I Gusti Agung Ngurah Supartha dan Karya-karyanya

I Gusti Agung Ngurah Supartha dan Karya-karyanya

Kiriman I Ketut Sariada, SST., MSi., Dosen PS Seni Tari ISI Denpasar

Salah seorang koreografer tari yang namanya cukup tenar di kalangan masyarakat Bali adalah I Gusti Agung Ngurah Supartha. I Gusti Agung Ngurah Supartha  adalah seorang pria berperawakan sedang, kulit putih, rambut sosoh, selalu tampil rapi dan berwibawa. Ia tampak sangat energik dan ulet dalam berkarya. Ia lahir di Puri Agung Buluh Kenana Abiantuwung Kediri Tabanan pada tanggal 22 Januari 1943. Mas Roro Suhestiningtyas adalah istri dari Ngurah Supartha. Dari perkawinannya mempunyai empat orang anak dua orang anak laki-laki dan dua orang anak  perempuan yaitu I Gusti Agung Ngurah Kihasta Kenana Jenggala, I Gusti Agung Ngurah Anom Utara Pratimawan, I Gusti Ayu Istri Utari Budayawati, dan I Gusti Ayu Mas Ari Kencanawati. Dalam menempuh pendidikan formal Ngurah Supartha sangat sukses dan tidak pernah ketinggalan. Pada tahun 1956 lulus Sekolah Dasar Abiantuwung, tahun 1960 lulus Sekolah Menengah Pertama Tabanan, tahun 1964 lulus Konservatori Karawitan Bali, lulus Sarjana Muda Akademi Seni tari Indonesia Yogyakarta tahun 1967, dan lulus Sarjana Seni di Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun 1975. Ngurah Supartha adalah seniman yang sangat kreatif dan produktif (lihat lampiran 2 gambar 2.9 dan 2.10).

Ia adalah seorang seniman yang sangat energik, disiplin, dan penuh dedikasi dalam membentuk karakter seorang seniman. Hal ini tampak dari sistem pelatihan yang diterapkan kepada anak didiknya ketika ia masih menjabat sebagai Kepala Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Denpasar periode tahun 1977 sampai dengan 1985, yang berlokasi di Jalan Ratna Denpasar. Ia sangat enerjik dan tidak pernah mengeluh. Pelatihan-pelatihan dilakukan pagi, siang dan bahkan sampai larut malam. Oleh karenanya aktivitas sekolah pada waktu itu (sekitar tahun 80-an) selalu hidup.

Berdasarkan keuletannya itu pada masa kepemimpinannya, SMKI yang sebelumnya bernama KOKAR Denpasar menjadi institusi yang diidolakan dan cukup dibanggakan di masyarakat. Hal ini juga tidak terlepas dari prestasi dan hasil karya yang dipublikasikan cukup bermutu sehingga mendapat sambutan antusias dari masyarakat. Di bawah tangan dingin kepemimpinan Ngurah Supartha kejayaan KOKAR dapat diangkat kembali. Pada masa kepemimpinannya berperan selaku manager, ia juga berperan selaku koreografer yang cukup produktif. Hal ini terbukti dari sejumlah hasil karya yang dipasarkan baik institusi SMKI maupun Sanggar Tari Wrhatnala yang dipimpinannya, sebagian besar adalah hasil karyanya seperti, tari Kidang Kencana (1983), tari Baris Bandrang Manggala Yudha (1984), tari Srikandi Duta (1983), tari Bendega Duyung (1982), tari Capung Gantng (1982), produksi SMKI dan tari Ulat Sutra (1985), tari Kupu-kupu Emas (1985), tari Lelipi (1985), produksi Sanggar Tari Wrhatnala (Abian tuwung, Kediri, Tabanan). Hasil karyanya dari tahun 1960 sampai dengan tahun 2006 sebanyak 461 karya tari dan karawitan atau musik (lihat lampiran 3 hal 150). Karya tari sebayak 247 terdiri dari: tari Bali sebanyak 106 karya, tari Jawa sebanyak 9 karya, tari Sumatra sebanyak 4 karya, tari Sulawesi sebanyak 1 karya, tari Irian Jaya sebanyak 2 karya, Dramatari tanpa dialog sebanyak 36 karya, Dramatari dialog prosa sebanyak 30 karya, Dramatari dialog puisi sebanyak 29 karya, Dramatari Jawa tanpa dialog sebanyak 2 karya, Drama Bali sebanyak 8 karya, Drama Nasional sebanyak 4 karya, Tari Kontemporer sebanyak 5 karya, Interaxis Collaborasi – East Meets East sebanyak 5 karya, Interaxis Collaborasi- East Meets West sebanyak 6 karya.(Supartha, 2006). Karya karawitan (musik) sebanyak 214 karya terdiri dari : Instrumentalia Bali sebanyak 19 karya, Instrumentalia Jawa sebanyak 4 karya, Musik Vokal sebanyak 2 karya, Iringan tari Bali sebanyak 75 karya, Iringan tari jawa sebanyak 4 karya, Iringan tari Sumatra sebanyak 1 karya, Iringan Dramatari tanpa dialog sebanyak 18 karya, Iringan Dramatari Bali berdialog prosa sebanyak 20 karya, Iringan Dramatari Bali berdialog puisi sebanyak 10 karya, Iringan Dramatari jawa tanpa dialog sebanyak 1 karya, Iringan Drama Bali sebanyak 8 karya, Musik Drama Nasional sebanyak 3 karya, Iringan tari Kontemporer sebanyak 7 karya, Iringan Interaxis Collaborasi East Meets East/West sebanyak 8 karya (wawancara dengan Ngurah Supartha, 20 Pebruari 2006).

I Gusti Agung Ngurah Supartha dan Karya-karyanya, Selengkapnya

Legong Selingkuh, Smara Pagulingan Selingkuh

Legong Selingkuh, Smara Pagulingan Selingkuh

Kiriman Kadek Suartaya, dosen PS Seni Karawitan.

Si cantik Legong dan Si tampan Smara Pagulingan ibarat sepasang kekasih yang sudah lama putus cinta. Legong sebagai sebuah tari cemerlang Bali sudah amat jarang bercumbu di pangkuan kemesraan Smara Pagulingan–ensambel gamelan Bali yang bertutur manis dan merdu. Tari Legong kini lebih intim dengan sumeringah Gong Kebyar, sementara gamelan Smara Pagulingan sekarang merintih dalam gulana kesendiriannya.

Legong dan Smara Pagulingan adalah seni pertunjukan prestisius pada era kerajaan Bali tempo dulu. Legong yang kini lazim disebut Legong Keraton itu adalah seni pentas kesayangan seisi keraton dan menjadi kebanggaan masyarakat kebanyakan. Smara Pagulingan yang kini eksistensinya kian kritis, pada zaman keemasan feodalisme diapresiasi dengan penuh asyik-masyuk oleh kaum bangsawan dan masyarakat luas, baik sebagai alunan sejuk musik instrumental maupun sebagai stimulasi estetik tari Legong.

Belum jelas tentang kapan berinteraksinya Legong dengan Smara Pagulingan. Cikal bakal keberadaan Legong diduga bersemai di wilayah kerajaan Timbul, nama tua Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar. Catatan babad lokal setempat menyebutkan Legong sudah hadir di sana pada awal abad ke-19. Kenyataannya, hingga tahun 1930-an Sukawati memang dikenal sebagai pusat pengembangan Legong yang banyak didatangi oleh para seniman tari dan tabuh dari penjuru Bali. Reneng (Badung), Lotring (Kuta), Lebah (Peliatan), dan beberapa tokoh legong lainnya tercatat pernah nyantrik pada maestro legong setempat, Anak Agung Rai Perit, I Made Duaja, dan I Dewa Blacing.

Legong dan Smara Pagulingan rupanya bersua dan bersinergi dalam pengayoman dan kawalan ketat selera tinggi kaum bangsawan masa itu. Pada masa itu setiap istana memiliki gamelan Smara Pagulingan lengkap dengan penabuhnya. Dua lontar tua tentang gamelan Bali, Aji Gurnita dan Prakempa, menyinggung cukup signifikan tentang gamelan Smara Pagulingan dengan sebutan Semara Aturu. Mungkin itulah pasalnya gamelan ini dikaitkan keberadaannya sebagai musik rekreatif untuk menyertai saat-saat raja sedang memadu asmara di paruduannya.

Selain memakai gamelan Smara Pagulingan laras pelog tujuh nada, Legong kemudian tak kalah kenesnya diiringi dengan Palegongan—barungan gamelan turunan Smarpagulingan—bersuara renyah menawan. Sayang ketika demam Gong Kebyar menggedor, gamelan Smara Pagulingan terjungkir dan gamelan Palegongan sempoyongan. Trend Gong Kebyar sejak mulai digulirkan semangat kompetisi pada tahun 1930-an, mendepak Smara Pagulingan dan gamelan Palegongan sebagai pengiring utama tari Legong. Legong “berselingkuh” dengan Gong Kebyar. Legong menjadi umum diringingi Gong Kebyar–menguak pada tahun 1915–hingga kini.

Sungguh tragis nasib gamelan Smara Pagulingan dan Palegongan. Gelora berkebyar ria menampik senyum manis dan membungkam suara merdu kedua gamelan tersebut. Masyarakat atau sekaa-sekaa pemilik gamelan Smara Pagulingan dan Palegongan cenderung begitu emosional dibawa arus deras gebyar Kebyar. Vandalisme kolektif pun merebak di mana-mana. Banyak gamelan Smara Pagulingan dan Palegongan dilebur menjadi Gong Kebyar. Sungguh tak ada rintangan dan halangan, semua bablas.

Legong Selingkuh, Smara Pagulingan Selingkuh selengkapnya

Seni Tradisi Membangun Jati Diri Orang Bali

Seni Tradisi Membangun Jati Diri Orang Bali

Kiriman Kadek Suartaya, dosen PS Seni Karawitan

I Nyoman Partha Gunawan (60 tahun) adalah seorang seniman alam dari Desa Tenganan Pagringsingan, Karangasem. Sebulan belakangan ini, ia tampak dengan tekun mengajar gamelan Slonding, salah satu gamelan tua Bali, di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Sekelompok mahasiswa menyerap gending-gending yang diberikan oleh empu gamelan Slonding itu. Ketika program “kuliah kilat“-nya itu hasilnya dipentaskan dan sekaligus didokumentasikan, Gunawan tampak berseri-seri karena telah menularkan sejumput nilai keindahan pada generasi penerus.

Di Tenganan Pagringsingan, gamelan Slonding menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ritual keagamaan. Gamelan yang terbuat dari lempengan-lempengan besi tebal ini disimpan di bale agung dan hanya dikeluarkan dan ditabuh pada prosesi upacara penting. Gamelan yang dimainkan oleh 7-10 penabuh ini misalnya tampak mengalun magis mengiringi  tradisi Abuang, tari sakral yang dibawakan oleh pasangan pria dan wanita. Slonding juga hanya berdentang garang saat menyemangati tradisi makare atau perang pandan.

Di luar Tenganan, Slonding masih dijumpai di beberapa desa tua yang termasuk desa Bali Age.  Namun jika di Tenganan, Slonding masih diusung secara takzim oleh komunitasnya, di tempat-tempat lainnya kondisinya memperihatinkan bahkan hampir punah. Perkembangan masyarakat dan kebudayaan menyudutkan bentuk-bentuk seni terdahulu seperti Slonding semakin marginal. Masyarakat Bali generasi kekinian sedang kepincut dengan seni yang lebih modern. Gong Kebyar yang muncul tahun 1915 kini banyak menyambil alih alunan teduh gamelan renta seperti Slonding atau Gambang misalnya.

Kesenian tua memiliki kandungan nilai estetik dan ekspresi kultural yang patut diselamatkan. “ISI Denpasar sebagai lembaga akademis sudah sepatutnya memerankan dirinya menyelamatkan bentuk-bentuk kesenian langka seperti Slonding,” ujar I Wayan Suharta, SSKar, M.Si, Ketua Jurusan Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan ISI. Dalam rangka rekontruksi gamelan langka itulah, tambahnya, ISI mengundang selain nara sumber gamelan Slonding dari Tenganan Pagringsingan, pada momentum yang sama juga menghadirkan maestro gamelan Babarongan, I Wayan Jebeg, dari Batubulan, Sukawati.

Kendati agak gamang, tampaknya kepedulian terhadap keberadaan kesenian langka belum sirna sama sekali. Sabtu (28/11) lalu misalnya, saat Tumpek Krulut, ritus masyarakat Bali terhadap gamelan, Pemkot Denpasar menghadirkan sekian jenis gamelan langka di lapangan Puputan Badung, berkumandang secara bergantian. Demikian pula apa yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Bali, secara periodik menyuguhkan bentuk-bentuk kesenian langka di Taman Budaya Denpasar. Sajian kesenian langka juga dapat disimak masyarakat di arena Pesta Kesenian Bali (PKB). Berbagai upaya konstruktif itu tentu mesti disyukuri.

Penyelamatan bentuk-bentuk kesenian luhur yang telah mengisi dinamika kehidupan masyarakat, memang mesti disikapi dengan langkah kongkret. Cermatilah, pencapaian estetik yang pernah diraih kesenian langka kita belakangan tergerus tak terurus. Fungsi-fungsi sosial dan religius yang sempat diisinya terkikis. Makna-makna kultural dan filosofis yang dulu mengawalnya terpental entah kemana. Tragisnya, kesenjangan bentuk-bentuk kesenian itu dengan generasi muda, semakin lebar. Orientasi masyarakat kita di tengah gelombang globalisasi yang cenderung materialis-kapitalistik,  sungguh membuat butir-butir budaya itu tergelincir.

Seni Tradisi Membangun Jati Diri Orang Bali selengkapnya

Ornamen Candi Kurung Padu Raksa Bersayap Di Pura Luhur Uluwatu

Ornamen Candi Kurung Padu Raksa Bersayap Di Pura Luhur Uluwatu

Oleh : Drs. I Wayan Mudra, MSn, Drs. I Made Suparta, MHum, PS. Kriya Seni FSRD ISI Denpasar

Para penulis mengulas Pura Luhur Uluwatu pada berbagai media seperti buku, majalah, jurnal dan website, biasanya lebih tertarik menulis tentang kesucian, ketenaran, filosofi dan asal usul pura sampai kenakalan satua kera yang sering mengambil bawaan pengunjung. Sebaliknya belum ditenemukan ulasan yang membahas secara detail bentuk candi, motif ornamen dan filosofi ornamen bangunan-bangunan kuno yang terdapat pada kawasan pura tersebut. Bangunan tersebut dalah candi bentar menuju jaba tengah yang berbentuk sayap dan candi kurung padu raksa bersayap menuju utama mandala yang memiliki ornamen cukup unik. Ada yang berpendapat sayap mengandung makna pelepasan. Kekhasan candi tersebut terlihat dari bentuknya yang berbeda dengan candi kurung yang dibuat masyarakat di Bali saat ini. Dari visualisi ornamen sebetulnya dapat ditelusuri tahun pembuatan candi, karena style ukiran dapat menunjukkan periode pembuatannya. Style ornamen ukiran dari kejaman–kejaman akan mengalami perbedaan walaupun jenis motifnya sama.

Pengertian padu raksa menurut Gusadi dalam tulisannya “Penyengker” menjelaskan sudut-sudut pertemuan antara tembok panyengker disebut padu raksa. Secara filosofis-etis, padu raksa tersebut memiliki nama masing-masing berdasarkan titik sudut peletakannya, seperti sari raksa (terletak di sudut timur laut), aji raksa (di tenggara), rudra raksa (sudut barat daya) dan kala raksa berkedudukan di barat laut. Padu raksa memiliki bagian-bagian yang diidentikkan sebagai kepala, badan dan kaki, lengkap dengan hiasan atau pepalihan-nya.

Keunikan lain yang terlihat dari kawasan Pura Luhur Uluwatu ini adalah bangunan pokok yaitu meru tumpang tiga masih terlihat bangunan lama. Walaupun ada informasi yang mengatakan bangunan tersebut sebenarnya telah mengalami perbaikan ketika terjadi musibah kebakaran yang diakibatkan oleh petir. Menurut beberapa sumber bahan kayu yang dipakai bangunan meru tersebut adalah kayu majegau. Salah satu jenis kayu yang disucikan oleh umat Hindu di Bali. Bahan kayu bangunan tersebut  terlihat masih utuh tanpa diberi pelapis cat atau  tanpa ornamen, sehingga dapat memunculkan kesan kesederhaan dan kuno. Berbeda dengan kondisi bangunan-bangunan pura lainnya di Bali saat ini, umumnya menggunakan batu hitam, bagian atas penuh ornamen dengan finishing lapisan prada.Hal ini dapat memunculkan kesan megah dan kemewahan.

Keunikan lain yang menjadi daya tarik wisatwan asing maupun wisatawan nusantara adalah disebelah kiri jaba tengah terdapat sebuah bak air yang selalu berisi air meskipun musim kering sekalipun. Hal ini dianggap suatu keajaiban dari Pura Luhur Uluwatu. Sebab, di wilayah Desa Pecatu adalah daerah perbukitan batu karang berkapur yang mengandalkan air hujan. Bak air itu dikeramatkan karena keajaibannya. Keperluan air untuk bahan tirtha cukup diambil dari bak air tersebut. Bak air tersebut saat ini berada dalam bangunan kecil mendatar menyerupai candi.

Ornamen Candi Kurung Padu Raksa Bersayap Di Pura Luhur Uluwatu, Bali Selengkapnya

Gesticulation

Gesticulation

Kiriman Drs. I Wayan Mudra,MSn., Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar.

Seorang seniman mengekpresikan ide-idenya dalam karya adalah  repleksi berbagai hal yang pernah dilihat ataupun dirasakan. Kepuasan batin, kepedihan hidup, penentangan, penggugatan dan kritik terhadap hal-hal mapan dan konvensional sering menjadi tema yang menarik untuk diungkap. Kadang terjadi visualisasi yang kental dengan pemaknaan dan kreatifitas perupaan non konvensional yang berlebihan menjadikan karya-karya tersebut sulit dipahami bagi sebagian orang. Penikmat seni sering tidak menemukan kepuasan batin secara gamlang, namun diajak untuk berpikir dan berdialog melalui ikon-ikon tanda yang disampaikan. Seniman berkreasi mencari sesuatu yang berada diluar kebiasaan yang ada dan berlaku pada suatu komunitas, salah satu model berpikir kreatif. Karena yang dipentingkan adalah ekspresi individu dan penuangan ide-ide kreatif yang dimiliki. Seperti halnya seorang seniman Putu Sutawijaya alumni ISI Yogyakarta asal Tabanan yang kini menetap di Yogyakarta, berpameran di Bendara Budaya Bali  28 Desember – 11 Januari 2011 lalu, tampil dengan karya-karya patung berbahan logam, kayu dan kawat besi. Putu mengekspresikan pengalaman hidupnya pada suatu kumunitas yang disebut banjar. Seniman yang beristrikan orang Malaysia ini, pada awal kariernya dikenal sebagai seorang pelukis dan telah berpameran di beberapa negara. Karena pencariannya yang tiada henti, ia kemudian mengembangkan media garapannya pada ruang tiga dimensi yaitu seni patung. Pengalaman hidup yang tertuang pada karya-karya patung tersebut diberi judul “Gesticulation”, berasal dari kata gesture berarti gerakan tangan. Karya-karya patung ini  menampilkan ekspresi gerak tangan, anggota tubuh lainnya untuk menyampaikan makna tertentu. Visualisasinya ada yang tunggal ada yang berkelompok mengusung pesan menyerupai karya instalasi. Karya-karya tersebut dirupakan tidak realistis, bagian muka datar, bentuk anggota badan dibuat dengan lempengan-lempengan besi bentuk persegi pada bagian-bagian tertentu dibiarkan berlubang. Lubang-lubang tersebut kemudian diisi garis-garis lurus dengan material kawat. Karya-karya Putu terlihat dibuat sangat terampil dan memperhatikan komposisi serta proporsi dari bentuk manusia. Penulis berpendapat karya-karya tersebut mampu menampilkan keindahan karena keterpaduan dari unsur-unsur pembentuknya. Herbert Read menyebutkan bahwa keindahan adalah kesatuan hubungan bentuk-bentuk. Penilaian keindahan biasanya terlepas dari pemaknaan yang ingin disampaikan senimannya. Penilaian keindahan adalah sebuah penilaian kejujuran.

Beberapa karya cukup mudah untuk dipahami, sebaliknya  beberapa karya memerlukan perhatian yang lebih untuk dapat mengerti pesan yang ingin disampaikan perupanya. Karena dari judul-judul yang disampaikan pada karya tersebut juga tidak langsung menyentuh pesan yang ingin disampaikan, contoh “Gesticultion 1, 2, dst. sehingga bagi sebagian pengunjung pameran menemui kendala dalam menterjemahkan pesannya. Putu menginginkan tubuh-tubuh itu dapat berkisah dengan sendirinya.

Menurut Kris Budiman selaku kritikus pameran tersebut menulis pada katalognya Putu Sutawijaya menyodorkan tubuh sebagai tanda-tanda untuk mempresentasikan formasi tertertu, bergerak mengisi dan memenuhi ruang, kadang memperlihatkan pola tertentu meskipun lebih sering menunjukkan kecendungan acak. Kial atau gesture (gesture) menjadi salah sebuah komponen ekspresif utama Putu. Ia menjadi semacam kosa kata, disamping postur, pose, gerak, arah dan irama. Kris menambahkan di dalam gestikulasi segenap anggota badan menjadi wahana makna (vehicle of meanings) dan instrument signifikasi. Para penari, aktor, dan pelaku-pelaku seni lainnya niscaya menyadari hal ini ketika mereka berkomunikasi dengan mengekspresikan pesan tertentu kapada audiens melalui tanda gestural. Putu Sutawijaya dengan karya-karya patung dan instalasi terbarunya ini, menawarkan kontek yang berbeda-beda. Melalui tubuh tersebut Putu berkisah tentang ketegangan dan ketaksaan (ambiguity) yang menyelubungi porses-proses sejarah, kontinyuitas, diskontinyuitas, tradisi dan perubahan, kepatuhan dan resestensi. Juga mempresentasikan pendefinisian ulang atas identitas-identitas kultural yang mapan.

Gesticulation selengkapnya

Cinta Si Elok Legong Bertepuk Sebelah Tangan

Cinta Si Elok Legong Bertepuk Sebelah Tangan

Kiriman Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan.

Masyarakat mancanegara telah mengenal legong sebagai seni tari dari Pulau Dewata. Terminologi kesenian bangsa-bangsa menempatkan legong sebagai seni tari yang luwes gemulai dalam pangkuan gemerincing gamelan yang renyah dinamis. Seni pertunjukan yang seutuhnya merupakan rajutan estetika tari ini menggapai puncak kejayaannya para era kerajaan Bali. Saat itu beberapa kerajaan besar di Bali menjadikan legong sebagai seni kesayangan sekaligus gengsi para penguasa. Namun sejak pupusnya patronisasi puri-puri oleh terjangan kolonalisme, legong yang juga lazim disebut legong keraton, secara perlahan kian redup binarnya. Masyarakat Bali masa kini umumnya tak memiliki ikatan estetik-emosional dengan si elok legong.

Namun kemilau seni tari yang biasanya dibawakan para gadis belia ini bagai mutiara yang sedang berbalut lumpur. Sebab konsep estetik legong masih menjadi acuan dalam penciptaan seni tari. Nilai artistik yang menjadi aura legong tetap mengundang inspirasi kreator tari Bali masa kini. Tengoklah, misalnya, tari “Nara Simha“ garapan I Gusti Agung Ayu Savitri. Dalam pentas ujian akhirnya di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, koreografer muda yang tak lain dari cucu maestro legong I Gusti Raka Saba (almarhum) ini dengan meyakinkan menyajikan koreografi pelegongan, karya tari yang dikembangkan berdasarkan konsep estetika legong.

Pola-pola klasik legong bukan hanya menjadi orientasi kreatif Ayu Savitri. Dalam ujian akhir ISI yang banyak menyedot perhatian penonton itu ada pula Komang Ari Wisa Kendraniati yang kebincut dengan bingkai keindahan tari yang muncul di Sukawati pada akhir abad ke-19 ini. Rabu (26/5) malam, gadis asal Tabanan ini menyuguhkan kreasi pelegongan dengan tajuk “Satya Jayanthi”. Jika Savitri bertutur tentang penumpasan keangkaramurkaan Hiraniakasipu oleh titisan Wisnu, Kendraniati berkisah tentang perjalanan Yudhistira ke sorga untuk mencari dan membuktikan kebenaran sejati.

Konsep estetik legong dengan kompleksitas tari dalam ikatan iringan gamelannya  memang dapat membawakan beragam lakon. Demikian pula kreasi pelegongan yang belakangan telah ratusan digarap, berangkat dengan aneka tema dari berbagai sumber cerita. Masyarakat Bali dapat menyimak geliat kreasi pelegongan tersebut di arena Pesta Kesenian Bali (PKB). Dalam mata acara pagelaran festival atau parade Gong Kebyar, greget  kreasi pelegongan merupakan bentuk seni pentas yang pernah beberapa kali diwajibkan untuk diketengahkan. Selain dalam ajang PKB, ujian-ujian akhir di ISI Denpasar juga telah banyak menelorkan kreasi pelegongan.

Kendati para koreografer masa kini telah banyak mencipta seni tari dengan konsep estetik legong yang disebut pelegongan, tapi gaungnya di tengah masyarakat Bali kurang terasa. Setidaknya, dari ratusan kreasi pelegongan itu tak satu pun dikenal baik oleh masyarakat penonton. Jangankan menjadi karya seni yang monumental, bahkan sebagian besar dari kreasi pelegongan, baik yang menggebrak di PKB maupun yang membuncah di ISI atau di sanggar-sanggar tari, hanya mengalami pementasan perdana saja. Kreasi-kreasi pelegongan itu sirna bak dibungkam hingar bingar kehidupan dan hiburan global kekinian. Kreasi pelegongan yang berpijak dari genius estetik lokal, tercekal.

Cinta Si Elok Legong Bertepuk Sebelah Tangan selengkapnya

Loading...