by admin | Aug 30, 2009 | Berita
Denpasar-Malam minggu (29/8) di Museum Perjuangan Rakyat Bali Bajra Sandhi, Renon-Denpasar tampak berbeda dari biasanya. Tampak banyak orang berkumpul dan spanduk yang terbentang di depan monumen kebangaan masyarakat Denpasar ini. Rupanya sedang digelar pembukaan pameran seni rupa murni oleh mahasiswa seni rupa murni angkatan 2007 yang tergabung dalam kelompok “Prasasti”. Untuk tema yang dipilih untuk pameran kali ini ialah “MERDEKArt” yang selain menyambut hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-64 juga menyiratkan kemerdekaan/kebebasan mereka berekspresi dalam media seni rupa sesuai dengan disiplin ilmunya, ungkap Ketua Panitia Pameran I Putu Gde Wahyu Pramartha.
Mahasiswa asal Tulikup-Gianyar juga menjelaskan bahwa untuk pameran kali ini dipamerkan karya seni rupa murni angkatan 2007 ISI Denpasar yang dinamakan kelompok “Prasasti” dengan perincian 5 orang dari Jurusan Patung dengan karya patung 6 buah dan 11 Orang Jurusan Lukis dengan karya lukis 27 orang. Ini adalah pameran kali kedua dari kelompok Prasasti dimana pameran yang pertama telah dilakukan setahun yang lalu. Harapannya dengan dilaksanakannya pameran ini menurut Wahyu, adalah agar bisa eksis, menambah wawasan dan mengasah keilmuan dalam bidang seni rupa sehingga kedepannya direncanakan tiap tahun kelompok ini akan berpameran.
Penjabat Dekan FSRD ISI Denpasar Dra. Ni Made Rinu, MSi dalam sambutannya mengharapkan dalam pameran ini dapat membangun dialog seni serta dapat meningkatkan penghayatan dan apresiasi seni bagi seniman, pencinta seni, pengamat seni dan masyarakat pada umumnya. Pameran ini juga merupakan penjelajahan mahasiswa dalam mengembangkan bakat ilmiah yang kemudian berproses maju, dan berkelanjutan. Proses penempaan diri ini dilakukan melalui penempaan di bangku kuliah yang hasilnya diharapkan dapat melahirkan pengkaji seni, praktisi seni yang professional mandiri, berkepribadian dan secara holistik mampu menunjukkan jati dirin melalui hasil karya seninya. Kepala UPT Museum Perjuangan Rakyat Bali yang pada kesempatan ini diwakilkan oleh Kepala Bimas, mengungkapkan bahwa kegiatan berpameran memang wajib dilakukan oleh seniman akademis dalam konteks untuk melestarikan seni budaya kita. Apalagi pada saat sekarang dimana kegiatan klaim-mengklaim karya seni menjadi isu yang mengglobal, jadi menjadi tugas senimanlah untuk terus aktif berkarya untuk melestarikan dan mengembangkan seni budaya warisan leluhur. Kepala Bimas MPRB juga mengungkapkan bahwa ISI Denpasar merupakan institusi yang paling sering menggunakan fasilitas MPRB sehingga kedepannya diharapkan agar lebih ditingkatkan lagi, sesuai dengan makna tujuan pembangunan gedung yaitu mengingatkan bagaimana perjuangan rakyat Bali dalam memperoleh kemerdekaan. Nah sebagai generasi penerus kita harus terus berjuang sesuai dengan bidang ilmu kita masing-masing untuk membangun negara dan bangsa yang sangat kita cintai ini.
Rektor ISI Denpasar yang pada kesempatan ini diwakilkan oleh Pj. Pembantu Rektor III Drs. I Made Subrata, MSi menjelaskan bahwa kegiatan berpameran ini merupakan salah satu contoh pendidikan soft skill diluar ilmu yang didapat di bangku kuliah. Soft skill merupakan pengetahuan tambahan yang bersifat kewirausahaan. Dimana mahasiswa sebagai calon seniman tidak hanya bisa berkarya saja, namun belajar untuk memanage sebuah event, mempromosikan karya dll. Ini merupakan bekal untuk mahasiswa kedepannya, agar tidak hanya mencari pekerjaan namun dapat menciptakan lapangan kerja sendiri. Juga pentingnya seorang seniman untuk memahami pengetahuan HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) sebagai payung hukum atas karya-karyanya sehingga menjamin kesejahteraannya nanti
by admin | Aug 29, 2009 | Artikel
Materi Mata Kuliah: Apresiasi Seni 2008, Oleh: Arya Sugiartha,
Jurusan Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar
Istilah “seni” yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris art, sebenarnya usianya masih sangat muda (istilahnya). Ditinjau dari segi etimologi, istilah ini masih sulit untuk dijelaskan.
Sebelum abad ke-15 istilah seni digunakan untuk menyebutkan apa saja yang punya peraturan. Ada istilah Seni berperang, seni memasak, seni bercinta, dokter yang belum praktek namanya Semi Art.
Perkembangan selanjutnya istilah art diklaim oleh seni rupa. Art hanya digunakan dalam bidang seni rupa, hal itu dapat dilihat dari buku-buku art semuanya tentang seni rupa, demikian juga Art Departement pada perguruan tinggi di Barat yang dikelola hanya seni rupa. Hal itu disebabkan karena daerah jelajah seni lainnya semua sudah punya nama seperti misalnya music, dance, theatre, drama dan sebagainya..
Ada yang menyebutkan istilah Seni berasal dari kata ”sani” dalam bahasa sansakerta yang berarti pemujaan, pelayanan, donasi, permintaan, atau pencarian dengan hormat dan jujur. Ada juga yang menyebutkan istilah seni berasal dari bahasa Belanda ”genie” yang artinya jenius.
Istilah ”seniman” merupakan istilah yang baru populer di masyarakat kita. Soalnya pekerjaan ini dahulu belum merupakan suatu profesi, yaitu spesialisasi yang dikerjakan oleh dalam sebagian besar masa hidupnya.
Definisi yang paling bersahaja menyebutkan bahwa, Seni adalah keindahan yang dibuat oleh manusia.
Everyman Encyclopedia menyebutkan bahwa, Seni adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh orang bukan atas dorongan kebutuhan pokoknya, melainkan adalah apa saja yang dilakukannya semata-mata karena kehendak akan kemewahan, kenikmatan, ataupun karena dorongan kebutuhan spiritual.
Perkataan “apresiasi”berasal dari kata asing “appreciatie”(Belanda),” appreciation”(Inggris), dan menurut kamus-kamus inggris ,”to apreciate” yaitu bentuk kata kerjanya, berarti: to judge the value of; understand or enjoy fully in the right way (Oxford); to estimate the quality of; to estimate rightly; to be sensitively aware of (Webster); dan masih ada yang menambahnya dengan …to be sensitive to the aesthetic value of.
Materi mata kuliah apresiasi seni
by admin | Aug 28, 2009 | Artikel
Abstrack

Bhendi Yudha dan Lukisannya
Art is an expression of feeling and soul. It is the crystallization of an idea that derives from imaginative soul experience through observation, deep thinking on the phenomena of social environment. Then, through intellectual ability and internal or external motivation raises an intuitive vibration that stimulates inner emotion to be artistically expressed through the language of visual art work.
For Balinese, rerajahan is one of literature works which has a value and symbolic meaning of the all life aspects both on macro and micro cosmos. It is also depicting the energy that is a symbol of gods and evil character. These all are the reflection of dualistic. These concepts which are overlapping and interdependent to each other must be kept appropriately in order to maintain the harmony.
The concept of harmony that exists in rerajahan seems neglected or even left behind when we compare with the phenomena life in society. This can be seen on the inappropriate acts either to the nature or human life. As we know, an exploitation of natural resources, the inappropriate authority acts of particular parties or people, gender, discrimination on law and human rights, and inappropriate acts of state administration.
These phenomena generally make the increase of ecological crisis and the degradation of human moral or get the level of social poverty even worse. At present, these inappropriate acts are getting out of control because the spread takes place both on the low and elite levels. So, these are very complex phenomena just like a messy thread that needs to be solved holistically. The comprehension of all the above values have brought some ideas regarding on the life meanings in which its philosophical concepts in an abstract way astatically are implemented into the painting art work by combining both the representative and abstractive concepts. It is also implemented in term of applying varied line, color, and textures. It is hope that impasto technique can represent certain symbol and meaning in order to give the value of the authenticity of the art work which has an artistic personal values and novelty.
Key word : Painting art work, distortion of imaginary shape and harmony
Download click here
by admin | Aug 27, 2009 | Artikel
The Function Of Water (Tirtha) In Balinese Hindu Rituals
By
Ida Ayu Made Puspani and Ni Wayan Sukarini
e-mail:[email protected]/[email protected]
Waters in South and Southeast Asia: Interaction of Culture and Religion
3rd SSEASR Conference, Bali Island, Indonesia
June 3-6, 2009
I. INTRODUCTION
The Balinese belief and worship of Hindu Dharma in Bali governs all the activities of the daily life of the Balinese. The three basic fundamentals of Hindu Dharma are Yadnya (rituals), Tattwa (philosophy) and Susila (moral behaviour), which are interacted to form Balinese culture.
Hindu religion is originated from India. The practice of the Philosophy in the Balinese Hindu in Bali is almost similar to the practice of Hindu in India whereas in Balinese Hindu is more attached to the local culture. Basic practice of rituals are based on the Vedas (Holy Manuscript) and the philosophy of Yadnya (rituals ) are also referring to it. There are five types of Yadnya
( means holy sacrifice with a pure heart) in Balinese Hindu: 1)Dewa Yadnya: to the Gods and Goddesses as manifestations of the Supreme Being. 2)Pitra Yadnya: to the ancestors who give the people guidance in life and gave them the opportunity to be born. 3) Manusa Yadnya: to protect our lives and those of future generations 4)Rsi Yadnya: to the priests who guide us all on our spiritual journey. 5) Bhuta Yadnya: to any other beings (visible and invisible) to ensure that there will be harmony and unity in nature.
In Hindu believers there are important elements of nature to be considered as the guideline of rituals in retaining the harmonious living of the human being (Nair,2009). Those elements comprise of: earth, water, fire, air, and ether or sky ( which are called as panchamahabhuta). Among the five elements water is represented by a circle symbolises fullness based on the graphical depiction of panchamahabhuta. Primarily water is the building block of life and all the living beings are at the mercy of God, for the water.
In India as well as in Bali water has been an object of worship from time immemorial, which signifies the non-manifested substratum from which all manifestation arise. This leads the practice of utilizing water as the purification of all rituals. In conducting every religious rite, the presence of holy water is the most important part of all Balinese ceremonies (Agastia, 2007). Holy water accompanies every act of Balinese-Hindu worship from individual devotion at household shrine to island-wide ceremonies.
Download click here
by admin | Aug 26, 2009 | Artikel
Simbolisme Air Dalam Teks Tantu Panggelaran Oleh Turita Indah Setyani[1]
Makalah pada Seminar Internasional:
Waters in South and Southeast Asia: Interaction of Culture and Religion
3rd SSEASR Conference, Bali Island, Indonesia June 3-6, 2009
Membahas tentang air dapat dilihat dari berbagai aspek dalam kehidupan ini. Kita mengetahui dalam tubuh manusia terdiri atas 70 % air. Itu menyiratkan bahwa air sangat penting bagi tubuh manusia dan di dalam kehidupan ini. Bagi tubuh manusia dan dalam kehidupan sehari-hari air digunakan untuk minum. Selain itu, air juga dibutuhkan untuk kesehatan, sehingga disarankan meminum air 10-12 gelas (2,5-3 liter) per hari untuk bersirkulasinya cairan dalam tubuh supaya tidak terjadi pendendapan-pengendapan. Hal itu juga dimaksudkan untuk pembersihan dari suatu penyakit. Di beberapa daerah, khususnya Jawa dan sekitarnya, air dianggap suci karena digunakan sebagai sarana ritual-ritual, baik untuk pembersihan atau pensucian diri (mandi air kembang) maupun benda-benda pusaka (jamasan). Bahkan dalam agama air juga sebagai simbol pensucian diri. Misalnya dalam agama Islam, air digunakan untuk berwudhu sebelum melaksanakan sholat; dalam agama Katholik, air digunakan untuk pembaptisan. Contoh-contoh tersebut menggambarkan bahwa air digunakan sebagai simbol pensucian atau pembersihan dari kekotoran atau dari segala sesuatu yang bersifat tidak suci. Bagi manusia, pensucian atau pembersihan terhadap diri dari kekotoran fisik atau dari pikiran-pikiran duniawi. Penamaan air pun muncul dengan beberapa istilah yang dibedakan menurut maknanya masing-masing, khususnya dalam kehidupan masyarakat Jawa, air atau banyu, toya, way/wai (bahasa Jawa Kuna) disebut juga tirta (udhaka, Sansekerta). Pepatah Jawa meyebutkan “Ajining diri ana ing lathi, ajining raga ana ing busana, agama ageming diri.” Untuk memaknai hal semacam itu tentunya dibutuhkan pengetahuan simbolis berdasarkan latar belakang budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menggunakan air tersebut sebagai simbol pensucian diri.
Air pun banyak dibicarakan dalam karya-karya sastra Jawa, di antaranya menyebutkan juga bahwa air sebagai sumber kehidupan. Salah satu karya sastra tersebut yang akan dibahas dalam makalah ini adalah teks Tantu Panggelaran (TP). Karena teks TP merupakan karya sastra Jawa, maka untuk mengungkapkan makna simbolik di dalamnya dibutuhkan pengetahuan simbolis yang berkaitan dengan latar belakang budaya Jawa. Sementara itu, teori yang digunakan untuk memaknai simbol-simbol adalah yang dikemukan oleh Charles Sanders Peirce. Ia menyatakan bahwa simbol yaitu tanda yang paling canggih karena sudah berdasarkan persetujuan dalam masyarakat (konvensi). Contoh: bahasa merupakan simbol karena berdasarkan konvensi yang telah ada dalam suatu masyarakat. Selain itu, rambu-rambu lalu-lintas, kode simpul tali kepramukaan, kode S.O.S. juga merupakan simbol. Menurut Peirce dalam hubungan pembentukan
[1]
[1] Staf Pengajar pada Program Studi Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.
Program Studi Jawa, FIB UI, gedung 3 lantai 1. Kampus UI, Depok. Tlp./Fax. 021-78880208. Hp 081319570009 atau 021-93846124. Email: [email protected]
Selengkapnya dapat diunduh di sini