by admin | May 27, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Kadek Suartaya, SSKar., MSi., Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.
Dulu, teater Calonarang lazimnya mengerang di halaman luar Pura Dalem dalam sebuah ritual keagamaan. Kini, drama tari ini juga tampil garang di ruang-ruang pribadi keluarga lewat tayangan televisi. Penampilannya dalam konteks ritual keagamaan disangga oleh suasana yang komunal religius, sedangkan ketika tersaji dalam layar profan televisi, seni pertunjukan Calonarang mensejajarkan dirinya dengan sinetron, reality show, konser musik dan program hiburan lainnya, yang, tentu saja disimak pemirsa dalam suasana rumahan, santai dan tak formal. Biasanya, Calonarang yang disuguhkan di layar kaca diangkat dari pementasan-pementasan di tengah masyarakat.
Perhatian masyarakat menyaksikan Calonarang di televisi dengan menonton pertunjukan langsung di tengah masyarakat berbanding sejajar. Di tengah masyarakat, seni pentas yang tak begitu sering digelar ini senantiasa disaksikan masyarakat dengan penuh perhatian, bila perlu hingga menjelang pagi. Tradisi mementaskan drama tari Calonarang serangkaian dengan odalan di Pura Dalem Gede Desa Sukawati, Gianyar, misalnya telah sejak dulu menjadi pagelaran seni yang ditunggu-tunggu masyarakat. Mungkin karena apresiasi masyarakat yang besar itu yang menyebabkan teater ini lestari di desa Sukawati dan di tengah masyarakat Bali pada umumnya.
Teater Calonarang diduga muncul pada tahun 1825 pada zaman kejayaaan dinasti kerajaan Klungkung. Lakonnya bersumber dari cerita semi sejarah dengan seting kejadian pada abad XI, zaman pemerintahan Airlangga di Jawa Timur. Dalam wujudnya sebagai seni pertunjukan Bali, disamping tetap mengacu kepada sastra sumbernya, terjadi pula mengembangan dan penyimpangan. Misalnya muncul tokoh penting yang disebut Rangda yang merupakan siluman Calonarang dalam wujud yang menakutkan. Padahal yang dimaksud rangda dalam sastra sumber adalah janda—Calonarang adalah seorang janda sakti dari Dirah.
Sudah lazim dalam konsep kreativitas seniman Bali yang menjadikan sastra sumber sebagai bingkai intrinsik saja. Implementasi dan transformasi tata pentasnya dicangkokkan dengan pola-pola, idiom-idiom, atau kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam seni pertunjukan tradisional Bali. Lewat penonjolan sub-tema sihir, teater Calonarang memakai ramuan unsur-unsur seni palegongan, patopengan, pagambuhan dan Arja
Adalah Antonin Artaud, seorang dramawan terkemuka Prancis, sempat sangat terpesona dengan drama tari Calonarang. Ceritanya pada tahun 1931, Artaud dan para pekerja seni pertunjukan di Eropa sempat digemparkan pementasan Calonarang oleh para seniman Bali yang dipimpin oleh Cokorda Gede Raka Sukawati di arena Paris Colonial Exhibition. Karya Artaud seperti No More Master Sieces dan The Theatre and Plague dikenal kental bernuansa drama tari Calonarang. Seorang koreografer terkenal Indonesia, Sardono W. Kusumo, juga pernah menggarap drama tari Calonarang dengan tajuk Dongeng dari Dirah.
Kajian ilmiah menyangkut teater Calonarang juga cukup banyak, baik hasil penelitian para sarjana asing maupun Indonesia sendiri. Beryl de Zoete & Walter Spies dalam bukunya Dance and Drama in Bali (1931), Urs Ramseyer dalam The Art and Culture of Bali (1977), Soedarsono dalam Jawa dan Bali, Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia (1972), I Made Bandem & Fredrik deBoer dengan Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition (1981), dan lain-lainnya mengupas dan menempatkan drama tari Calonarang sebagai the drama of magic.
Sub tema sihir, leak, memang selalu ditonjolkan dalam teater Calonarang. Di tengah arena panggung ditancapkan gedang renteng di depan sebuah tingga. Gedang renteng adalah sejenis pepaya yang buahnya bertangkai panjang—asosiasi buah dada menggelayut nenek sihir Calonarang. Dibawah pohon itulah Calonarang dalam wujud Rangda mengangkang dan menjerit-jerit memamerkan kesaktiannya. Sedangkan tingga adalah sejenis rumah panggung yang dibuat agak tinggi di sisi arena yang merupakan simbol sarang si janda Dirah. Di rumah panggung inilah Pandung, patih andalan Raja Airlangga, bergumul menancapkan kerisnya bertubi-tubi ke tubuh Calonarang yang membuat penonton tampak tegang.
Adegan yang membuat penonton bergidik adalah saat mengisahkan akibat teror ilmu hitam Calonarang pada rakyat Airlangga. Di tengah panggung ditampilkan adegan madusang-dusangan (memandikan mayat). Orang yang jadi mayat-mayatan dimandikan dan diupacarai lengkap dengan sesajennya seperti orang mati sesungguhnya di Bali. Sementara madusang-dusangan ini berlangsung, muncul gangguan leak, makhluk jadi-jadian para anak buah Calonarang. Adegan yang menyeramkan ini mengkili-kili nyali penonton.
Ketika Janda Dirah Mengerang Di Layar Kaca, selengkapnya
by admin | May 27, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Drs I Wayan Mudana, M.Par. Dosen Seni Murni FSRD. ISI Denpasar.
Bermula dari kebutuhan kreatif maka seniman itu bekerja . Kebutuhan kreatif ini bias disebut konstan, artinya besar kebutuhan itu secara relative adalah tetap. Datangnya berulang setiap saat, lalu hilang kembali setelah tersalur. Dan akan datang lagi sebagaimana sebelumnya.
Keadaannya mirip dengan lapar. Makan dan minum adalah kebutuhan yang dalam tingkat keadaannya adalah tetap dan sama. Karena manusia sebagai mahluk biologis mutlak membutuhkannya. Sedang kebutuhan kreatif seorang seniman adalah karena ia mahluk kultur.
Yang pertama laparnya jasmani, yang kedua laparnya rohani. Pada awalnya kebutuhan kreatif ini bagi setiap seniman dalam bentuknya adalah sama. Ia merupakan gejala penyaluran kebutuhan rohani yang menggangu nuraninya terus menerus . Dorongan kreatif yang terus menerus bergelora dalam tingkat yang tinggi bias dialami serupa obsesi. Dan akan berhenti hilang setelah ada penyaluran yang sama besarnya dengan dorongan itu.
Dalam perkembangan kebutuhan kreatif menjadi berbeda bagi setiap seniman, tergantung dari jiwa, dedikasi, dan vitalisme seseorang selama menderita kreatif tersebut, sampai batas kemampuan vitalismenya untuk mengungkapkannya. Juga menyangkut segi-segi psikologis lain yang sangat konpleks. Sebab pada akhirnya sebuah karya seni akan megandung kompleksitas kehidupan jiwa seniman secara total.
Lalu sejauh mana kebutuhan kreatif tersebut berkembang dalam proses penciptaan seuah karya seni, akan diakhiri dengan apa yang disebut kepuasan kreatif. Kepuasan kreatif ini merupakan tanda selesainya pengertian sebuah karya. Itu merupakan hasil akhir yang selesai. Yaitu sebuah lukisan bagi pelukis, atau sebuah sajak bagi penyair.
Kepuasan kreatif bias dimisalkan sebagai muara di lautan, dari sebuah sungai yan berliku-liku panjang meliuk-liuk disepanjang dataran dan bukit yang berasal dari sebuah mata air dipuncak bukit yang disebut kebutuhankreatif.
Demikianlah, bermula dari kebutuhan kreatif dan berakhir dalam keputusan kreatif. Bentuk proses penciptaan tersebut yang disebut sebagai karakterisasi . Didalam penjiwaan sebuah lukisan, seorang akan tumbuh berkembang sesuai dengan kematangan jiwa seniman itu sendiri atau selaras denan komleks jiwanya.
Vibrasi Garbo dan Vibrasi Vitae
Dua corak penjiwaan dalam proses penciptaan akan menempatkan setiap karya seni pada bentuknya yang bertentangan. Yaitu vibrasi garbo dan vibrasi vitae.
Vibrasi garbo adalah karya-karya yang dilahirkan secara inspiratif dan diciptakan dengan kecermatan tehnis yang sempurna. Sehingga keindahan visual yang mejadi tujuan utama bias menggetarkan pesona kita secara mendadak.
Seluruh elemennya, warna, garis, ruang dan bentuk mendapat pengamatan yang sungguh-sungguh. Sampai kepada struktur yang membentuknya, komposisinya, anatomi, dan proprsi diolah sampai tidak ada celanya. Karena itu proses kreatif akan menjadi lebih lama. Akurasi demikian akan menyebabkan hilangnya spontanitas. Karena spontanitas dianggap sebagai gejala emosi yang masih mentah serta belum mengalami pengendapan. Karenannya puncak dramatiknya akan kita dapati dalam dasar statisme yang mengendap pada statisme vitalnya.
Salvador Dali, salah seorang tokoh pelukis modern dengan penjiwaannya yang suryalistik , merupakan penjiwaan vibrasi garbo. Demikian cermat Dali mengolah tehnik lukisan-lukisannya, sehingga tidak ada satu sentipun dari kanvasnya yang membekaskan goresan cepat, kecuali penulisan tanda tangannya.
Andrew Wyeth, seorang realis dengan kecermatan yang lembut,berusaha mengungkapkan keindahan subtil dari alam dan manusia.
Salah seorang pelukis muda Indonesia yang akhir-akhir ini menunjukan kecendrungan pada vibrasi garbo adalah Mulyadi W, Kalau saja Mulyadi mengambil sumbernya dari salah satu asfek dekoratifnya figure-figur lukisan radisional Bali, maka tak ubahnya, karena lukisan Bali adalah vibrasi garbo. Sebagaimana lukisan ornamentik Rousseau-pun adalah vibrasi garbo.
Sebenarnya lebih seratus tahun yang lampau semenjak Gustav Courbert di Prancis mengucapkan kata-katanya yang cukup revolusionr : seharusnya museum-museum ditutup selama jangka waktu duapuluh tahun agar seniman-senimn kini bias melihat dunia dengan pandangannya sendiri “, maka orisinalitas, karena pengungkapan gaya pribadi mulai tumbuh dalam kehidupan dunia seni.
Para seniman tidak lagi berkiblat dan mengkultuskan master-master sebelumnya, belajar meniru dan menyamai, tetapi mulai mencoba menguak pengolahan dengan cara dan gayanya sendiri. Tidak terbatas dari segi tehnis tetapi subyek yang dilukispun baru dan berbeda. Tidak lagi menekankan vituositas tetapi lebih cendrung kpada ekpresi sebagai dasar kekuatannya.
Secara revolusioner perubahan yang banyak terjadi pada pertengahan satu abad (1850- 1950) amatlah luar biasa. Impressionisme, ekpresionisme, kubisme, surealisme, dan abtrak lahir sekitar kurun waktu tersebut diatas. Meskipun impresionisme dimulai lebih awal dari waktu tersebut dan lukisan-lukisan abstrak/non representasional terus bermunculan dalam decade terakhir ini.
Dengan timbulnya seni modern yang berpangkal pada orisinalitas penciptaan ekpresif, maka pada saat itu pulalah lahirnya karya-karya vibrasi vitae.
Karakter Sebuah Lukisan, selengkapnya
by admin | May 25, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Ida Bagus Gede Surya Peradantha, S.Sn., Alumni ISI Denpasar
Dalam kehidupan masyarakat Bali, Geriya merupakan sebuah rumah atau tempat tinggal bagi seorang pendeta suci Hindu beserta keluarganya. Geriya, secara etimologis berasal dari kata Grha (baca : Griha) dalam Bahasa Sansekerta yang berarti rumah. Dalam perkembangan bahasa, maka kata Grha berubah menjadi kata Geriya. Di dalam Geriya, pada umumnya dapat dilihat dan dirasakan begitu kentalnya nuansa budaya yang tercermin dari berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang di dalamnya.
Di bidang kesenian, Geriya juga merupakan tempat olah seni yang konservatif, khususnya pembelajaran seni tradisional seperti tari dan pedalangan. Hal ini dikarenakan seni tradisional tersebut bersentuhan langsung dengan sumber pustaka suci yang dijadikan sumber acuan dalam setiap isi pementasannya, misalnya tari topeng maupun wayang. Kedatangan orang-orang yang ingin menimba ilmu kesenian tradisional di Geriya Bongkasa menjadikan suasana begitu hidup, di mana interaksi guru dan murid membawa suatu dinamika kehidupan seni yang indah. Pola kehidupan seperti inilah yang menjadi tradisi kehidupan di dalam lingkungan Geriya yang ingin terus dipertahankan.
Salah satu Geriya yang masih kuat mempertahankan tradisi olah spiritual dan olah seni di Bali adalah Geriya Gede Bongkasa. Geriya yang terletak di Desa Bongkasa, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung ini hingga kini masih teguh mempertahankan nilai-nilai di bidang spiritual dan kesenian. Di bidang spiritual, hal ini ditunjukkan dengan adanya tradisi kependetaan yang tidak pernah putus semenjak Geriya Bongkasa berdiri (sekitar tahun 1840). Hingga kini telah ada lima keturunan pendeta yang ada dan akan terus berlanjut.
Cerita indah tentang berkesenian di Geriya Gede Bongkasa diawali sekitar 1890-an yang ditandai dengan adanya seorang dalang bernama Ida Pedanda Gede Singarsa (juga seorang pendeta). Beliau adalah dalang wayang kulit tradisional Bali yang khusus bertutur tentang cerita Ramayana. Pada jamannya, beliau dijuluki dengan sebutan Dalang Bongkasa, yang sangat disegani karena kemampuannya menghayati cerita, olah vokal yang mumpuni dengan ciri khas yaitu ngore (meniru suara kera), tarian wayang yang sangat luwes dan tentu saja taksu yang beliau miliki. Karena hal-hal tersebutlah, beliau selalu mendapat kesempatan melayani permintaan masyarakat untuk memainkan wayang-wayang beliau ke berbagai tempat di seluruh pelosok Bali. Berbagai cerita mengesankan dan juga berbau mistis menghiasi perjalanan beliau dalam mengarungi jagat seni pedalangan.
Kemampuan utama ini lalu diturunkan kepada cucu beliau yaitu Ida Bagus Gede Sarga. Beliau adalah putra pertama dari Ida Pedanda Gede Oka Singarsa dan Ida Pedanda Istri Oka yang lahir pada tahun1906. Seolah sudah menjadi sebuah identitas, julukan Dalang Bongkasa yang melekat pada sang kakek, diturunkan secara alami oleh masyarakat kepada Ida Bagus Gede Sarga. Saban hari, saat masa kecilnya, Dalang Sarga kerap duduk dipangku sang kakek dan mulutnya diludahi dengan sisa kunyahan sirih. “cuiiihhh… cuuuiihh.. dumadak cai lantang tuwuh, cai suba buin mani nerusang taksun kakyange ngewayang” (cuiiihhh… cuuuiihh.. semoga kamu panjang umur, kamulah yang akan meneruskan taksu kakek dalam menarikan wayang kelak), kenang beliau akan harapan sang kakek supaya dirinya menjadi pewaris taksu dalang (Bali Post : 9 November 2003).
Seperti kakeknya, Dalang Sarga juga dibekali ilmu kadyatmikan (kebatinan), ketrampilan menarikan tiap tokoh wayang, pengetahuan cerita dan tentu saja ciri khas trah Dalang Bongkasa yaitu ngore. Salah satu kekhasan beliau yang paling dikenal ialah tarian wayang tokoh Anggada. Identitas yang dahulu telah melekat kuat pada diri sang kakek, kini seolah menjadi semakin melekat di hati masyarakat dengan semakin seringnya beliau pentas memainkan wayang atau pun menjadi dalang sendratari Ramayana pada awal digelarnya Pesta Kesenian Bali pada akhir tahun 1960-an. Penampilan dalang yang selalu berpenampilan necis ini selalu ditunggu-tunggu oleh penikmat seni pada masa itu. Hal ini diutarakan sendiri oleh para seniman yang sempat satu pentas dengan beliau, pun demikian dengan komentar para murid yang sangat hormat pada beliau. Seiring dengan panggilan untuk menjadi pelayan umat sebagai tradisi yang harus dilanjutkan di Geriya, maka Dalang Sarga pun sampai harus menitikkan air mata meninggalkan segala kesenangan dunia luar untuk menapak jenjang kehidupan yang lebih mulia yaitu malinggih, ditasbihkan menjadi seorang pendeta bergelar Ida Pedanda Gede Putra Singarsa pada tahun 1984.
Aktivitas mendalang yang beliau geluti tatkala masih walaka (belum menjadi pendeta), tetap berlangsung namun tak lagi sesukanya untuk pentas ke luar Geriya. Beliau lebih memilih untuk menggelar pementasan wayang ke arah spiritual yaitu ruwatan Sapuleger. Setelah menjadi pendeta, banyak orang yang datang ke Geriya, memohon ilmu pedalangan kepada beliau. Tentu saja, hal ini ibarat penawar rindu akan aktivitas yang membesarkan nama beliau di jagat kesenian Bali. Ida Bagus Gede Mambal, I Made Persib (Kab. Badung), Ida Nyoman Sugata (Kab. Karangasem), dan tak lupa putra beliau sendiri yaitu Ida Bagus Gede Mahardika (kini telah duduk menggantikan ayahnya menjadi pendeta, bergelar Ida Pedanda Gede Giri Sunia Arsa) adalah beberapa dari murid-murid unggul yang beliau miliki. Perjalanan kesenian beliau yang luhur dan penuh kesan sebagai Dalang Bongkasa berakhir pada tahun 2003.
Keberagaman aktivitas kesenian di Geriya Gede Bongkasa tak hanya berhenti sampai di sana. Tempat ini ternyata masih menyimpan seorang putra utama yang digariskan untuk menjadi seorang penari. Beliau adalah Ida Bagus Made Raka Yoga, yang lebih akrab dipanggil Ida Bagus Aji Raka. Beliau adalah adik kandung dari Dalang Bongkasa/Dalang Sarga. Seniman kelahiran tahun 1929 ini dikenal publik sebagai Baris atau Jauk Bongkasa karena keterampilan beliau menarikan tari Baris Tunggal dan Jauk Keras, sehingga identitas tersebut diberikan oleh masyarakat.
Diperlakukan sama oleh kakeknya, Ida Bagus Made Raka dipersiapkan menjadi seorang penari karena menilik bakat yang dimilikinya. Dalam memulai karir kesenimanannya, di usia 10 tahun beliau berguru pada seorang guru tari bernama I Sampih dari desa Ubud, Gianyar sebagai guru tari Kebyar Duduk. Setelah itu, beliau sempat pula berguru pada seniman I Nyoman Kakul dan A.A. Raka Pajenengan dari desa Batuan. Dari I Nyoman Kakul, beliau memperdalam Tari Jauk Keras sedangkan dari A.A. Raka Pajenegan, memperdalam Tari Baris. Dari Desa Batuan beliau melanjutkan perjalanan kesenimanannya menuju seni Pearjaan (Arja).
Untuk mempelajari kesenian tersebut, beliau mendatangi Cokorda Oka Tublen dari Desa Singapadu, Kabupaten Gianyar. Beliau adalah seniman multi talenta yang menguasai berbagai bidang seni seperti menari, menabuh dan juga membuat topeng. Di sana, Ida Bagus Made Raka mendalami teknik menabuh kendang secara intensif. Setelah merasa cukup menguasai, lalu penjelajahan beliau mengarah ke tari Patopengan, dengan mendatangi seniman I Ketut Rindha dari Desa Blahbatuh, Kabupaten Gianyar (Dibia : 2004).
Geriya Gede Bongkasa : Mata Air Kesenian Bali di Masa Lalu, Selengkapnya.
by admin | May 24, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Wardizal Ssen., Msi., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar
1. Talempong
Jenis instrumen musik tradisional yang sangat populer di Minangkabau. Hampir setiap daerah di Minangkabau mempunyai instrumen musik ini yang sewaktu-waktu siap digunakan. Intrumen musik talempong terbuat dari campuran logam dan tembaga atau kuningan yang didesain sedemikian rupa. Pada bagian tengah ada permukaan yang menonjol (tombol), sedangkan ruang resonansinya dibiarkan terbuka. Besar dan ukuran instrumen talempong berbeda pada tiap-tiap daerah di Minangkabau, disesuaikan dengan keinginan masyarakat setempat.
Berdasarkan cara memainkannya, instrumen musik talempong dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: talempong pacik; jenis musik talempong yang dimainkan dengan cara dipegang, dan talempong rea, jenis musik talempong yang dimainkan di atas standar. Pertunjukan talempong pacik di Minangkabau adakalanya dilakukan dalam posisi duduk dan adakalanya sambil berjalan.
Jumlah pemain talempong pacik di Minangkabau sebanyak 5 (lima orang) dengan perincian: 3 (tiga) orang penabuh instrumen talempong, 1 (satu) orang penabuh kendang, dan 1 (satu) orang memainkan alat tiup. Intrumen talempong yang dimainkan berjumlah 5-6 buah dimana masing-masing pemain memegang 2 (dua) buah talempong. Instrumen talempong dipegang dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan memegang panggul (stik). Untuk memegang instrumen talempong sebelah atas dengan talempong sebelah bawah dipegang dengan 2 (dua) buah jari (telunjuk dan empu jari). Sedangkan jari tengah berfungsi sebagai pengantara antara jari manis dan jari kelingking agar kedua buah talempong tidak berdempetan.
Talempong rea pada dasarnya merupakan pengembangan dari talempong pacik. Dengan demikian, jenis talempong ini merupakan kreasi baru. Secara umum, intrumen talempong yang terdapat dalam talempong rea berjumlah 21 buah dengan perincian: talempong melodi berjumlah 13 buah; talempong tinggi berjumlah 4 buah; talempong rendah berjumlah 4 buah; canang tinggi berjumlah 4 buah; canang rendah berjumlah 4 buah, ditambah 1 buah alat tiup dan 1 buah kendang. Jumlah pemain dari talempong rea ini adalah 7 (tujuh) orang, dengan perincian: 1 (satu) orang pemain talempong melodi, 1(satu) orang pemain talempong tinggi; 1 (satu orang) pemain talempong rendah; 1 (satu) orang pemain canang tinggi; 1 (satu) orang pemain canang rendah; 1 (satu) orang pemain alat tiup dan 1 (satu) orang pemain kendang.
Bentuk lain dari perangkat talempong rea ini adalah talempong bambu (terbuat dari bambu; ada yang memakai 5 buah bilah dan ada yang memakai 7 buah bilah. Kemudian talempong kayu, bentuknya hampir sama dengan talempong bambu, hanya saja perangkat talempong ini terbuat dari kayu. Untuk lagu-lagu tradisi, daerah yang biasa memainkan talempong rea jenis ini antara lain: talempong dari Talang Maur Payakumbuh; talempong unggan dari daerah unggan, dan talempong gandang lasuang dari daerah Sikapak Pariaman (Syarif, 1983:16).
2. Momongan
Bentuk instrumen ini hampir sama dengan talempong, akan tetapi lebih tipis dan sedikit lebih besar dari talempong. Instrumen ini terutama berkembang di daerah Bayang (Pesisir Selatan); Koto Anau (Solok); dan Pariangan (Padang Panjang). Jumlah pemain dari pertunjukan momongan ini berkisar antara 3-5 orang dimana masing-masing pemain memegang 1 buah momongan. Di Kecamatan Bayang, momongan ini biasanya digunakan dalam rangka memeriahkan upacara adat yang dilakukan secara besar-besaran. Biasanya dalam pelaksanaan upacara harus memotong kerbau atau sapi dengan upacara yang dilakukan beberapa hari secara berturut-turut.
3. Canang
Bentuk instrumen canang hampir sama dengan momongan, namun canang sedikit lebih besar. Pada masa dahulu instrumen canang ini lebih banyak digunakan sebagai alat untuk pemberitahuan kepada masyarakat seperti: pelaksanaan gontong royong, turun ke sawah, kerja sosial dan sebagainya. Dalam perkembanganya sekarang, instrumen canang lebih banyak digunakan sebagai alat musik yang difungsikan sebagai ’bas’ dalam suatu orkestra Minangkabau, seperti penggunaan dalam pengolahan karawitan yang bermotif kreasi baru.
4. Aguang
Aguang (gong) yang terdapat di Minangkabau sama bentuknya dengan gong yang terdapat dalam karawitan Jawa dan Bali. Namun di Minangkabau, kegunaanya dalam masyarakat tidak begitu menonjol. Instrumen ini biasanya digunakan dalam acara-acara misalnya: pembukaan upacara adat seperti pengangkatan penghulu yang diadakan oleh suatu nagari. Kadang-kadang digunakan juga oleh pejabat pemerintah untuk membuka sidang-sidang resmi, seperti seminar, peresmian suatu upacara, dan sebagainya. Dalam dunia kesenian khususnya musik, aguang lebih banyak digunakan untuk melengkapi satu set orkestra Minangkabau dalam bentuk kreasi baru.
Instrumen Musik Minangkabau Kelompok Ideophone, selengkapnya
by admin | May 24, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Kadek Suartaya, SSKar., MSi., Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.
Pulau Bali rupanya sejak dulu dikawal oleh para prajurit yang tangguh dan gagah berani. Bali Utara dijaga oleh pasukan yang siap siaga menyambut serangan musuh dengan presi atau tamiang. Bali Selatan dipertahankan oleh para prajurit bersenjata tombak. Bali Timur dibela mati-matian oleh pasukan rakyat dengan senjata gada. Bali Barat dikawal oleh para prajurit membawa pecut. Bali Tengah dijaga oleh pasukan tangkas membawa sanjata panah. Bahkan pulau Nusa Penida juga ditakuti musuh karena memiliki pasukan bersenjata tombak panjang. Para prajurit patriotik tanah Bali itu masih eksis hingga kini.
Para prajurit Bali masa lalu itu kini bermetamorfose menjadi puspa warna tari baris yang dipersembahkan dalam ritual keagamaan. Sebuah upacara ngaben besar di Singaraja lazim disertai dengan penampilan tari Baris Presi. Ketika piodalan penting di pura-pura besar di Denpasar selalu diikuti oleh penyajian tari Baris Gede. Ritual bayar kaul di kalangan masyarakat Nusa Penida, Klungkung, akan terasa mantap bila disertai dengan suguhan tari Baris Jangkang. Prosesi keagaaman di Pura Batur, Kintamani, Bangli, tampak hikmat dengan kehadiran tari Baris Panah. Jika dulu–ketika sebagai prajurit kerajaan–tugasnya berperang atau menjaga keamanan wilayah, kini dalam pengejawantahan seni, berfungsi memperkukuh dan merupakan bagian penting dari upacara keagamaan.
Konon, seperti yang termuat dalam kidung Sunda, tari baris sudah dikenal pada zaman Majapahit abad ke-14, pemerintahan Rajasanegara atau Hayam Wuruk. Sebuah upacara pembakaran mayat seusai perang antara Majapahit dengan kerajaan Sunda, disertai dengan penampilan beberapa macam tari baris. Dinasti kerajaan Bali yang kemudian mendapat pengaruh langsung dari Majapahit, meneruskan sajian tari baris dalam beragam ritual keagamaan. Kini tak kurang dari 30-an tari baris diwarisi, dilestarikan dan senantiasa dihadirkan sebagai persembahan tari sakral seperti tampak di Pura Besakih dan Puru Ulun Danu Batur dalam piodalan yang baru lalu.
Dalam wujudnya sebagai ekspresi keindahan, aneka ragam tari baris sakral yang diusung masyarakat Bali tersebut, eksis dengan keunikannnya masing-masing, baik dari segi gerak maupun dari segi kostum dan propertinya. Tari Baris Jangkang yang terdapat di Nusa Penida misalnya, memakai busana sederhana serba putih dengan senjata tombak sepajang tiga meter. Gerak-geriknya yang natural dalam posisi berjinjit membungkuk dengan sorot mata yang tajam sungguh menggetarkan suasana magis. Tari Baris Cina yang terdapat di desa Blanjong, Sanur, juga tak kalah uniknya. Bila dalam keadaan kerauhan atau trance, tari sakral yang memakai busana dan senjata ala pendekar persilatan Tiongkok ini, berkata-kata hai ya-hai ya bahasa Cina.
Kendati tampil dengan keunikannya masing-masing, penyajiannya tari baris pada umumnya adalah secara berkelompok dengan ayunan gerakan bersama-sama dalam posisi berbaris atau berjajar. Baris-baris sakral yang biasanya dibawakan para penari amatir tersebut sebagian besar memakai busana rumbai-rumbai yang terbuat dari kain, yaitu awir dan lelamakan. Kesamaan antara baris yang satu dengan yang lainnya juga dapat dilihat pada penutup kepalanya memakai udeng atau gelungan berbentuk kerucut bak piramid. Yang tampak berbinar mewah adalah tari baris yang memakai gelungan berperada dengan manik-manik kerang laut, cukli, bergetar gemerincing bila kepala penarinya bergerak-gerak.
Diduga, tari Baris Tunggal yang umum dikenal masyarakat Bali masa kini, tata busana dan gelungan-nya mengadopsi dari kebanyakan kostum dan penutup kepala tari-tarian baris wali tersebut. Berbedea dengan tari baris sakral, tari Baris Tunggal, seperti namanya, dibawakan secara solo. Kendati termasuk tari profan, Baris Tunggal juga tampak disajikan di tengah khusuknya prosesi upacara keagamaan. Baris Tunggal biasanya ditampilkan sebagai tari lepas dalam beragam pagelaran seni pertunjukan balih-balihan. Kini bahkan tari yang umumnya dibawakan oleh anak-anak atau remaja pria itu banyak digelar sebagai seni pentas turistik.
Adalah tari Baris Tunggal dipandang oleh para seniman Bali masa kini sebagai dasar tari Bali jenis tari pria. Penampilannya yang energik, lugas, dan dinamis mencerminkan seorang kesatria yang berkeperibadian tegas dan heroik. Sajiannya dibagi tiga yaitu bagian awal, tengah, dan akhir. Siapa sejatinya menggubah tari Baris Tunggal ini belum jelas. Ada sumber yang menyebutkan bahwa tari baris sekuler ini telah menguak pada tahun 1930-an yang mengkristal dari pemunculan tari Baris Melampahan yakni drama tari baris yang dibingkai oleh sebuah cerita dimana para penarinya memerankan tokoh-tokoh yang dilakonkan. Kiranya, tari Baris Tunggal adalah ungkapan estetik yang berevolusi dari tari baris sakral dan dientaskan oleh Baris Melampahan.
Barisan Tari Baris Mengawal Pulau Bali, Selengkapnya
by admin | May 23, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Wardizal Ssen., Msi., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Gandang Tambur
Salah satu jenis instrumen gandang (kendang) yang berkembang di Minangkabau, khususnya di daerah Pariaman dan sebagian kabupaten agam seperti Tiku, Lubuk Basuang, Maninjau dan Malalak. Gandang Tambur mempunyai dua kepala (double headed) ; maksudnya bagian permukaan gandang yang dilapisi dengan kulit (membran). Gandang ini juga termasuk keluarga cylindrical drums (gandang berbentuk slinder). Bagian badan gandang terbuat dari kayu jenis ringan seperti kayu pulai dan kayu kapok. Garis tengah gandang lebih kurang 60 cm dan panjang gandang lebih kurang 80 cm. Kulit yang dipergunakan sebagai membran biasanya kulit kambing atau kulit sapi.
Untuk memainkan gandang tambur ini disandang dibahu dengan posisi gandang terletak pada bagian depan pemainnya. Agar lebih memudahkan, gandang tambur diberi tali penyandang pada kedua sisinya dengan kain yang agak tebal atau semacam ikat pinggang yang dibuat dari kain, sehingga tidak menimbulkan rasa sakit pada bahu ketika dimainkan. Alat pemukul (panggul) terbuat dari kayu yang dibentuk sedemikian rupa (bentuk bulat pada kedua ujungnya) dengan ukuran yang berbeda. Agak besar untuk pemukul kepala gandang pada posisi atas, dan agak kecil untuk pemukul gandang pada posisi bawah. Jumlah pemain dari gandang tambur ini relatif, biasanya berkisar antara 4-9 orang serta dalam setiap penampikanya sejalan dengan instrumen musik Tasa.
Gandang Sarunai Sungai Pagu
Bentuk atau jenis kendang lain yang berkembang di Minangkabau yang terdiri dari 2 (dua) jenis alat, yaitu: gandang dan sarunai. Jenis gandang ini sering juga disebut dengan gandang sarunai Sungai Pagu disebabkan penyajiannya terdiri dari gandang dan sarunai yang terdapat di daerah Sungai Pagu, kabupaten Solok, Sumatera Barat.
Sama halnya dengan gandang tambur, gandang sarunai Sungai Pagu ini juga mempunyai dua kepala (double headed) dengan ukuran diameter kepala berbeda, yang satu agak lebih besar dari yang lainnya. Dari segi bentuk, instrumen musik ini termasuk keluarga conical drums (gandang berbetuk kerucut). Di tengah kehidupan masyarakat, gandang sarunai Sungai Pagu difungsikan untuk keperluan hiburan pada upacara-upacara seperti: batagak penghulu, helat perkawinan dan lain sebagainya.
Gandang Aguang
Jenis gandang yang berkembang di Minangkabau khususnya di nagari Labueh Gunuang, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jenis gandang ini terdiri dari gandang jantan dan gandang batino dengan ukuran yang berbeda. Dilihat dari segi bentuk, gandang jantan tergolong jenis cylindrical drums (berbentuk slinder), sedangkan gandang batino tergolong bariel drums (gondong berbentuk tong), yaitu pada bagian tengah gandang agak cembung atau diameternya lebih panjang dari kedua bagian kepala gandang.
Gandang aguang ini merupakan bagian dari ensambel musik Talempong Aguang yang terdiri dari: talempong, gong, gandang dan pupuik batang padi. Instrumen Gandang Aguang ini lebih banyak digunakan sebagai sarana hiburan terutama digunakan pada acara-acara yang terdapat di Nagari Labueh Gunuang Kecamatan Luhak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
Gandang Katindik
Jenis gandang bermuka dua (double headed) yang sering juga disebut gandang gamat. Hal ini dikarena gandang ini sering digunakan dalam pertunjukan kesenian gamat. Gandang katindik termasuk keluarga barrel drums (gandang berbentuk tong). Gandang Katindik yang berkembang di Minangkabau sama bentuknya dengan gandang katindik yang terdapat dalam karawitan Jawa.
Adok
Jenis instrumen musik keluarga membranophone bermuka satu (single headed) yang berkembang di Minangkabau. Instrumen Adok ini termasuk keluarga vissel drums (gandang berbentuk bejana). Oleh karena pada bagian bawah dari Adok ini datar, tidak cembung, maka adok ini bisa juga dikategorikan pada jenis instrumen musik conical drums (gandang berbentuk kerucut).
Pada massa dahulu, adok ini dipergunakan sebagai media dakwah dan untuk menyebarkan informasi lainnya kepada masyarakat. Dalam penyajiannya, adok ini lebih banyak dimainkan secara tunggal. Dalam perkembanganya sekarang sering dimainkan sejalan dengan instrumen musik Minangkabau lainnya seperti: talempong, pupuik sarunai, dan erupakan ensambel musik untuk mengiringi tari-tarian terutama di luhak nan tigo. Untuk daerah Pesisir Selatan, gandang adok dipergunakan untuk mengiringi dendang yang dikenal dengan sebutan dendang adok.
Instrumen Musik Minangkabau Kelompok Membranophoe, Selengkapnya