by admin | May 22, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Kadek Suartaya, SSKar., MSi., Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.
Belakangan, gamelan tidak tabu lagi dimainkan kaum wanita Bali. Tengoklah betapa maraknya pemunculan grup-grup gamelan ibu-ibu yang marak akhir-akhir ini. Panggul (alat pemukul gamelan) yang sebelumnya hanya dimonopoli oleh kaum pria itu, kini kian lincah diayun oleh para wanita Bali, saat mereka meniti nada-nada gamelan. Simaklah pada Sabtu (19/2) malam di Wantilan Pura Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar. Sekelompok penabuh wanita memukau perhatian masyarakat setempat yang sedang menggelar piodalan.
Sungguh mengundang takjub, sekumpulan penabuh wanita berbusana kebaya pink itu, dengan penuh percaya diri, tampil secara mebarung alias pentas bersanding dengan para penabuh pria. Para penabuh wanita itu seakan tak mau kalah keterampilan dan penampilan saling unjuk tabuh-tabuh petegak (konser). Bukan hanya itu. Pada pementasan inti, berhadapan dengan para penabuh pria yang lainnya, grup penabuh wanita tersebut saling berbalas mengiringi aneka tari klasik dan kreasi. Penonton berdecak dan berkali-kali memberi aplous terhadap sajian 25 orang penabuh wanita itu.
Kelompok penabuh wanita yang pentas pada malam itu terdiri dari para dosen, pegawai, mahasiswi dan alumni ISI Denpasar yang berkibar dengan nama Asti Pertiwi. Selain sudah hadir ke pelosok Bali, sekaa gong wanita ini juga telah unjuk kebolehan di pulau Jawa seperti Solo dan Jakarta. Pentas ngayah (pagelaran seni non-profit) dalam konteks ritual keagamaan menjadi arena yang paling sering dihadiri Asti Pertiwi untuk mengibur masyarakat dan sekaligus sebagai persembahan pada Hyang Widhi. Seperti saat tampil di Desa Sukawati itu, mereka ngayah melantunkan tatabuhan yang memberi suasana hikmat piodalan dan kemudian tampil dalam pagelaran balih-balihan yaitu sajian presentasi artistik alias suguhan keindahan seni.
Binar keindahan yang dilantunkan oleh Asti Pertiwi adalah melalui gamelan cinta, Semarapagulingan. Untuk diketahui, grup-grup penabuh wanita yang kini bermunculan pada umumnya memainkan gamelan Gong Kebyar, sebuah ansembel gamelan Bali yang paling luas sebarannya, hampir dimiliki oleh setiap desa atau banjar. Asti Pertiwi menyuntuki Semarapagulingan, salah satu barungan gamelan yang di masa lalu eksis di lingkungan istana. Seperti namanya, samara pagulingan, gamelan yang bersuara manis nan merdu ini ditabuh untuk mengiringi raja dan permaisurinya saat memadu cinta kasih di peraduan. Kini, gamelan Semarapagulingan semakin terdesak oleh popularitas Gong Kebyar.
Ada dua bentuk gamelan Semarapagulingan yakni yang bernada lima (saih lima) dan yang bernada tujuh (saih pitu). Grup Asti Pertiwi ISI Denpasar mengekspresikan gairah berkeseniannya mempergunakan Semarapagulingan bernada tujuh. Untuk memainkan gamelan Semarapagulingan tujuh nada ini memerlukan keterampilan khusus, relatif lebih sulit dibandingkan memakai media Gong Kebyar. Untuk memberikan pemahaman konsep musikal gamelan saih pitu, malam itu, di sela-sela pertunjukan, Rektor ISI, Prof. Dr. I Wayan Rai S.,MA, menunjukkan kepada para penonton tentang beberapa tangga nada yang dimiliki oleh gamelan Semaparapagulingan.
Melalui media Semarapagulingan saih pitu–setelah ngayah bersanding dengan penabuh pria Gong Kebyar Banjar Tebuana Sukawati– pada pertunjukan inti yang disesaki penonton, Asti Pertiwi mebarung dengan kelompok penabuh pria para mahasiswa dan dosen ISI. Asti Pertiwi tampil apik mengiringi tari Selat Segara, Topeng Arsawijaya, dan tari Margapati. Sepasang pemain kendang mengendalikan gending dengan sigap. Tukang ugal yang bertugas menuntun melodi meniti nada-nada instrumen gangsa dengan penuh sugesti. Para penabuh jublag dan jegog yang memainkan pokok-pokok lagu mengayun panggul-nya dengan lentur dan awas. Semuanya bermain dengan tertib, semangat, dan dengan senyum tersungging.
Sebelum mengiringi tiga tarian itu, sebuah konser gamelan dengan judul “Cita Pertiwi“ berhasil menggugah penonton. Tabuh karya dosen ISI Ni Ketut Suryatini, SSKar, M.Sn ini bertutur tentang harapan dan hasrat kaum wanita Bali untuk mensejajarkan diri dengan kaum pria dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam bidang kesenian atau seni budaya Bali pada umumnya. Penonton terkesima karena tabuh berdurasi sekitar 10 menit ini memadukan gamelan, olah vokal dan tarian. Lewat media Semarapagulingan tujuh nada, Suryatini mengeksplorasi sekian modulasi yang dimungkinkan oleh fleksibelitas gamelan ini, baik tampak pada garapan musik gamelannya maupun pada ungkapan vokal oleh seluruh pemain. Selingan tarian para pemain gamelan saat-saat menanjak pada klimaks tabuh, membuat “Cita Pertiwi” tampak begitu asyik disajikan.
Lantunan Gamelan Cinta Wanita Bali, selengkapnya
by admin | May 20, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Ida Bagus Surya Peredantha, SSn., MSn.
Sebagaimana diketahui, di Bali, khususnya di Bali Selatan terdapat dua daerah yang memiliki tingkat konservasi seni Dramatari Gambuh yang tinggi yaitu Desa Batuan di Kab. Gianyar dan Desa Pedungan di Kota Madya Denpasar. Kedua daerah ini memiliki gaya tersendiri yang membedakannya dengan yang lain, sehingga kesenian ini memiliki pengembangan variasai yang beragam semenjak kedatangannya pertama kali di Bali yang diperkirakan sekitar abad ke-14 Masehi. Pada tulisan ini, secara khusus kita akan mengupas lebih jauh tentang penampilan tokoh Arya dalam Dramatari Gambuh gaya Batuan dan Arya dalam Dramatari Gambuh gaya Pedungan. Adapun berbagai aspek yang dimaksud antara lain :
A. Karakter
Dalam pementasan dramatari, yang dipentingkan adalah pemahaman setiap pelaku terhadap alur cerita yang dibawakan yang akan berdampak pada pengenalan karakter tokoh yang ditarikan oleh pelaku pementasan. Bila tidak demikian, dapat dipastikan pementasan yang dibawakan kurang memiliki penjiwaan dan bahkan mungkin pesan ataupun amanat yang terkandung dalam cerita tersebut tidak sampai pada penonton yang menunjukkan pementasan tersebut boleh jadi dikatakan gagal.
Dalam Dramatari Gambuh, tokoh Arya mempunyai peran yang cukup vital, mengingat ia merupakan tokoh yang menjadi kepercayaan tokoh Panji ataupun Prabangsa. Namun dalam hal ini, Arya termasuk ke dalam kategori protagonist yaitu mendampingi Panji. Arya merupakan tokoh putra keras yang memiliki watak tegas, gagah dan energik. Dalam melantunkan wawankata, tokoh Arya melakukannya dengan penuh tenaga, tegas dan bernada rendah.
Perbedaan yang cukup mencolok antara Arya Gambuh Pedungan dan Batuan dapat dilihat pada adanya penggunaan tembang. Dalam tokoh Arya Batuan, terdapat sebuah tembang/tandak pepeson pendek yang diucapkan oleh penarinya. Sedangkan sebaliknya, pada Arya Pedungan tidak ditemukan penggunaan tembang.
B. Rias dan Busana
Rias dan busana dalam sebuah tarian merupakan hal yang sangat penting dan segera menarik perhatian karena dari sanalah penonton dapat menafsirkan apa dan bagaimana karakter seorang tokoh pementasan di atas panggung. Sebagai tokoh yang memiliki karakter tegas, gagah dan energik, maka tata rias yang ditampilkan haruslah sesuai. Dimulai dari rias wajah, Arya memiliki alis yang tebal dan pada bagian ujung dibentuk agak sedikit naik untuk tetap memperlihatkan sisi maskulinnya. Arya dalam rias wajahnya memakai kumis dan cambang buatan dari pensil. Dalam hal ini, tidak ditemukan adanya perbedaan tat arias antara Arya Batuan dengan Arya Pedungan.
Sementara busana tariannya memakai jenis sesaputan, dengan lelancingan yang dibuat agak panjang dibiarkan menyentuh tanah. Tokoh Arya menggunakan baju lengan panjang yang biasanya berwarna merah atau hitam, badong tumpuk yang tebal, stewel, celana panjang putih dan saput berwarna dominan ungu. Warna ungu di sini dimaksudkan untuk memberi kesan keras dan tegas sehingga dapat menunjuang karakter yang diinginkan. Lanjut pada hiasan kepala atau yang bisa disebut gelungan, Arya menggunakan hiasan kepala berbentuk keklopingan yang di kedua sisi gelungannya diletakkan daun pandan serta susunan bungan merak. Pada sisi kiri dan kanan gelungan tepat berada di atas telinga, terdapat bunga merah yang sudah dipadukan dengan daun gegirang berwarna hijau.
C. Ragam Gerak
Tokoh Arya Batuan dengan Arya Pedungan dalam pementasannya memiliki sedikit perbedaan dalam hal abah (pembawaan yang tampak dari sikap tubuh) dan ragam gerak. Abah dalam Arya Batuan, misalnya dalam posisi agem kanan, memiliki sikap tubuh kedua kaki menghadap keluar, kaki kiri sedikit berada di depan kaki kanan, jari kaki kiri dinaikkan, berat badan dipusatkan di kaki kanan, tangan merentang ke luar hampir menyentuh angka 180 derajat, telapak tangan menghadap ke bawah. Sepintas, sikap ini mirip dengan sikap tangan dalam tari topeng, namun lebih lebar. Sedangkan pada Arya Pedungan, hampir sama namun yang membedakannya hanyalah pada bukaan rentang tangan yang menyentuh angka 180 derajat alias direntangkan sempurna dengan telapak tangan masing-masing menghadap ke arah kanan dan kiri.
Adapun ragam gerak nyaris sama, hanya saja pola penempatannya yang berbeda. Semisal dalam Arya Batuan terdapat gerak nayog, ngelies, kirig udang, nimpah, ngrajeg, nglangsut, ngeger, nyambir, bhuta ngawa sari, matetanganan, gelatik nuut papah, kaya dan angsel kado. Sedangkan pada Arya Pedungan, terdapat tambahan ragam gerak ngotes rambut dan gerakan tayungan dengkleng. Perlu diketahui juga, perbedaan paling mendasar antara tokoh Arya Batuan dengan Arya Pedungan adalah pada adanya gerakan seledet mata pada Arya Batuan dan tiadanya gerakan mata ini pada Arya Pedungan. Oleh para pengajar dahulu, ketiadaan gerakan seledet mata ini pada Arya Pedungan dikarenakan bilamana penari Arya Pedungan melakukan gerakan ini, maka akan dianggap seolah tidak fokus pada tarian oleh penonton (ledat, dalam bahasa Bali).
Perbedaan Tokoh Arya pada Dramatari Gambuh Gaya Batuan dengan Pedungan, selengkapnya
by admin | May 19, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Wardizal Ssen., Msi., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar.
Didalam pertunjukan dendang, materi atau teks nyanyian pada umumnya berbentuk pantun, berwujud baris atau lirik (curahan perasaan) yang dikelompokkan menjadi bait, untaian atau kuplet. Berkaitan dengan pengertian pantun, Navis dalam bukunya Alam Terkembang Jadi Guru mengatakan:
Pantun, sama maknanya dengan umpama. Sepantun sama dengan seumpama, seperti yang ditemukan pula dalam bahasa Melayu yang sering menyebut kami sepantun anak itik, kasih ayam maka menjadi atau tuan sepantun kilat cermin dibalik gunung tampak jua (1984:233).
Zuber Usman dalam suatu diskusi pada seminar kesenian Minangkabau di Batusangkar (1970) mengatakan bahwa, pantun berasal dari kata petuntun (pa- tuntun = penuntun) yang artinya sama dengan umpama atau perumpamaan. Perubahan bunyi patuntun menjadi pantun adalah hal yang lazim dalam bahasa Minangkabau. Poerwodarminto dalam bukunya Kamus Umum Bahasa Indonesia mengatakan:
Pentun 1. sb. Sajak pendek, tiap-tiap kuplet biasanya empat baris (ab, ab) dan dua baris yang dahulu biasanya untuk tumpuan saja; 2. pribahasa sindiran; 3. jawab (pd. tuduhan) dan sebagainya; berpantun (pantunan): menyanyikan (membawakan) pantun bersahut-sahutan; memantuni; menyindir dengan pantun; memantunkan: mengarang pantun; mengatakan dan sebagainya dengan pantun; pemantun: pengarang pantun (1984:710).
Pantun terdiri dari beberapa baris dalam jumlah yang genap, dari dua baris sampai dua belas baris; separoh jumlah baris permulaan disebut sampiran, separoh berikutnya adalah isi pantun yang sesungguhnya. Fungsi sampiran adalah sebagai pengantar pada isi, bunyi, dan iramanya. Pantun yang sempurna adalah apabila sampirannya mengandung unsur tersebut.
Di samping berbentuk pantun, didapati juga teks nyanyian yang berbentuk talibun, yaitu karya puisi yang juga berwujud baris: enam, delapan, sepuluh dan seterusnya; biasanya dalam jumlah yang genap. Dapat dikatakan bersajak ab-ab untuk pantun yang berjumlah empat baris, abc-abc untuk yang enam baris dan abcd-abcd untuk pentun yang berjumlah delapan baris.
Ditinjau dari segi isinya, isi pantun dendang dapat dibagi ke dalam beberapa jenis, yaitu: pantun nasehat, pantun muda, pantun gembira, pantun kiasan, pantun adat, pantun bebas, pantun jenaka, dendang kaba, pantun tua, pantun duka dan pantun suka. Pantun nasehat adalah jenis pantun yang lebih banyak berisikan nasehat orang tua kepada anaknya, mamak kepada kemenakannya atau nasehat untuk anak-anak muda. Pantun nasib ditandai dengan isi pantun yang menyatakan kesulitan hidup, kesengsaraan, kemiskinan, kemelaratan, kehinaan dan sebagainya. Pantun muda adalah pantun yang isinya menggambarkan masalah-masalah hubungan muda-mudi, percintaan, kerinduan terhadap kekasih dan semacamnya. Pantun gembira adalah suatu bentuk pantun yang menggambarkan rasa suka cita terhadap sesuatu. Pantun kiasan adalah jenis pantun yang isinya lebih banyak berupa kiasan. Pantun adat adalah pantun yang baik sampiran maupun isinya terdiri dari pepatah- petitih atau kata-kata adat yang dijadikan pegangan hidup masyarakat Minangkabau. Pantun bebas adalah jenis pantun dimana sampiran dan isi pantun dibuat secara bebas, tergantung pada suasana dimana pantun itu di dendangkan; sampiran dan isi pantun keluar secara spontan. Walaupun bebas, tetapi pantun tersebut mempunyai sampiran dan isi sebagaimana kaidah sebuah pantun. Pantun jenaka adalah jenis pantun yang lebih banyak digunakan untuk berolok-olok atau mempermainkan seseorang melalui kata-kata. Biasanya isi pantun tidak terjadi sebagaimana digambarkan dalam pantun tersebut.
Berdasarkan kesan yang ditimbulkan dan kegunaannya dalam masyarakat, musik vokal yang berkembang di Minangkabau dapat dikelompokan atas lima bentuk, yaitu: dendang ratok, dendang kaba, dendang gembira, salawat/dikie dan baindang (Syarif, 1983:7). Dendang ratok adalah pembagian jenis dendang di Minangkabau yang didasarkan atas melodi dendang tersebut yang terdengar sedih dan isi pantunnya berhiba-hiba, menyadari nasib yang malang, kesengsaraan hidup dan sebagainya. Dendang kaba adalah jenis dendang yang digunakan untuk menceritakan kaba (cerita rakyat Minangkabau masa dahulu). Dendang gembira adalah jenis dendang yang sifatnya gembira. Salawat talam adalah salah satu musik vokal yang berkembang di Minangkabau dimana pada masa dahulunya digunakan untuk syiar agama Islam. Lagu-lagu yang dibawakan pada umumnya berbahasa Arab. Dalam perkembanganya sekarang lebih banyak difungsikan untuk keperluan hiburan dengan menggunakan bahasa daerah. Instrumen musik yang digunakan untuk keperluan salawat talam ini adalah Dikie atau rebana dan ada juga yang menggunakan Talam. Jenis musik ini sering juga disebut Badikie. Baindang (berindang) adalah berdendang bersahut-sahutan antara dua orang penyanyi yang berasal dari dua kelompok pemain Indang. Pertunjukan indang ini biasanya diiringi dengan instrumen musik yang dinamakan Rapa’i.
Pantun Sebagai Teks Nyanyian di Minangkabau, selengkapnya
by admin | May 19, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman I Putu Juliartha, Mahasiswa PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Ngemoncolin pada dasarnya adalah melakukan pembentukan muka trompong yang menitik beratkan pada pembentukan moncol, perataan, merapikan, membuat garis lingkaran, dan membuat sudut pada bangun trompong. Proses ngemoncolin membutuhkan waktu lebih lama daripada proses penguadan dan dalam melakukan pemanasan cobekan di dalam tungku perapian dilakukan lebih hati-hati dibanding pemanasan laklakan pada tahap penguadan. Hal ini disebabkan karena permukaan cobekan lebih tipis dari laklakan sehingga diperlukan panas yang merata pada semua bagian permukaan untuk menghindari adanya sobekan atau pecah akibat terlalu panasnya api dalam pembakaran.
Tahapan-tahapan pada proses ngemoncolin adalah sebagai berikut :
a) Ngincep atau merapikan lambe, terlebih dahulu diratakan bagian sudut yang berada pada basang cobekan yang mana sudut tersebut nantinya akan menjadi pejungut. Kemudian dipukul menggunakan palu yang terbuat dari kayu atau seseh bertujuan untuk mendapatkan sudut yang rata sebagai batas tinggi lambe. Kemudian cobekan ditaruh di atas landesan pengenjuh dengan memasukkan basang cobekan pada ujung landesan. Landesan berfungsi sebagai alas yang membantu pembentukan lambe menjadi incep. Ngincep dilakukan dengan melakukan pemukulan pada bagian lambe yang dimulai pada bagian tengah lambe menggunakan palu pengincep sambil memutar cobekan, dan selanjutnya diarahkan pukulan agak kebawah yang berakhir pada batas bawah lambe. Palu pengincep yang tadi digunakan diganti dengan palu penabdab dengan pemukulan diarahkan pada batas bawah lambe, kemudian di ulang lagi dari bagian atas menggunakan palu pengincep dengan cara yang sama dengan sebelumnya. Kekuatan pukulan pada proses ini tidak keras tetapi pukulan agak ditekan dengan agak menarik ke bawah, mengingat pukulan ini bertujuan untuk meratakan dan menata halus semua permukaan lambe, membuat agak miring atau melengkung ke dalam atau kebasang trompong yang disebut dengan incep, yang sebelumnya lambe kelihatan tegak antara muka cobekan dengan lambe membentuk sudut 100% dibuat miring dengan perkiraan sudut yang di bentuk sekitar 70 sampai 80%, sehingga ukuran lambe bagian atas yang nantinya menjadi pejungut lebih lebar dengan batas bawah lambe yang akan menjadi pengilat. Pengincepan dilakukan hingga di dapat bentuk lambe sesuai dengan yang dikehendaki. Prosesnya dilakukan berulang-ulang 3-4 kali pengulangan dengan perhitungan naik turun dari landesan ke jalikan prapen untuk dipanaskan terlebih dahulu, dan diperkirakan pemanasan dilakukan sebanyak 25 kali dalam proses pengincepan ini.
b) Ngeracap dilakukan apabila bentuk lambe cobekan dianggap sudah sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Ngeracap dilakukan di luar prapen dengan keadaan cobekan tidak dalam keadaan panas, karena sebelumnya sudah dimasukkan atau disepuh kedalam bak air ( penyeeban). Selanjutnya dipapar atau dirapikan menggunakan kikir, dan pengikiran dilakukan pada ujung lambe yang disebut dengan pengilat. Ngeracap bertujuan untuk mendapatkan pengilat yang rapi dan rata sehingga memiliki ketinggian yang sama pada semua sisi lambe yang membentuk sebuah lingkaran.
c) Mesuang moncol adalah sebuah proses yang diawali perataan pada bagian user cobekan yang terletak pada tengah-tengah basang cobekan yang dipukul dengan menggunakan palu besi yang beratnya 3kg. Cobekan diletakkan di atas landesan penguadan untuk dipukul bertujuan untuk mendapat ketebalan yang merata pada user cobekan yang nantinya akan dibangun menjadi moncol. Proses ini disebut ngeplak dan hanya dilakukan sekali saja dalam 1 kali pemanasan atau abarakan. Tahap selanjutnya barulah dimulai pemoncolan dengan cara user cobekan yang telah digeplak kembali dipukul menggunakan palu pemoncolan dengan memakai alas batu pemoncolan. Batu ini berisi lubang dipergunakan sebagai tempat yang menimbulkan moncol saat dipukul-pukul dengan palu, lubang batu ini berukuran sesuai dengan ukuran maksimal sebuah moncol yaitu dalamnya 8cm dan lebar 6cm. Membangun moncol dilakukan hanya tiga kali pemanasan atau tiga kali naik turun ke api/telung barakan.
Membangun Moncol Dalam Pembuatan Gamelan, selengkapnya
by admin | May 18, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: I Wayan Sudirana, PhD Candidate
Para seniman dan pecinta seni budaya Indonesia yang datang dari Amerika Serikat, Inggris, Indonesia dan berbagai kota di Kanada telah menjalin kolaborasi dan berpartisipasi pada acara Gong! The Gamelan Festival yang diselenggarakan di Simon Fraser University, Vancouver, Kanada, pada 15-17 April 2011. Pertunjukan gamelan dalam format festival ini diadakan menandai 25 tahun keberadaan gamelan Indonesia di Vancouver, Kanada.
Kelompok gamelan Bali “Gita Asmara”, yang dipimpin oleh Prof. Michael Tenzer dan I Wayan Sudirana dari University of British Columbia (UBC), Vancouver tampil pada hari pertama dengan membawakan komposisi tembang Bali, Sembur Tangi (Purple Fountain) karya Wayan Sudirana dan Sekar Gendot. Gerakan Tari Sekar Jagat, Topeng Arsawijaya, Legong Keraton Condong dan Tari Oleg Tamulilingan yang kompleks dan eksotik dibawakan dengan indah sekali oleh para seniman Bali, Kanada, Thailand dan Jepang, terlebih dengan iringan gamelan “Gita Asmara” yang begitu rancak dan dinamis. Penampilan I Wayan Sudirana, kandidat doktor di UBC, menambah suasana semakin memikat penonton yang memadati gedung pertunjukan yang berkapasitas 400 kursi, dengan memperkenalkan suara berbagai alat gamelan dan cara memainkannya serta memberikan kesempatan tanya jawab dengan para penonton.
Pada hari kedua, acara diisi dengan pagelaran wayang kulit “Anoman the Envoy” yang dilakonkan dengan baik oleh dalang Dr. Matthew Cohen, seorang pengajar di University of London yang pernah belajar seni pedalangan di Institut Seni Indonesia Surakarta. Kelompok gamelan Jawa “Madu Sari” dari Simon Fraser University, Vancouver, pimpinan seniman Sutrisno Hartono, kandidat doktor di University of Victoria, British Columbia, mengiringi penampilan dalang Ki Matthew Cohen, yang dengan kepiawaian dan kejenakaannya membuat hadirin bertahan sampai selesainya pertunjukan hingga larut malam.
Hari terakhir festival menampilkan kelompok gamelan Sunda “Si Pawit” dari Vancouver Community College oleh Jon Siddall menampilkan beberapa komposisi tembang Sunda, antara lain Mypongan yang mengambil beberapa bagian dari musik Jaipongan, dan diperkuat oleh seniman kecapi dan suling Sunda, Andrew Timar dan Bill Parsons dari Toronto. Cengkok Jessika Kenney, pesinden Jawa dan Sunda dari Amerika Serikat, dalam mengalunkan tembang Anjeun, Kalangkang, Warung Pojok dan Asmarandana Kandhil telah memikat hadirin.
Di sela-sela festival, untuk merespon minat warga Kanada yang ingin lebih mendalami budaya Indonesia, telah diselenggarakan workshop dan demo cara memainkan peralatan gamelan serta penyebarluasan informasi seni budaya dan pariwisata Indonesia melalui stan batik, cindera mata, buku promosi pariwisata dan sajian aneka kuliner Indonesia.
Untuk lebih melengkapi promosi seni budaya Indonesia di wilayah barat Kanada ini, panitia penyelenggara telah pula menjalin kerja sama dengan Vancouver International Film Festival untuk menayangkan film “Opera Jawa” karya Garin Nugroho di Vancouver pada tanggal 11 April dan 17 April 2011. Banyak pengunjung menyatakan terkesan dan mengungkapkan penghargaan terhadap karya sutradara Indonesia tersebut.
Selain didukung oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Vancouver, rangkaian acara Gong! The Gamelan Festival dan pemutaran film “Opera Jawa” tersebut terselenggara berkat adanya kerja sama dengan Caravan World Rhythms dan Simon Fraser University serta dukungan dari Pemerintah Kota Vancouver yang tengah merayakan 125 tahun berdirinya Vancouver.
by admin | May 17, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Kadek Suartaya, SSKar., MSi., Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.
Bhinneka Tunggal Ika adalah sasanti negara Indonesia yang telah menyalakan api kesadaran masyarakatnya sebagai sebuah bangsa yang dirajut dari keberagaman. Sejak cikal bakal negeri yang disatukan dalam bentangan jambrut khatulistiwa ini bertumbuh, benih-benih perbedaan itu telah dikelola secara bijaksana. Perbedaan bukan dipandang dan ditakuti akan melahirkan perpecahan, namun sebaliknya menjadi dorongan yang bertenaga untuk bertemu, mengenal dan saling menerima. Namun, masih menyejukkankah rekatan Bhineka Tunggal Ika itu di tengah kecenderungan prilaku kekerasan yang mengusik kemajemukan masyarakat Indonesia belakangan ini?
Sebuah karya seni pertunjukan mencoba menggugah masyarakat Indonesia tentang pentingnya makna sloka bhineka tunggal ika yang terpampang di kaki Garuda Pancasila lambang negara kita. Sebuah sendratari atau oratorium yang kisahnya diangkat dari zaman keemasan Majapahit disajikan di Jakarta pada Senin (21/3) malam lalu berkaitan dengan Dharma Santhi Nasional perayaan hari raya Nyepi tahun Saka 1933. Bertempat di Gor Ahmad Yani Mabes TNI Cilangkap, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar didaulat menyuguhkan seni pentas bertajuk “Purusadsantha”. Undangan kehormatan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Wakil Presiden Budiono, beberapa menteri, Ketua MPR Taupik Keimas, para duta besar, dan para tokoh agama tampak menyimak dengan tekun gelar seni yang berdurasi sekitar 45 menit itu. Demikian pula ribuan umat Hindu yang datang dari seluruh penjuru Jakarta menunjukkan antusiasisme sarat gairah menikmati dari menit ke menit sendratari yang menggunakan narasi bahasa Indonesia itu.
Oratorium “Purusadasantha” berkisah tentang keangkaramurkaan raksasa Purusada yang berhasil disadarkan atau diinsafkan (santha) oleh ketulusan budi dan kasih damai penegak keberanan tanpa kekerasan, Sutasoma. Sutasoma adalah Putra Raja Hastina, Sri Mahaketu, yang tidak mau hidup dalam gelimang kemewahan keraton melainkan memilih menjadi pertapa di hutan untuk mencari kehidupan sejati. Sementara itu, Purusada, seorang raja raksasa, memburu Sutasoma untuk dipersembahkan sebagai tumbal kaulnya kepada Betara Kala. Sutasoma berserah diri untuk dimangsa Batara Kala tetapi dengan permohonan 100 raja yang ditawan Purusada agar dibebaskan. Batara Kala dan purusada terharu dengan keiklasan Sutasoma. Napsu Batara Kala untuk menelan Sutasoma sirna. Keangkaramurkaan Purusada pun padam dan kemudian bertobat.
Dibawakan oleh lebih dari 100 orang pelaku seni. Tuturan kearifan dan kebeningan nurani Sutasoma itu merupakan cuplikan lontar “Purusadha” gubahan Mpu Tantular, pujangga keraton Maajapahit. Lontar yang ditulis pada abad ke-14 zaman pemerintahan Rajasanegara atau lebih dikenal dengan nama kecil Hayam Huruk ini, di tengah masyarakat Bali lebih populer dengan sebutan kakawin Sutasoma yang sejatinya memang disusun dalam bentuk puisi lirik. Dari kakawin Sutasoma, pupuh 139 bait 5, sasanti bhinneka tungga ika pada awal larik tan hana dharma mangrwa, kemudian disyukuri oleh Raja Hayam Wuruk sebagai pemersatu keberagaman Nusantara sebagai buah dari Sumpah Amukti Palapa Patih Gajah Mada.
Seperti dikisahkan pada awal oratorium “Purusadasantha” itu, sebelum munculnya susastra Sutasoma, Hayam Wuruk resah akan keberagaman Nusantara yang ditenun lewat penaklukan. Raja Hayam Wuruk menyadari api dalam sekam mengancam kesatuan Nusantara. Disadarinya bahwa, kemajemukan suku, agama, golongan dan budaya Nusantara memerlukan perekat yang menyejukkan. Hadirlah kemudian Mpu Tantular, memercikkan tirta kearifan lewat karya sastra yang menonjolkan figur Sutasoma yang teguh dan bijaksana menghadapi kebatilan serta rela berkorban untuk kepentingan rakyat. Larik bhinneka tungga ika tan hana dharma mangrwa dalam kakawin itu menjadi penyejuk Nusantara di bawah panji-panji Majapahit.
Ajaran kasih Sutasoma terasa kontekstual dalam pluralisme bangsa kita. Adegan saat Sutasoma memberikan ajaran kasih kepada Purusada disambut haru penonton. Ujar Sutasoma, “Semailah selalu kasih damai, di hati dan di bumi. Kasih kepada Hyang Widhi, kasih kepada bumi pertiwi dan kasih kepada sesama insan kehidupan. Mari, mari bersama menyucikan nurani memajukan bangsa. Mari berkasih damai menegakkan kebenaran tanpa amuk kekerasan. Mari berkasih mesyukuri keindahan pelangi keberagaman kita,” penonton bertepuk tangan berkali-kali menyambut pesan-pesan kasih damai Sutasoma.
Pelangi Seni Budaya Di Tengah Badai Kekerasan, selengkapnya