by admin | Apr 18, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Kadek Swartana, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar
Pengertian dan Asal-usul Kekawin
Kekawin berasal dari kata “kawi” mendapat awalan ke dan akhiran an, menjadi kekawin. Kawi artinya Buat, susun, gubah, karang. Jadi kekawin dapat diartikan buatan, susunan, gubahan, dan karangan. Atas dasar pengertian tersebut , maka kekawin adalah puisi yang dibuat atau disusun dengan menggunankan bahasa Jawa Kuno. Puisi ini mengambil bentuk dari puisi para pujangga India kuno yang berbahasa Sansekerta. Kekawin biasa juga disebut dengan istilah lain, yaitu wirama, tembang gede dan sekar agung.
Dalam bahasa sehari-hari, ada beberapa istilah dalam menembangkan karya sastra, seperti kekawin, yaitu mabebasan, mapepaosan dan makekawin. Mabebasan artinya melagukan kekawin dengan terjemahannya. Dengan kata lain mabebasan berarrti kegiatan menyanyikan teks kekawin, kidung, atau macepat yang di ikuti dengan terjemahannya. Mapepaosan artinya melakukan kegiatan atau aktivitas pembacaan kekawin serta terjemahannya. Makekawin artinya melakukan hasil karya penyanyi atau melagukan puisi Jawa kuno, dengan memakai tembang India, yang diikat oleh aturan Guru Laghu. Dalam makekawin belum terkandung unsur penerjemahannya. Jadi makekawin belum dapat dikatakan mabebasan.
Menurut dugaan kekawin digubah di Jawa, pada abad IX – XV. Sekitar abad XVI, di Bali tumbuh dan berkembang pesat sampai saat ini, khususnya dalam rangkaian upacara adat dan upacara agama, kekawin di bacakan dengan pepaosan dan mabebasan. Kekawin atau puisi-puisi India Kuno ini dibawakan berdasarkan guru laghu dan wretta matra.
Fungsi Kekawin
Seperi halnya sekar alit, kidung, maka kekawin digunakan sebagai pengiring upacara yadnya (panca yadnya). Dalam kehidupan masyarakat Bali, aktivitas makekawin lebih di titik beratkan pada kegiatan upacara pitra yadnya. Kegiatan tersebut di mulai dari meninggal, ngeringkes, berangkat ke kuburan, penguburan / pembakaran jenasah, ngereka, nganyut, ngerorasin sampai ngelinggihang. Kekawin tersebut dinamakan kekawin Pitra Yadnya.
Kegiatan mabebasan dilakukan semalam suntuk. Keahlian tata bahasa kawi dan tata bahasa Bali amat diperlukan oleh pembaca maupun paneges kekawin. Kekawin yang biasa digunakan dalam upacara Dewa Yadnya adalah Merdukomala, Totaka, Indrawangsa, Pratiwitala. Untuk upacara Manusa Yadnya, adalah Wangsastha, Seronca, Wipula, Sardula, Sekarini. Dan kekawin yang biasa difungsikan dalamupacara Pitra Yadnya adalah wirama Indrawangsa, Aswalalita dan Girisa.
Syarat-syarat Kekawin
Dalam mempelajari kekawin ada berbagai cara, antara lain dengan system guru laghu, dengan pola melodi, dan biasa pula dengan cara pemberian tanda-tanda garis lurus, naik dan turun. Masalah Ritme dapat diatur dalam penulisan melodi dengan menyesuaikan guru laghu kekawin yang bersangkutan.
Syarat-syarat kekawin :
- Tiap bait kekawin terdiri atas 4 baris ( kecuali kekawin Raitiga memiliki 3 baris dalam tiap baitnya ) keempat baris tersebut memiliki :
- Pengawit ( penyemah atau pembuka )
- Penampi ( Pengisep )
- Pengumbang
- Pemalet ( penutup )
- Tiap baris suku katanya tetap sama sesuai dengan ketentuan yang ada pada tiap jenis kekawin kecuali Seronca.
- Memakai Guru dan Laghu.
- Suku kata terakhir boleh Guru, boleh Laghu
Guru dan laghu dalam kekawin merupakan pola dasar dalam pembentukan puisi Jawa kuno atau kekawin. Secara Etimologhi guru laghu terdiri dari dua kata, yaitu guru dan laghu. Dalam hubungannya dengan kekawin, maka Guru itu artinya suara berat, suara panjang dan beraturan. Dalam hukum kekawin maka guru diberi tanda garis datar ( — ), sedangkan kata Laghu sehubungan dengan aktivitas mabebasan artinya suara pendek, kencang dan ringan. Dalam hukum kekawin laghu ditandai dengan tanda garis melengkung ( È ). Berdasarkan pengertian tersebut maka dikatakan bahwa guru laghu berarti hukum kekawin tentang berat, ringan, panjang, pendek dan kencangnya suara dalam menyanyikan kekawin.
Kekawin Totaka selengkapnya
by admin | Apr 17, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Drs. I Dewa Putu Merta, M.Si., Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar.
Perkembangan yang terjadi tidak lepas dari adanya suatu perubahan. Gustami menjelaskan, perubahan dan perkembangan berarti bergerak dari suatu titik ke titik yang lain, bergerak dan mengalir dengan arus yang semakin meningkat. Tidak sekedar berubah, tetapi dengan perubahan memberikan suatu peningkatan di segala aspek. Perubahan dan perkembangan merupakan proses perjalanan yang mengalir bergerak menuju titik yang dituju. (Gustami, 1984: 25).
“Kerajinan”, Dalam Kamus Basar Bahasa Indonesia, artinya: barang yang dihasilkan
melalui ketrampilan tangan, biasa mengandung unsur seni (Tim, 2001, 922). Pertumbuhan kerajinan kayu di Desa Singakerta berangkat dari bentuk-bentuk seni tradisi yang merupakan kekayaan budaya sebagai landasannya. Dalam buku yang berjudul Seni Hias Damar Kurung membahas tentang seni tradisi. Seni Tradisi dijelaskan merupakan kekayaan budaya yang dipergunakan sebagai landasan pertumbuhan seni daerah yang tumbuh dengan subur sejak jaman dulu menjadi kekuatan lokal (Ika, 2002, 26-27). Penjelasan buku tersebut sangat penting artinya dalam penelitian ini karena terkait dengan pembahasan tentang bentuk-bentuk seni tradisi yang berkaitan dengan landasan seni kerajinan yang berkembang di Singakerta.
Gustami dalam bukunya Seni Kerajinan Mebel Jepara menjelaskan tentang bentuk-bentuk seni ukir yang dipergunakan pada mebel yang diambil dari bentuk tradisi atau seni hias tradisi (Gustami, 2000, 273).
Penjelasan buku di atas sangat penting artinya dalam penelitian ini, karena dipergunakan sebagai acuan dalam membahas dasar-dasar seni kerajinan, dan melihat fungsi masing-masing serta pemafaatannya.
Kerajinan kayu artinya pembuatan barang-barang bahan kayu yang dihasilkan melalui ketrampilan tangan manusia. Terkait dengan penelitian ini adalah pembuatan barang-barang bahan kayu yang berupa relief dan patung dengan motif bentuk binatang kaki empat dan binatang laut yang dihasilkan melalui ketrampilan tangan manusia.
Selain pengertian diatas juga membutuhkan teori sebagai pendekatan masalah agar sasaran yang diinginkan dapat tercapai. Penggunaan beberapa teori selalu ada kaitannya dengan sasaran yang telah ditentukan.
Dalam sebuah penelitian, teori sangat dibutuhkan untuk mendekatkan masalah dengan hasilnya agar sasaran yang diinginkan dapat tercapai. Penggunaan beberapa teori selalu ada kaitannya dengan sasaran yang telah ditentukan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan, teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi (Poerwadarminta, 2001:1177).
Selanjutnya dalam buku Teori Budaya dijelaskan, bahwa pengetahuan teoretik artinya pengetahuan yang berusaha menjelaskan fenomena empirik. Dengan demikian, teori bukanlah sekedar ikhtisar data yang ringkas, melainkan merupakan generalisasi fenomena namun bercorak khusus (Kaplan, 2000: 15).
Menurut Siswojo, teori dapat diartikan sebagai seperangkat konsep dan definisi yang saling berhubungan yang mencerminkan suatu pandangan sistematik mengenai fenomena dengan menerangkan dan meramalkan fenomena. Teori menjalin hasil pengamatan ke dalam suatu pengertian utuh yang memungkinkan ilmuwan untuk membuat pernyataan umum tentang variabel-variabel dan hubungannya (dalam Mardalis, 2003:42).
Terkait penelitian ini dengan analisis bentuk, fungsi, teknik, proses dalam kerajinan kayu di Desa Singakerta Ubud, Gianyar digunakan beberapa teori anatara lain :
Teori Bentuk
Bentuk dalam konteks kerajinan merupakan wujud fisik. Bentuk dapat ditangkap atau dilihat oleh panca indera pengelihatan (mata). Menurut Mikke Susanto, bentuk artinya gambaran, bangun. Bentuk ada yang lengkung, lentur, kuku, busur. Bentuk adalah rupa, wujud, dan dalam karya seni rupa dikaitkan dengan matra seperti dwi matra (bentuk dua demensi), dan tri matra (bentuk tiga demensi) (2002: 21). Dharsono Sony Kartika menjelaskan, shape (bangun) bisa berupa : (a) yang menyerupai wujud alam (figur), dan (b) yang tidak sama sekali menyerupai wujud alam (non figur). Keduanya akan bisa terjadi menurut kemampuan senimannya dalam mengolah objek sehingga bisa terjadi perubahan wujud yang sering disebut stilisasi, distorsi, transformasi, dan deformasi (2004: 102).
Kerajinan Kayu selengkapnya
by admin | Apr 16, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Drs. I Gede Mugi Raharja, M.Sn., Dosen PS. Desain Interior ISI Denpasar.
Kaitan dengan Ekologi
Pengembangan konsep desain taman tradisional Bali, khususnya yang berkaitan dengan taman peninggalan kerajaan-kerajaannya dapat dilakukan melalui “interpretasi” dan “pemahaman” tehadap makna filosofis desainnya. Dengan dapat dipahaminya konsep bentuk dan ruang desain pertamanan peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali, maka akan diperoleh perluasan wawasan terhadap desain taman melalui suatu wacana tentang makna dalam desain pertamanan Bali, yang dapat dikembangkan di dalam desain pertamanan modern.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada, hakikat konsep filosofis desain pertamanan peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali, baik dari era Bali kuna maupun era Bali Madya, adalah perlindungan terhadap sumber mata air alam (kelebutan) . Perlindungan terhadap sumber mata air ini sangat berkaitan erat dengan filosofi “Pemutaran Mandhara Giri di Ksirarnawa” yang dikembangkan dalam desain taman kerajaan era Bali Madya, maupun yang ditemukan dalam bentuk reief pada bejana batu (Sangku Sudamala) peninggalan kerajaan Bali kuna akhir di Pura Pusering Jagat (Pejeng, Gianyar).
Air kehidupan abadi (Amertha) yang bisa membuat hidup kekal bila meminumnya, seperti yang tersirat dalam kisah pemutaran Mandhara Giri di Ksirarnawa, tidak ada dalam kehidupan masa kini. Tetapi makna filosofisnya dapat dianalogikan dengan air yang berasal dari alam (kelebutan) seperti mata air di Pura Tirta Empul. Karena itulah mata air kelebutan memiliki makna yang “utama” bagi masyarakat Hindu di Bali. Sehingga sering difungsikan sebagai air suci dalam upacara keagamaan. Apabila mata air alam (amertha) salah pemanfaatannya, bisa menyebabkan kerusakan ekologi.
Dengan melakukan “perlindungan” dan “penyelamatan” sumber mata air alam melalui pertamanan, berarti juga melakukan upaya perlindungan (konservasi) terhadap alam lingkungan. Hal ini juga sesuai dengan falsafah Tri Hitakarana di Bali, yang mengajarkan agar umat manusia senantiasa menjaga keselarasan hubungan vertikal dengan Tuhan, hubungan horisontal dengan sesama dan alam lingkungan, serta mahluk-mahluk lain. Karena itu pula sumber mata air di pertamanan harus dimanfaatkan secara positif untuk fungsi sosial, ekonomi dan religius.
Nilai positif perlindungan dan pemanfaatan sumber mata air alam dalam pertamanan Bali, pada hakikatnya merupakan kearifan lokal menyangkut perlindungan terhadap sistem ekologi yang tetap relevan dikembangkan dalam desain pertamanan modern.
Ruang dan Keseimbangan Kosmos
Di dalam perencanaan ruang taman peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali, falsafah Tri Hitakarana dijabarkan ke dalam perencanaan ruang dari yang bersifat makro hingga ke perencanaan ruang yang bersifat mikro. Penjabarannya adalah berupa tiga hirarki ruang (Tri Mandala). Hirarki ruang ini ditata sesuai dengan tiga jenis aktivitas, yaitu ruang untuk aktivitas religi (sacred space), ruang untuk aktivitas manusia (human space), serta ruang yang bersifat profan dan pelayanan (Sevice place). Ruang untuk aktivitas religi berada di bagian hulu (Utama Mandala), ruang untuk aktivitas manusia berada di bagian tengah (Madya Mandala) dan ruang yang bersifat pelayanan/servis berada di bagian hilir (Nista Mandala).
Makna yang tetap relevan diterapkan menyangkut falsafah Trihitakarana ke dalam struktur ruang taman modern adalah tetap memperhatikan aspek “keseimbangan ruang di dalam kosmos”. Falsafah Trihitakarana mengajarkan manusia untuk memperlakukan ruang secara tepat sesuai dengan fungsinya. Seperti untuk fungsi religi,fungsi humanis, konservasi atau ekologi dan sanitasi. Membentuk ruang untuk suatu aktivitas itu sama artinya dengan menciptakan suatu kehidupan (mikrokosmos), yang menjadi bagian dari makrokosmos.
Pengembangan Taman Kerajaan Bali ke Desain Taman Modern selengkapnya
by admin | Apr 16, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Saptono, SSen. Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.
Judul Buku : Krisis Legitimasi
Penulis : Jurgan Habermas
Penerjemah :Yudi Santoso
Penerbit : Qalam, Yogyakarta
Tahun Terbit : Juli 2004 (cetakan pertama)
Jumlah halaman : 378 + x halaman
Habermas seorang ilmuwan Jerman yang terkenal dan merupakan tokoh utama dalam Positivimusstreit yang mendominasi filsafat sosiologi Jerman tahun 1960-an. Beliau telah berhasil merumuskan dan mengembangkan sebuah prespektif tunggal, namun sistematik, yang didalamnya seluruh pengetahuan dapat dirangkul (hlm. 53-54). Sehingga karya-karyanya tak terhitung namun terjemahan indonesianya tergolong langka.
Buku ini merupakan karya Jurgan Habermas dengan judul asli Legimations problems in Spetkapitalismus yang terbit tahun 1973 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris 2 tahun kemudian dengan judul Legitimation Crisis, 29 tahun kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indoanesia dengan judul Krisis Legitimasi. Pada pengantar penerbit dijelaskan bahwa buku ini sulit untuk dipahami, dianjurkan untuk membaca terlebih dahulu beberapa buku pengantar yaitu buku “Masyarakat Komunitatif” karya Budi Hardiman dan sebagai upaya penerbit untuk membantu pembaca dalam memahami isi buku maka dilengkapi pula dengan prawacana.
Uraian dalam buku ini dibagi ke dalam 4 bagian. Secara umum uraian dalam bagian pertama merupakan pengantar untuk memahami isi buku, bagian kedua membahas konsep ilmiah krisis, bagian ketiga membahas kaitan antara kapitalisme lanjut dengan krisis, bagiam keempat yang merupakan bagian terakhir membahas tentang legitimasi dari sudut filsafat.
Pada bagian pertama yang berjudul prawacana merupakan pengantar panjang dari seorang pakar yaitu Joseph Heath dari Universite de Montreal dan Thomas McCarthy dari Universitas Boston. Prawacana ini tidak ada dalam buku asli, tujuan penerbit mencantumkan bagian ini untuk membantu pembaca memahami isi buku. Dengan membaca prawacana pembaca akan memperoleh gambaran tentang isi buku dengan jelas, sehingga dengan hanya membaca bagian ini pembaca sudah dapat menangkap arah dari pemikiran Habermas tentang krisis legitimasi secara umum. Pada bagian ini diuraikan latar belakang pamikiran Habermas, konsep-konsep dasar dari krisis legitimasi dan aplikasi pamikiran Habermas dalam kenyataan di masyarakat. Namun akan lebih baik jika pembaca mengikuti/membaca bagian-bagian selanjutnya agar diperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang pemikiran Habermas terhadap krisis legitimasi khususnya kaitannya dengan kenyataan sosial di masyarakat.
Menurut pendapat Joseph (hlm. 3-52) dengan mengacu pada perkembangan analisa Habermas tentang legitimasi semenjak Legitimation Crisis, kemudian dalam The Theory of Comunicative Action, sampai pada karya mutakhirnya Between Facts and Norms. Maka Legitimation Crisis dicirikan oleh dua komitmen inti; versi teori sistem Parsonian fase akhir dan pandangan luas Lukacsian tentang modernitas kebudayaan (cultural modernity). Konsep “legitimasi” yang menduduki posisi sentral dalam teori krisis Habermas, merupakan sebuah konsep sosiologis yang abstrak. Untuk memahami penggunaan istilah kiris legitimasi, penting kiranya untuk memahami ide-ide tertentu yang memainkan peran sentral, khususnya dalam teori sistem Parsons, konsep-konsep terkait tentang integrasi normatif (normative integration), diferensiasi fungsi (functional differentiation), dan hubugan pertukaran (interchange relations). Parson memahami sebuah sistem sosial sebagai seluruh rangkaian interaksi sosial yang meliputi kesaling-ketergantungan penuh makna antara tindakan-tindakan berbagai unit. Supaya sistem ini bisa tetap dipertahankan dan diproduksi, maka ada empat persoalan mendasar yang harus diselesaikan: (A) adaptasi/adaptation, (G) pencapaian tujuan/goal attainment, (I) integrasi/integration, dan (L) pola pemeliharaannya/pattern maintenance. Logika imperatif fungsi Parsons bisa dilihat dari analiisisnya tentang tindakan sosial. Dalam pandangan Parsons, dimensi tertata dari interaksi sosial bisa terjadi karena agen bisa mematuhi serangkaian aturan (norma sosial) yang dianut bersama.
Resensi Buku: Krisis Legitimasi selengkapnya
by admin | Apr 15, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Drs. I Dewa Putu Merta, M.Si., Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar.
Kerajinan kayu di desa Singakerta mengalami pertumbuhan yang sangat dinamis. Pertumbuhan kerajinan kayu di desa Singakerta tidak terlepas dari pengaruh perkembangan seni kerajinan di wilayah sekitarnya. Kehidupan dan budaya masyarakatnya yang dijiwai oleh agama hindu dengan didasari logika, etika, dan estetika sangat memungkinkan mendorong berkembangnya suatu kesenian. Kegiatan keagamaan yang disertai dengan aktivitasnya seperti menghias bangunan pura, membuat pratima, melaksanakan upacara pitra yadnya (ngaben) merupakan dasar pertumbuhan seni kerajinan kayu di desa Singakerta. Karena kegiatan berkesenian ini merupakan kekuatan lokal yang telah dimiliki sebagai modal dasar.
Dalam buku yang berjudul Seni Hias Damar Kurung membahas tentang seni tradisi. Seni Tradisi dijelaskan merupakan kekayaan budaya yang dipergunakan sebagai landasan pertumbuhan seni daerah yang tumbuh dengan subur sejak jaman dulu menjadi kekuatan lokal (Ika, 2002, 26-27).
Gustami dalam bukunya Seni Kerajinan Mebel Jepara menjelaskan tentang bentuk-bentuk seni ukir yang dipergunakan pada mebel diambil dari bentuk tradisi atau seni hias tradisi. Dalam buku ini juga dijelaskan tentang cara membuat bentuk mebel dan cara pemanfaatan bentuk seni hiasan tradisi agar lebih mencirikan kekuatan lokal (Gustami, 2000, 273).
Melalui dorongan aktivitas tersebut diatas sekitar tahun 1930-an di desa Singakerta telah muncul seorang undagi yang bernama Ida Bagus Kebek (almarhum). Menurut keterangan Ida Bagus Ketut Geriya putra almarhum Ida Bagus Kebek menjelaskan, Ida Bagus Kebek sebelum menjadi undagi pernah belajar memahat kayu pada Ida Bagus Ketut Griya dan Ida Bagus Letong di Desa Sanur Denpasar (Wawancara; tgl. 5 Juni 2010).
Setelah selesai belajar di Desa Sanur Ida Bagus Kebek mulai aktif membuat seni patung di Desa Singakerta. Tema-tema karya patung yang dibuatnya masih berkisar bentuk-bentuk kehidupan alam dewa-dewi seperti patung dewa Siwa, patung Brahma, patung Bidadari dari kahyangan, dan patung janger. Bentuk-bentuk karyanya tetap mengambil dari pola-pola patung tradisi Bali klasik yang selanjutnya pengembangannya tetap berangkat dari pola tersebut. Selain patung kayu Ida Bagus Kebek juga sering membuat patung rangda dari batu padas yang digunakan pada pintu masuk pura, salah satu karya patung rangda terakhir dibuat sebelum beliau meninggal masih terpasang sampai saat ini terdapat di Pura Mas Maketel Dusun Katiklantang. Karya patung rangda tersebut dibuat kira-kira tahun 1972.
Bahan baku yang dipergunakan oleh Ida Bagus Kebek untuk membuat seni patung saat itu mengambil kayu lokal seperti kayu gentawas, kayu panggal buaya, dan kayu sawo (kayu sabo) yang diproleh dari alam lingkungan Desa Singakerta.
Pemasaran hasil karya patungnya dilakukan sendiri dengan membawa ke Wangaya Denpasar pada salah seorang pedagang patung yang bernama Maak Acung seorang keturunan Arab, dan kadang Maak Acung sendiri yang datang mencari pada Ida Bagus Kebek di Desa Singakerta.
Akibat dari lancarnya pemasaran, maka dapat merangsang generasi yang lain untuk mengikuti belajar membuat patung pada Ida Bagus Kebek. Murid pertama yang belajar membuat patung adalah Ida Bagus Nama dari banjar Jukutpaku. Setelah anak-anak Ida Bagus Kebek dewasa seperti Ida Bagus Ketut Geriya, Ida Bagus Made Rai, Ida Bagus Anom, menyusul mengikuti jejak ayahnya. Generasi ini belajar memahat dengan jalan mengikuti pola-pola yang telah dibuat oleh ayahnya. Pada awalnya belajar bagian demi bagian mengikuti contoh yang telah diberikan oleh guru. Selama proses belajar anak-anaknya ini langsung dibimbing oleh Ida Bagus Kebek sendiri dengan dibantu Ida Bagus Nama (bekas muridnya).
Setelah memasuki jaman pendudukan Jepang, pertumbuhan kerajinan kayu di desa Singakerta cendrung menurun. Hal ini disebabkan pemasaran yang satu-satunya bertumpu pada Maak Acung mulai tidak aktif lagi sebagai pemasok barang kerajinan. Sehingga berpengaruh juga terhadap produktivitas kerajinan patung kayu di Desa Singakerta.
Setelah jaman kemerdekaan, kerajinan kayu di desa Singakerta mulai berkembang lagi. Banyak para generasi yang mulai terjun belajar seni patung kayu pada Ida Bagus Kebek seperti I Wayan Kompol (almarhum), I Reteg (almarhum), Dewa Ketut Madri (almarhum), bahkan ada yang datang dari banjar Kengetan wilayah Singakerta bagian selatan antara lain I Gst Nyoman Laker, I Gst Ketut Nolan, dan I Gst Putu Tilem. Para murid-murid Ida Bagus kebek yang telah bisa membuat patung sendiri mulai memisahkan diri mengembangkan kerajinan kayu di banjarnya masing-masing dengan menampung teman-temannya yang ingin terjun sebagai perajin patung kayu. Sehingga muncullah kelompok-kelompok pengerajin patung kayu dan bahkan masing-masing berani mengembangkan ke bentuk, tema dan bahan yang lain. Di Desa Kengetan disamping patung kayu juga berkembang patung batu padas, pemahat relief kayu dan relief batu padas.
Dinamika Pertumbuhan Kerajinan Kayu Di Desa Singakerta, selengkapnya
by admin | Apr 15, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Drs. I Gede Mugi Raharja, M.Sn., Dosen PS. Desain Interior ISI Denpasar.
Gubahan Bentuk Taman
a. Zaman Bali Kuna
Bila desain taman peninggalan kerajaan-kerajaan Bali Kuna dikaji berdasarkan dekontekstualisasi dalam hermeneutika, maka yang dibahas adalah wujud karya yang otonom. Yakni menyangkut analisis bentuk struktur taman dan unsur psikologisnya.
Bentuk desain Taman Permandian Tirta Empul, yang telah menjadi satu dengan Pura Tirta Empul dapat dilihat berupa kolam dengan bentuk persegi dan pancuran dengan pola hias yang sederhana. Airnya disalurkan melalui saluran di dalam tanah, dari mata air besar di kolam Taman Suci yang ada di dalam Pura. Sedangkan Taman Permandian Gua Gajah, gubahan bentuk kolam permandiannya juga segi empat. Air pancurannya dicurahkan dari arca pancuran berwujud seorang wanita menuangkan air dari kendi yang dipegangnya. Airnya bersumber dari mata air yang disalurkan melalui saluran air di dalam tanah.
Jadi berdasarkan peninggalan-peninggalan di Taman Permandian Tirta Empul dan Taman Permandian Gua Gajah, maka bentuk struktur desain pertamanan peninggalan kerajaan-kerajaan Bali Kuna dapat diketahui berupa:
- Unsur air;
- Kolam suci atau Kolam Permandian berbentuk persegi empat;
- Pancuran atau Arca pancuran.
Berdasarkan bentuk struktur taman ini, maka desain taman kerajaan di zaman Bali Kuna pada awalnya sangat sederhana, disesuaikan dengan tingkat peradaban saat itu. Perwujudannya lebih mengutamakan fungsi dibandingkan dengan unsur estetis.
Tetapi dalam perkembangannya kemudian, unsur estetis mulai mendapat perhatian. Hal ini terbukti dengan adanya arca pancuran berwujud wanita menuangkan air dari kendinya di Taman Pemandian Gua Gajah. Perkembangan estetika ini terjadi karena adanya pengaruh estetika dari kebudayaan Kediri di Jawa Timur pada abad ke-11. Jadi dalam hal ini, Taman Permandian Gua Gajah telah menunjukkan adanya peningkatan kualitas estetika dan teknik penyaluran air pada wujud desain tamannya.
Adanya aktivitas keagamaan yang berlangsung di Taman Permandian Tirta Empul maupun di Taman Permandian Gua Gajah, menunjukkan bahwa fungsi taman adalah untuk menunjang aktivitas keagamaan tersebut.
Secara psikologis, keberadaan taman permandian di tempat suci (Pura Tirta Empul) dan di pertapaan Gua Gajah yang didukung oleh suasana alam asri, dapat memberikan kekuatan psikologis kepada orang yang mandi di taman permandian tersebut. Sebab airnya akan diyakini memiliki kekuatan “magis” yang dapat membersihkan jasmani dan rokhani. Apalagi keberadaan sumber mata air Tirta Empul menurut ceritera rakyat Bali, merupakan ciptaan Bhatara Indra untuk menghidupkan pasukan beliau dan prajurit Bali yang terkena air beracun Raja Mayadanawa.
Munculnya mata air Tirta Empul sebenarnya merupakan gejala geologi equiver yang alamiah. Sebab air akan selalu muncul di tempat yang rendah, seperti di lembah perbukitan di Tirta Empul.
Jadi berdasarkan ceritera rakyat yang bersifat mitologi ini Tirta Empul memiliki makna religius, karena diciptakan oleh Bhatara Indra untuk “penyembuhan secara religius”. Kemudian atas perintah Raja Endra Jaya Singha Warmadewa akhirnya dibangun taman permandian yang memanfaatkan sumber mata air yang disebut “Tirta Empul”. Selanjutnya raja suami-istri Masula Masuli membangun tempat suci untuk memuliakan Bhatara Indra, yang disebut Pura Tirta Empul. Sumber mata air utama ada di dalam pura dan disebut Taman Suci.
Gubahan Bentuk Taman dan Bentuk Ruang Taman selengkapnya