Melaras Gamelan Jawa, Bagian II

Melaras Gamelan Jawa, Bagian II

Kiriman Saptono, SSen., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar.

Teknik Pencarian Nada

Teknik pencarian dalam menentukan nada selain dari kepekaan dari panca indra pendengaran telinga sepenglaras, juga akan dibantu dengan alat yang namanya malam (untuk batuk) atau tanah liat. Baik menurut Suraya maupun Sutarno bahwa malam atau tanah liat, ini satu-satunya alat yang tidak bisa ngapusi untuk menentukan tinggi rendahnya nada. Nada-nada pada ricikan gamelan baik nada pada ricikan yang berbentuk bilah (gender, balungan, dan gambang) maupun nada pada ricikan yang berbentuk pencon (gong, kempul, kenong, kethuk, kempyang, dan bonang). Dan sudah pasti setiap bilah atau pencon yang sudah memiliki nada tertentu jika diberi atau ditempel malam, nada tersebut akan menjadi lebih tinggi. Penglaras ketika mencari (bereksplorasi) nada ideal adalah dengan menempelkan  malam pada bilah-bilah gender, saron, maupun, pencon, tergantung instrument/ricikan apa yang sedang dicari nadanya.

Teknik Membuat Nada

Di dalam pelarasan gamelan teknik membuat nada yang dimaksud adalah meninggikan dari nada yang sudah ada maupun menurunkan dari nada yang sudah ada. Di dalam bahasa pembuat atau penglaras gamelan Jawa istilah meninggikan nada lebih lumrah dengan menggunakan istilah dijuluk (dari asal kata “juluk” yang artinya naik) dan kebalikannya untuk istilah menurunkan nada dengan menggunakan istilah diendak (dari asal kata “mendak” yang artinya turun). Perlu diketahui bahwa ricikan/instrument gamelan Jawa bentuknya terdiri dari bilah dan pencon, maka teknik meninggikan dan teknik merendahkan nada caranya berbeda-beda tergantung dari ricikannya.

1.Melaras Ricikan Bilah

Untuk kelompok ricikan/instrument gamelan Jawa yang berbentuk bila seperti berikut.

  1. Gender barung
  2. Gender penerus
  3. Slenthem
  4. Demung
  5. Saron
  6. Peking
  7. Gambang

Hanya saja untuk ricikan gambang bahan bilah-bilahnya terbuat dari kayu, maka peralatan dan cara yang digunakan untuk meninggikan atau merendahkan nada-nadanya pun berbeda dengan bilah-bilah yang terbuat dari perunggu.

Peralatan yang digunakan untuk membuat nada-nada pada bilah yaitu gerenda listrik, wadung, dan air. Gerenda listrik digunakan untuk meninggikan ataupun merendahkan bilah-bilah nada dari bahan perunggu, sedangkan wadung digunakan untuk mengerjakan pada bilah-bilah gambang. Sementara air berfungsi membasahi setiap permukaan bilah yang sedang digerenda.

Teknik yang digunakan untuk membuat nada pada bilah-bilah perunggu yaitu menipiskan bilah dengan cara digerenda pada bagian dalam bilah (lambung) pada posisi wilayah samping kanan atau kiri untuk meninggikan, dan posisi wilayah tengah untuk merendahkan nada.

Adapun teknik meninggikan nada (membuat nada menjadi lebih tinggi) bilah agar bilah-bilah tersebut tetap kondisi baik/seimbang tebal tipisnya, maka cara penggerendaannya diambil pada wilayah 1 dan 3 (samping kanan/kiri dari posisi lubang bilah. Agar bilah-bilah instrumen memiliki bentuk yang seimbang tebal tipisnya, maka cara penggerendaannya dipertimbangkan dengan kondisi bilah tersebut. Sebaliknya teknik  untuk merendahkan nada (membuat nada agar menjadi lebih rendah) instrumen bilah yaitu dengan cara menipiskan pada posisi tengah diantara lubang bilah (bagian lambung).

Menurut Suraya untuk menjaga kondisi dan kwalitas bilah instrumen tetap baik, maka ketika menggerenda bilah-bilah instrumen gamelan harus dibasahi air. Adapun cara mengairi bilah yang sedang digerenda bisa dibawah pancoran air/kran atau disiapkan ember yang berisi air dan gelas plastik/botol plastik yang dipotang dan diberi lobang agar airnya bisa mengalir.

Melaras Gamelan Jawa, Bagian II, selengkapnya

Perspektif Musikalitas Tabuh Lelambatan Banjar Tegaltamu

Perspektif Musikalitas Tabuh Lelambatan Banjar Tegaltamu

Kiriman: I Nyoman Kariasa,S.Sn., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Sebagai salah satu karya seni musik tradisional tabuh, Lelambatan tentu memiliki tiga aspek dasar estetika yaitu wujud, bobot, dan penampilan. Dari ketiga aspek tersebut dapat lihat bagaimana bentuk dan struktur sebuah komposisi tabuh lelambatan serta bagaimana suasana, ide atau gagasan yang terdapat dalam tabuh lelambatan tersebut. Secara umum tabuh lelambatan memiliki bentuk, struktur dan tata penyajian yang khas.

Bentuk dan Struktur

Tabuh dalam konteks karawitan Bali memiliki pengertian yang sangat luas, adakalanya tabuh juga dipergunakan untuk menunjukkan bentuk-bentuk komposisi lainnya di luar dari gending-gending lelambatan tradisional misalnya tabuh kreasi baru yaitu suatu bentuk komposisi karawitan yang di luar dari kaidah-kaidah tetabuhan klasik. Di samping itu kata ‘tabuh’ juga dipergunakan untuk menyebutkan bentuk-bentuk komposisi dari berbagai jenis barungan gamelan seperti tabuh Smar Pagulingan, tabuh Gong Gede, tabuh Kekebyaran dan sebagainya. Tabuh bila dilihat sebagai suatu estetika teknik penampilan adalah hasil kemampuan seniman mencapai keseimbangan permainan dalam mewujudkan suatu repertoir hingga sesuai dengan jiwa, rasa dan tujuan komposisi. Selanjutnya pengertian tabuh sebagai suatu bentuk komposisi didifinisikan sebagai kerangka dasar gending-gending lelambatan tradisional. Misalnya tabuh pisan, tabuh telu, tabuh pat dan sebagainya (Rembang, 1984/1985:8-9).

Lelambatan diperkirakan berasal dari kata Lambat yang berarti pelan yang mendapat awalan Le dan akhiran an kemudian menjadi Lelambatan yang berarti komposisi lagu yang dimainkan dengan tempo dan irama yang lambat/pelan. Tambahan kata Pegongan pada bagian belakang kata Lelambatan sebagai penegasan pengertian bahwa gending-gending lelambatan klasik pegongan adalah merupakan repertoar dari gending-gending yang dimainkan dengan memakai barungan gamelan “Gong”. Gamelan Gong yang dimaksud adalah gamelan-gamelan yang tergolong dalam kelompok barungan yang memiliki Patutan Gong yaitu istilah yang dipergunakan untuk menyebutkan kelompok gamelan Bali yang mempergunakan laras pelog 5 (lima) nada. Adapun kelompok gamelan yang berlaras pelog lima nada di Bali ada beberapa jumlahnya diantaranya: Gamelan Gong Gede, Gamelan Gong Kebyar, Gamelan Palegongan, Gamelan Gandrung. Namun demikian dari berbagai jenis tersebut yang biasanya dipergunakan untuk menyajikan tabuh-tabuh lelambatan pegongan adalah gamelan Gong Gede dan Gamelan Gong Kebyar.

Dalam  terjemahan Prakempa pada bagian ke 35 disebutkan bahwa:

“…ini asal mula tabuh(lagu) dan nyanyian-nyanyian, karena nyanyian dan lagu sesungguhnya sama beda, karena ada tersebut nyanyian yaitu tabuh pisan, tabuh telu, tabuh pat, tabuh nem, dan tabuh kutus ini bukan tabuh namanya, sebenarnya angsel dan pepada, karena segala alat-alat nyanyian harus memakai kempli dan kempul. Bila nyanyian memakai kempli delapan kali dan juga kempul delapan kali itu namanya Asta pada…(Bandem, 1985:63)

Kutipan di atas apabila dihubungkan dengan komposisi tabuh-tabuh lelambatan, akan dapat dilihat beberapa pepada pada bagian pengawak dan pengisepnya. Seperti halnya tabuh pat,  terdapat empat kali pukulan kempli dan kempur. Begitu juga tabuh nem, dan tabuh kutus. Namun penanda ini tidak berlaku pada tabuh pisan dan tabuh telu, terutama pada lelambatan gaya Batubulan.

Bentuk dan struktur tabuh-tabuh lelambatan pada umumnya menentukan ciri khasnya. Begitu halnya dengan tabuh-tabuh Lelambatan yang ada di Banjar Tegaltamu juga memiliki struktur dan bentuk yang hampir sama. Yaitu menggunakan konsep struktur komposisi klasik terdiri dari kawitan, pengawak, pengisep, pengecet, pengembat dan pekaad.  Pada bagian pekaad (tabuh pat, tabuh nem, tabuh kutus) menggunakan tabuh telu atau gilak, dan atau menggunakan keduanya. Masing-masing struktur ini dibentuk dengan menggunakan hitungan atau angka-angka. Hitungan angka-angka tersebut digunakan untuk menentukan birama 4/4 yang ditandai dengan jatuhnya pukulan, jegog, kempli, kempur, dan diakhiri dengan jatuhnya pukulan gong. Selain menggunakan hitungan juga sangat menentukan adalah pukulan kendang terutama dalam pengawak dan pengisep pada jenis tabuh pat, tabuh nem dan tabuh kutus. Pengulangan frase frase /pepada dalam setiap bagian gending juga didukung oleh dinamika yang dibawakan oleh instrumen gangsa, intrumen reyong dan cengceng kopyak yang dikendalikan oleh kendang.

Secara umum tabuh lelambatan di Banjar Tegaltamu menggunakan bentuk atau format ngewilet dan periring, Terutama pada bagian pengawak dan pengisep. Periring berasal dari istilah paca periring dalam karawitan vokal yang berarti membaca kalimat pokok sebuah kalimat lagu. Sedangkan Ngewilet sendiri merupakan pengembangan irama atau ketukan dari pada periring. Tentunya irama ngewilet lebih panjang dan lebih lambat dari pada irama periring. Sebagai perbandingan, bentuk periring gaya Batubulan berbeda dengan bentuk periring yang ada dalam lelambatan gaya Badung. Dalam lelambatan gaya Badung periring dimainkan menggunakan melodi pokok pengawak dengan pola pukulan kendang pengisep. Dimainkan dengan tempo yang lebih cepat dari standar tempo yang dimainkan pada bagian pengawak. Periring ini dimainkan sebelum memainkan bagian pengawak. Berbeda halnya dengan bentuk periring gaya Batubulan.

Perspektif Musikalitas Tabuh Lelambatan Banjar Tegaltamu, selengkapnya

Krawang Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Trompong

Krawang Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Trompong

Kiriman I Putu Juliartha, Mahasiswa PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Dalam membuat trompong, pande bersama dengan pemesan atau pembeli gamelan tentu terlebih dahulu memikirkan dan memperhitungkan secara matang tentang jenis bahan yang akan dipakai dalam membuat trompong. Pande merupakan orang yang terlibat langsung pada suatu proses kreativitas dalam menghasilkan benda-benda yang berupa alat musik atau gamelan, senjata tradisional maupun seni rupa yang berupa ukiran. Seorang pande sangat pintar menggunakan berbagai kesempatan apa pun, asal tidak berlawanan dengan hati nuraninya akan dia kerjakan dengan sepenuh hati tanpa menoleh walaupun orang sekitarnya menganggapnya pekerjaan itu ’nista’ ia tak akan peduli asal tujuan mulianya dapat dicapai.

Di Desa Tihingan orang yang membuat gamelan disebut dengan pande gamelan atau tukang gambelan. Pande gamelan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu orang yang memang merupakan keturunan warga pande (salah satu jenis kasta atau komunitas tertentu dalam wangsa tri wangsa di Bali) dan orang diluar warga pande seperti orang dari warga pasek dan arya tetapi memiliki kemampuan dalam hal pembuatan gamelan. Mereka menggeluti pekerjaan membuat gamelan berdasarkan pengaruh-pengaruh dari keturunan atau keterampilan yang dimiliki oleh leluhur mereka yang berkembang secara turun temurun sampai ke generasi berikutnya. Seperti keahlian seorang bapak membuat gamelan akan diikuti oleh anaknya, selain itu keahlian ini tidak terlepas dari bakat, kecerdasan serta kemampuan mereka, keterampilan ini dipergunakan sebagai sumber penghidupan bagi mereka, dan atas keterampilan dan kebiasaan mereka membuat gamelan maka mereka disebut dengan pande gambelan/pande gamelan.

Pande gamelan dalam menghasilkan kerajinan yang berupa Trompong Gong Kebyar tentu membutuhkan bahan-bahan maupun alat-alat sebagai unsur terpenting dalam proses pembuatannya. Di Bali pada umumnya gamelan yang sudah ada biasanya dibuat dengan bahan-bahan tersebut seperti besi, krawang, bamboo, kayu, kulit, dan kerang

Jenis-jenis bahan di atas menghasilkan karakteristik gamelan yang berbeda, serta masing-masing memiliki kualitas suara atau warna suara(colorite) yang berbeda dan tergantung dari bahan pembuatannya tersebut, maka dari itu dalam membuat gamelan terlebih dahulu harus mempertimbangkan jenis bahan yang cocok dipakai demi tercapainya keinginan yang sesuai dengan selera pemesan dan pembuatnya.

Trompong Gong Kebyar bisa saja dibuat dengan menggunakan bahan dari besi, namun mengingat penelitian ini dilakukan di Desa Tihingan dimana di daerah tersebut merupakan komunitas pengrajin gamelan yang membuat gamelan dengan memakai bahan dari krawang atau perunggu. Maka dari itu bahan yang menjadi obyek dalam pembahasan ini adalah bahan pembuatan Trompong Gong Kebyar dari bahan krawang.

Krawang telah diketahui oleh masyarakat Bali sebagai bahan pembuatan gamelan yang dapat menghasilkan gamelan dengan karakteristik yang berbeda dengan gamelan yang memakai bahan di luar krawang. Gamelan yang dibuat dari bahan krawang memiliki penampilan dan suara yang khas. Meskipun Trompong Gong Kebyar dan instrumen-instrumen lain yang dibuat oleh pande gamelan bisa dibuat mempergunakan bahan di luar krawang yaitu menggunakan bahan besi, tetapi lebih banyak orang pemesan atau pembeli maupun pande gamelan memilih bahan krawang sebagai bahan baku pembuatannya, karena gamelan yang terbuat dari bahan krawang menghasilkan suara yang lebih nyaring dan getaran suara yang lebih panjang dari pada gamelan memakai bahan besi.

Krawang sebagai bahan pembuatan gamelan telah disebut dalam tulisan R.Goris dalam buku sekelumit cara-cara pembuatan gamelan Bali oleh I Nyoman Rembang, yaitu:

Tentang memakai dan mengerjakan logam-logam, yang kemudian masuk ke Indonesia yaitu berasal dari India belakang teristimewa dari propinsi : tongkin. Kira-kira tiga ratus tahun sebelum masehi, orang-orang mulai memperdagangkan perkakas-perkakas perunggu dan juga alat-alat besi ke Indonesia. Dengan cepat orang Indonesia sendiri bisa menuangkan perunggu. Masa itu dinamai zaman perunggu ataupun juga kebudayaan Dongsen, yang berasal dari India belakang.

Dari kutipan di atas memberi gambaran bahwa pada mulanya barang-barang atau perkakas yang ada di Indonesia merupakan barang-barang dari hasil perdagangan negara luar yang memberikan pengaruh pada perkembangan keterampilan orang Indonesia yang sebelumnya tidak bisa melakukan pengolahan terhadap bahan logam yaitu khususnya krawang. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, orang Indonesia telah memiliki teknik-teknik yang matang dalam mengolah bahan-bahan perunggu atau krawang hingga mampu menghasilkan barang-barang kerajinan yang berupa perabotan, perkakas, senjata tradisional, dan gamelan.

Beberapa pande gamelan di Desa Tihingan yang memiliki pengalaman dalam pengolahan dan membeli atau mencari krawang sebagai bahan pembuatan gamelan menceritakan bagaimana asal-usul krawang dijadikan bahan baku dalam pembuatan gamelan Bali. Menurut informasi dari I Wayan Redana. seorang penjual gamelan Bali menuturkan bahwa konon krawang didatangkan dari Negara Thailand melalui jalur perdagangan masuk ke Indonesia melewati perairan Sumatera ke Jawa. Melalui pulau Jawa didatangkan ke Bali hingga ke Desa Tihingan Klungkung oleh pedagang-pedagang logam dari Jawa yang dinamai pedagang rosoan. Bahan baku tersebut dinamakan lakar Siam atau krawang Siam. Disebut krawang Siam karena berasal dari daerahnya yaitu Thailand yang dikenal dengan sebutan Negara Siam.

Krawang Siam dianggap memiliki kualitas yang sangat bagus terutama memiliki kelebihan dalam keawetannya setelah menjadi gamelan, dikatakan “gambelan ane melakar aji lakar Siam kar mekelo tuwuhne keweh lakar lung”, maksudnya gamelan yang bahannya memakai krawang Siam memiliki kekuatan yang tahan lama dan susah patah atau pecah dan akan memiliki umur yang sangat lama.

Krawang Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Trompong, selengkapnya

Sejarah Gambuh di Desa Kedisan

Sejarah Gambuh di Desa Kedisan

Kiriman I Wayan Sucipta, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar

Sejarah adalah rentetan peristiwa pada jaman lampau yang memang benar-benar terjadi. Keberadaannya dapat dibuktikan berupa peningalan-peninggalan arca maupun prasasti. Sejarah pada umumnya sangat berkaitan dengan manusia, lingkungan, dan kebudayaan. Untuk menunjukan bukti tentang terjadinya suatu peristiwa pada jaman dahulu, orang-orang pada waktu itu menuliskan sebuah prasasti maupun tanda-tanda peninggalan sejarah berupa arca-arca. Misalnya sejarah perkembangan desa, yang secara tidak langsung diikuti oleh seni dan kebudayaan masyarakat tersebut. Di dalam mengungkap sebuah sejarah perlu adanya langkah-langkah khusus yang dapat membantu menemukan bukti-bukti sejarah yang akan dicari.

Untuk menggali data-data yang dapat menunjang dan memberikan imformasi sejarah Gambuh Kedisan yang sebenaranya, peneliti menggunkan metode heuristik. Peneliti berusaha menemukan serta mengumpulkan jejak-jejak peristiwa sejarah yang sebenar-benarnya, yang mencerminkan berbagai aspek aktivitas manusia di waktu yang lampau. Dengan menelusuri berbagai sumber sejarah, seperti benda dan peralatan, sumber sejarah tertulis (dokumen dan prasasti), dan sumber lisan yaitu wawancara. Dalam mengungkap sejarah Gambuh Desa Kedisan selain peneliti mendapat data-data tertulis dari dokumen, peneliti lebih banyak menggunakan metode wawancara. Hal tersebut dilakukan guna mengetahui kevaliditas data tertulis yang didapat, dan secara khusus tidak ada prasasti dan bukti atau sejarah tertulis tentang kesenian Gambuh ini. Hanya sedikit disinggung pada sejarah terbentuknya Desa Kedisan.

Menurut Jro Mangku Manggih (56 tahun) jauh sebelum kedatangan warga Aan ke Desa Kedisan kesenian Gambuh tersebut sudah ada di desanya. Ketika warga Aan mengetahui di Desa Kedisan terdapat Kesenian Gambuh, warga tersebut memutuskan untuk ikut ngamuh (bergabung dengan Kesenian Gambuh) dan menetap di Desa Kedisan.

Menurut lontar Arya Wang Bang Sidemen, Ki Pasek Katrangan dan pengiring lainnya meninggalkan Aan pada windhu wisaya warih prabu, yang artinya Isaka 1450 atau tahun 1528 masehi, dengan tujuan mengiringi kepergian I Gusti Kacang Dawa. Warga Aan pada saat itu membawa Gelungan Panji yang merupakan tanda kesaktian dari Ki Pasek Katrangan. Gelungan Panji tersebut sampai sekarang ini masih terdapat di Desa Kedisan. Keberadaannya disakralkan dan ditempatkan (disungsung) di Pura Pemaksan (kawitan) warga Aan. Pura kawitan adalah pura yang penyungsungnya ditentukan oleh ikatan wit atau leluhur berdasarkan garis vertikal geneologis. Secara tidak langsung dari prasasti ini menyebutkan Kesenian Gambuh di Desa Kedisan sudah ada sejak jaman kerajan terdahulu. Bukti tertulisnya secara tidak langsung diketemukan pada lontar Candrasangkala yang mengisahkan tentang terbentuknya Desa Kedisan. Pada tahun Isaka Apuy Awtaraning Jaladhi Canra

(Apuy = 3, Awtara = 6, Jaladhi = 4, Candra = 1) artinya 1464 saka atau 1541 masehi.

I Gusti Ngurah Widiantara, mengatakan secara historis Gambuh Kedisan tidak ada kaitannya dengan Kesenian Gambuh dan puri yang ada di daerah lainnya, terkecuali dengan Puri Kedisan. Puri Kedisan merupakan tempat tinggal penglingsir (tokoh puri) yang datang ke Desa Kedisan membawa Gelungan panji dengan Ki Pasek Katrangan. Akan tetapi di Puri Kedisan tidak terdapat  Bale Pegambuhan, seperti di Puri Gianyar.

Gambuh Kedisan tidak dibentuk dalam wilayah puri, melainkan secara autodidak tumbuh dan dikembangkan oleh masyarakat Kedisan yang memang menyukai Kesenian Gambuh. Gambuh ini selalu diminta ngayah (pentas) di Puri  Gianyar, Puri Ubud, dan masyarakat lainnya ketika ada kegiatan upacara keagamaan di lingkungan puri dan masyarakat. Maka dari seringnya pentas di Puri Gianyar, Puri Ubud dan puri lainnya Gambuh Kedisan menjadi terkenal, dan dikenal dengan istilah Gambuh Kedisan.

Gambuh Kedisan merupakan Gambuh yang memiliki ciri khas tersendiri dari Gambuh lainnya. Ciri khas yang paling menonjol adalah penari, dimana semua penari Gambuh diperankan oleh seorang laki-laki. Sehingga Gambuh Kedisan juga disebut dengan istilah Gambuh lanang.  Tarian Gambuh Kedisan memiliki gerak tari yang sedikit kaku (sogol), karena ditarikan oleh laki-laki. Sehingga dari sebuah gerak tari yang kaku (sogol) pada Gambuh Kedisan menimbulkan sebuah ke khasan dalam tarian tersebut.

Pada tahun 1965 Gambuh Kedisan sempat mengalami fakum dari pertunjukan, karena makin sedikitnya penari Gambuh dan sedikitnya generasi yang mau menekuninya. Untuk membangkitkannya kembali, timbul inisiatif untuk mendatangkan pelatih Gambuh dari Desa Batuan, yaitu I Nyoman Kakul dan putranya I Nyoman Mukel. Pada tahun 1965 sempat dua periode mendatangkan pelatih dari Desa Batuan yang pertama Dewa Aji, dan yang kedua barulah  I Nyoman Kakul. Karena kuatnya style Gambuh Kedisan yang dikuasai, dan dipergunakan dari jaman dulu, mengakaibatkan sulitnya menerima style tarian dari Batuan, yang diajarkan oleh I Nyoman Kakul dan I Nyoman Mukel.Tidak lama kemudian akhirnya kembali dengan style Kedisan yang sering dipergunakan dari jaman dulu.

Sejarah Gambuh di Desa Kedisan, selengkapnya

Melaras Gamelan Jawa, Bagian I

Melaras Gamelan Jawa, Bagian I

Kiriman Saptono, SSen., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar.

Langkah awal yang harus dikerjakan penglaras sebelum membuat embat, terlebih dahulu diawali dengan “nggrambyang” nada-nada instrument gamelan seperti gong, kempul, kenong, balungan, sanpai gender. Jika dirasa sudah cukup kemudian yang diperlukan pertama adalah melepas bilah-bilah gender barung untuk membuat “babonan” nada dasar gamelan. Bilah-bilah gender dilepas dari tali pelunturnya kemudian disusun kembali di atas peluntur sesuai dengan urutan nadanya. Untuk memudahkan pengerjaan membuat babonan gamelan, di dalam pencarian nada-nadanya dibutuhkan malam/lilin untuk ditempel pada bagian lambung  bilah gender, maka menaruh bilahnya dibalik menjadi lambungnya di atas, seperti yang terlihat pada gambar tersebut.

Suraya menjelaskan bahwa membuat babonan embat harus memiliki kepekaan rasa terhadap jangkah atau interval gamelan Jawa. Yang menarik adalah masing-masing penglaras gamelan akan memiliki kepekaan rasa yang berbeda dan tidak ada yang sama setiap membuat embat (penjelasan saat materi magang tanggal 22 September 2010 di Musium Ronggowarsito Semarang). Hal ini didukung penjelasan Supanggah dalam bukunya Bothekan karawitan 1(2002) menurutnya sampai sekarang  ini belum  dan mudah-mudahan tidak aka ada standarisasi larasan gamelan di dunia ini, walau diskusi tentang itu telah banyak dilakukan. Kecuali dalam hal ini penglaras gamelan ada pesanan dari si pemilik gamelan agar gamelan miliknya dilaras sesuai dengan gemelan tertentu. Misalnya lngln sama dengan gamelan RRI Sirakarta, maka si penglaras harus meminjam untuk ngukur (dengan cara merekam nada/membuat tetuding dengan bilah atau suling) embat yang dimiliki gamelan di RRI Surakarta.

Disaat yang sama juga didekatkan saron barung laras slendro. Karena penglaras gamelan setiap menggarap atau mengerjakan nglaras gamelan akan dibantu oleh beberapa orang asisten (dalam bahasa pande gamelan lebih lumrah dengan istilah rewang/bahu). Seperti juga para pemilik pande gamelan atau penglaras gamelan jika menerima order mereka akan mengajak rewang. Begitu juga dengan Suraya ketika menggarap proyeknya, ia akan mengajak orang yang bisa diandalkan dalam membantu pekerjaan pelarasan. Dan biasanya ia akan mengajak tiga sampai empat orang termasuk sopir, dan biasanya orang-orang yang diajak ini tidak segan-segan kepada Suraya akan memanggilnya “juragan” (bos). Sungguh pun umur dari Suraya bisa dibilang masih tergolong muda (44 th) di bandingkan dengan para pembuat gamelan (pande gamelan) di Solo, yang lain rata-rata umur-umur mereka di atas 55 tahun, bahkan di atas 60-an.

Sementara pekerjaan Suraya juga dibantu oleh orang-orang yang masih tergolong muda, akan tetapi mereka memiliki pengalaman dibidang melaras gamelan ( pelarasan dan perawatan gamelan). Dan menurut Suraya pengalaman kerja dibantu oleh  mereka, dirinya (Suraya) merasa enak dan nyaman, karena mereka masing-masing bisa diandalkan pekerjaannya. Adapun orang-orang yang ikut kerja melaras gamelan dengan Suraya yaitu Sutarno (31 tahun) dari Bekonang Sukoharjo, Noma (28 tahun) dari  Bekonang Sukoharjo,  Gareng (41 tahun) dari Solo, dan Bejo (40 tahun) dari Solo. Jika mengerjakan pelarasan di luar Surakarta, maka Suraya akan mengajak mas Eko (45 tahun) dari Solo  sebagai orang yang dipercaya untuk ngurusi transportasi. Sementara Sutarno dengan bekal pengalamannya dapat diandalkan mengerjakan pelarasan ricikan-ricikan pencon. Untuk Noma dan Gareng pekerjaan pelarasannya diserahi nggarap ricikan-ricikan bilah. Bejo adalah memiliki tenaga yang luar biasa (roso) dan lebih nyaman ia sebagai laden (melayani kebutuhan) dari mereka. Sebagai pengusaha gamelan, Suraya juga mempekerjakan Bejo di tempat usahanya sebagai tukang cet/plistur rancakan-rancakan gamelan, maka jika ada pemelisturan atau pengecetan rancak gamelan akan ditangani oleh Bejo.

Dengan demikian, ketika Suraya sedang mengerjakan membuat babonan mereka (bahu tersebut) sudah paham tentang apa-apa yang harus disiapkan (termasuk peralatan) dan apa-apa yang akan dikerjakan. Jika bahu tersebut tidak mau tahu akan pekerjaannya maka akan dianggap malas oleh juragannya dan besok-besok kalau ada proyek lagi akan dikurangi bayarannya atau bahkan akan tidak diajak bekerja lagi dengannya dalam kesempatan yang lain.

Melaras Gamelan Jawa, Bagian I, selengkapnya

Fungsi Kerajinan kayu di Desa Singakerta

Fungsi Kerajinan kayu di Desa Singakerta

Kiriman: Drs. I Dewa Putu Merta, M.Si., Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar.

Seni Kerajinan adalah komponen produk seni yang dibuat melalui ketrampilan tangan  untuk tujuan sebagai kebutuhan hidup manuasia.  Berdasarkan pengertian itu, kerajinan merupakan hasil suatu produk ketrampilan seni yang dibuat oleh manusia. Bentuk-bentuk produksi kerajinan memiliki fungsi untuk memperindah ruangan atau barang penghias ruang. Benda produk kerajinan tersebut diharapkan menjadikan ruangan semakin indah. Barang-barang  produk  kerajinan kayu tersebut memiliki fungsi sebagai berikut :

1.  Fungsi Estetis

Fungsi estetis merupakan fungsi murni untuk memperindah atau mempercantik suasana ruang.  Fungsi yang demikian itu nampak jelas pada produk-produk kerajinan relief dan kerajinan patung yang diproduksi di daerah Singakerta, dan  menggunakan media kayu yang banyak menekankan nilai estetisnya. Estetis yang dimaksud adalah keindahan yang tampak secara pisik dapat dinikmati oleh indria pengelihatan secara nyata.

Dalam buku Pengantar Dasar Ilmu Estetika, dijelaskan bahwa estetika adalah segala         sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, semua aspek dari yang disebut ke-indahan.

Misalnya apakah artinya indah?, apakah yang menumbuhkan           rasa indah itu?,  Dari  mana datangnya rasa indah itu?,  Apa yang       menyebabkan barang yang satu indah dan yang lain tidak?,  Dan apa             sebabnya yang dirasakan oleh orang yang satu indah  dan tidak       dirasakan keindahannya oleh orang yang lain? (Djelantik, 1990: 6).

 

Selanjutnya Djelantik juga menyatakan, benda seni yang menjadi sasaran analisis  estetika atau keindahan setidak-tidaknya mengandung tiga aspek dasar seperti  wujud atau rupa yang mempunyai dua unsur utama ; bentuk/form, dan  susunan/structure, bobot atau isi yaitu aspek utamanya suasana/mood, gagasan/idea, ibarat,             pesan/message, dan penampilan (hasil dari tiga unsure; bakat/talent, ketrampilan/skill, sarana/medium (1990: 14).

Sedangkan Murdana (2001: 19) menjelaskan, estetik menyangkut persoalan-persoalan keindahan yang dapat menimbulkan pengalaman tertentu dan dapat memuaskan jiwa penikmatnya.

Dalam Hermeneutika, Estetika, Dan Religius Esai-Esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa juga dijelaskan, estetika membicarakan objek-objek estetik, kualitas karya seni serta pengaruhnya terhadap jiwa manusia yaitu perasaan, imajinasi, alam pikiran dan intuisi. Apabila karya seni dikaitkan dengan spiritual dan agama tertentu, pencipta mestilah memahami dan menghayati spiritual dan agama tersebut (Hadi, 2004: 227).  Dalam konteks tersebut, Melvin Rader menjelaskan, bahwa keindahan itu dihasilkan oleh hakikat yang diungkapkan atau berhasilnya cara pengungkapan. Cara pengungkapan itu yang harus indah, seni (dalam Somardjo, Jakob 2000: 26).

Djelantik (1990: 2) menjelaskan, indah dapat menimbulkan pada jiwa manusia rasa senang, rasa bahagia, rasa tenang, rasa nyaman, dan bila kesannya lebih kuat akan membuat terpaku, terharu, dan timbul keinginan untuk menikmati kembali.

Terkait dengan pernyataan tersebut, pengalaman estetis itu mencakup di dalamnya nilai-nilai keindahan yang dapat memberikan pengertian bahwa cakupan estetik bisa beraneka ragam nilai. Nilai yang dimaksud disini adalah suatu ciri yang melekat pada sesuatu yang dapat menimbulkan perasaan tergugah. Apabila sebuah benda disebut indah, hal itu berarti ciri suatu nilai yang dapat melekat padanya.  Teori estetika di atas dalam konteks penelitian ini digunakan untuk mengkaji keindahan hasil produksi seni kerajinan di desa Singakerta. Karena kerajinan kayu  merupakan bentuk ungkapan keindahan dan ketrampilan tangan, maka dalam menganalisisnya juga menyangkut keindahannya dari aspek ilmiah (misalnya hubungan antar elemen atau unsur yang ada untuk membangun struktur kerajinan kayu tersebut).

Fungsi Kerajinan kayu di Desa Singakertaselengkapnya

Loading...