Kain Batik Tua, Media Hias Alternatif Produk Gerabah

Kain Batik Tua, Media Hias Alternatif Produk Gerabah

Kiriman, I Wayan Mudra, PS Kriya Seni ISI Denpasar.

Kain batik tua atau kain batik habis pakai mempunyai nilai tersendiri bagi orang-orang kreatif. Peningkatan nilai ekonomis, dan estetis benda kriya akan muncul dari pemanfaatan benda-benda yang unik, baik sebagai bahan utama atau hanya sekedar sebagai media hias.

Siapa menyangka kain tua habis pakai  yang sudah lusuh dan tidak layak pakai berguna sebagai media hias keramik. Kerap kali kain ini menjadi incaran para pembuat kriya bukan saja untuk media hias keramik, tetapi juga diwujudkan dalam bentuk lain. Walaupun wujud fisiknya terkesan remeh dan sepele ternyata untuk mendapatkannya tidak mudah.  Kain yang sering disebut “kain bekas” di mata perajin ini, sering memberikan kesan kurang baik ditelinga orang seperti kain yang kotor, robek, lusuh dan terkadang menjijikkan. Karena mendengar kata “kain batik bekas” mengisyaratkan kepada orang bahwa kain tersebut adalah kain yang habis dipakai oleh orang tua bahkan nenek, yang badannya kotor dan kurus, keadaannya lusuh, kotor dan berbau tidak sedap karena tidak pernah dicuci. Namun ditangan para perajin justru keadaan ini bisa menjadi nilai tersendiri dalam membuat karya-karya yang unik dan menarik, seperti halnya perajin keramik. Mereka sengaja memang mencari kain bekas untuk media hias. Menjadi pertanyaan kenapa perajin memilih kain bekas bukan kain batik yang baru dengan kondisi yang lebih baik. Pertimbangannya pertama tentu selera konsumen dan yang kedua harganya relatif lebih murah bila dibandingkan dengan kain yang baru, walaupun untuk mendapatkannya terkadang sulit. Dengan pertimbangan bahan lebih murah sehingga akan bisa menekan harga produksi dan meningkatkan harga produk kriya tersebut.

Kain batik bekas diterapkan sebagai altenatif media hias karena memberikan nuansa antik pada produk yang dihias. Nuansa antik untuk pasaran di Bali yang konsumennya wisatawan asing sering kali menjadi suatu hal penting dan dicari oleh perajin.

Pemanfaatan kain batik habis pakai sebagai media hias keramik yang terlihat di pasar selama ini adalah keramik-keramik Lombok tingkatan gerabah yang dipasarkan di Bali.. Gerabah merah tanpa dekorasi didatangkan dari Lombok, kemudian proses pendekorasiannya dilakukan di Bali. Jenis gerabah dengan dekorasi semacam ini terlihat dibuat dan dipasarkan tempat-tempat penjualan gerabah di kawasan Suwung. Hal ini mengindikasikan sasaran konsumen gerabah jenis ini adalah wisatan asing

Bahan utama dekorasi ini selain kain batik bekas juga diperlukan lem sebagai bahan perekat. Teknik penerapan dekorasi ini adalah pertama menentukan jenis motif kain dan posisi motif pada badan gerabah. Perajin dituntut memiliki ketrampilan yang cukup untuk mencapai kualitas dekorasi yang baik,  baik dilihat dari sisi kualitas penerapan maupun kualitas penampilan motif. Penentuan motif dilakukan untuk memilih mana motif yang cocok untuk gerabah berbadan melebar (horisontal) dan mana motif kain yang cocok untuk badan gerabah meninggi (vertikal). Pemilihan motif seperti ini tidak mutlak dilakukan, karena penentuan motif terkadang ditentukan oleh pesanan konsumen. Setelah motif kain ditentukan dilanjutkan dengan pemotongan kain. Teknik penerapan kain pada badan gerabah dilakukan dengan teknik tempel dengan perekat lem. Lem yang cukup baik digunakan adalah lem kastol yang dijual bebas dipasaran. Proses penempelan disebut berhasil bila hasil tempelan melekat dengan baik dan tidak terjadi gelembung-gelembung kain. Proses akhir /finishing, hasil tempelan kain yang sudah kering dilapisi dengan cat transparan. Penggunaan kain batik bekas sebagai bahan hias dapat dilakukan terhadap semua bentuk gerabah. Namun yang paling penting diperhatikan adalah ketelitian dan ketelatenan prases penerapannya.

Kain Batik Tua, Media Hias Alternatif Produk Gerabah selengkapnya

Marginalisasi Seni Jemblung di Banyumas

Marginalisasi Seni Jemblung di Banyumas

Kiriman Saptono, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

1.Latar Belakang

Banyumas merupakan wilayah eks-Karesidenan, meliputi Kabupaten: Banjarnegara, Banyumas, Cilacap dan Purbalingga. Dalam ini tidak hanya meliputi kewilayahan yang bersifat geografis, ekonomi, sosial, historis, tetapi juga budaya yang masing-masing memiliki keterikatan satu dengan yang lainnya. Ikatan kesamaan itu memiliki konsekwensi bagi keselarasan dalam pembangunan yang satu dengan lainnya, saling mengikat, saling mendukung dan saling mengisi (Surono, 2002)

Masyarakat Banyumas juga cukup dikenal kalau logat bahasa (dialek) bicaranya ngapak-ngapak. Misalnya  lumrahnya orang Jawa Tengahan (Solo, Jogja, Semarang, dan sekitarnya) berbicara ‘sopo’ baca ‘sopo’ padahal tulisannya ‘sapa’artinya ‘siapa’, dan anehnya masyarakat Banyumas sendiri tidak tahu persis apa itu artinya ngapak-ngapak. Intinya logat bahasa dan budaya masyarakat Banyumas apa adanya (blakblakan), membaca dalam kontek bahasa daerah (Jawa) sesuai dengan tulisannya. Misalnya berbicara ‘sapa’ baca ‘sapa’ karena tulisannya ‘sapa’ dan artinya ‘siapa’.

Budaya “Banyumasan” meliputi wilayah eks-Karesidenan Banyumas, sampai kabupaten Kebumen. Dengan demikian tidak mengherankan kalau dialek dan budayanya ada yang sama, karena secara historis daerah Gombong, Karanganyar, dan Kebumen pernah masuk wilayah Banyumas. Sedangkan akhiran kata “an” di belakang nama daerah (Banyumas) adalah untuk lebih mempersempit cirikhasnya seni tradisi daerahnya, di luar tembok keraton (kesenian rakyat?)

Banyumas juda daerah yang cukup kaya dengan ragam dan bentuk keseniannya, atau banyak kalangan seniman di Jawa sering menyebutnya dengan kesenian Banyumasan. Adapun jenis-jenis kesenian yang pernah maupun masih hidup di daerah ini, diantaranya: Angguk, Aplang, Baladewan, Begalan, Braen, Buncis, Dagelan, Dames, Daeng, Ebeg, Lengger, Calung, Gending Banyumasan (karawitan), Manongan, Pedalangan (wayang), Rengkong, Sintren, Ujungan, dan Jemblung  (Soedjarwa Soedarma, dalam Saptono, 2004, p.21-30). Dari sekian jenis kesenian tersebut di atas, saat ini juga banyak jenis-jenis kesenian yang baru muncul dan cukud digandrungi oleh masyarakat pendukungnya. Namun demikian dalam ini penulis ingin membahas pada salah satu jenis kesenian  yaitu Seni Jemblung.

Jemblung adalah salah satu bentuk kesenian tradisional dari daerah Banyumas yang biasanya dimainkan oleh empat orang pemain, dan pertunjukannya mengandalkan kemahiran bertutur. Istilah ‘Jemblung’ sampai saat ini tidak ada yang mengetahui secara pasti.  Seni dan Budaya Banyumas (bagian 3) DISBUDPAR Banyumas, dalam SUARA MERDEKA bahwa kata ‘Jemblung’ merupakan jarwo dosok yang berarti jenjem-jenjeme wong gemblung (rasa tenteram yang dirasakan oleh orang gila). Pengertian ini diperkirakan bersumber dari tradisi pementasan Jemblung yang menempatkan pemain seperti layaknya orang gila. Sumber lain menyebutkan istilah ‘Jemblung’  berasal dari kata ‘gemblung’ yang artinya ‘gila’. Pengertian ini  cukup bisa diterima, karena saat pertunjukan berlangsung sang dalang berakting seperti orang ‘gila’ (Petra Christian, dalam Genta Campus Magazine University Surabaya).

Pertunjukan Jemblung merupakan bentuk sosio drama yang mudah dicerna masyarakat luas. Pada prinsipnya pertunjukan ini dapat dipentaskan dimana saja disegala tempat, seperti di balai-balai rumah atau di panggung. Para pemain Jemblung yang hanya melibatkan 4 (empat) orang seniman, dalam pementasannya tanpa properti artistik, sangat dibutuhkan kemahiran dan kekompakannya didalam menghidupkan suasana pertunjukan. Dalam pertunjukannya, pemain jemblung duduk di kursi menghadap sebuah meja yang berisi hidangan yang sekaligus menjadi properti pementasan dan sebagai santapan mereka saat pertunjukan berlangsung. Semua hidangan ditaruh diatas tampah, kecuali wedang (minuman; kopi, teh, air putih)  ditaruh diluar tampah . Hidangan tersebut antara lain: jajan pasar yaitu aneka kue yang biasa dijual di pasar tradisional, kemudian ada buah pendem seperti jenis ubi-ubian yang sudah dimasak, pisang, nasi gurih, dan minuman; wedang teh, kopi, dan wedang bening (air putih).

Marginalisasi Seni Jemblung di Banyumas selengkapnya

Nilai-Nilai Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan

Nilai-Nilai Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan

Kiriman I Ketut Partha, SSKar., M. Si., dosen PS Seni Karawitan

Realisasi pelestarian nilai-nilai tradisi dalam berkesenian, bersinergi dengan ajaran Tri Semaya, yaitu: atita, nagata, dan wartamana. Apapun yang dilakukan saat ini hendaknya berpedoman dengan nilai-nilai masa lalu (atita) dan ber-orientasi ke masa depan (wartamana). Dengan demikian apa yang kita lakukan pada saat ini tidak meninggalkan akar budaya masa lampau dan juga tidak kehilangan kreatifitas untuk masa yang akan datang (Asnawa, 2004 : 82).

1)  Nilai Religius

Gamelan Semar Pagulingan memiliki ciri-ciri sebagai bentuk seni  ritual sesuai dengan konsep desa, kala, patra (tempat, waktu, dan keadaan) masyarakat setempat. Pada prinsipnya eksistensi Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan telah menunjukan ciri-ciri sebagai seni ritual, penyajiannya difungsikan sebagai pendukung suasana yang dapat dijadikan salah satu ciri (cihna) bahwa ada upacara yang sedang berlangsung. Semar Pagulingan memiliki nuansa musikal yang lirih dan lembut, sehingga dapat menambah ketenangan dan suasana khusuk untuk melengkapi serta memeriahkan rangkaian ritual dalam rutinitas keseharian masyarakat Teges Kanginan.

Para penabuh Semara Pagulingan ketika terlibat dalam kegiatan ritual, mereka menyerahkan diri secara tulus demi suatu kepercayaan yang mereka yakini. Berpatisipasi megambel, selain untuk mengekpresikan naluri berkesenian pada intinya merupakan yadnya bagi kehidupannya dibawah perlindungan dari kekuatan Yang Maha Kuasa.

Penyajian Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan dalam kaitannya dengan aktivitas keagamaan, dapat dikatakan bahwa eksistensinya banyak terkondisi oleh tradisi ngayah. Sebagai seorang penabuh akan merasa bahagia bila dapat menyumbangkan ketrampilannya dengan menyajikan tabuh-tabuh yang dimiliki. Gamelan Semara Pagulingan dalam fungsinya mengiringi dan melengkapi aktivitas ritual adalah sebagai wujud ungkapan rasa bhakti yang bernilai ”relegius”. Penabuh Semara Pagulingan oleh puluhan partisipan mengikuti serta mengiringi ritual sesuai rangkaian acara dari awal sampai akhir. Kendatipun para penabuh tidak disakralkan, akan tetapi saat keterlibatan mereka ketika ngayah, baik sebelum memulai atau seusai menyajikan tabuh-tabuh Semara Pagulingan, para penabuh mendapatkan percikan air suci, mendapatkan berkah atau pembersihan diri secara niskala.

2)  Nilai Solidaritas

Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan dalam aktivitas berkesenian selalu dapat mengukuhkan nilai-nilai solidaritas bagi masyarakat pendukungnya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dibentuklah organisasi yang mengelola barungan gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan yang diberi nama Sekaa Gunung Jati. Adanya rasa kebersamaan antara sesama anggota sekaa, secara implisit tercermin pada tatanan orkestrasi dalam memainkan gamelan. Dalam barungan gamelan Semara Pagulingan terdapat berjenis-jenis alat dengan bentuk serta fungsinya masing-masing yang saling ketergantungan. Hubungan yang spesifik ini mengandung nilai-nilai  solidaritas sebagai tuntunan perilaku untuk melahirkan rasa kebersamaan, keterbukaan, kemandirian dan  tanggung jawab.

3)  Nilai Estetis

Pada umumnya di Bali, seni tidak dapat dipisahkan keberadaannya dengan masyarakat, seni dan masyarakat adalah satu. Oleh karena itu nilai estetis sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Bali. Kesadaran dan kehidupannya di bidang seni sangat tinggi, dan boleh dikatakan antara seniman dan masyarakat penontonnya terdapat komunikasi yang hidup (Mantra, 1993 : 32). Eksistensi seni tidak dapat dilepaskan dari fungsinya sebagai sarana interaksi dan komunikasi yang didalamnya mengandung keselarasan untuk melahirkan nilai-nilai estetis.

Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan bernilai artistik bertumpu kepada masalah rasa, selalu mengacu kepada dua sisi yang terkait, yaitu objektivitas dan subjektivitas. Sisi yang pertama menyangkut realita atau kenyataan dari bentuk fisik Semara Pagulingan, sedangkan sisi yang kedua menyangkut kesan penyajian yang ditimbulkan oleh Semara Pagulingan tersebut. Oleh sebab itu, hasil penilaian estetis yang optimal dapat dicapai dengan memadukan kedua sisi, yaitu objektif dan subjektif.

Nilai Nilai Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan selengkapnya

Gambuh Sebagai  Inspirator Seni Pertunjukan Bali

Gambuh Sebagai Inspirator Seni Pertunjukan Bali

Kiriman: A.A.Ayu Kusuma Arini, SST.,M.Si. Indonesian Institute of the Art Denpasar

Pendahuluan

Satu diantara dramatari klasik Bali yang dianggap bermutu tinggi oleh para budayawan asing adalah Gambuh. Kesenian ini mengingatkan akan kebangkitan kerajaan Bali masa lampau dan merupakan warisan budaya yang paling indah dari semua teater Bali. Di atas segalanya Gambuh adalah tarian luar biasa, terkadang lucu dan keras, terkadang kasar dan sengit, terkadang dilakonkan oleh penari lanjut usia dengan keanggunan yang menghanyutkan, namun terkendali.

Pada jaman kerajaan, peranan puri / raja dalam kehidupan seni budaya sangat besar. Raja merupakan pengayom, pembina, dan pemelihara kehidupan seni budaya, termasuk tari pada khususnya. Sebagai teater istana, hampir setiap puri memiliki bangunan yang disebut Bale Pegambuhan. Namun kini kesenian Gambuh telah menjadi milik desa yang tetap dipertahankan untuk kepentingan upacara.

Seni pentas total

Dilihat dari wujud seni yang membangunnya, Gambuh merupakan seni pentas yang berbentuk total teater. Di samping unsur seni tari yang dominan, terdapat juga unsur-unsur seni lainnya seperti seni tabuh, seni sastra, seni vocal / dialog, seni rupa, dan seni rias yang terpadu secara harmonis dan indah. Demikian pula Gambuh didukung oleh berbagai karakter, seperti karakter halus (tokoh Rangkesari dan Panji), karakter keras para patih Arya dan Prabangsa karakter lucu Demang Tumenggung dan lainnya. Masing-masing tokoh memiliki gending iringan tersendiri yang dipimpin oleh suling panjang hingga 90 cm dengan karakter agung, dinamis dan manis. Di samping itu ditengah-tengah penabuh duduk satu atau dua orang juru tandak yang berfungsi untuk menghidupkan suasana dalam dramatisasi pertunjukan seperti sedih, gembira, marah, lucu dan sebagainya. Sebagai dramatari tertua, setiap tokoh karakter putra maupun putri memiliki tatanan busana tersendiri. Perpaduan seni yang kompleks itulah membangkitkan inspirasi empu-empu seni berikutnya untuk mentransformasikan ke dalam bentuk tari-tarian baru yang lahir belakangan.

Bila dihubungkan dengan peristiwa sejarah dikala Majapahit runtuh pada pertengahan abad XV dimana khasanah sastra Jawa termasuk ceritra Panji diboyong ke Bali, maka kesenian Gambuh diperkirakan muncul di Bali sekitar abad XV. Gambuh merupakan tarian yang sulit dipelajari karena memerlukan penghayatan dramatisasi, perbendaharaan gerak tari, maupun ucapan yang telah dipolakan. Setiap tokoh utama harus mampu berbahasa kawi atau Jawa kuno yang akan diterjemahkan oleh para panakawan. Di samping itu Gambuh sangat ekspresiv karena mengutamakan ekspresi muka dan banyak memakai gerakan mata yang disebut nelik, nyureng, gagilehan, nyerere dan sebagainya. Tanpa ekspresi utama ini, dramatari Gambuh tidak akan kelihatan hidup. Hal ini akan memberikan kendala pada generasi muda, bila diarahkan untuk mempelajari kesenian yang sulit dan kurang menarik baginya.           Pementasan Gambuh terbatas untuk kepentingan Yadnya yang besar, seperti Tawur Agung / Ngenteg Linggih pada pura Kahyangan Jagat dan upacara Maligia.. Saat ini seka Gambuh yang masih aktif, antara lain dari Batuan (Gianyar), Pedungan (Kota Denpasar) dan Padangaji  (Karangasem). Di daerah lain sesungguhnya pernah juga ada seka Gambuh, namun yang tersisa kini hanya beberapa instrument gamelan dan kostum tari yang tidak lengkap.

Lakon utama Gambuh adalah cerita Panji yang mengisahkan kehidupan, romantika dan peperangan dari kerajaan di Jawa Timur pada abad XII – XIV. Di Bali cerita itu disebut Malat sesuai dengan nama tokoh sentral yakni Panji Amalat Rasmi. Cerita Panji merupakan kisah yang sangat populer dalam masyarakat Indonesia, khususnya Bali. Cerita ini adalah karya cipta asli budaya Nusantara, bukan import seperti Mahabharata dan Ramayana. Episod-episod ceritranya sangat menarik dengan struktur naratif yang memikat atau struktur dramatik yang memukau, bila disajikan dalam bentuk seni pertunjukan. Di Bali ceritra Panji memiliki pengaruh yang sangat luas dan menunjukkan perkembangan yang amat kompleks karena cerita itu berkembang dalam berbagai jalur dan kreativitas seni. Misalnya dijumpai pada seni sastra berbentuk gaguritan / kidung, seni pertunjukan yang bersumber pada Gambuh. Dalam seni rupa berwujud relief dan lukisan yang berkisah tentang Panji sebagai tokoh utama dalam berbagai versi. Selain cerita Panji, Gambuh pernah melakonkan cerita jaman Majapahit yaitu Ranggalawe, Damarwulan dan sebuah ceritra Islam setelah keruntuhan Majapahit yakni Amad Muhamad.

Gambuh Sebagai  Inspirator Seni Pertunjukan Bali selanjutnya

Mengatasi Computer Vision Syndhrome (CVS) dengan Senam Mata

Mengatasi Computer Vision Syndhrome (CVS) dengan Senam Mata

Kiriman Handalas NP dkk, mahasiswa PS. Desain Komunikasi Visual ISI Denpasar.

Latar Belakang

Dewasa ini perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sudah semakin pesat dari Handphone, Komputer, dan alat  komunikasi lainnya yang semakin banyak di konsumsi remaja sekarang yang notabena adalah sebagai penerus bangsa. Sebagai penerus bangsa, sudah semestinya memiliki kualitas intelektual yang bagus.

Pada faktanya hal ini tidak selalu sesuai dengan harapan, karena tidak selamanya kemajuan teknologi khususnya komputer berdampak baik bagi kesehatan individu pemakainya. Salah satu gangguan kesehatan yang terjadi adalah Computer Vision Syndhrome yaitu kelelahan mata yang dapat mengakibatkan sakit kepala, penglihatan seolah ganda, pengelihatan silau terhadap cahaya di waktu malam, dan berbagai masalah pengelihatan lainnya. Persatuan dokter mata Amerika mendefinisikan CVS sebagai kumpulan gejala okuler (mata) maupun non okuler, yang timbul selama atau setelah bekerja di depan monitor komputer. Mekanisme terjadinya CVS diduga merupakan akibat gabungan dari faktor permukaan mata, akomodasi, karakteristik komputer, juga oleh faktor eksternal (seperti pencahayaan dan tata ruang). Yang dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan mata lainnya seperti rabun dekat, silinder, bahkan katarak.

Hal ini di sebabkan oleh adanya radiasi layar monitor komputer yang mengandung gelombang beta pada monitor mengakibatkan kerusakan pada retina. Menurut penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, pancaran radiasi gelombang beta yang ditimbulkan oleh monitor komputer. Perlu diketahui, monitor komputer produksi mulai tahun 2004 telah menyertakan sebuah komponen silikon radioaktif lemah yang mampu membuat warna XVGA lebih cerah dengan biaya yang murah. Pancaran radioaktif ini akan terus aktif hingga meluruh habis selama 20 tahun. Kerusakan pada mata tidak bersifat langsung, tetapi bersifat gradual.

Saat Anda melakukan kegiatan di depan komputer dalam waktu yang lama, sebaiknya anda perlu mengistirahatkan mata dengan menutupnya selama 5 menit secara berkala. Karena pencahayaan yang terlalu terang pada layar komputer akan membuat mata menjadi silau dan jika cahayanya terlalu buram akan membuat kinerja mata meningkat untuk melihat sehingga menimbulkan kelelahan.

Mengatasi Computer Vision Syndhrome (CVS) dengan Senam Mata Selengkapnya

Budaya Pluralistik Dalam Prespektif Pembangunan Pariwisata Berbasis Komunitas

Budaya Pluralistik Dalam Prespektif Pembangunan Pariwisata Berbasis Komunitas

Kiriman Saptono, Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar

1. Pendahuluan

Dalam arti yang sangat luas, kebudayaan dapat dinyatakan sebagai keseluruhan masalah-masalah sepiritual, material, segi-segi intelektual dan emosional yang beragam, dan memberi watak kepada suatu masyarakat atau kelompok sosial.

Kebudayaan juga dapat pula diartikan sebagai segenap perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran (logika), kemauan (etika), serta perasaan (estetika) manusia dalam rangka perkembangan pribadi manusia; hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan Tuhan (Bandem, 1995). Para ahli kebudayaan menekankan pentingnya aspek kebudayaan diperhitungkan dalam pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1990), adalah kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dirinya dengan belajar. Selanjutnya menurut Koentjaraningrat, ada tujuh unsur kebudayaan secara universal, yaitu; (1). Bahasa, (2). Sistem teknologi, (3). Sitem mata pencaharian atau ekonomi, (4). Organisasi sosial, (5). Sitem pengetahuan, (6). Religi, dan (7). Kesenian.

Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil, dan pendukungnya terdiri dari kelompok-kelompok suku bangsa yang sangat beragam wujudnya. Jika dipandang dari sudut budaya, di Indonesia terdapat budaya-budaya yang sangat beragam (pluralistik), mulai dari adanya budaya lokal, suatu kebudayaan yang berlaku dalam lingkungan keluarga; kebudayaan daerah, suatu kebudayaan yang disepakati oleh daerah atau suku bangsa tertentu seperti kebudayaan Jawa, Bali, Minang, Sunda, Bugis, Sasak, Dayak, Papua, Madura, dan sebagainya. Wawasan aneka budaya (multikultural) dalam dasawarsa terakhir ini banyak sekali ditampilkan dan dianjurkan dalam berbagai forum (Edi Sedyawati 2002), namun sebenarnya perlu disadari bahwa situasi aneka budaya itu tidak sama di semua negara, meskipun sama-sama mempunyai keanekaragaman budaya. Lebih lanjut Edi Sedyawati, mengemukakan adanya tiga tipe negara dalam hubungannya dengan keanekaragaman budaya yang dikelolanya. Pertama, dengan upaya pembangunan imperium (atas sejumlah negara), umumnya kerajaan-kerajaan yang mulanya merupakan negara bebas, namun berada dibawah kekuasaan dan pemantauan kaisar dan pemerintahannya. Mereka mempunyai kebudayaannya masing-masing dan berbeda-beda dengan kebudayaan yang dianut kaisar (contoh kekaisaran di Romawi). Meskipun memiliki kebudayaan-kebudayaan lokal, mereka tidak diberi pengakuan yang nyata. Kedua, adalah negara yang terjadi melalui suatu proses kolonisasi dan pendudukan. Negara tipe sepert ini keanekaragaman budaya dapat berkembang secara rumit. (contoh: The United States America, Kanada, dan Australia). Walaupun isu multikulturalisme iitu sendiri berasal dari negara-negara tersebut, yang rupanya sangat menyadari akan problematik yang ditimbulkan. Ketiga, adalah negara tempat keanekaragaman budaya itu terdapat berdasarkan prinsip penyatuan dan persatuan. Keputusan tersebut dilandasi oleh pengakuan akan adanya cita-cita bersama untuk masa depan, kesamaan latar belakang sejarah, dan kedekatan budaya. (contoh: Indonesia, India, dan Thailand).

Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat juga memiliki kebudayaan nasional yang disebut “Kebudayaan Nasional Idonesia” seperti yang tertuang dalam pasal 32 UUD 1945.

Yang menjadi pertanyaan dalam makalah ini adalah, “Mungkinkah kita melakukan pembangunan pariwisata yang berwawasan budaya berbasis komunitas? didalam situasi krisis nasional yang sedang kita alami sekarang ini”.

Di dalam tulisan ini akan dimulai dengan pembahasan singkat tentang masyarakat Bali Sekarang dan peran pembangunan, pariwisata yang berwawasan budaya, keragaman dan komunitas budaya.

Budaya Pluralistik Dalam Prespektif Pembangunan Pariwisata Berbasis Komunitas selengkapnya

Loading...