Elemen-Elemen Pertunjukan Tari Siwa Nataraja Karya I Gusti Agung Ngurah Supartha

Elemen-Elemen Pertunjukan Tari Siwa Nataraja Karya I Gusti Agung Ngurah Supartha

Kiriman I Ketut Sariada, SST., MSi., Dosen PS Seni Tari ISI Denpasar

1.       Bentuk gerak tari

Bentuk gerak tari kreasi baru Siwa Nataraja sangat variatif. Bentuk geraknya di samping gerak dasar dari petopengan, mudra banyak juga diambil dari tari kekebyaran (gerak tari Bali). Gerak-gerak tersebut meliputi, gerak agem kanan, agem kiri, Nyambir (gerakan mengambil saput), malpal, nyeledet (gerakan mata), ngegol oleg (gerakan pantat), ngumbang (gerakan berjalan), ngeliput (gerak kipas), gegirahan (gerak jari-jari tangan keras), jeriring, ngrajeg, nelik (gerakan mata mendelik), dan berputar. Namun pada sisi lain khusus untuk gerak berjalan dan berputar banyak mengalami perubahan baik dari teknik maupun penjiwaannya. Gerak berjalan meniru gerak berjalan tari Jawa yang disebut dengan gerak lumaksono yaitu berjalan dengan meluruskan lutut kemudian ditaruh dilantai kemudian posisi agem (posisi berdiri). Gerak berputar menurut aturan yang baku dalam tari Bali secara teknik adalah digerakkan berputar ke kanan atau ke kiri hanya satu kali, tetapi tekniknya dirubah menjadi gerakan berputar sebanyak-banyaknya antara lima sampai enam kali putaran sampai dengan tariannya selesai. Gerakan berputar ini mengambil ide gerakan berputar yang ada pada tarian sufi dari Turki. Tariannya dari awal sampai akhir gerakannya hanya berputar. Gerakan ini mencerminkan adanya nilai lokal yang dipengaruhi oleh globalisasi. Menyitir pendapat Piliang (2005:157), globalisasi itu ada wujud tradisi dikembangkan karena adanya globalisasi. Bentuk gerakan berputar itu adalah sebuah bentuk inovasi dalam gerakan tari kreasi baru Siwa Nataraja yang mencirikan perpaduan antara budaya lokal dan budaya global itu, akan menghindari globalisasi yang homogen.

2. Tempat pentas

Pada umumnya bentuk tempat pertunjukan tradisi yang dikenal di Indonesia menurut Pramordarmaya (1983: 12, 73) antara lain: (1) arena; (2) prosenium; dan (3) campuran.

1.      Arena, merupakan bentuk pentas yang paling sederhana dibandingkan dengan bentuk-bentuk yang lainnya. Bentuk pertunjukan arena tidak ada pembatas antara pemeran dengan penonton. Selain itu tidak memerlukan dekorasi khusus.

2.      Prosenium, adalah tempat pertunjukan yang menggunakan panggung dengan ketinggian tertentu untuk mengangkat pertunjukan itu agar mendapat cukup perhatian penonton. Tempat pertunjukan ini dibagi dua, antara tempat penonton dengan yang ditonton. Tempat penonton disebut auditorium, sedangkan tempat untuk yang ditonton disebut pentas.

3.      Campuran, adalah pentas yang merupakan campuran atau kombinasi dari dua atau lebih tipe pentas, digabungkan dan meniadakan beberapa sifatnya.

Di Bali tempat pementasan yang berupa areal para seniman atau pelaku, baik pelaku penari maupun gamelan untuk memamerkan dan mempertunjukkan ketrampilan seni mereka pada umumnya disebut kalangan. Bentuk dan ukuran kalangan biasanya disesuikan dengan jenis jenis kesenian yang mencirikan kerakyatan pada umumnya mengambil tempat di lapangan, di halaman rumah atau di perempatan jalan. Kalangan dibentuk oleh empat ruang, yaitu ruang tempat pemain mengadakan persiapan pentas (tempat berhias), ruang pentas, ruang gamelan dan ruang penonton.

Kebutuhan kalangan untuk pertunjukan tari-tarian kreasi baru diselenggarakan dalam kepentingan “ditanggap” seseorang karena akan melangsungkan suatu prosesi upacara maupun untuk memeriahkan suatu upacara ulang tahun desa biasanya mengambil tempat di lapangan atau di halaman rumah atau bisa juga di perempatan jalan umum. Luasnya tempat biasanya disesuaikan dengan peristiwa atau bentuk pertunjukannya, misalnya kalangan untuk pertunjukan tari-tarian kreasi baru diperlukan lahan yang tidak terlalu luas disesuaikan dengan jumlah penari yang dipentaskan. Tempat pentas pertunjukan tari kreasi baru Siwa Nataraja sifat sangat fleksibel, jadi dapat melakukan pentas dimana saja baik dipanggung terbuka (arena, lapangan), dan panggung tertutup (prosenium). Semua ini tergantung kebutuhan pertunjukan (lihat gambar 4).

Elemen-Elemen Pertunjukan Tari Siwa Nataraja Karya I Gusti Agung Ngurah Supartha selengkapnya

Sabungan Ayam, Pentas Pertarungan Orang Bali

Sabungan Ayam, Pentas Pertarungan Orang Bali

Kiriman Kadek Suartaya, dosen PS Seni Karawitan

Ketika matahari telah condong ke barat, adu ayam pun dimulai di sudut Desa Singapadu, Gianyar. Para babotoh berkerumun mengitari sisi-sisi kalangan 4X 4 meter itu. Dua ayam,  bertaji segera akan ditarungkan oleh dua pakembar. Suasana riuh membumbung bersautan, cok, gasal, telude dan sebagainya–menyebut nama sistem taruhan dalam sabung ayam di Bali. Mong, mong, mong–kemong dipukul oleh saya (juri)–pertarungan ayam putih versus ayam merah pun dimulai. Suasana terasa tegang. Teriakan-teriakan bergemuruh menyertai perkelahian hidup mati dua ayam jantan itu. Ayam putih mengerang bersimbah darah terjerembab sekarat dan dinyatakan kalah. Ekspresi girang tampak pada wajah babotoh yang menang dan sebaliknya rona kuyu terbersit pada babotoh yang kalah.

Mamasuki pertarungan berikutnya suasana kembali gegap. Namun sesaat setelah dua ayam petarung dilepas, tiba-tiba terdengar suara sirine yang meraung-raung. Ada yang beteriak: polisi, polisi! Para babotoh itu bubar dan lari tunggang langgang. Banyak yang ambil langkah seribu menyuruk ke persawahan dan semak-semak. Senyap sejenak, seorang yang mengaku bendesa setempat, memanggil beberapa para babotoh yang bersembunyi ketakutan. Jero Bendesa menasehati orang-orang yang masih diliputi rasa was-was itu untuk tidak memanfaatkan ritual tabuh rah sebagai ajang judi. “Tabuh rah itu korban suci untuk menjaga harmoni alam dan kehidupan,” ujar bendesa berambut panjang memakai udeng putih tersebut.

Adalah sabungan ayam dalam ritual tabuh rah menjadi sumber inspirasi seorang seniman Bali, I Wayan Sutirtha, dalam sebuah karya seninya bertajuk “Tabuh Rah, Antara Ritual dan Judi”. Kendatipun ditampilkan secara sesungguhnya, sabungan ayam yang membaurkan penari terlatih, babotoh, polisi dan masyarakat umum itu adalah sebuah simulakra dari sebuah penciptaan karya seni pertunjukan. Beberapa turis asing yang  menyaksikan “pertunjukan” sabungan ayam di jaba Pura Baban, Singapadu, itu pun secara tak sengaja ikut menjadi pemain. Sepasang turis asing tampak kebingungan ketika adu ayam itu bubar berantakan.

Pengejawantahan estetik dari tabuh rah yang disertai taruhan uang itu terajut di Bale Banjar Seseh, Singapadu, tak jauh dari arena sabungan ayam. Dibawakan oleh 40 orang penari pria bertelanjang dada memakai selembar kain dan udeng yang diikatkan sekenanya. Sebuah komposisi seni pentas yang memadukan elemen-elemen gerak dan musik mengalir dinamik sepanjang 15 menit. Eksplorasi gerak-gerak bebas improvisatoris tampak dicuatkan. Derak musikal dari hentakan tubuh para penari penimpali dengan ritmis. Pekik cok, gasal, dapang, apit, buik, bihing, serawah, sangkur dijalin bak simponi. Kumandang dendang lagu-lagu rakyat Bali yang bertema ayam aduan dan sabung ayam, menggarisbawahi keseluruhan karya seni pentas ini.

Kendati disaksikan begitu antusias oleh masyarakat setempat, sejatinya, garapan seni tari Wayan Sutirtha itu  digarap dan disajikan sebagai karya tugas akhir untuk menyelesaikan jenjang akademik S2 Penciptaan Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Siang itu, sebuah tim penguji dari ISI Surakarta secara khusus didatangkan berbaur dengan masyarakat penonton bersama-bersama menyimak karya salah seorang dosen tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar tersebut. Atas garapannya yang memikat itu, sore itu juga, Sutirtha dinyatakan lulus dan berhak menyandang gelar magister seni (M.Sn).

Sabungan Ayam, Pentas Pertarungan Orang Bali selengkapnya

Prasasti Blanjong dan Gamelan Gong Beri

Prasasti Blanjong dan Gamelan Gong Beri

Kiriman Hendra Santosa, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Menurut beberapa sumber, nama Blanjong berasal dari kata blahjung. Blah atau belah berarti pecah, dan jung berarti perahu. Jung yang bocor, kemudian terdampar dan akhirnya pecah berantakan dekat Sawang. Kata sawang berarti palung laut yang dalam, dan sekarang menjadi Semawang. Pengertiang Blanjong adalah suatu tempat dimana perahu yang bocor kemudian pecah terdampar di dekat Semawang.

Rusaknya tulisan prasasti membuat para ahli hanya dapat mengira-ngira terjemahannya yaitu: Pada tahun 835 Caka bulan Phalguna, seorang raja yang mempunyai kekuasaan di seluruh penjuru dunia beristana di keraton Singadwala, bernama Sri Kesari telah mengalahkan musuh-musuhnya di Gurun dan di Swal. Inilah yang harus diketahui sampai dikemudian hari.

Prasasti Blanjong berbentuk pilar, tingginya 177 centi meter dengan garis tengah 62 cm, di atasnya (bagian kepala) ada mahkota yang berwujud bunga teratai, sama dengan yang ada di Malaya serta di Sriwijaya. Dalam prasasti itu terdapat kata satru dan bheri yang mana melukiskan keadaan perang serta kata-kata yang berarti mengalahkan musuh. Prasasti ini ditulis dalam dua bahasa, bagian pertama terdiri dari 6 baris, tiga baris berbahasa Sangsekerta dengan tulisan Pranegari dan tiga baris kemudian berbahasa Bali kuno dengan huruf Pranegari. Kemudian bagian kedua terdiri dari 13 baris dengan huruf Bali kuno dan bahasa sangsekerta terletak dibawahnya. Sedangkan angka tahunya ditulis dalam bentuk candrasangkala berbunyi Khecara – Wahni – Murti, rajanya disebut Sri Kesari Warmadewa, tahun Candrasangkala itu melukiskan  tahun  Icaka  835  atau  913 M. Kalau   kita   lihat   secara seksama, prasasti tersebut sulit untuk diartikan kata demi kata karena sebagian besar tulisannya telah rusak. Walaupun demikian, kita masih dapat dilihat dengan jelas pada akhir tulisan, bahwa gelar Sri Kesari ditulis dengan lengkap yaitu …samasta samantadhipatih Cri Kesari warma…

Dalam kawasan prasati berjarak sekitar 7 meter terletak sebuah pura yang dinamakan dengan Pura Blanjong. Di dalam pura ini banyak ditemukan berbagai barang peninggalan seperti: 1) Arca Ganesa, Arca perwujudan, diperkirakan berasal dari abad XIII–XIV (Majapahit), dan arca teracota berwujud binatang dan sandaran arca, berdasarkan atributnya, kemungkinan besar berasal dari jaman Majapahit. 2)  Lingga ditempatkan di sebuah pelinggih bersama-sama dengan stela arca dan fragmen arca. Terbuat dari batu padas dengan ukuran tinggi 36 Cm, panjang 40,5 Cm, dan lebar 38,5 Cm. 3) kereweng Cina dari beberapa dinasti yaitu zaman dinasti Sung (960-1280 M), dinasti Yuan (1280-1368 M), dan dinasti Ching (1644-1912 M), kereweng lokal yang persebarannya dipermukaan tanah dan populasinya cukup banyak, kereweng Annam yang berasal dari abad XIV-XVI, dan Kereweng Eropa yang berasal dari abad XVII-XIX.

Prasasti Blanjong dan Gamelan Gong Beri selengkapnya

Sajian Komposisi Karawitan Dalam Wacana Estetika Postmodern

Sajian Komposisi Karawitan Dalam Wacana Estetika Postmodern

Sajian Komposisi Karawitan Sebuah Kategori Contoh Dalam Wacana Estetika Postmodern.

Kiriman Saptono, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

1.Latar Belakang

Pengertian estetika sebagai filsafat, hakekatnya telah menempatkan pada satu titik dikotomis antara realitas dan abstraksi, dan juga antara keindahan dan makana. Estetika tidak lagi menyimak keindahan dalam pengertian konfensional, melainkan telah bergeser kesebuah wacana dan fenomena. Estetika karya seni modern jika dipahami melalui pemahaman filsafat seni yang merujuk pada konsep-konsep keindahan jaman Yunani (abad pertengahan), akan mengalami penciutan atau pembunuhan preseptual, karena estetika bukan hanya simbolisai dan makna, melainkan juga daya.  Setiap ungkapan atau ekspresi kesenian apapun bentuk dan media pengungkapannya pada dasarnya adalah ungkapan estetik seniman. Dalam dimensi estetis Noel Carroll (1999), pengalaman seni mencakup kepuasan rasa yang muncul tatkala menyaksikan suatu sajian karya atau obyek seni (merasa senang, dan puas menyaksikan sebuah ply) (Khanisar, 2004:65-78).

Seni pertunjukan pada dasarnya adalah presentasi ide, gagasan, atau pesan pada penonton oleh pelakunya melalui peragaan. Sebagai sebuah karya seni, seni pertunjukan memadukan hampir semua unsur seni; seni rupa, seni sastra, seni gerak, seni suara, sehingga mampu memberikan kepuasan estetis yang sangat lengkap (Dibia, 2004:3).  Untuk lebih rampingnya fokus dalam tulisan ini secara spesifik melihat karya seni sebagai kasus dalam beberapa komposisi (gending/lagu) karawitan Jawa dan Bali (tabuh), ditinjau dari kacamata estetika postmodern, dengan lima (5) idiom; pastiche, parodi, kitsch, camp, dan skizofrenia.

2. Komposisi dalam Karawitan

Dalam Ensiklopedi Musik Indonesia (1985:12), dewasa ini istilah karawitan adalah musik dengan sistem nada (laras) slendro maupun pelog, atau tangga nada non diatonis yang pernah berkembang atau masih hidup di Indonesia, sebagai musik tradisional di daerah-daerah.

Gendhing adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut komposisi musikal dalam karawitan Jawa. Secara konvensional, repertoar gending Jawa telah memiliki cara dan pola penyajian, bentuk dan struktur, serta karakterisik yang berbeda dengan lagu atau komposisi jenis musik lain. Secara musikal di dalam penyajian karawitan, saat para seniman memainkan instrumen yang   memiliki fungsi dan teknik permainan yang berbeda, mereka tidak sekedar terpaku terhadap instrumen yang dimainkannya, melainkan mereka saling memperhatikan dengan sesama penyaji yang lain. Mereka saling melempar dan merespon ide musikal, sehingga terjadi dialog dan interaksi musikal yang hidup dan menarik. Sehingga bila dianalisis ketika masing-masing ricikan (instrumen) yang mereka sajikan memiliki cara permainan, warna suara, dan kaidah-kaidah (vokabuler) yang beragam, dan ketika seluruh permainan instrumen dimainkan secara terpadu tetap menjadikan satu kesatuan yang enak didengar (harmonis). Dalam sajiannya karawitan juga sangat memungkinkan adanya perbedaan penyajian pada saat yang berbeda. Perbedaan penyajian tersebut antara lain ditentukan oleh fungsi dan kegunaan karawitan.

Pada prinsipnya kesenian seperti di atas sudah berlangsung dan dipertahankan secara turun-temurun dan diikuti kaidah-kaidah secara tetap. Sebuah karya seni  menjadi baku dalam pengertian tetap, stabil, dan tidak berubah-ubah lagi setelah mengalami proses koreksi, perbaikan dan penyempurnaan di sana-sini secara efolutif jangka panjang di dalam komunitas budayannya (Suka, 2003:77). Berlangsungnya pada suatu pertunjukan atau permainan seni tradisi dan kesenian rakyat sebenarnya adalah suatu proses rekonstrksi atau reinterpretasi dari komposisi karawitan yang dianggap baku.

Sajian Komposisi Karawitan Sebuah Kategori Contoh Dalam Wacana Estetika Postmodern selengkapnya

Bentuk Tari Kreasi Baru Siwa Nataraja Karya I Gusti Agung Ngurah Supartha

Bentuk Tari Kreasi Baru Siwa Nataraja Karya I Gusti Agung Ngurah Supartha

Kiriman I Ketut Sariada, SST., MSi., Dosen PS Seni Tari ISI Denpasar

Bentuk

Penelitian berparadigma budaya yang dalam realitas pendekatannya menekankan konsep bentuk (Bagus, 1988 : 55) menyatakan bahwa konsep bentuk menyoroti dan membatasi (aspek ontologi) yang ingin diketahui. Dalam kaitan ini, keterwujudan atau bentuk menandai keberadaan sesuatu yang fenomenal dapat digapai dan dicapai secara indrawi sehingga dapat diperoleh fakta-fakta empirik. Fakta-fakta emprik seperti peristiwa dan gejala kealaman yang terlihat dengan manusia, masyarakat, dan kebudayaan itu dihubungkan dan diangkat saripatinya. Dengan demikian, maka pengetahuan kebenaran obyektif tentang sesuatu apa yang terbentuk itu menjadi lebih menyeluruh dan tuntas.

Sesuai dengan pendapat di atas tari kreasi baru Siwa Nataraja adalah sebuah bentuk seni pertunjukan yang merupakan hasil karya cipta I Gusti Agung Ngurah Supartha yang secara empirik dapat diwariskan sampai sekarang, serta dilestarikan di sanggar tari Wrhatnala Abiantuwung, Kediri, Tabanan yang sangat bermakna bagi masyarakat pedukungnya, serta dapat menambah khasanah seni pertunjukan Bali.

Susan K. Langer (dalam Gie, 1996 : 18-20) menyebutkan, seni sebagai bentuk harus merupakan suatu kebulatan yang sifatnya organik. Kebulatan organis ciri berbagai sumber unsur ekspresif tersebut tertuang ke dalam bentuk tertentu. Langer membedakan bentuk fisik dan dinamik. Bentuk fisiknya tetap seperti bangunan arsitektur, sedangkan bentuk dinamik seperti tarian merupakan suatu yang dapat dimengerti (perceptible). Suatu bentuk yang merupakan kebulatan organis, yaitu setiap bagian atau unsurnya memainkan peranan tidak hanya dalam rangka dirinya sendiri tetapi juga dalam rangka semua bagian atau unsur lainnya. Tidak ada bagian yang berdiri sendiri melainkan harus bersama-sama dengan bagian lainnya untuk membentuk kesatuan organis.

Bentuk seni adalah hasil ciptaan seniman yang merupakan wujud dari ungkapan, isi pandangan dan tanggapannya ke dalam bentuk fisik yang dapat ditangkap dengan indera. Maka di dalam bentuk seni terdapat hubungan antara garapan medium dan garapan pengalaman jiwa yang diungkapkan, atau terdapat hubungan antara bentuk (wadah) dan isi yang dikandungnya. Bentuk merupakan sarana untuk menuangkan isi, dan isi sebagai bentuk ungkap merupakan pengalaman jiwa yang wiganti (significant). Dalam ungkapan karya seni, seniman mengajak penonton untuk menyelami pengalaman berbagai macam di luar wilayah pengalamannya sendiri. Seniman dapat mencari berbagai pengalaman, seperti: kebaikan yang berhasil menolong, hal-hal yang menakutkan, kejahatan, dan sebagainya (Humardani, 1982/1983: 11-12).

Ungkapan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk merupakan suatu kebulatan yang sifatnya organik, bersumber dari unsur ekspresif; tertuang dalam bentuk fisik maupun dinamik yang isinya dapat ditangkap melalui panca indra. Bentuk juga merupakan unsur abstraksi seperti misalnya garis, warna, gerak, nada, dan kata. Selain dari unsur abtraksi unsur dramatikpun tertuang didalamnya seperti penggambaran orang atau kejadian-kejadian lainnya.Bentuk (wujud) yang dimaksudkan adalah kenyataan yang nampak secara konkrit di depan kita (berarti dapat dipersepsikan dengan mata dan telinga) dan juga kenyataan yang tidak nampak secara konkrit dimuka kita. Tetapi secara abstrak wujud juga dapat dibayangkan, seperti sebuah cerita yang kita baca dalam buku. Di dalam seni tari juga ada yang berbentuk abstrak, yang mewujudkan suatu “ide”, “konsep” suatu pemikiran. Misalnya, Tari Nelayan ide atau konsepnya menirukan orang menangkap ikan (Djelantik, 1990: 17).

Dilihat dari koreografinya bentuk dan struktur garapan, tari-tarian Bali dapat dikelompokan menjadi: tari-tarian tunggal (solo), tari berpasangan (duet), tari kelompok (group) kecil dan besar, dan drama tari. Tari tunggal hanya dibawakan oleh seorang penari, tari berpasangan menampilkan dua orang penari saling medukung (bukan kembar), tari kelompok melibatkan sejumlah penari (dari tiga sampai puluhan orang), dan dramatari menampilkan sejumlah penari dengan membawakan lakon (Dibia, 1999: 8).

Bentuk Tari Kreasi Baru Siwa Nataraja Karya I Gusti Agung Ngurah Supartha selengkapnya

Geliat Gerabah Pejaten

Geliat Gerabah Pejaten

Kiriman: Nurchatijah. Mahasiswa PS. Kriya Seni Minat Kriya Keramik.

Perkembangan gerabah di Bali dari dulu sampai sekarang mengalami kemajuan yang pesat.  Kalau dahulu hanya sebagai bahan utama pembangunan rumah seperti batu bata dan genting serta tempat menyimpan bahan makanan dan wadah  sesaji untuk sarana upacara agama mayoritas penduduk Bali (Hindu), pada saat ini keramik dalam perkembangannya juga bisa dipasarkan sebagai cenderamata dalam bentuk meja hias, tempat dupa dan lain sebagainya. Ada beberapa sentra-sentra keramik atau gerabah yang ada di Bali antara lain : Binoh, Pejaten, Kapal dan sebagainya. Sebagai daerah yang masih memproduksi hingga saat ini keramik Pejaten masih memiliki ciri dan keunggulannya.

Desa Pejaten Kabupaten Tabanan terletak 4 km barat daya dari Kediri merupakan  desa tradisional penghasil kerajinan dari tanah liat dan keramik.  Desa ini diapit dua sungai dengan luar sekitar  1,5 km persegi. Masyarakat Pejaten  telah menambang  tanah  liat  merah (bahan dasar keramik) sejak awal berdirinya desa dan menggunakan cara pembakaran tradisional sampai akhirnya persediaan tanah merah tersebut menipis pada tahun 70-an dan ini menjadi sebuah kekhawatir saat itu dibarengi pula oleh produksi peralatan rumah tangga yang dibuat dengan bahan alumunium yang lebih praktis dan berkembang pesat.

Permasalah yang terjadi sekarang adalah kwalitas yang dihasilkan dari keramik gerabah dan keramik stonewere sangat berbeda jauh baik itu bahan baku dan hasil barang, akan tetapi keramik gerabah tidaklah kehilangan peminat ataupun pasar, justru keramik gerabah masih mendapatkan tempat dihati peminat-peminatnya karena masih mencirikan tradisional Indonesia asalkan para pengrajin mampu mengembangkan disain-disain yang lebih unik dan menarik yang ditungkan dengan media tanah merah ini.

Perajin Gerabah UD Amerta Sedana.

Dari sejarah keramik yang ada di  desa Pejaten, salah satu perajin keramik yang tetap bertahan dan masih menciptakan bentuk-bentuk hasil ide dan kreatifitas sendiri adalah I Wayan Kuturan, yang memiliki usaha industri keramik (UD. Amerta Sedana) yang masih menggunakan tanah merah sebagai bahan baku keramik produksinya diantara rekan-rekan seperjuangannya yang merintis keramik di desa Pejaten yang sudah memproduksi keramik dengan bakaran tinggi (stonewere).. Lokasi kerja (bengkel/studio) I Wayan Kuturan dan keluarganya ditempatkan di bagian belakang kediamannya memiliki luas sekitar 6×10 meter, masih menggunakan bilik bambu dan beralas lantai tanah. Sebagian serta rak-rak gerabah berkerangka bambu juga. Tempat kerja yang beralamatkan di Banjar Pangkung, Pajaten, Kediri Tabanan Bali ini berdiri sejak tahun 1990 yang dirintisnya di tahun 1960-an  dimulai dari produksi genting dan peralatan dapur. Pada awal 1980 merubah menjadi produksi karya/ benda pajang karena permasalahan bahan baku yang banyak terolah menjadi bahan bangunan (genting) serta peralatan dapur yang bersaing antara bahan baku gerabah dan alumunium yang berkembang pesaat saat itu. Jumlah karyawan perusahaan ini sekarang 15 orang, jumlah ini  dapat bertambah dengan istilah “karyawan borongan” jika terjadi pemesanan produksi yang banyak.

Geliat Gerabah Pejaten selengkapnya

Loading...