by admin | Apr 23, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Drs. I Dewa Putu Merta, M.Si., Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar.
Proses pembuatan kerajinan relief kayu ini melalui beberapa tahapan :
a. Penyiapan bahan
Sebelum proses pembuatan dilaksanakan diawali dengan penyiapan bahan baku. Pemilihan bahan yang tepat akan sangat menentukan kualitas kerajinan relief kayu. Dalam kerajinan relief kayu ini ada yang menggunakan kayu suar dan ada pula kayu jempinis karena miliki serat yang sangat indah dan menarik serta harganya murah. Kayu yang telah disiapkan dibelah atau dipecah dalam bentuk papan sesuai dengan kebutuhan/ukuran desain yang akan dibuat (gambar no. 22).
b. Pembuatan sket/mal
Untuk memudahkan dalam pembuatan bentuk global kerajinan relief ini, maka diawali dengan pembuatan sket diatas karton sesuai dengan ukuran desain kerajinan diinginkan. Kemudian sket tersebut dipotong atau ditoreh/dilubangi sesuai dengan bentuk binatang yang dibuat, sehingga kelihatan seperti seluwet binatang (lihat gambar no. 23).
c. Ngemal
Ngemal (bahasa Bali) maksudnya menempelkan sket yang telah dilubangi diatas kayu papan yang telah disiapkan, dan goreskan dengan spidol mengikuti bentuk binatang sehingga gambar sket tadi tersalin diatas papan (teknik sablon). (Lihat gambar no. 25).
d. Bentuk Global
Dalam tahapan ini adalah proses pembuatan bentuk global, maksudnya membuat bentuk-bentuk ikan atau kura-kura dengan cara melubangi atau memotong celah-celah bentuk binatang pada kayu papan dengan alat bor mesin, gergaji/jekso
tangan. Untuk memudahkan prosesnya diawali dengan melubangi latar binatang yang akan hilang dengan menggunakan alat bor mesin. Selanjutnya memotong latar binatang tersebut sehingga kelihatan bentuk global relief binatang yang akan dibuat (lihat gambar no. 26).
e. Bentuk detail
Tahap ini kelanjutan dari pembuatan bentuk global. Pada tahapan ini membuat bentuk-bentuk yang lebih detail. Dalam proses ini ketrampilan tangan sangat berperan. Masing-masing pengerajin memperlihatkan ketrampilan dan keahliannya dalam menggunakan alat. Dalam proses pembuatan bentuk detail ini dominan menggunakan pahat dengan berbagai jenis dan palu kayu/semati (pengotok) (lihat gambar no. 28).
f. Ngerot
Tahap ini masih dalam pembuatan bentuk detail yang halus dan alat yang digunakan adalah pemutik (semacam pisau kecil) yang dikombinasikan dengan menggunakan pahat, serut yuyu (kepiting). Karena tahap ini lebih banyak menghandalkan kemampuan dan keahlian teknik menggunakan ketam/serut, pemutik, maka tahap ini disebut ngerot. Ketem (serut yuyu) ini dipakai menghaluskan pada bagian-bagian yang cembung, lebar dan datar. Bentuk-bentuk detail sirip ikan, mata, mulut, atau cangkang kura-kura diselesaikan pada tahap ini sehingga wajah relief ikan atau kura-kura menjadi jelas dan terkesan selesai (lihat gambar no. 30)
Proses Pembuatan kerajinan relief kayu Di Desa Singakerta selengkapnya
by admin | Apr 22, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman I Gede Yudarta, SSKar., M.Si., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Prihal keberadaan orang-orang Bali di Kota Mataram tidak terlepas dari catatan sejarah yang terjadi dari beberapa abad yang lalu. Dari catatan sejarah, masa lampau raja-raja yang berkuasa di Bali untuk alasan tertentu melakukan ekspansi ke beberapa wilayah di luar Bali, dan salah satunya adalah ke wilayah Lombok. Anak Agung Ketut Agung (1991) dalam bukunya Kupu-Kupu Kuning Yang Terbang Di Selat Lombok, Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem (1661-1950) banyak mengungkap tentang sejarah kedatangan orang-orang Bali di wilayah Lombok pada masa pemerintahan raja-raja di Bali. Sebagaimana diuraikan, gelombang kedatangan orang-orang Bali di Lombok di mulai pada abad ke 12, pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu di Bali, dimana pada saat itu pulau Lombok dapat ditaklukan oleh Bali. Selanjutnya pada tahun 1530 M, sebagaimana terdapat dalam Babad Sangupati, diungkapkan kedatangan Dang Hyang Nirarta (Pangeran Sangupati) yang merupakan utusan dari kerajaan Gelgel dalam penyebaran agama Hindu diwilayah tersebut. Gelombang ke tiga terjadi pada masa pemerintahan Raja Karangasem Tri Tunggal I (I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ketut Karangasem) tahun 1692.
Dalam versi yang lain, Suyadnya (2006) dalam catatan budayanya menyebutkan bahwa, keberadaan warga Bali di Lombok secara garis besar di bagi dalam tiga gelombang. Gelombang pertama, dari berbagai referensi sejarah disebutkan Kerajaan Gelgel Klungkung pernah mengutus Dang Hyang Dwijendra/Pedanda Sakti Wau Rauh yang akhirnya di Lombok dikenal dengan sebutan Pangeran Sangupati. Kedatangan Rsi tersebut di Lombok, mengajak sejumlah pengikut yang banyak diantaranya menetap di Lombok. Gelombang kedua, terjadi ketika Kerajaan Karangasem berkuasa di Lombok. Pada masa itu warga Bali, khususnya warga Karangasem berbondong-bondong datang ke Lombok ngiring sesuhunan raja yang berkuasa pada saat itu dan ada juga yang mengikuti keluarganya. Kedatangan mereka di Lombok akhirnya membuat pemukiman-pemukiman yang di sebut sebagai “Kampung Tua”. Gelombang ketiga terjadi di era kemerdekaan dimana kedatangan orang Bali di Lombok terkait dengan tugas-tugas baik sebagai PNS/TNI/POLRI serta sebagai wirausaha. Sebagaian besar diantara mereka memilih menetap di Lombok tinggal bergabung dengan masyarakat di Kampung Tua serta sebagaian lainnya membentuk pemukiman baru dengan cara membeli tanah tempat tinggal secara bersama-sama di wilayah-wilayah tertentu.
Kehidupan Sosial
Orang Bali, dimanapun keberadaan mereka baik secara individu maupun berkelompok akan senantiasa hidup sebagaimana di daerah asalnya yaitu Bali. Bagi yang hidup secara berkelompok atau tinggal pada suatu kawasan tertentu di luar Bali, akan senantiasa hidup dengan sistem yang telah melekat dari diwarisi oleh para leluhur mereka. Menyimak kehidupan masyarakat Bali di Mataram, dilihat dari sistem sosial yang dianut, mereka masih tetap mewarisi dan melaksanakan sistem sosial sebagaimana layaknya di Bali, bahkan dalam menjalankannya mereka lebih ketat, taat dan disiplin dari pada di daerah asalnya.
Kehidupan Masyarakat Bali di Kota Mataram, selengkapnya
by admin | Apr 21, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Ida Bagus Purnawan, Dosen PS. Desain Interior ISI Denpasar.
Pedoman Ukuran dan Bentuk Bangunan Tradisional Bali
Konteks ukuran dan bentuk Bangunan Tradisional Bali mengacu pada Skala bagian – bagian tubuh manusia seperti ; lengan, tangan, jari , kaki dan telapak kaki. Jika yang dibangun rumah tinggal, maka yang menjadi skala pokok ukuran adalah si pemilik rumah atau kepala keluarga. Sedangkan untuk tempat suci ( Pura, Merjan dan lainnya ) mengacu pada ukuran pengemong tempat suci tersebut. Ukuran bentangan tangan ( depa agung, depa madya dan depa alit ) dipakai untuk mengukur panjang dan lebar pekarangan, tapak kaki dipakai untuk mengukur jarak anatra komponen bangunan dengan bangunan lain yang ada di halaman peumahan atau natah umah, dan jarak masa bangunan ke tembok – tembok pekarangan sekelilingnya. Sedangkan untuk tinggi bangunan dan atau dimensi bangunan sipakai satuan ukuran, dari bagian-bagian tangan, ruas-ruas jari, tebal jari yang masing-masing disebit dengan Aguli, agemel, acengkang dan amusti. Sebagai satuan ukuran bangunan tradisional Bali adalah Rai ( 1 rai = +_ 10cm )
Metode Penelitian
Penelitian tentang angkul-angkul menggunakan metode penelitian kualitatif yang dipayungi oleh Ilmu Kajian Budaya ( cultural studies ) terutama kajian budaya makna simbolik ( Sepradly, 1987: 121 )
Teknik pengumpulan data melalui ; Metode Kepustakaan ( Library Research ) dengan mengambil referensi dari sumber-sumber terkait pengkajian Ilmu Arsitektur Tradisonal Bali ( Terjemahan Lontar Asta kosala-kosali, ), makalah-makalah seminar.melakukan Observasi yaitu mengamati secara langsung obyek penelitian dengan sistematis tentang fenomena social dan gejala-gejala spikis di desa Adat Pengelipuran serta melakukan wawancara ( Indepth Interview ) untuk menggali informasi-informasi dari tokoh-tokoh masyarakat terutama terkait dengan analisis fungsi dan makna angkul-angkul dalam hubungannya dengan kehidupan sosial budaya masyarakat desa adat Penglipuran kabupaten Bangli.
Dalam penelitian ini menggunakan metode analisis data deskriptif kualitatif deangan fakta-fakta dan sifat-sifat dari obyek penelitian tersebut ( Suryabrata 1983 : 94 )
Hasil Dan Pembahasan
Desa Adat Penglipuran yang terletak di dataran tinggi ( perbukitan ) dikelilingi oleh hutan bambu dan hutan lindung tropis. Kawasan Desa Adat Penglipuran sebagai salah satu warisan kebudayaan Jaman Bali Age yang sampai sekarang masih tetap bertahan dan tetap terjaga keberadaannya.
Kajian Fungsi, Bentuk Dan Makna Angkul-Angkul Rumah Adat Penglipuran Bagian II, selengkapnya
by admin | Apr 20, 2011 | Artikel, Berita
Kajian Fungsi, Bentuk Dan Makna Angkul-Angkul Rumah Adat Penglipuran Di Desa Adat Penglipuran – Kecamatan Kubu Kabupaten Bangli, Bagian I
Kiriman: Ida Bagus Purnawan, Dosen PS. Desain Interior ISI Denpasar
Abstract : Rumah adat penglipuran di desa adat penglipuran kecamatan kubu, kabupaten Bangli merupakan kompleks pemukiman tradisional terpadu dan mempunyai keunikan arsitektur yang keberadaannya masih tetap terjaga sampai saat ini. Angkul –angkul di desa adat penglipuran dalam tata ruang pemukiman terkait dengan tata kondisi lingkungan alami menganut konsep Tri Hita Karana, adat istiadat, kehidupan social masyarakat dengan konsep Desa Kala Patra yang berorientasi pada Tri Mandala, Tri Angga dan Bhuanaanda serta system kemasyarakatannya berpedoman pada konsep Tat Twam Asi. Angkul –angkul rumah adat penglipuran merupakan cerminan masyarakat gotong royong dan mempunyai nilai kebersamaan dan kesederhanaan dalam bentuk atau wujud dari angkul –angkul tersebut seragam dan tidak memiliki nilai perbedaan, baik bahan maupun besarnya. Metode penelitian yang digunakan adalah metide kualitatif yang dipayungi oleh Ilmu Kajian Budaya ( cultural studies ) terutama kajian budaya makna simbolik. Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk memporoleh pengetahuan secara empiris melalui pengamatan langsung dengan kaidah – kaidah perancanagan tata ruang dan mempelajari nilai fungsi, bentuk dan makna dari angkul – angkul yang merupakan komponen bangununan dalam pekarangan rumah adat di desa penglipuran. Dari hasil penelitian diketahui bahwa rumah adat penglipuran menjaga kelestarian alam lingkungannya sejalan dengan konsep – konsep tata ruang pemukiman yang hiharkinya adalah nilai makna yang terkandung dalam Tri mandala ; Utama mandala, madya Mandala, Nista Mandala. Berdasarkan Fungsi, bentuk dan Maknanya. Fungsi angkul –angkul di desa penglipuran dimana orang yang akan masuk kepekarangan rumah dapat dicapai dengan bebas dan terbuka, Bentuk angkul – angkulnya tidak memiliki aling-aling dan tidak memiliki pintu, makna yang terkandung adalah mereka dalam suatu pekarangan dan dalam satu kawasan adalah milik bersama masyarakat adat penglipuran. Angkul-angkul desa adat penglipuran memiliki bentuk, motif, letak dan ukuran yang sama serta seragam di seluruh pekarangan perumahan, sehingga konsep pemukiman rumah adat penglipuran tidak memiliki perbedaan status social dan mereka adalah satu dalam kebersamaan.
Keyword : Rumah adat, adat istiadat, identitas angkul – angkul dan nilai kebersamaan
Pendahuluan
Desa Adat Penglipuran dibentuk pada jaman Bali Mula, Masyarakat desa adat penglipuran mengakui bahwa leluhur mereka berasal dari Desa Bayung Gede Kintamani.
Penglipuran ini berasal dari kata Lipur yang berarti Menghibur hati, jadi penglipuran artinya Tempat untuk menghibur hati sambil bekerja di ladang, lama – kelamaan menjadilah Penglipuran. Para pemuka adat setempat menuturkan bahwa nama Penglipuran mengandung makna Pengeliling Pura, sebuah tempat suci untuk mengenang lelulur. Konon penduduk desa penglipuran pernah diminta bantuannya oleh Raja Bangli untuk bertempur melawan kerajaan Gianyar, karena keberaniannya, penduduk desa diberikan jasa oleh raja Bangli berupa tanah yang lokasinya sekarang disebut desa adat Penglipuran.
Desa adat Penglipuran berkembang dari tradisi yang dibawa dari Kebudayaan Bali Aga ( Bali Mula ). Seiring dengan masuknya jaman Bali Aga perkembangan kebudayaan dengan membentuk benda-benda alam dalam susunan yang harmonis dalam fungsinya menjaga keseimbangan manusia dengan lngkungannya. Semakin berkembangnya jaman maka kebudayaan Bali Aga dipengaruhi dengan perkembangan jaman Bali Arya dengan pembaharuan kebudayaan dibidang social dan ekonomi dengan menonjolkan bidang Budaya Arsitektur dengan pengkajian dan pemahaman bidang ilmu bangunan dan pemukiman seperti adanya Lontar- lontar Asta Bumi dan Asta Kosali sebagai pedoman teori pelaksanaan bidang Arsitektur.
Ditinjau dari aspek geografis desa adat penglipuran terdiri dari satu banjar adat dan termasuk dalam batas administratif pemerintahan wilayah desa Kubu, kecamatan Kubu, Kabupaten Bangli. Desa adat penglipuran memiliki luas wilayah 160,627 hektar denga rincian sebagai berikut : Pekarangan 14,805 Hektar, Tegalan : 49,47 hektar, Laba Pura : 15 hektar, Kuburan : 0.70 Kektar, Hutan 75 hektar dan lain-lainnya 5.4 hektar. Desa adat Penglipuran terletak 5,5 km sebelah Utara Kota Bangli, serta memiliki batas-batas fisik wilayah sebagai berikut ;
Sebelah Utara : Desa Adat Kayang
Sebelah Timur : Desa Adat Kubu
Sebelah Selatan : Desa Adat Gunaksa
Sebelah Barat : Desa Adat Cekeng
Desa adat penglipuran terletak 500 – 600 meter di atas permukaan laut, Suhu rata-rata 18o – 32o Celcius, dengan curah hujan rata-rata setiap tahunnya antara 2.000 – 2500 milimeter per tahun, sehingga daerah ini termasuk dalam katagori wilayah sejuk dan meliliki cadangan air dlam jumlah cukup besar. ( Sumber Data Kantor kepala desa penglipuran )
Desa penglipuran adalah merupakan Desa Adat sehingga memiliki Hak Otonomi yang memiliki kontribusi yang sangat besar membantu pemerintahan Desa baik dalam pembangunan fisik dan non fisik. Kelembagaan Desa Adat penglipuran secara Struktur Vertikal dan horizontal terdiri dari kelompok – kelompok profesi / fungsional dengan pokok – pokok pelaksanaan tugas sebagai prejuru desa adat. Krama desa adat penglipuran terdiri dari : Krama Pengarep dan Krama Pengerob. Krama Pengarep merupakan keluarga yang mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk menyungsung Pura Kahyangan Tiga, karma pengerep menurut awig – awig mereka menempati karang Ayahan Desa. Kewajiban karma pengarep adalah menyungsung pura dan melola asset – aset desa adat serta membayar iuran ( urunan ) dan karma Pengerob adalah keluarga Desa adat yang membantu keluarga pengarep untuk ngayah ( gotong royong ) keluarga pengerob terdiri dari Sekehe Baris dgn tugas mengatur kelangsungan upacara berupa tari- tarian, Sekehe Gong bertugas untuk mengatur gambelan dalam pelaksanaan upacara, Sekehe Pratengan bertugas sebagai juru masak dalam persiapan upacara dan sekehe Taruna/ni adalah warga desa yang belum menikah.
Kajian Fungsi, Bentuk Dan Makna Angkul-Angkul Rumah Adat Penglipuran Bagian I, selengkapnya
by admin | Apr 19, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Drs. I Gede Mugi Raharja, M.Sn., Dosen PS. Desain Interior ISI Denpasar.
Pada mulanya penghayatan orang Bali terhadap ruang, sama dengan masyarakat dunia yang lain di zaman dulu, yaitu terbatas pada ruang di bumi yang dipijaknya dan langit jagat raya yang ada di atasnya. Dalam bentuknya yang tradisional, konsep ruang tradisional di Bali kemudian berkembang dari Orientasi ruang: langit – bumi pada masa Bali Mula; gunung – laut pada masa Bali Aga; terbit – terbenamnya matahari pada masa Bali Arya/Majapahit (Gelebet, 1993: 5).
1. Falsafah Ruang
Falsafah ruang di Bali berkembang dari ajaran Tat Twam Asi dalam Hindu (Gelebet, 1993: 5). Tat Twam Asi berarti “itu adalah aku”. Inti ajaran Tat Twam Asi adalah menjaga keharmonisan dalam kehidupan, terhadap segala bentuk ciptaan Tuhan, termasuk dunia ini. Dalam keyakinan Hindu, dunia (alam semesta) ini diciptakan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Brahma (Parisadha Hindu Dharma, 1968: 21), sehingga dunia ini disebut sebagai “Telur Brahma” (Brahma-Anda = Brahmanda). Dalam hal ini kita menemukan konsep ruang arsitektur dalam arti yang sejati, yakni konsep ruang yang diilhami oleh kedalaman jiwa manusia yang peka dimensi kosmologi, yang tumbuh dari penghayatan keagamaan (Mangunwijaya, 1988: 55).
Dalam kaitannya dengan ruang, ajaran Tat Twam Asi mengandung makna konsep ruang dalam keseimbangan kosmos (balance cosmologi). Dalam hal ini ruang makro (Bhuwana Agung) senantiasa harus seimbang dengan ruang mikro (Bhuwana Alit). Di dalam makrokosmos, terdapat tiga struktur ruang secara vertikal yang dianalogikan sebagai tiga dunia (Tribhuwana). Struktur ruang Tri Bhuwana atau Tri Loka ini terdiri dari: Bumi dan alam lingkungannya sebagai “alam paling bawah”, disebut Bhur loka; “Alam tengah” adalah alam roh-roh suci, disebut Bhuwah loka; dan “Alam atas” adalah alam para Dewa, disebut Swah loka (Parisada Hindu Dharma, 1968: 22). Struktur Tri Bhuwana dalam kosmos juga dapat dianalogikan dengan “litosfir” untuk “alam bawah”, “hydrosfir” untuk “alam tengah” dan “atmosfir” untuk “alam atas”.
Falsafah Tri Bhuwana kemudian dijabarkan ke dalam konsep Tri Hitakarana, yang pendekatannya dilakukan ke dalam perencanaan ruang secara makro (macro planing) dan perencanaan ruang mikro (micro design) menjadi tiga kelompok ruang (Tri Mandala): ruang sakral – ruang untuk aktivitas manusia – ruang yang bersifat pelayanan/servis. Pengelompokan ruang ini berlaku dari lingkungan terbesar sampai elemen ruang terkecil. Sedangkan secara filosofis, Tri Hitakarana sendiri mengandung pengertian sebagai tiga kutub yang menjadikan suatu kehidupan di bumi (Bagus (ed.), 1986: 24), terdiri dari jiwa (atma), fisik (angga) dan tenaga (kaya).
by admin | Apr 19, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Drs. I Dewa Putu Merta, M.Si., Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar.
Bahan baku
Hasil pengamatan di lapangan untuk mewujudkan bentuk kerajinan patung dan relief di desa Singakerta para pengerajin/tukang membutuhkan bahan baku kayu. Bentuk kerajinan ini sangat ditentukan oleh jenis bahan baku kayu sebagai bahan utamanya, sehingga bisa melahirkan bentuk kerajinan yang baik. Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kerajinan ini antara lain: kayu jempinis dan kayu suar adalah bahan yang paling murah dan lebih mudah mengolahnya. Bahan baku kayu tersebut yang paling pokok digunakan karena lebih mudah mengolah dalam membuat bentuk global maupun bentuk detailnya (lihat gambar no . 12).
Alat
Berdasarkan dari hasil pengamatan di lapangan, alat untuk membuat kerajinan kayu di Desa Singakerta terdiri dari jekso, berbagai bentuk dan jenis pahat, palu kayu, pemutik, ketam (serut yuyu). Masing-masing alat tersebut memiliki fungsi sesuai dengan bentuknya. Apabila diperhatikan secara keseluruhan jenis alat yang digunakan, pahat, palu kayu, pemutik, ketam, dan alat mesin memiliki fungsinya dan peran yang berbeda. Proses pembuatan kerajinan patung kayu banyak dapat dibentuk dengan alat mesin. Proses pengolahan kerajinan tersebut dari membuat bentuk global sampai dengan menghaluskan menggunakan perpaduan alat-alat manual dan mesin. Proses pembuatan kerajinan patung kayu untuk membuat bentuk globalnya dibantu dengan menggunakan gergaji sensor tangan sesuai dengan besar kecilnya patung. Biasanya pengerajin patung kayu di Desa Singakerta paling sedikit memiliki dua jenis sensor untuk pembuatan bentuk global (gambar no. 14)
1. Proses Pembuatan kerajinan patung kayu
Proses pembuatan merupakan langkah untuk mendapatkan kerajinan patung kayu yang diinginkan. Adapun tahapan yang dilakukan dalam proses pembuatan kerajinan patung kayu ini sebagai berikut :
a. Pemilihan bahan
Sebelum proses pembuatan dilaksanakan pemilihan bahan merupakan awal dari perwujudan. Pemilihan bahan yang tepat akan sangat menentukan kualitas kerajinan patung kayu, baik kualitas dalam artian kekuatan material maupun nilai artistik yang dikandung dalam material tersebut. Dalam kerajinan patung kayu ini menggunakan kayu suar dan kayu jempinis dengan alasan kayu ini miliki tampilan serat yang sangat indah dan menarik serta harganya lebih murah. Kayu yang telah disiapkan dibelah atau dipotong sesuai dengan kebutuhan desain patung yang akan dibuat
b. Makalin
Makalin sama dengan membuat bentuk global. Dalam tahapan ini adalah proses pembuatan bentuk global, maksudnya membuat bentuk-bentuk ikan atau kura-kura secara global pada kayu yang telah disiapkan. Mewujudkan bentuk disain ke dalam sebuah media kayu sehingga bentuk global kerajinan patung tersebut benar-benar terwujud. Semua bentuk, gerak, komposisi ikan atau penyu pada desain diwujudkan sehingga bentuk keseluruhannya dapat dilihat jelas. Proses pembuatan bentuk global ini di masa sekarang menggunakan gergaji mesin/jekso tangan. Pada masa yang lalu pekerjaan makalin/membuat bentuk global ini menggunakan alat Kapak, gergaji tangan, sehingga proses makalin sangat lambat. Sekarang hampir lima puluh persen pekerjaan pembuatan bentuk global dapat diselesaikan dengan alat gergaji mesin (jekso tangan) dengan proses yang sangat cepat. Misalnya pembuatan makalin patung dolpin setinggi dua meter dengan menggunakan alat mesin membutuhkan waktu hanya satu setangah hari. Proses membuat bentuk global dengan alat mesin (jekso tangan) dan hasil patung bentuk global dapat dilihat pada gambar no. 17).
Proses pembuatan Seni kerajinan kayu Di Desa Singakerta, selengkapnya