Mayadanawa yang kemudian disyukuri atau jadi pijakan awal Galungan, perayaan kemenangan dharma atas adharma.
Eksotisme Ngelawang, Romantisme Usang selengkapnya
by admin | Feb 11, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman I Gusti Ngurah Jaya Kesuma, Mahasiswa PS Seni Karawitan
Tari Legong Keraton adalah salah satu tari kelasik yang dipercaya sebagai sumber inspirasi munculnya tari-tari kreasi baru di Bali. Tari Legong adalah berasal dari desa Sukawati, yaitu di Puri Paang Sukawati. Dari Sukawati legong berkembang kebergagai pelosok desa di Bali seperti; di Puri Agung desa Saba ( sekarang di Puri Taman Saba), di Peliatan, di Bedulu, di Benoh Denpasar, dan lain sebagainya. Di desa Saba yaitu di Puri Saba tari legong keraton, menurut I Gusti Gede Raka sudah ada sekitar tahun 1911, dibawah pimpinan serta asuhan I Gusti Gede Oka yang bergelar Anak Agung di desa Saba, yaitu kakek beliau sendiri.
IGusti Gede Oka dengan membawa calon penari datang ke Sukawati, belajar tari legong di desa Sukawati yaitu di Puri Paang, dengan guru tarinya pada waktu itu adalah Anak Agung Rai Perit. Di atas tahun 1920-an kepemimpinan sekha legong di Saba yang juga merangkap sebagai pelatih dan pembina seka legong di Saba adalah putra beliau bernama I Gusti Bagus Jelantik sampai tahun 1940-an, yang mana beliau juga belajar di Puri paang Sukawati. Di atas tahun 1945-an kepemimpinan sekha legong yang juga merangkap sebagai pelatih dan pembina adalah I Gusti gede Raka yaitu keponakan dari I Gusti Bagus Jelantik, yang lebih dikenal dengan sebutan Anak Agung Raka Saba, karena beliau adalah orang Puri.
Tari Legong Keraton Saba dibawah binaan Agung Raka membawa nama tari Legong Keraton Saba sangat terkenal diseluruh Bali, dan juga di manca negara. Sekha Legong Keraton dibawah asuhan Agung Raka, sering melanglang buawana ke luar negeri, seperti misalnya; ke Italy, Jerman, London, Prancis, di bawah pimpinan langsung Agung Raka. Tahun 2000 Agung Raka meninggal dunia, dan selanjutnya kesenian di Saba di teruskan oleh anaknya yaitu I Gusti Ngurah Serama Semadi, yang lebih dikenal dengan sebutan Anak Agung Ngurah Rai Saba, sebutan ini adalah karena orang Puri. Keberadaan legong Saba tetap seperti sebelumnya, dan selalu membentuk regenersi demi tetap eksisnya legong Keraton Saba. Agung Rai ikut membantu ayahnya mengajar Legong sejak tahun 1980-an sampai sekarang.
Di Saba ada beberapa jenis Legong dilihat bdari judul yang digunakan, yaitu : 1. Legong Keraton Lasem, 2. Legong Keraton Sudarsana, 3. Legong Keraton Candrakanta, 4. Legong Keraton Semara Dahana, 5. Legong Keraton, Kupu-Kupu Tarum, 6. Legong Keraton Kuntir (Kutir), 7. Legong Keraton Legod Bawa, 8. Legong Keraton Bapang, 9. Legong Keraton Jobog. Semua jenis Legong ini pernah ada di Saba, tetapi sekarang yang biasa dipentaskan adalah Lasem, Jobog, Semara Dahana, Bapang, Sudarsana, dan Candrakanta.
Adapun beberapa jenis legong ini juga diajarkan di SMK. Negeri 3 Sukawati, seperti misalnya : Legong Lasem, Legong, Kuntir, Legong Bapang dengan memakai gaya yang memang ada di KOKAR yang sekarang bernama SMK. Negeri 3 Sukawati. Menurut I Gusti Gede Raka (Alm), Legong memang berasal dari Sukawati, tetapi setalah berkembang ke Saba, ke Peliatan, ke Badung, dan yang lainnya, maka akhirnya muncul stile-stile yang kemudian menjadi ciri khas daerah masing-masing. Selajutnya I Gusti Gede Raka mengatakan legong yang didapatkan di Sukawati adalah; Legong Lasem, Kuntir, Kupu-kupu Tarum, Jobog. Jenis Legong seperti; Legong Sudarsana, Semara Dahana, Legod Bawa, Candrakanta adalah lahir di Saba.
Sejarah Singkat Legong Keraton Saba selengkapnya
by admin | Feb 9, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Ida Bgs. Gede Surya Peradantha, S.Sn*.
Sejarah berdirinya sanggar
Kedekatan seorang dalang I Wayan Nardayana dengan dunia seni, khususnya pewayangan sesungguhnya telah dimulai ketika ia masih duduk di kelas 5 SD. Dahulu, di desanya yaitu Desa Belayu, pernah ada 3 grup kesenian wayang yang beranggotakan setidaknya 6-9 orang pemain anak-anak. Salah satunya adalah grup wayang yang ia dirikan bersama teman-teman sebayanya yang bergelut di dunia wayang kulit. Grup ini didirikan berkat kesamaan hobi, kecintaan pada dunia kesenian dan karena memang di daerah setempat hanya ada kesenian wayang yang cukup digemari kala itu. Grup Nardayana ini sering melakukan pentas keliling yang diundang oleh orang yang punya hajatan, misalnya acara pernikahan. Upah yang diberikan waktu itu sebesar 100 rupiah.
Dari 3 grup yang ada saat itu, 2 di antaranya bubar dan hanya grup Nardayana yang berhasil bertahan. Sayangnya, menanjak ke kelas 6 SD, wayang-wayang dari karton yang ia buat bersama teman-temannya dibakar oleh orang tua Nardayana. Hal ini dikarenakan nilai rapor sekolahnya yang selalu merah karena tak pernah belajar. Namun demikian, ia bertekad suatu saat kelak, ia ingin kembali membuat grup kesenian yang bergelut di dunia pewayangan. Inilah cikal bakal ia mendirikan Sanggar Seni Cenk Blonk Belayu yang ada sekarang.
Sanggar seni Cenk Blonk Belayu, merupakan sanggar seni yang bergelut di bidang pewayangan, khususnya wayang kulit Bali. Sebelum bernama sanggar Cenk Blonk Belayu, sanggar ini sempat bernama Sanggar Seni Gita Loka (nyanyian alam) yang didirikan tahun 1992 oleh I Wayan Nardayana. Saat itu, tokoh punakawan yang menjadi sentral pementasan yaitu Nang Klenceng (Cenk) dan Nang Ceblong (Blonk) belumlah dimunculkan. Gaya pewayangan yang dianut pada saat itu masih bersifat tradisional bali dan belum mengenal tata lampu serta sound system seperti sekarang.
Baru pada tahun 1995, nama sanggar seni Gita Loka diganti menjadi sanggar seni Cenk Blonk Belayu. Hal ini berawal ketika beliau mulai memperkenalkan tokoh punakawan Nang Klenceng dan Nang Ceblong kepada khalayak. Puncaknya terjadi ketika dalang Nardayana sedang melakukan pementasan di daerah Jempayah, Mengwi. Saat beliau sedang beristirahat di mobil sembari menunggu crew beliau mempersiapkan layar dan setting panggung, beliau mendengar percakapan penonton dimana salah satunya bertanya : “wayang apa yang akan pentas sekarang?” dan dijawab “wayang Ceng Blonk”. Mendengar percakapan tersebutlah, beliau mendapat inspirasi untuk menamakan wayangnya sebagai wayang Cenk Blonk Belayu, sekaligus mulai laris mementaskan wayang tersebut. Nama Belayu merupakan nama sebuah Desa Adat di kecamatan Marga, kabupaten Tabanan, tempat dimana beliau menetap.
Sanggar Seni Cenk Blonk Belayu, Sejarah dan Pola Manajemennya selengkapnya
by admin | Feb 7, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: I Wayan Eka Laksana Satiaguna, Prodi. Desain Interior
Arsitektur adalah salah satu karakteristik unik dari negeri Thailand yang tercermin dari gaya hidup, nilai-nilai, dan kepercayaan yang diwariskan turun temurun. Arsitektur Thailand adalah disiplin yang telah dikembangkan dan disempurnakan sebagai ekspresi keindahan dari kebudayaan Thailand yang secara unik telah disesuaikan dengan gaya hidup orang-orang dan iklim dari negara ini. Orang-orang Thailand memiliki rasa keterikatan yang kuat terhadap tempat tinggal dan juga tempat kelahiran mereka. Style perumahan dan gaya hidup mungkin berubah, tetapi bagaimana pun sikap dan rasa hormat orang-orang Thailand terhadap tempat tinggal mereka pada dasarnya masih sama. Intensitas rasa keterikatan terhadap rumah diantara generasi baru sekarang ini mungkn saja tidak sekuat seperti dulu, tapi tetap hidup. Rumah tidak hanya sebagai tempat tinggal, juga sebagai pusat kehidupan, kasih sayang, ramah tamah, bahkan sebagai tempat pengungsian jika diperlukan pada saat banjir musiman melanda. Setiap daerah memiliki karakteristik perbedaan yang beragam seperti gaya tengah (Ruen Thai Pak Glang) mendapat pengaruh dari Budhisme yang sangat kental, gaya utara (Ruen Galae) pengaruh Lana style, gaya selatan (Ruen Thai Muslim) bernafaskan arsitektur muslim, dan gaya daerah timur laut (Ruen Isaan). Sebagai perwujudan dari sosial dan budaya Thailand, gubahan maupun desain bangunan rumah Thailand pada jaman dulu adalah untuk hidup bersama dan menghabiskan waktu bersama antara anggota keluarga oleh karena itu rumah tradisionalnya memiliki sub-rumah pada satu platform. Semua anggota keluarga dapat berkumpul dan menikmati hari-hari bersama. Layaknya negara yang berada di kawasan tropis menjadikan arsitektur tradisional Thailand juga sangat dipengaruhi oleh iklim yang panas dan hujan yang sering menimbulkan banjir musiman.
Arsitektur Tradisional Thailand Selengkapnya
by admin | Feb 4, 2011 | Artikel, Berita

Kiriman : Drs. I Wayan Mudra, MSn. Dosen Kriya Seni FSRD ISI Denpasar.
Gerabah Tojan adalah sebuah sebutan gerabah hasil perajin di Banjar Satra Kecamatan Klungkung Kabupaten Klungkung Bali. Perajin di desa ini lokasinya mudah dijangkau, karena dekat perkotaan, berada diperumahan penduduk dengan kondisi desa yang sudah maju dilihat dari bangunan-bangunan fisik yang ada di desa tersebut. Namun sebaliknya, kondisi kerajinan gerabah di desa ini terlihat memprihatinkan dan masih bisa bertahan sampai saat ini, walaupun perajinnya terus berkurang dari jaman kejaman. Saat penelitian ini dilakukan perajin gerabah ini hanya tinggal dua keluarga yang masih ada hubungan kekeluargaan. Dua keluarga tersebut terdiri dari 4 orang wanita tua yang berumur di atas enampuluhan, dengan kondisi badan yang sudah renta masih mampu mengerjakan kerajinan gerabah dari awal pembuatan bahan sampai pembakaran. Semua pekerjaan tersebut mereka lakukan sendiri tanpa bantuan anak atau cucunya. Mereka menyebutkan anak dan cucunya saat ini tidak ada yang mau meneruskan usaha pembuatan gerabah, karena mereka menganggap kurang menguntungkan untuk kondisi saat ini. Gerabah yang dikerjakan berawal dari kebutuhan masyarakat sebagai perlengkapan upacara agama, namun sekarang berkembang sesuai perekbangan jaman. Namun walaupun demikian seolah mereka mereka tidak bisa beranjak dari kemiskinan.
Lokasi pembuatan gerabah di tengah pemukiman penduduk kerapkali menimbulkan permasalahan pada warga sekitarnya. Betapa tidak, pada saat pembakaran gerabah, asap hasil pembakaran mengganggu pemukiman sekitarnya, asapnya yang dapat tebal dapat mengganggu pernapasan warga. Pembakaran yang menggunakan bahan bakar padat seperti jerami, kayu bakar dan bahan-bahan lain seperti pelepah pisang, daun kelapa kering, dan sebagainya akan menghasilkan asap yang tebal serta dapat mengganggu pernapasan. Pembakaran gerabah perajin ini termasuk menggunakan tunggu ladang, karena proses pembakaran dilakukan di alam terbuka dengan cara menyusun benda-benda gerabah sesuai besarannya dan terakhir ditumpuk dengan bahan bakar. Berbeda dengan proses pembakaran gerabah pada perajin lain di Bali dilakukan pada ruang tertutup dengan tungku bak atau tungku yang lebih modern. Jenis tungku ladang ini dibuat dengan tumpukan bahan seperti batu, bata, batako, genteng dan bahan-bahan sisa bangunan lainnya dengan perekat campuran pasir dan semen (PC). Pada bagian tengah tunggku dibuat lorong berfungsi sebagai aliran api. Gerabah yang sudah tersusun di atasnya ditutup dengan bahan bakar dan penyulutan api dilakukan pada mulut tungku pada bagian samping. Pengisian bahan bakar dilakukan berkali-kali sampai gerabah yang dibakar merah. Maka dari itu perajin tidak bisa meninggalkan tunggu selama proses pembakaran berlangsung. Proses pembakaran selesai setelah gerabah matang ditentukan oleh merahnya gerabah tersebut. Pembakaran tersebut berlangsung 1-1,5 jam. Hasil pembakaran yang baik dapat dilihat dari merahnya pada permukaan gerabah merata dan suara badan gerabah nyaring jika dipukul dengan benda keras.
Perajin membeli bahan baku dan mengolahnya sendiri menjadi bahan yang siap pakai. Teknik pembentukan dilakukan dengan teknik putar di atas sebuah bundaran kayu dalam istilah keramiknya bakaran tinggi disebut alat putar tangan (handwheel). Jenis-jenis produk yang dibuat antara lain benda-benda untuk keperluan upacara seperti coblong, payuk pere, senden dan sebagainya. Benda-benda tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat sekitar dengan harga relatif murah. Mereka juga mengerjakan alat peleburan perak yang dipesan oleh perajin perak yang berkembang di Kabupaten Klungkung. Penulis melihat karena murahnya harga dan terbatasnya kemampuan perajin berproduksi maka hasil yang didapat dari hasil kerajinan menjadi rendah, sehingga mereka sulit beranjak dari kata ”kemiskinan” Mereka memasarkan hasil produksinya di Pasar Klungkung dan belum bisa melayani jika ada pesanan dalam jumlah yang lebih besar. Kondisi perajin yang sudah tua merupakan kendala untuk berkembang lebih maju, walaupun peluang untuk berkembang masih terbuka.
Mereka berharap ada perhatian dari instansi terkait untuk membantu paling tidak kerajinan gerabah ini terus bisa bertahan bahkan berkembang lagi dapat dipandang sebagai warisan budaya masa lalu. Jika tidak ada campur tangan pemerintah dalam mengatasi kerajinan ini lambat laun akan hilang. Karena mereka menuturkan keturunannya tidak ada yang mau meneruskan kegiatan membuat gerabah ini.
Beberapa hasil kerajinan gerabah Tojan antara lain:
1. Alas peleburan perak.
2. Coblong, senden dan pulu.
3. Caratan kecil, dijemur setelah dibentuk.
4. Perajin sedang melakukan proses pembentukan
5. Perajin sedang mempersiapkan proses pembakaran gerabah di halaman rumah.