
ISI: lelucon kesenian Bali jangan lecehkan seni sakral
Sumber : https://bali.antaranews.com/berita/162276/isi-lelucon-kesenian-bali-jangan-lecehkan-seni-sakral
Denpasar (ANTARA) – Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof Dr I Gede Arya Sugiartha mengharapkan para seniman untuk menghentikan pementasan kesenian Bali yang disertai lelucon dengan kesan murahan dan bahkan pelecehan terhadap seni-seni sakral.
“Penyebabnya kadang karena seniman ingin cepat laku, ingin cepat memancing tawa, sehingga tidak disadari banyak hal yang semestinya tidak boleh dilakukan malah dilakukan,” kata Prof Arya, di Denpasar, Rabu.
Menurut dia, satu cara yang dipilih seniman untuk membuat hiburan yang instan, yang memancing gelak tawa adalah dengan membuat lelucon atau dalam estetika post modern disebut dengan parodi.
“Persoalannya, dalam membuat lelucon itu, malah sesuatu yang sakral, sesuatu yang indah diplesetkan dengan cara-cara tertentu untuk memancing tawa. Seperti tari Pendet ditarikan oleh laki-laki dan kemudian ada adegan pakaian dari penari yang diturunkan. Ini namanya cara membuat lelucon yang salah konteks,” ucapnya.
Padahal dalam menampilkan lelucon harusnya masih tetap ada unsur filsafat yang ingin disampaikan, kemudian dikemas dengan cara membuat orang tertawa, bukan dengan cara-cara yang semacam pelecehan.
“Jika ada unsur pelecehan, itu termasuk kesenian yang nilainya murahan, rendahan, karena membuatnya tidak berdasarkan kreativitas. Mengapa disebut tidak ada kreativitas karena hanya dengan mengubah atau membalik-balikkan sesuatu. Ini harus dicermati,” ujar Prof Arya.
Oleh karenanya, guru besar seni karawitan itu mengatakan pihaknya akan melakukan sosialisasi terhadap fenomena lelucon murahan itu agar tidak berlarut-larut, juga serangkaian dengan sosialisasi pelindungan tari sakral.
“Apalagi yang dilecehkan tari sakral, sudah jelas menyalahi pakem. Kita harus ajari anak-anak kita cara membuat lelucon yang bagus agar pembagian kesenian juga jelas,” katanya.
Di sisi lain, Prof Arya juga melihat pembagian kesenian Bali sekarang ini terkesan amburadul antara kesenian yang tergolong hiburan, dan yang serius.
“Kadang ada pertunjukan yang serius, tetapi ada leluconnya yang tidak pada tempatnya, seperti adegan raja diambil kepalanya. Ini sudah kebablasan istilahnya, ini yang sedang kami tata juga,” ucapnya.
LOMBA (PACENTOKAN) FILM PENDEK FESTIVAL SENI BALI JANI TAHUN 2019
Kriteria-Film-Pendek
Festival of Indonesianity in the Arts (FIA) #2


PENGUATAN DAN PELINDUNGAN TARI SAKRAL BALI
Sumber : https://bali.antaranews.com/berita/162146/rektor-isi-pelindungan-tari-sakral-perlu-disosialisasikan
Denpasar (ANTARA) – Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar Prof Dr I Gede Arya Sugiartha, SSKar, MHum, berpendapat perlu dilakukan sosialisasi lebih intensif kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait mengenai tari sakral, setelah ditandatanganinya Keputusan Bersama tentang Penguatan dan Pelindungan Tari Sakral Bali.
“Jadi, masyarakat tidak hanya dilarang-larang saja, harus paham juga. Kita punya kewajiban untuk sosialisasi, batas sakral sejauh mana, konteksnya seperti apa, dan kenapa sampai dikeluarkan Keputusan Bersama tentang Penguatan dan Pelindungan Tari Sakral Bali ini,” kata Prof Arya, di Denpasar, Selasa.
Keputusan Bersama tentang Penguatan dan Pelindungan Tari Sakral Bali ini ditandatangani oleh Ketua PHDI Provinsi Bali Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana, Bendesa Agung Majelis Desa Adat Bali Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet, Ketua Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibya) Bali Prof Dr I Made Bandem, Kepala Dinas Kebudayaan Bali I Wayan Adnyana, dan Rektor ISI Denpasar Prof Dr I Gede Arya Sugiartha.
Dalam keputusan Bersama itu Gubernur Bali Wayan Koster ikut menandatangani sebagai unsur yang mengetahui.
Civitas akademika ISI Denpasar, lanjut dia, berkomitmen turut membantu Pemerintah Provinsi Bali dalam menyosialisasikan pelindungan tari sakral kepada masyarakat Pulau Dewata bersama-sama jajaran desa adat.
Menurut guru besar seni karawitan itu, tari sakral merupakan sumber nilai karena dari tari sakral kita tahu “anggah-ungguh”, ada larangan dan ada yang bisa dilakukan.
“Dari tari sakral kita bisa melihat mana yang lebih tinggi dan lebih rendah dalam kapasitas menjadi manusia. Tetapi sekarang itu manusia sudah luar biasa ingin egaliter, tetapi egaliter yang kebablasan. Kita ingin menghidupkan seni sakral sebagai sumber nilai, ada stratifikasi antara manusia dengan Tuhan,” ujarnya.
Di masyarakat, sumber-sumber nilai sudah mulai hilang, masyarakat tidak lagi melihat kesenian tari sakral dan ada nilainya.
ISI Denpasar bekerja sama dengan Listibya juga sudah melakukan pendataan seni pertunjukan maupun seni rupa, dengan tujuan untuk membuat blue print tentang keberadaan seni dan menata seni ke depan.
“Kami sudah mengkaji sedetail mungkin mana seni sakral dan tidak. Sudah sangat berkembang, tidak hanya konteks tempat, tetapi juga waktu dan untuk apa dipergelarkan. Ada perkembangan yang sangat berarti kami temukan,” ucapnya.
Contohnya Tari Joged ketika ditampilkan untuk membayar “sesangi” atau kaul orang yang pernah sakit, kemudian juga menjadi sakral. Ada juga desa di lereng Gunung Batukaru, pertunjukan tari Joged yang sakral.
“Dalam pemetaan itu, kami kaji satu-satu, tari apa yang masih ada, yang masih hidup, sifatnya bagaimana. Inventarisasinya sudah klop dan kami juga bekerja sama dengan pemerintah kabupaten/kota. Di situlah kabupaten/kota dapat membuat perencanaan, apa yang harus dilakukan oleh mereka,” ujarnya.
Di sisi lain, Prof Arya juga tidak setuju jika tari sakral digunakan dalam pemecahan rekor MURI yang belakangan sering dilakukan sejumlah kalangan. Menurut dia, lebih baik kalau untuk pemecahan rekor dengan menciptakan tari kreasi baru.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Wayan “Kun” Adnyana mengatakan dalam Keputusan Bersama itu berisi sejumlah poin diantaranya melarang semua pihak mempertunjukkan/ mempertontonkan/mempergelarkan/ mementaskan segala jenis dan bentuk tari sakral Bali di luar tujuan sakral (upacara dan upakara Agama Hindu).
Kemudian prajuru desa adat, lembaga pemerintah/non-pemerintah, sekaa/sanggar/komunitas dan masyarakat Bali diharuskan melakukan langkah-langkah pencegahan, pengawasan, dan pembinaan dalam rangka penguatan dan pelindungan tari sakral Bali. Bilamana terjadi pelanggaran terhadap diktum dalam keputusan bersama tersebut akan diambil tindakan sesuai ketentuan perundang-undangan.