by admin | Apr 29, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman I Gede Yudarta, SSKar., M.Si., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar.
Kebudayaan Bali di Lombok khususnya di Kota Mataram diperkirakan sudah mulai berkembang semenjak kedatangan orang-orang Bali dan menetap secara permanen. Sebagaimana telah diungkap pada bab sebelumnya, bahwa keberadaan orang Bali dan menetap di Lombok terjadi pada saat dikuasainya Lombok sebagai bagian dari wilayah kekuasaan kerajaan Karangasem. Orang-orang tersebut sebagian besar merupakan masyarakat dari berbagai daerah di Karangasem yang mengikuti sanak saudara mereka pada saat berperang dan mengalahkan Lombok. Seiring dengan hal tersebut, kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan dan seni pertunjukan sebagai salah satu sub-unsurnya diperkirakan berkembang sesudah itu dan mengalami perkembangan yang pesat semenjak kondisi kepemimpinan Karajaan Karangasem mulai stabil. Berkembangnya kesenian, khususnya seni pertunjukan Bali, hal ini tidak terlepas dari pentingnya keberadaan kesenian guna mendukung setiap pelaksanaan upacara keagamaan. Sebagaimana umumnya, setiap pelaksanaan upacara keagamaan masyarakat Bali yang beragama Hindu akan senantiasa menyertakan kesenian baik dalam bentuk seni wali, bebali maupun balih-balihan. Adapun fungsinya adalah sebagai salah satu unsur yang sangat penting bagi kelengkapan dan mengiringi jalannya sebuah upacara keagamaan.
Sehubungan dengan hal itu, perkembangan kesenian Bali di Lombok pada awalnya adalah kesenian-kesenian dari daerah Karangasem. Diketahui bahwa pada masa itu daerah Karangasem bukan merupakan daerah yang kaya dengan kesenian sebagaimana halnya daerah-daerah seperti di Bali Selatan dan Bali Utara. Kesenian-kesenian yang berkembang di masyarakat Karangsem pada umumnya merupakan kesenian klasik dan sakral seperti Sanghyang, Gambuh, Topeng, Wayang, Angklung, Gambang, Selonding serta beberapa beberapa alat musik individual seperti preret dan genggong. Dari berbagai jenis kesenian tersebut hanya beberapa jenis saja yang dikembangkan di Lombok.
Maraknya perkembangan kesenian Bali diperkirakan dimulai pada abad ke 18 dimana beberapa jenis seni pertunjukan seperti Gambuh, Topeng, gamelan dengan barungan yang lengkap seperti Angklung, Gong Gede, Bebarongan mulai memasuki wilayah Lombok. Asumsi ini didasarkan atas data historis dimana salah seorang dari keturunan Jelantik yang pernah memerintah di Singaraja (Buleleng) diberikan mandat untuk memimpin kerajaan di Lombok. Perkembangan yang cukup pesat terjadi pada tahun 1950 merupakan dampak dari didatangkannya seniman Bali pada tahun 1945 dan mengadakan pementasan di bawah prakarsa Gusti Bagus Ramia. Sebagaimana diungkap dalam Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat yang dibuat pada tahun 1977, pada tahun 1957 dan 1958 terdapat rombongan kesenian Bali yang membawa jenis-jenis tari kebyar. Akhir tahun 1957 Ida Wayan Pasha mulai melatih gending-gending iringan tari kebyar dimana pengembangan tariannya dilakukan oleh Ni Made Darmi pada tahun 1958 dan I Wayan Likes pada tahun 1961. Pada tahun 1963 tercatat terjadi pemasalan tari Bali yang diprakarsai oleh Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lombok Barat yang semakin mempopulerkan tarian Bali dikalangan masyarakat baik ditingkat anak-anak Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah di sekitar Cakra, Mataram dan Ampenan. Tercatat beberapa tari kekebyaran yang popular di kalangan masyarakat diantaranya: Tari Pendet, Tari Candrametu, Tari Panji Semirang. Tari Demang Miring, Tari Margapati, Tari Wira-nata, Tari Kebyar Duduk dan Kebyar Terompong, Tari Oleg Tamulilingan, Tari Nelayan, tari Terunajaya dan berbagai jenis tarian lainnya. Di samping jenis tari lepas juga berkembang beberapa jenis sendratari seperti Ramayana, Rajapala, Sunda-Upasunda, Arjuna Tapa serta beberapa bentuk dramatari seperti Arja, Topeng, Prembon, Gambuh dan Wayang Wong.
Keberadaan Seni Pertunjukan Bali di kota Mataram, selengkapnya
by admin | Apr 28, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: I Ketut Suarjana, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar
1. Deskripsi Garapan
Komposisi karawitan kreasi pepanggulan yang berjudul KUNG merupakan komposisi karawitan instrumental yang berpijak dari pola-pola tradisi yang sudah ada, namun pnggarap memiberikan sentuhan kreatif serta disesuaikan dengan perkembangan nuansa estetika kekinian. Dengan mengembangkan, penataan pola-pola dan unsur musikal baik dari struktur lagu, teknik permainan maupun motif- motif gendingnya dengan penataan dan pengolahan unsur – unsur musikal seperti : nada, melodi, irama ( ritme ), tempo, dinamika. Disamping itu dilakukan penataan dalam penyajiannya agar karya seni yang disajikan tidak hanya enak didengar tetapi juga enak untuk dipandang dalam penyajiuan karya nantinya sebagai sebuah karya seni petunjukan.
Selain hal – hal tersebut diatas, sifat – sifat estetika umum seperti unity ( keutuhan, kekompakan, kebersihan ), complexity ( kerumitan ) dan intensity ( kekuatan, kesungguhan, keyakinan ) juga dijadikan acuan dalam mewujudkan garapan karya seni. Garapan komposisi karawitan kreasi pepanggulan dengan judul KUNG ini mempergunakan kaidah struktur komposisi karawitan kreasi yaitu : kawitan, pengawak, pengecet dan pekaad.
2. Analisa Pola Struktur
Dalam komposisi karya seni dengan judul Kung, penggarap mencoba dalam struktur garap komposisi dibagi menjadi beberapa bagian dalam karawitan tradisi bali masing-masing dari bagian-bagian tersebut seperti yang telah disebutkan sebelumnya diatas. Dari masing-masing bagian dalam garapan memiliki keterkaitan dan saling mengisi dalam setiap dari struktur komposisinya. Untuk memperjelas dari isi sebuah garapan yang penggarap deskripsi kan kedalam karya tulis penggarap dalam perbagian dari beberapa bagian dari garapan karya seni Kung, sebagai berikut:
Bagian I (Kawitan)
Pada bagian ini penggarap menggambarkan suasana ceria yang dimulai dengan intro pukulan gangsa kemudian disusul dengan gending kebyar yang dimulai dengan nada ndang lalu diakhiri di nada ndang. Gending bagian kawitan ini diakhiri dengan gending pengrarang yang dibawakan oleh terompong yang juga bermain silih berganti dengan riong, gangsa, dan kantilan untuk mencari bagian gegenderan.
Bagian II (Bebaturan)
Pada bagian ini penggarap menggambarkan suasana agung, Sebelum menuju bagian bebaturan diantarkan oleh sebuah transisi yaitu gending motif kebyar yang dimulai di nada ndang kemudian berakhir di nada ndang.
Bagian III (pengawak)
Pada bagian pengawak penggarap menggambarkan suasana kangen serta rindu, Bagian pengawak ini adalah bagian terpenting dari sebuah komposisi tabuh telu pegongan. Dari penyajian pengawak komposisi tabuh lelambatan yang dimainkan terkait dengan komposisi tabuh telu ini dipakai suatu pola gending pengawak yang menyerupai pola tabuh pat pegongan.
Bagian IV ( Pengecet )
Pada bagian ini penggarap mengambarkan suasana cinta dan kasmaran. Pengecet adalah salah satu bagian struktur komposisi karawitan bali. Dalam struktur tabuh lelambatan pegongan pengecet adalah bagian keempat yang mempunyai rangka tersendiri berbeda dengan kerangka gending pengawak atau pengisep, Dimana bagian pengecet yang penggarap buat lebih mendominan jenis pukulan kantilan yang menggunakan jenis pukulan kekenyongan yang di mulai dengan nada nding kemudian berakhir di nada ndang di mana pukulan ini berpungsi untuk merperjelas suasana cinta dan kasmaran sesuai konsep penggarap.
Wujud Garapan Komposisi Kung selengkapnya
by admin | Apr 27, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Pande Putu Indra Utama Putra, Mahasiswa PS. Desain Komunikasi Visual, ISI Denpasar.
1. Teknik Frame By Frame
Interactive media frame by frame menggunakan hanya satu scene, dan dalam perancangannyapun sangat mudah. Berikut ini saya mencoba untuk mengajak anda mempraktekan langsung dan saya tuntun anda dengan langkah-langkah sebagai berikut:
- Langkah pertama buka tampilan adobe flash dan tentukan ukuran/size dari tampilan yang anda inginkan.
- Tentukan jumlah halaman yang akan anda inginkan dan masukan keyframe pada frame 1,2,3 dan seterusnya sesuai dengan jumlah halaman(dengan menekan F6 anda telah menambahkan keyframe)spt gambar di bawah ini.
- Disetiap frame berikan background warna yang berbeda dengan menggunakan Rectangle tool.
- Buat layer baru beri nama action
- Ikuti langkan ke 2 dengan menekan F6 disetiap frame dan berikan action ‘stop’(sorot action -> Global Function -> Timeline Control -> stop). Ulangi langkah tadi disetiap frame).
- Buat layer baru dengan nama button next. Kemudian buat button sesuai dengan kreasi anda.
- Berikan action pada button bukan pada frame dengan cara mengklik/mengaktifkan obyek button. (sorot action -> Global Function -> Timeline Control -> goto -> klik type pilih next frame).
- Buat layer baru dengan nama button previous. Kemudian buat button sesuai dengan kreasi anda.
- Berikan action pada button bukan pada frame dengan cara mengklik/mengaktifkan obyek button. (sorot action -> Global Function -> Timeline Control -> goto -> klik type pilih previous frame).
- Buat layer baru dengan nama music.
- Tampilan setiap page sudah anda buat, langkah selanjutnya adalah memasukan sound dengan cara sorot file -> import -> import to stage -> cari folder music anda, secara otomatis music akan berada pada layer music anda.
- Klik frame pada layer music anda dan dibagian bawah akan muncul option music, lihat gambar dibawah ini dan ikuti penjelasan yang ada terutama di bagian Sync: select start dan loop.
Anda telah memiliki basic dari ineteractive media dengan langkah frame by frame.
- Lakukan test movie dengan cara menekan CTRL+Enter.
- Untuk content anda tentukan sendiri mau dibuat seperti apa dan tentunya harus sesuai dengan konsep awal anda. Selamat mencoba.
2. TEKNIK SCENE BY SCENE
Dalam teknik Scene By Scene, kita akan menggunakan banyak scene tergantung dari jumlah page atau halaman yang ada. Kelebihan menggunakan scene by scene adalah pada penampilan animasi, memanage tampilan/halaman lebih mudah dan jika kita menggunakan atau menambahkan sound/suara dalam setiap halaman background sound bisa berubah-ubah sesuai dengan konsep yang ada. Berikut ini saya ajak anda untuk membuat sebuah interactive media menggunakan teknik scene by scene.
Langkah-langkahnya sebagai berikut:
- Tentukan jumlah halaman kemudian tambahkan scene dengan cara sorot menu utama ‘insert’ kemudian sorot ‘scene’ seperti gambar dibawah ini.
Interactive Media, selengkapnya
by admin | Apr 26, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Gede Suwidnya, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.
Penulis: Indra Sad Guna
Tahun: 2010
Penerbit: Percetakan Kanisius Yogyakarta
Halaman: XVIII., 74 Halaman
Buku yang sampul depan bergambarkan kepala barong dan sosok seseorang yang memangku sebuah kendang yang pada mulanya adalah publikasi skripsi I Gede Made Sadguna ini membahas berbagai aspek, umumnya tentang Seni Karawitan Bali dan khususnya tentang kendang bebarongan. Kendang merupakan salah satu instrumen musik yang universal, karena hampir di seluruh belahan dunia dipastikan memiliki alat musik yang tergabung dalam alat musik perkusi. Di Bali kendang tidak bisa dipisahkan dari seni karawitan dimilikinya. Dalam buku ini disebutkan bahwa instrumen kendang terdapat pada gamelan golongan madya, yang berfungsi sebagai peminpin dari sebuah barungan gamelan.
Selanjutnya terdapat pada gamelan golongan baru, yang memiliki peranan semakin menonjol dengan teknik dan improvisasi yang semakin kompleks. Di Bali instrumen kendang biasanya dimainkan secara berpasangan dan individu. Jika dimainkan secara berpasangan maka kendang itu dinamakan kendang lanang dan kendang wadon. Kendang lanang ialah kendang yang memiliki suara lebih kecil atau tinggi, sedangkan kendang wadon ialah kendang yang suaranya lebih besar ataupun lebih rendah. Contoh-contoh jenis kendang Bali diantaranya, kendang mebarung, kendang tambur, kendang bedug, kendang cedugan, kendang gupekan, kendang bebarongan, kendang kerumpungan, kendang batel dan kendang angklung.
Salah satu dari kendang tersebut yang memiliki tehnik permainan yang unik dan rumit adalah kendang bebarongan, yang dimana dalam mempermainkannya menggunakan sebuah alat yang disebut panggul kendang, dan tehnik permainannya lebih banyak mempergunakan tehnik mekendang tunggal. Disebut kendang bebarongan karena kendang ini khusus digunakan untuk menyajikan gending-gending bebarongan dan dipergunakakan untuk mengiringi tari barong. Kendang merupakan salah satu alat yang sangat penting dalam Karawitan Bali. Istilah kendang telah disinggung dalam beberapa literatur yang berasal dari tahun 821 dan 850 Masehi dengan istilah padahi dan muraba. Dalam prasasti bebetin yang berasal dari abad ke-9, kendang disebut dengan istilah papadaha.
Satu diantara sembilan jenis kendang yang terdapat dalam Karawitan Bali bernama kendang bebarongan. Kendang bebarongan adalah kendang yang secara khusus terdapat dalam barungan gamelan bebarongan. Jenis kendang ini mempunyai panjang sekitar 62-65 cm, garis tengah tebokan besar berukuran 26-28cm dan garis tengah tebokan kecil sekitar 21,5-23cm. Kendang bebarongan ini termasuk dalam ukuran kendang yang tanggung (nyalah: Bahasa Bali), karena ukurannya yang tidak terlalu besar maupun tidak terlalu kecil. Ada dua cara untuk memainkan kendang bebarongan, yakni bisa dengan mempergunakan panggul dan juga bisa dimainkan tanpa menggunakan panggul. Adanya jenis-jenis kendang seperti tersebut diatas tidaklah luput dari peranan seniman-seniman yang mempunyai daya kreatifitas tinggi dan suatu pemikiran kritis serta nilai seni tinggi yang disertai tahapan-tahapan atau proses yang meski dilewati.
Langkah pertama yang dilakukan dalam pembuatan kendang bebarongan adalah mencari dewasa ayu – – hari atau waktu yang baik agar mendapatkan keselamatan dalam bekerja dan kendang yang diciptakan nantinya memiliki kwalitas yang baik. Yang diawali dengan mencari waktu untuk menebang pohon yaitu sasih karo, kawulu dan kesanga yang biasanya disebut sasih berag (kurus) yang biasanya menggunakan sesaji berupa canang sari dan segehan. Setelah kayu dipotong maka tukang kendang akan mencari hari baik untuk bekerja atau nuasen. Menurut informasi dari I Putu Gede Sula Jelantik, hari tersebut adalah hari-hari yang jatuhnya bertepatan engan dewasa : karna sula, kala geger, aswajag turun dan bojog turun. Setelah kendang itu selesai digarap lalu di upacarai yang disebut dengan istilah ngupain atau masupati yang bertujuan untuk menghasilkan suara seperti yang diinginkan sekaligus dapat dipergunakan dalam konteks upacara. Setelah semua prosesi ini terlewati maka ada beberapa hal lagi yang harus dikerjakan seperti, membangun bantang dan nukub kendang (memasang kulit kendang).
resensi buku: Kendang Bebarongan Dalam Karawitan Bali Sebuah Kajian Organologi selengkapnya
by admin | Apr 25, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: I Gede Suwidnya, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.
18 Maret 2011 adalah hari dimana para dosen dan mahasiswa mengawali keberangkatannya menuju Jakarta. Tepat pukul 19.00 rombongan ISI Dps (bapak/ibu dosen beserta mahasiswa/mahasiswi fakultas seni pertunjukan ISI Denpasar semester II, IV dan VI) melaksanakan persembahyangan di pura padmasana ISI Dps guna memohon keselamatan di dalam keberangkatan menuju Jakarta, suasana khidmat dan penuh suka cita menggambarkan betapa harmonisnya hubungan yang terjalin antara manusia dengan Tuhan (parhyangan). Setelah pesembahyangan usai kami bergegas dan mempersiapkan keberangkatan menuju bandara Ngurah Rai. Pukul 20.00 kami memulai perjalanan yang startnya dari kampus ISI Dps dengan menaiki bus pariwisata, tawa canda pun tak dapat terelakkan antara dosen dengan mahasiswa yang menjadikan suasana malam yang sepi berubah menjadi ramai. Tanpa terasa satu jam perjalanan sudah kami tempuh dan sampailah di bandara Ngurah Rai.Bording pas dibagikan sebagai persyaratan yang harus dimiliki oleh seluruh calon penumpang pesawat yang akan membawa kami terbang menuju Jakarta.
Sesampainya di bandara Ngurah Rai kami beristirahat sejenak sembari menunggu jadwal penerbangan yang sudah ditentukan. Tepat pukul 10.00 kami akhirnya meninggalkan Pulau Dewata, dalam penerbangan menuju bandara internasional Soekarno Hatta waktu yang ditempuh adalah 1 jam 30 menit. Ketegangan muncul disaat pesawat akan lepas landas terutama bagi para mahasiswa dan dosen yang baru pertama kali melakukan perjalanan keluar daerah dengan menggunakan pesawat, didalam pesawat seluruh alat komunikasi di non aktifkan guna menjaga keselamatan didalam penerbangan dan boleh diaktifkan kembali pada saat mencapai ketinggian yang sudah ditentukan. Betapa indahnya permukaan bumi yang selama ini kita pijaki jika dilihat dari ketinggian meski yang bisa di lihat pada mlam itu hanyalah kelap kilip lampu dan tebalnya awan yang menyelimuti angkasa. Di dalam pesawat seluruh penumpang disuguhi santap malam oleh para pramugari sehingga menjadikan penerbangan semakin mengasyikkan.
Tanpa terasa pukul 11.30 kami mendarat dan tiba di bandara internasional Soekarno Hatta, Btapa megah dan mewahnya bandara yang selama ini kami dengar dan saksian lewat media televisi itu. Seluruh rombongan kesenian ISI Dps akhirnya dijemput menggunakan bis pariwisata yang kemudian di antar menuju tempat peristirahatan yaitu di Desa Wisata Taman Mini Indonesia Indah. Ramainya kota jakarta dan megahnya gedung-gedung pencakar langit menjadi pemandangan indah malam ini. Rasa ngantuk tak bisa terelakkan lagi, sesampainya di tempat peristirahatan kami seluruh rombongan disambut hangat oleh Rektor ISI Dps Bapak Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A beserta Ibu yang sudah tiba mendahului kami. Senyum dan tawa dari beliau terpancar karena melihat kedatangan kami semua tiba dengan selamat. Kami selaku mahasiswa membalas senyum dan tawa beliau karena melihat beliau mengenakan celana pendek (celana olahraga) dan baju kaos oblong. Begitulah keakraban yang seharusnya selalu terjalin antara mahasiswa dengan dosen. Santap malam disuguhkan sebelum kami beristirahat untuk melepas lelah.
Malam pertama kami lewati dan pagipun tiba, bangga terasa bisa melihat sang surya terbit dari Jakarta. Berbagai kegiatanpun dilakukan oleh para dosen dan mahasiswa, ada yang olahraga, mandi, bahkan makan pagi yang sudah terhidang di atas meja makan yang sudah dihidangkan. Pukul 10.00 kami bergegas untuk melakukan geladi kotor yang bertempat di Gor A. Yani Mabes TNI Cilangkap – Jakarta. Awal perjalanan pun dimulai dengan penuh semangat,harapan dan keyakinan untuk mengharumkan nama lembaga Institut Seni Indonesia Denpasar dan untuk mewakili umat Hindu khususnya Bali dan Indonesia pada umumnya. Sesampainya di tempat yang akan diselenggarakan acara, kami langsung mempersiapkan seluruh peralatan dari menyeting gamelan sampai kostum penari yang akan dipergunakan. Rasa tegang dan waswas selalu menghantui namun berkat kekompakan dan komunikasi yang terjalin erat dari seluruh personil maka semuanya berjalan lancar. Namun ada beberapa evaluasi yang harus dilakukan guna memantapkan garapan yang akan dipertunjukkan di depan Presiden RI beserta Ibu Haji. Ani Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden RI beserta Ibu Haji Herawatie Boediono, Pimpinan Lembaga Tinggi Negara, para Menteri Kabinet Bersatu kedua, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI, para Kepala Staf Angkatan, dan seluruh undangan umat. Setelah latihan geladi kotor usai kami kembali ke penginapan tuk beristirahat.
Dosen Mahasiswa Menjadi Satu selengkapnya
by admin | Apr 24, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Ida Bagus Purnawan, Dosen PS. Desain Interior ISI Denpasar
Fungsi, Bentuk dan Makna Angkul – angkul Rumah Adat Penglipuran
Pembagian daerah ruang rumah adat penglipuran terdapat perbedaan komposisi bangunan pada daerah sisi Kauh ( barat ) dan daerah sisi Kangin ( timur ). Rumah adat di sisi Kauh ( Barat ) rurung gede tempat suci ( sanggah ) terletak disebelah Utara Angkul-angkul, dan Bale adat terletak di sebelah selatan berada satu garis lurus dengan angkul-angkul sedangkan lumbung, Paon ( dapur ) terletak di sebelah barat sanggah dan loji menghadap ke timur di sebelah barat.
Angkul-angkul merupaka pintu masuk utama ke pekarangan rumah adat penglipuran di bagian depan rumah menghadap ke arah rurung gede. Angku-angkul di daerah penglipuran sedikit ada perbedaan dengan angkul –anagkul di desa seluruh bali. Angkul – angkul di desa penglipuran tidak berisikan pintu, seperti apa yang kita jumpai dibeberapa angkul – angkul rumah tradisional Bali lainnya, dimana angkul –angkul rumah tradisional Bali lainnya tertutup dengan pintu kwadi dan aling – aling untuk menghindari sirkulasi langsung dan akses langsung menuju tempat tujuan. Hal tersebut terkait dengan kepercayaan masyarakat desa adat penglipuran bahwa orang yang masuk dan berkunjung tersebut selalu bermaksud baik dan dengan konsep kerbukaan terhadap siapapun yang berkunjung ke rumah mereka tanpa ada halangan dan terbuka kepada siapapun. Ajaran Keagamaan dan Kepercayaan masyarakat desa Adat Penglipuran adalah ajaran Tantris dimana mereka memuja Leluhur dengan menganut paham Politheisme dengan Monumen pemujaan . Dengan masuknya ajaran Bali Arya dan pengaruh Hindu Majapahit, mereka mengenal Kayangan Tiga dan Padmasana.
Angkul –angkul di desa adat penglipuran merupakan orientasi utama pada tatanan ruang rumah adat desa penglipuran, dimana angkul – angkul juga merupakan pusat central komposisi rumah linier, dimana setiap pertemuan angkul – angkulnya terdapat halaman antara jalan besar ( rurung gede ) dengan rumah adat yang disebut dengan Lebuh. Sebagai fungsi Utama sirkulasi dari rumah adat sisi Kauh ( Barat ) dengan sisi Kangin ( Timur ) dimana angkul – angkul sebagai penghubung menuju masuk pekarangan rumah adat dengan rumah adat yang lainnya dari sisi yang berbeda, tetapi tegak lurus dengan angkul – angkul dari rumah adat didepannya. Dan seterusnya pada seluruh angkul – angkul di pemukiman rumah adat di desa adat penglipuran.
Ditinjau dari fungsi tidaklah berbeda dengan angkul –angkul pemukiman lasimnya di Bali, tetapi ditinjau dari arah dan orientasi, posisi angkul – angkul secara keseluruhan merupakan perlawanan dari landasan ashta kosali merupakan arah Numbak Bala ( berhadap – hadapan ), ini disebabkan rumah adat penglipuran menggunakan pola linier dan angkul – angkul merupakan pusat orientasi setiap pekarangan rumah, dengan pertimbangan akses masuk dan silang poros Tampak Dara dengan konsep Wra Bhineda.
Makna yang tersimpan didalamnya adalah angkul – angkul rumah adat penglipuran merupakan pekarangan yang merupakan satu kesatuan dengan pekarangan rumah lainnya, dengan kata lain tanpa batas kepemilikan dan rurung gede merupakan poros penyeimbang dari posisi karang rumah dapt. Sehingga tidaklah tabu untuk meletakan angkul – angkul yang berhadap-hadapan dengan rumah di seberangan rurung gede, karena filosofi rumah adat penglipuran bagaikan manusia tidur terlentang kedua sisinya adalah seimbang.
Kajian Fungsi, Bentuk Dan Makna Angkul-Angkul Rumah Adat Penglipuran, Bagian III selengkapnya