Perapen Tempat Pembuatan Trompong

Perapen Tempat Pembuatan Trompong

Kiriman I Putu Juliartha, Mahasiswa PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Prapen adalah bangunan yang dipergunakan sebagai tempat melakukan aktivitas khususnya melakukan pekerjaan mengolah bahan logam yang menghasilkan barang bernilai seni yaitu keris dan gamelan. Di desa Tihingan khususnya, prapen hanya digunakan untuk membuat gamelan, tempat ini juga dianggap sebuah tempat suci karena di dalam prapen terdapat sebuah pelinggih yang dipercayai sebagai tempat memuja Dewa Brahma, maka dari itu wanita yang sedang mengalami menstruasi tidak diperbolehkan masuk ke areal prapen serta alat-alat yang terdapat di dalam prapen jika dipakai dan dibawa ke luar areal prapen mesti disucikan kembali dengan dipratista.

Pada jaman dulu prapen hanya boleh dibangun pada bagian Selatan dalam pekarangan rumah pande, dengan perkembangan jaman prapen tidak lagi dibuat dengan berpatokan pada arah Selatan, melainkan prapen pada masa sekarang dibuat dengan mengikuti situsi tempat yaitu bisa dibuat di bagian manapun asalkan tempatnya memungkinkan, pande gamelan di Tihingan yang memiliki prapen biasanya mempekerjakan kurang lebih tiga sampai tujuh orang tenaga kerja. Tiap orang pekerja memiliki fungsi dan tanggung jawab yang berbeda dalam membuat trompong maupun jenis gamelan lainnya. Tenaga kerja yang terlibat adalah pemilik prapen dan biasanya bersama orang-orang yang merupakan keluarga atau  masih kerabat dekat dan juga mempekerjakan orang berasal dari luar Desa Tihingan.

Di Desa Tihingan sampai saat ini hampir terdapat 60 buah prapen yang tersebar di masing-masing rumah penduduk, dari semua prapen tersebut ada yang dipakai sebagai tempat membuat gamelan atau hanya membuat krawang. Ada tiga jenis prapen yang ada di desa Tihingan yaitu:

(1)   Prapen pengeleburan : prapen yang memiliki luas sekitar 8 x 8 m2 hingga 8 x 10 m2, dalam prapen ini terdapat 1 atau 2 buah tungku perapian yang disebut jalikan prapen dengan ukuran 50 x 100 cm. Prapen pengeleburan berfungsi hanya sebagai tempat pembuatan krawang.

(2)   Prapen pengegongan memiliki luas 6 x 8 m2 hingga 8 x 8 m2. Terdapat 2 buah tungku, masing-masing tungku memiliki fungsi yang berbeda yaitu tungku yang pertama disebut jalikan pengeleburan dengan ukuran 40 x 50 cm yang berfungsi sebagai tungku peleburan krawang. Tungku kedua disebut jalikan penguadan dengan ukuran 1 x 1 m yang berfungsi sebagai tempat pemanasan dalam proses pembentukan. Prapen pengegongan dipakai dalam membuat gamelan berpencon yang berukuran besar seperti gong, bende, dan kempur.

(3) Prapen penguadan memiliki luas yang sama dengan luas prapen pengegongan, dalam prapen ini juga terdapat 2 buah tungku masing-masing memiliki fungsi yang berbeda, yaitu tungku yang pertama dengan ukuran 40 x 50 cm yang berfungsi sebagai tungku peleburan krawang. Tungku kedua dengan ukuran 40 x 40 cm yang berfungsi sebagai tempat pemanasan dalam proses pembentukan. Dalam prapen ini dibuat gamelan dari semua jenis gamelan bilah dan berpencon seperti trompong, reyong kajar, kempli, dan ceng-ceng.

Perapen Tempat Pembuatan Trompong, Selengkapnya

Mengenal Tokoh Panji Dalam Dramatari Gambuh di Bali

Mengenal Tokoh Panji Dalam Dramatari Gambuh di Bali

Kiriman: Ida Bagus Surya Peredantha, SSn., MSn.

Dramatari Gambuh sebagaimana kita ketahui merupakan sumber dari segala jenis kesenian yang ada di Bali sekarang. Kesenian yang  pada jaman dahulu di Jawa dikenal dengan  nama Raket ini diperkirakan masuk ke Bali pada abad ke- 14, seiring dengan eksodus orang-orang Majapahit yang melarikan diri karena terhimpit oleh masuknya paham baru (agama) dalam kehidupan di Jawa. Gambuh sangat dikagumi karena keindahan bentuk dan  penyajiannya yang akhirnya menjadi inspirasi lahirnya bentuk-bentuk tari selanjutnya. Dramatari Topeng, Arja, Wayang Wong dan bahkan Legong merupakan generasi lanjutan dari Gambuh yang mencirikan gagasan struktur pementaan, karakter, alur dramatik serta komposisi hingga perbendaharaan gerak.

Dalam tulisan ini, penulis secara khusus ingin mengupas lebih jauh tentang penampilan tokoh Panji dalam Gambuh saat pementasan berlangsung. Adapun berbagai aspek yang dimaksud antara lain :

Karakter

Dalam pementasan dramatari, yang dipentingkan adalah pemahaman setiap pelaku terhadap alur cerita yang dibawakan yang akan berdampak pada pengenalan karakter tokoh yang ditarikan oleh pelaku pementasan. Bila tidak demikian, dapat dipastikan pementasan yang dibawakan kurang memiliki penjiwaan dan bahkan mungkin pesan ataupun amanat yang terkandung dalam cerita tersebut tidak sampai pada penonton yang menunjukkan pementasan tersebut boleh jadi dikatakan gagal.

Dalam Gambuh tokoh Panji mempunyai peran yang sangat vital, mengingat ia merupakan tokoh utama yang menentukan alur cerita. Panji merupakan tokoh putra halus yang memiliki watak tenang dan manis. Dalam melantunkan wawankata, tokoh Panji memiliki kemiripan dengan tokoh Putri yaitu suaranya bernada tinggi datar, terkadang memperpanjang silabus kata dan gaya jalannya luwes. Namun demikian, penulis selalu menekankan sisi maskulinitas dari tokoh Panji tetap dikedepankan dalam setiap ragam gerak dan wawankatanya karena memang sebenarnya ia adalah seorang laki-laki.

Rias dan Busana

Rias dan busana dalam sebuah tarian merupakan hal yang sangat penting dan segera menarik perhatian karena dari sanalah penonton dapat menafsirkan apa dan bagaimana karakter seorang tokoh pementasan di atas panggung. Sebagai tokoh yang memiliki karakter halus dan manis, rias dan busana tokoh Panji harus disesuaikan untuk mendukung karakter yang diinginkan. Dimulai dari rias wajah, Panji memiliki alis yang ramping dan pada bagian ujung dibentuk agak sedikit naik untuk tetap memperlihatkan sisi maskulinnya. Panji dalam rias wajahnya tidak memakai kumis buatan.

Sementara busana tariannya memakai jenis sesaputan, dengan lelancingan yang dibuat agak panjang dibiarkan terseret. Bila diperkirakan, panjang kain untuk lelancingan ini kurang lebih 4 meter. Tokoh Panji menggunakan baju lengan panjang putih, badong manis, stewel hijau, celana panjang putih dan saput berwarna hijau. Warna hijau di sini dimaksudkan untuk memberi kesan kesejukan dan kedamaian sehingga dapat menunjuang karakter yang diinginkan. Lanjut pada hiasan kepala atau yang bisa disebut gelungan, Panji menggunakan hiasan kepala berbentuk Keklopingan dengan menggunakan bancangan / onggar ( susunan bunga berwarna putih atau kuning ) yang ditempatkan di kedua sisi gelungannya diletakkan lurus ke atas. Pada sisi kiri dan kanan gelungan tepat berada di atas telinga, terdapat perekapat dengan gelenternya yang berupa susunan pernik-pernik mote berwarna kuning emas. Terakhir, pada kedua telinga dipasangkan sepasang rumbing.

Ragam Gerak

Tokoh Panji dalam pementasannya memiliki ragam gerak yang secara kuantitas tidak begitu banyak, namun tetap memerlukan teknik yang baik utnuk melakukannya. Semisal, ngungkab langse dan berjalan milpil, nyalud, ngembat pajeng, matetanganan, nyambir dan ngerajeg. Pada bagian penglembar, gerak tersebutlah yang dilakukan. Sedangkan pada bagian penagkilan maupun peangkat tidak banyak melakukan gerak, karena yang difokuskan adalah wawankata pada para Arya atau Kade-kadean serta pembantu terdekatnya yaitu Turas.

Lakon

Pada pementasan ini, lakon yang diambil masih bersumber pada kisah Malat yang menceritakan penyamaran Panji untuk menculik kekasihnya Dyah Ratna Merta.

Tersebutlah Raden Panji dari kerajaan Jenggala putra mahkota dari Raja Jenggala. Beliau memiliki seorang kekasih yang sangat ayu rupanya bernama Dyah Ratna Merta. Oleh karena tidak disetujui oleh ayahnya, Raden Panji berupaya untuk melarikan diri bersama sang kekasih. Namun untuk menyamarkan tindakannya, Raden Panji berganti nama dan busana agar tidak diketahui orang. Selama dalam penyamaran, nama beliau adalah Kelana Carang Naga Puspa. Dengan dibantu para Arya, dibakarlah pasar kerajaan agar memperoleh kesempatan untuk melarikan diri di tengah kepanikan. Taktik ini berhasil, dimana Raden Panji berhasil mengajak lari kekasihnya.

Tak lama diceritakan bagaimana galau hati sang raja mendengar putranya melarikan diri. Lalu diutuslah Patih Kebo Angun-angun untuk mencari dimana putra mahkotanya berada. Tugas berat itu sanggup diemban sang patih dengan dibantu oleh dua orang bawahannya yaitu Demang dan Tumenggung. Setelah lama pencarian, bertemulah patih dengan Kelana Carang Naga Puspa. Keduanya berdialog dengan tegang dan pecahlah pertempuran diantara patih Kebo Angun-Angun dengan Kelana Carang Naga Puspa. Disanalah penyamaran beliau terbongkar. Patih Kebo Angun-Angun tidak menyangka bahwa lawan yang ia hadapi adalah tuannya sendiri. Kebo Angun-Angun hanya bisa berlutut keheranan dan menyampaikan maksud dan tujuannya agar bisa kembali pulang ke kerajaan karena sang ayah sedang gelisah menunggu. Akhirnya, Raden Panji beserta kekasihnya kembali ke negaranya yaitu Kerajaan Jenggala.

Mengenal Tokoh Panji Dalam Dramatari Gambuh di Bali, Selengkapnya

Kehidupan Berkesenian di Kota Mataram

Kehidupan Berkesenian di Kota Mataram

Kiriman I Gede Yudarta, SSKar., M.Si., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Kesenian merupakan salah satu sub unsur kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan masyarakat Bali. Ada berbagai alasan mengapa kesenian senatiasa dekat dengan masyarakat Bali, diantaranya: bagi senimannya sendiri di samping sebagai ungkapan estetik, berkesenian juga merupakan wujud persembahan baik kepada masyarakat maupun kepada sang penciptanya. Sedangkan bagi masyarakat kesenian di samping sebagai sarana hiburan, kesenian juga dapat dimanfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan terutama dalam kehidupan beragama. Dari kedua alasan inilah akhirnya muncul berbagai fungsi seni. Bandem dan Dibia (dalam Suandewi, 2001:124) secara khusus mengklasifikasikan tari Bali berdasarkan sifat dan fungsinya menjadi tari wali (sacral), tari bebali (untuk upacara keagamaan) dan tari balih-balihan (untuk tontonan atau hiburan).

Melihat kompleksnya fungsi seni dalam kehidupan masyarakat, bagi masyarakat Bali khususnya dimanapun berada akan senantiasa dekat dengan keseniannya. Sebagaimana dikatakan Suyadnya (2006:9) pada bagian lain dari catatan budayanya,

“bila bertandang pada kampung-kampung tua pada sore menjelang malam. Pada beberapa banjar yang memiliki perangkat gamelan, sayup-sayup akan terdengar suara gamelan yang dimilikinya dimainkan warga setempat, baik gong, angklung maupun rindik. Begitu juga disejumlah bale banjar, bisa dilihat adanya sekelompok teruna-teruni yang sedang belajar menari”.

Kenyataan tersebut menandakan bahwa walaupun berada jauh dari induk budayanya, kesenian Bali masih dilakoni oleh masyarakat pendukungnya. Untuk melihat lebih jauh kehidupan berkesenian di kalangan masyarakat Bali di Kota Mataram, ada beberapa poin yang dapat dijabarkan, diantaranya:

1) Seni Dalam Kehidupan Keagamaan

Masyarakat Bali di Lombok Barat dan khususnya di Kota Mataram secara mayoritas memeluk agama Hindu dan sangat taat melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya. Dalam melaksanakan kehidupan beragama, berbagai jenis upacara keagamaan tercakup dalam Panca Yadnya masih tetap dilaksanakan sebagaimana halnya di Bali. Dalam setiap pelaksanaan masing-masing dari yadnya tersebut masyarakat Bali masih menyertakan kesenian sebagai bagian yang penting. Gamelan, tari-tarian dan wayang masih merupakan bagian dari setiap pelaksanaan upacara keagamaan masyarakat di Kota Mataram. Keberadaan beberapa sekaa Gong Kebyar, Gong Gede, Angklung, Gender Wayang, Smar Pagulingan memiliki peran yang sangat penting dalam berbagai upacara yang dilaksanakan. Sebagaimana yang terjadi di lapangan, pada upacara ngaben yang dilaksanakan oleh seorang warga di Karang Kecicang terdapat beberapa jenis gamelan yang dipergunakan dalam rangkaian upacara tersebut. Terdapat gamelan Gong Gede yang sudah dimainkan hingga upacara selesai, gamelan Angklung yang memainkan tabuh-tabuh petegak (instrumental) serta mengiringi prosesi ke kuburan, serta Gender Wayang yang digunakan untuk mengiringi pesantian dan pada saat ngajum.

Demikian pula dalam pelaksanaan upacara keagamaan lainnya. Kesenian merupakan bagian yang dianggap penting dalam rangkaian upacara keagamaan tersebut. Gamelan contohnya, dari berbagai macam jenisnya, merupakan alat musik tradisional yang sangat penting dalam upacara keagamaan. Sebagaimana dikatakan Johan (2003), disebutkan bahwa gamelan yang dipergunakan dalam prosesi ritual Hindu memiliki andil yang sangat besar dalam menciptakan suasana hati, fikiran dan perasaan umat Hindu dalam keadaan mantap secara psikologis, sehingga memungkinkan untuk melaksanakan prosesi ritual secara sempurna (dalam Donder, 2005:14-15).

Demikian pula dengan tari dan wayang. Sebagaimana dikatakan Suandewi (2001:127), Tari Baris Batek yang dipentaskan pada saat pujawali (upacara) di Pura Lingsar, pada saat purnama ke enem memiliki fungsi khusus atau fungsi utama yang wajib dan harus dilaksanakan. Tarian ini dianggap sacral karena merupakan tradisi yang diwarisi secara turun temurun, sehingga melanggar kebiasaan atau tradisi ini merupakan hal yang tabu bagi masyarakat pendukungnya. Bagi masyarakat Bali dan masyarakat Sasak yang terlibat dalam pelaksanaan upacara Perang Topat, seni sacral di samping merupakan keharusan bagi masyarakat pendukungnya, dari aspek kehidupan sosial kesenian ini merupakan salah satu bentuk toleransi dan harmonisasi dalam kehidupan antar umat beragama. Tingginya nilai religious dalam kesenian ini membuktikan bahwa seni atau kesenian dalam berbagai perwujudannya sebagai hasil karya cipta budaya, memiliki fungsi ritual, yang mana dalam hal ini merupakan fungsi primer atau fungsi utama (Gie,2004; Soedarsono,1999).

Kehidupan Berkesenian di Kota Mataram Selengkapnya

Fungsi Gambuh Kedisan

Fungsi Gambuh Kedisan

Kiriman I Wayan Sucipta, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.

Fungsi secara umum memiliki sebuah pengertian kegunaan dari suatu hal yang dapat memberikan kontribusi terhadap kehidupan masyarakat. Kesenian secara umum hidup dan berkembang di masyarakat. Keberlangsungan kehidupan sebuah kesenian sangat dipengaruhi oleh masyarakat sebagai  pendukungnya. Kehidupan kesenian pada masyarakat tentunya memiliki arti dan peranan penting terhadap kelangsungan sebuah kebudayaan, yang dapat memberikan dan memenuhi suatu kebutuhan bagi masyarakat baik yang bersifat estetis, ritual maupun yang lainnya. Keberlangsungan kesenian klasik khususnya di Bali mempunyai fungsi dan peranan yang cukup penting dalam kehidupan masyarakat Bali. Terlebih sebagai masyarakat  yang  beragama dan berbudaya.

Kehidupan seni pertunjukan di Bali tidak bisa terlepas dari kegiatan upacara dan kegiatan adat, yang dilaksanakan oleh masyarakat.  Hal tersebut sudah turun- temurun dan  hampir di setiap kegiatan upacara yang tingkatannya madya dan utama selalu dilengkapi oleh seni pertunjukan, baik yang sifatnya sakral maupun semi sakral. Disamping sebagai kelengkapan sebuah ritual dalam keagamaan, seni pertunjukan juga  berfungsi sebagai suatu pemuasan rasa seseorang maupun masyarakat. Nilai-nilai sebuah seni pertunjukan dapat dilihat dalam masyarakat tentang kegunaan dari seni pertunjukan tersebut. Kegunaan kesenian itu menunjukkan bahwa seni pertunjukan mempunyai nilai yang ditentukan oleh masyarakat pendukungnya. Dengan kata lain seni pertunjukan mempunyai beberapa fungsi sesuai dengan tujuan dan keperluan yang diinginkan oleh masyarakat.

Kesenian Gambuh yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Kedisan dilestarikan dan dikembangkan oleh masyarakat Kedisan yang terkumpul dalam organisasi sekaa Gambuh. Kehidupan kesenian Gambuh ini didasarkan atas sebuah pelestarian kesenian klasik, yang berkaitan dengan sebuah kegiatan upacara pada masyarakat Kedisan dan sekitarnya. Keberadaan kesenian Gambuh di Desa Kedisan memiliki peranan yang kuat dalam kegiatan upacara, merupakan sebagai seni pertutunjukan yang tergolong bebali (pelengkap pada kegiatan keagaman).

Untuk mendeskripsikan fungsi dari Kesenian Gambuh yang ada di Desa Kedisan, Peneliti menggunakan teori fungsional. Menurut  Bronislaw Malinowski (1884-1942) semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat. Kemampuan unsur tersebut dipakai untuk memenuhi beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Menurut The Liang Gie bahwa seni adalah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan manusia. Berawal dari fungsi seni yang bercorak spiritual, kemudian berkembang menjadi fungsi kesenangan (hedonistis), fungsi pendidikan (edukatif), dan fungsi komunikatif.  Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat disesuaikan dengan fungsi dari Kesenian Gambuh “Kaga Wana Giri” yang terdapat di Desa Kedisan, yang memiliki  fungsi sebagai berikut:

Fungsi Upacara

Upacara adalah suatu kegiatan yang berkaitan dengan suatu kepercayaan dan pemujaan terhadap Tuhan (Ida Shang Hyang Widhi Wasa) beserta manimfestasi beliau. Secara khusus dalam Agama Hindu pelaksanaan sebuah upacara sering dikenal dengan istilah yadnya (yajna). Secara etimologi  kata yadnya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu  yajna adalah kata benda jenis laki-laki (maskulinum yang berasal di urat kata V Yaj) yang berarti memuja atau mempersembahkan dan memberi pengorbanan. Jadi yadnya artinya  pemujaan, persembahan atau korban suci baik material maupun non material berdasarkan hati yang tulus ikhlas dan suci murni demi tujuan-tujuan yang mulia dan luhur.

Secara khusus pelaksanaan sebuah upacara yadnya pada masyarakat Bali tidak bisa dilepaskan dengan peran serta sebuah  kesenian, yang difungsikan sebagai seni sakral, semi sakral maupun hiburan.  Contohnya kesenian yang tergolong semi sakral adalah Gambuh Kedisan. Gambuh Kedisan salah satunya masih hidup, dan hadir pada setiap kegiatan upacara pada masyarakat Kedisan dan sekitarnya. Di mana kesenian Gambuh ini dipentaskan ketika kegiatan upacara sedang berlangsung, diantaranya upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, ManusaYadnya, Buta Yadnya. Gambuh ini tidak hanya difungsikan dalam kontek Dewa Yadnya saja, melainkan upacara yang lainya, yang disesuaikan pada  tingkatan upacara (upakara) yang dilaksanakan, seperti madya dan utama.

Fungsi Gambuh Kedisan, selengkapnya

Seni Sebagai Mata Pencaharian

Kiriman I Gede Yudarta, SSKar., M.Si., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Aktivitas masyarakat Bali dalam hal mata pencaharian di Mataram sangat beragam. Ada yang jadi PNS, TNI, POLRI, Wiraswasta dan tidak sedikit diantaranya yang sukses sebagai pengusaha. Dari berbagai ragam jenis mata pencaharian, sangat sedikit diantaranya yang mencari kehidupan dari bidang kesenian khususnya sebagai seniman. Hal ini disebabkan oleh karena bidang seni belum sepenuhnya bisa diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomis. Penerapan sistem ngayah sebagaimana yang ada di Bali masih melekat pada kehidupan sosial masyarakat di Mataram. Walaupun ada diantaranya yang mendapatkan upah dari berkesenian namun hal itu belum bisa menjamin untuk kehidupan yang akan datang.

Namun demikian, ada beberapa orang seniman yang sepenuhnya menggantungkan hidupnya dari berkesenian. Salah satunya adalah I Wayan Pariode dari dusun Pagesangan Kota Mataram. Sebagai seorang seniman yang pernah mengenyam pendidikan seni karawitan di SMK 3 Sukawati, dia memiliki kemampuan teknik yang cukup memadai. Adapun aktivitas kesehariannya adalah di samping menjadi anggota dari beberapa sekaa gong di Mataram juga memberikan pelatihan kepada sekaa-sekaa gong yang ada di Kota Mataram hingga di Lombok Barat. Dari aktivitasnya itu untuk sementara dianggap cukup memenuhi ekonomi keluarga.

Namun demikian dari sudut pandang yang lain, memperhatikan pola berkesenian masyarakat Bali di Mataram, sesungguhnya bidang seni khususnya dapat dimanfaatkan secara ekonomis untuk menambah penghasilan keluarga. Padatnya aktivitas bidang seni yang terjadi di kalangan masyarakat dan terbatasnya jumlah seniman yang terlibat secara aktif seringkali hanya melibatkan orang-orang itu saja dalam pertunjukan yang dilakukan.

Pemanfaatan seni di bidang ekonomis juga dilakukan masyarakat dengan menawarkan jasa penyewaan perangkat gamelan sekaligus sekaa untuk kegiatan upacara keagamaan maupun acara-acara lainnya. Sebagaimana yang terdapat di Karang Kecicang terdapat tempat penyewaan gamelan bagi masyarakat yang membutuhkan kesenian.

Adanya jasa penyewaan gamelan seperti ini sangat membantu masyarakat dalam melaksanakan upacara keagamaan karena bagi kelompok masyarakat yang tidak memiliki gamelan dapat menyewa berbagai perangkat gamelan yang diperlukan lengkap dengan para pemainnya. Berbeda halnya dengan di Bali dimana gamelan lebih banyak merupakan miliki warga banjar, keberadaan gamelan-gamelan di wilayah Kota Mataram lebih banyak merupakan milik pribadi baik secara individu maupun keluarga tertentu. Jadi bagi pribadi atau kelompok keluarga tertentu yang tidak memiliki gamelan harus meminjam gamelan dengan menyewa pada yang memiliki gamelan. Adanya sistem sewa menyewa gamelan seperti ini lebih menonjolkan espek ekonomis karena ongkos sewa dan upah para penabuh sangat diperhitungkan. Utuk penyewaan gamelan dan upah penabuh dalam 1 hari bisa mencapai 2 juta dan diluar itu untuk masing-masing penabuh diupah 60-75 ribu rupiah.

Sektor lain yang diharapkan sebagai penunjang perekonomian para seniman adalah sektor pariwisata. Berbeda dengan apa yang terjadi di Bali, saat ini sektor kepariwisataan belum tergarap secara maksimal karena tidak banyak hotel-hotel menyajikan kesenian sebagai salah satu atraksi dalam acara dinner untuk memberikan hiburan kepada para wisatawan yang hadir di sana. Kota Mataram memiliki kekayaan budaya yang luar bisa dimana dari berbagai etnis yang bermukim di wilayah ini masing-masing memiliki seni budaya unggulan yang dapat dimanfaatkan dalam industri pariwisata.

Salah satu budaya etnis yang memiliki modal budaya yang kuat dan menarik di samping budaya Sasak adalah seni budaya Bali. Secara institusional keberadaan seni budaya Bali khususnya seni pertunjukan Bali terkesan masih dipandang dengan sebelah mata karena mungkin masih dianggap bukan kebudayaan asli daerah Lombok. Secara historis, kebudayaan Bali memberikan pengaruh yang besar terhadap kebudayaan Lombok. Dalam berbagai tatacara, adat-istiadat dan sistem sosial serta budaya masyarakat Sasak/Lombok terlihat adanya pengaruh Bali yang kuat. Demikian pula dengan kesenian yang terdapat dan tersebar di Lombok. Sebagian besar kesenian-kesenian yang sekarang dianggap sebagai budaya asli masyarakat Lombok mendapat pengaruh dari kesenian Bali. Sebagai contohnya: Cepung, Drama Gong, Gandrung, Gendang Beliq dan berbagai jenis kesenian lainnya unsur-unsur budaya Bali sangat kuat melekat pada kesenian-kesenian tersebut. Di samping Bali, beberapa unsur dari kebudayaan lain seperti Bone (Sulawesi), Jawa juga turut mempengaruhi perkembangan seni budaya Lombok sebagaimana yang dapat di lihat saat ini.

Seni Sebagai Mata Pencaharian, Selengkapny

Perawatan Gamelan Jawa

Perawatan Gamelan Jawa

Kiriman Saptono, SSen., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar.

A. Merawat Gamelan

Perawatan yang dimaksud yaitu terkait dengan hal pemeliharaan gamelan Jawa agar kondisinya tetap terjaga dengan baik, bersih, dan rapi menjadi terkesan agung dan berwibawa. Semua itu, nantinya bisa membuat kenyamanan dan kepuasan para seniman menggunakan gamelannya.

  1. Kondisi baik

Kondisi baik yang dimaksud selain baik larasannya, adalah secara fisik kondisi gamelan dalam keadaan relatif baik, misalnya seperti berikut.

–          Gamelan secara rutin sering digunakan.

–          Tidak ada yang pecah/melantar untuk ricikan-ricikan pencon dan patah atau retak untuk ricikan bilah.

–          Tali-tali peluntur yang digunakan nasih kuat (tidak rantas), tidak membuat ricikan bonang atau gender jika dimainkan kemudian bunyi kreket-kreket.

–          Bantalan balungan (demung, saron, dan peking) tidak membuat ngether jika ricikan tersebut dimainkan.

–          Peralatan tabuh langkap dan relatif baik.

–          Jangak-jangat kendang tidak ada yang putus, termasuk kulit-kulit kendang (kemprang) tidak ada yang robek/lubang.

–          Kelante-kelante ricikan kempul, gong, dan kenong relatif baik.

–          Ruangan tempat dan setingan gamelan bisa nyaman.

  1. Bersih

Di dalam hal perawatan, jika kondisi gamelan terlihat bersih tentu akan membawa nilai keindahan tersendiri, oleh karena itu keberadaan gamelan perlu dijaga kebersihan baik perangkatnya maupun ruangannya. Hal demikian agar debu-debu tidak mudah menempel dan gamelan tetap gilap (mengkilap).

Perlu diketahui bahwa ricikan gamelan jawa ada jenis ricikan/instrumen yang sengaja dibuat cemengan (hitam) dan ada ricikan yang dibuat gilap (mengkilap seperti “emas”). Di dalam perangkat gamelan Jawa, jenis ricikan yang biasa dibuat cemengan selain untuk instrumen gong gedhe, juga ada pada perangkat gamelan pakurmatan.

Adapun kondisi gamelan agar tetap terjaga kebersihannya, maka secara rutin perangkat gamelan tersebut;

  1. Sering dibersihkan dengan cara dilap dan atau dibersihkan dengan sapu bulu (sulak).
  2. Jika perlu, setiap rancak ricikan gamelan dibuatkan penutup baju/sarung dengan kain.
  3. Secara rutin 4 sampai 6 bulan sekali gamelan dibersihkan dengan pembersih logam, seperti braso, batu hijau, atau autosol.
  4. Vasilitas ruangan relatif memadai (tidak sempit, tidak kumuh, tidak lembab) dan ada sirkulasi udara.
  1. Rapih

Di dalam Wedhapradangga dijelaskan bahwa gamelan dianggap sebagai pusakanya orang Jawa (Pradjapangrawit dalam Hastanto, 1990:25-26), maka kerapihan yang dimaksud selain enak untuk ditabuh juga secara etika enak untuk dipandang. Oleh karenanya kerapihan dalam pemeliharaan gamelan Jawa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya sebagai berikut.

Perawatan Gamelan Jawa, selengkapnya

Loading...