M

Tentang ISI Bali

Sejarah

Pengantar

Akreditasi

Visi dan Misi

Struktur Organisasi

SAKIP

JDIH

Penghargaan

PPID

Green Metric

Pendidikan

Fakultas Seni Pertunjukan (FSP)

Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD)

Pascasarjana

Program Internasional

Alumni

Penelitian

Penelitian, Penciptaan dan Diseminasi Seni dan Desain (P2SD)

Penelitian Disertasi (PDD)

Penelitian Kompetisi Nasional

Penelitian Kerja Sama

Pengabdian

Bali Citta Swabudaya (BCS)

Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)

Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Pusat

Pengumuman Yudisium

PENGUMUMAN
Nomor : 10/15.1.10/PP/2010

Diberitahukan kepada seluruh mahasiswa FSRD ISI Denpasar yang sudah Ujian Tugas Akhir Semester Ganjil Tahun 2009/2010 bahwa Yudisium dilaksanakan pada :
Hari/tanggal : Sabtu, 23 Januari 2010
Pukul                : 10.00 Wita
Tempat            : Gedung Lata Mahosadhi
Pakaian            : Atasan kemeja putih dengan dasi hitam, bawahan hitam
Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terimakasih.

Denpasar, 9 Januari 2010
An. Dekan,
Pembantu Dekan I,

TTD

Drs. Olih Solihat Karso, M.Sn
NIP. 196107061990031005

Program Beasiswa Bidik Misi di Lingkungan ISI Denpasar Tahun Akademik 2010/2011

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Ditjen Dikti Depdiknas) mulai tahun 2010 memberikan beasiswa dan biaya pendidikan bagi calon mahasiswa dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomi dan berprestasi yang disebut Beasiswa BIDIK MISI. Jumlah mahasiswa yang akan diberikan program beasiswa BIDIK MISI tahun 2010 dialokasi 20.000 calon mahasiswa, penyelenggara program beasiswa BIDIK MISI adalah perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi BHMN terpilih di bawah Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama.

ISI Denpasar salah satu diantaranya diberi kepercayaaan untuk menyelenggarakan program Beasiswa BIDIK MISI bagi calon mahasiswa baru mulai tahun 2010 sebanyak 20 (dua puluh) orang berdasarkan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas Nomor 2403/DT/2009 dan Rektor ISI Denpasar Nomor 2233/I5/LL/2009 tanggal 16 Desember 2009.

Dalam penerimaan mahasiswa baru ISI Denpasar tahun akademik 2010/2011 siswa yang dijadawalkan lulus tahun 2010 yang berminat melanjutkan studi di ISI Denpasar dan telah memenuhi persyaratan diberikan kesempatan untuk memperoleh Beasiswa BIDIK MISI dengan memilih maksimal 2 (dua) program studi di lingkungan ISI Denpasar.

ISI Denpasar adalah salah satu perguruan tinggi seni negeri, memiliki 2 fakultas dan mengelola delapan program studi (PS) seni. Fakultas Seni Pertunjukan (FSP) mengelola tiga PS : seni tari, seni karawitan, seni pedalangan, dan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) mengelola lima PS : seni rupa murni (seni lukis dan seni patung), desain interior, desain komunikasi visual, kriya seni (kramik dan kayu), dan fotografi.

B. MISI

  1. Menghidupkan harapan bagi masyarakat kurang mampu untuk terus menempuh sampai ke jenjang pendidikan tinggi;
  2. Menghasilkan sumber daya insani yang mampu berperan dalammemutus rantai kemiskinan.

C. TUJUAN

  1. Meningkatkan motivasi belajar dan prestasi calon mahasiswa,khususnya mereka yang menghadapi kendala ekonomi;
  2. Meningkatkan akses dan kesempatan belajar di perguruan tinggiagi rakyat Indonesia yang berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi;
  3. enjamin keberlangsungan studi mahasiswa sampai selesai;
  4. Meningkatkan prestasi mahasiswa, baik pada bidang akademik/kurikuler, ko-kurikuler maupun ekstra kurikuler;
  5. Menimbulkan dampak iring bagi mahasiswa dan calon mahasiswa lain untuk selalu meningkatkan prestasi;
  6. Melahirkan lulusan yang mandiri, produktif dan memiliki kepedulian sosial, sehingga mampu berperan dalam upaya pengentasan kemiskinan.

D. SASARAN

Lulusan jenjang pendidikan menengah yang terdiri atas lulusan SMA/SMK/MA/MAK atau bentuk lain yang sederajat tahun 2010 yang berprestasi dan orang tua/wali-nya kurang mampu secaraekonomi.

E. JANGKA WAKTU PEMBERIAN BEASISWA

Beasiswa diberikan sejak calon mahasiswa dinyatakan diterima di ISI Denpasar selama 8 (delapan) semester dengan ketentuan penerima beasiswa berstatus mahasiswa aktif.

F. DANA BEASISWA

Dana beasiswa dan biaya pendidikan yang diberikan adalah sebesar Rp 5.000.000 (lima juta rupiah) per mahasiswa per semester yang diprioritaskan untuk biaya hidup.

G.. PERSYARATAN

Persyaratan untuk mendaftar program beasiswa BIDIK MISI tahun 2010 adalah:

  1. Siswa SMA/SMK/MA/MAK atau bentuk lain yang sederajat yang dijadwalkan lulus pada tahun 2010;
  2. Berprestasi dan orang tua/wali-nya kurang mampu secara ekonomi;
  3. Calon penerima beasiswa mempunyai prestasi akademik/kurikuler, ko-kurikuler maupun ekstra kurikuler yang diketahuioleh Kepala Sekolah/ Pimpinan Unit Pendidikan Masyarakat (Dikmas) Kabupaten/Kota. Adapun prestasi akademik/kurikuler yang dimaksud adalah peringkat 25 persen terbaik di kelas, sedangkan prestasi pada kegiatan ko-kurikuler dan/ataukstrakurikuler minimal peringkat ke-3 di tingkat Kabupaten/Kota an harus sesuai dengan program studi yang dipilih.

Selengkapnya Program Bidik Misi ISI Denpasar

Seni Tradisi, Benteng Jati Diri Orang Bali

Seni Tradisi, Benteng Jati Diri Orang Bali

I Nyoman Partha Gunawan (60 tahun) adalah seorang seniman alam dari Desa Tenganan Pagringsingan, Karangasem. Sebulan belakangan ini, ia tampak dengan tekun mengajar gamelan Slonding, salah satu gamelan tua Bali, di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Sekelompok mahasiswa menyerap gending-gending yang diberikan oleh empu gamelan Slonding itu.

Ketika program “kuliah kilat“-nya itu hasilnya dipentaskan dan sekaligus didokumentasikan pada Jumat (27/11) lalu, Gunawan tampak berseri-seri karena telah menularkan sejumput nilai keindahan yang diwarisinya pada generasi penerus.

Di Tenganan Pagringsingan, gamelan Slonding menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ritual keagamaan. Gamelan yang terbuat dari lempengan-lempengan besi tebal ini disimpan di bale agung dan hanya dikeluarkan dan ditabuh pada prosesi upacara penting. Gamelan yang dimainkan oleh 7-10 penabuh ini misalnya tampak mengalun magis mengiringi  tradisi Abuang, tari sakral yang dibawakan oleh pasangan pria dan wanita. Slonding juga hanya berdentang garang saat menyemangati tradisi makare atau perang pandan.

Di luar Tenganan, Slonding masih dijumpai di beberapa tempat, khususnya desa tua yang termasuk desa Bali Age.  Namun jika di Tenganan, Slonding masih diusung secara takzim oleh komunitasnya, di tempat-tempat lainnya kondisinya memperihatinkan bahkan hampir punah. Perkembangan masyarakat dan kebudayaan menyudutkan bentuk-bentuk seni terdahulu seperti Slonding yang semakin marginal. Masyarakat Bali generasi kekinian sedang kepincut dengan seni yang lebih modern. Gong Kebyar yang muncul tahun 1915 kini banyak menyambil alih alunan teduh gamelan renta seperti Slonding atau Gambang misalnya.

Kesenian tua memiliki kandungan nilai estetik dan ekspresi kultural yang patut diselamatkan. “ISI Denpasar sebagai lembaga akademis sudah sepatutnya memerankan dirinya menyelamatkan bentuk-bentuk kesenian langka seperti Slonding,” ujar I Wayan Suharta, SSKar, M.Si, Ketua Jurusan Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan ISI. Dalam rangka rekontruksi gamelan langka itulah, tambahnya, ISI mengundang selain nara sumber gamelan Slonding dari Tenganan Pagringsingan, pada momentum yang sama juga menghadirkan maestro gamelan Babarongan, I Wayan Jebeg, dari Batubulan, Sukawati.

Kendati belum menggembirakan, tampaknya kepedulian terhadap keberadaan kesenian langka tak sirna sama sekali. Sabtu (28/11) lalu misalnya, saat Tumpek Krulut, ritus masyarakat Bali terhadap gamelan, Pemkot Denpasar menghadirkan sekian jenis gamelan langka di Lapangan Puputan Badung, berkumandang secara bergantian. Demikian pula apa yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Bali, secara periodik menyuguhkan bentuk-bentuk kesenian langka di Taman Budaya Denpasar. Sajian kesenian langka juga dapat disimak masyarakat di arena Pesta Kesenian Bali (PKB). Berbagai upaya konstruktif itu tentu mesti disyukuri.

Penyelamatan bentuk-bentuk kesenian luhur yang telah mengisi dinamika kehidupan masyarakat, memang mesti disikapi dengan langkah kongkret. Cermatilah, pencapaian estetik yang pernah diraih kesenian langka kita belakangan tergerus tak terurus. Fungsi-fungsi sosial dan religius yang sempat diisinya terkikis. Makna-makna kultural dan filosofis yang dulu mengawalnya terpental entah kemana. Tragisnya, kesenjangan bentuk-bentuk kesenian itu dengan generasi muda, semakin lebar. Orientasi masyarakat kita di tengah gelombang globalisasi yang cenderung materialis-kapitalistik,  sungguh membuat butir-butir budaya itu tergelincir.

Memang jamak merebak dimana-mana, bukan hanya di Bali bahwasannya warisan seni tradisi di tengah masyarakat masa kini sedang dirundung nestapa. Karena semakin tak dipedulikan, tidak sedikit kemudian bentuk-bentuk kesenian itu teronggok di pojok, hidup payah matipun pasrah. Komunitas pendukungnya pun tak lagi memiliki ikatan batin dengan nilai keindahan yang mungkin dulu pernah disanjung-sanjung dan dibanggakan. Di Bali sendiri yang keseniannya integral dengan riuhnya upacara keagamaan juga harus berkonfrontasi dan berkompromi dengan hiruk-pikuk perubahan zaman.

Riuh dan kegalauan kehidupan masa kini kiranya semakin menciptakan kesenjangan antara masyarakat pada umumnya dengan bentuk-bentuk kesenian tradisionalnya, lebih-lebih seni budaya yang sudah langka semacam Slonding dan Gambang.  Gamelan Gambang misalnya yang dentang bilah-bilah bambunya kian sayup di tengah euforia ritual keagamaan, tak begitu banyak dikenali masyarakat karena ensambel tua itu sendiri memang hampir punah. Begitu pula dengan Slonding, gamelan besi yang pada zaman Bali kuno ditabuh di tempat-tempat pertapaan itu, sangat asing bagi masyarakat Bali kebanyakan.

Sekaratul maut memang sedang menjemput dan merenggut sebagian nilai-nilai tradisi, termasuk warisan kesenian tradisional Bali. Dialektika budaya global dan lokal sekarang ini cenderung menggiring masyarakat hanyut mengorbankan jati dirinya terdistorsi oleh dinamika budaya semu yang sedang menghegemoni. Seni-seni tradisi yang merupakan bagian integral dengan sosio-kultural-religius masyarakat, kini berona gamang, sebagian tertidur lelap dan tak pernah bangkit lagi. Jargon  think globaly, act locally–berpikir global dan bertindak lokal, belum mengejawantah menjadi kearifan masyarakat kita dalam membangun  jati diri dan benteng kebaliannya.

Kadek Suartaya

Pembinaan Seni Karawitan Klasik Pegongan Pada Sekaa Sekaa Gong Kerthi Budaya Banjar Pengabetan Kuta, Kabupaten Badung

Pembinaan Seni Karawitan Klasik Pegongan Pada Sekaa Sekaa Gong Kerthi Budaya Banjar Pengabetan Kuta, Kabupaten Badung

    Kiriman I Gede Yudartha, SS.Kar., M.Si

I Gede Yudartha

I Gede Yudartha

Seni Sekaa Gong Kerthi Budaya adalah salah satu unit organisasi sosial kemasyarakatan yang terdapat pada lingkungan Banjar Pengabetan Kuta, Kabupaten Badung. Sebagai salah satu organisasi sosial kemasyarakatan, sekaa gong ini memiliki tugas dan tanggung jawab di bidang seni karawitan yaitu melaksanakan fungsi dan kewajiban untuk mengiringi aktivitas ritual keagamaan serta aktivitas sosial lainnya yang terjadi di lingkungan banjar Pengabetan dan di Desa Adat Kuta.

Sekaa gong ini didirikan pada tahun 1978 dan keberadaannya sangat eksis di masyarakat dimana dalam jangka waktu 30 tahun usianya serta dengan dukungan 50 orang anggota, sekaa gong ini telah menunjukkan peran yang sangat penting dan menjadi salah satu sekaa gong yang terkemuka di lingku-ngan Desa Adat Kuta. Salah satu prestasi yang sangat penting dicapai adalah keberhasilan memenangkan seleksi gong kebyar se Kabupaten Badung dan selanjutnya ditunjuk sebagai Duta Kabupaten Badung pada Festival Gong Kebyar tahun 1993. Keberhasilan sekaa gong ini mencapai prestasi tersebut tidak terlepas dari adanya suatu sistem pembinaan yang berkelanjutan dari gene-rasi ke generasi, dan dibina oleh seniman-seniman yang profesional di bidang seni karawitan. Pada awal berdirinya hingga tahun 1980-an sekaa gong ini mendapatkan pembinaan dari Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar dengan materi fragmentari Ramayana yang mana dari pembinaan tersebut selanjutnya dipertunjukan kepada para wisatawan. Dari penyelengga-raan aktivitas tersebut, sekaa gong ini mampu meningkatkan perekonomian, yang mana hasil dari pagelaran tersebut dipergunakan untuk mensejahterakan anggota serta membangun Balai Banjar Pengabetan.

Sebagaimana umumnya kehidupan sosial masyarakat Bali, di lingkungan Desa Adat Kuta khususnya di Banjar Pengabetan, religiusitas masyarakatnya sangat tinggi dimana pelaksanaan upacara serta berbagai aktivitas keagamaan dapat di langsungkan dengan baik. Walaupun sebagaian besar masyarakatnya beraktivitas di sektor kepariwisataan dan hidup dari pelayanan jasa, perdagangan, dan perhotelan, kehidupan dan aktivitas di bidang sosial keagamaan masih berlanjut sebagaimana telah diwariskan oleh para leluhur mereka.

Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut salah satu sarana dan media yang sangat penting adalah gamelan serta repertoar tabuh-tabuh klasik pengiring pelaksanaan upacara khususnya tabuh-tabuh lelambatan klasik pegongan. Sebagaimana telah diuraikan di atas, keberadaan sekaa Gong Kerthi Budaya memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan keagamaan baik di lingkungan banjar maupun di desa adat Kuta. Untuk keperluan tersebut, saat ini banyak repertoar komposisi lelambatan klasik yang telah dikuasai diantaranya: tabuh pisan, tabuh dua, tabuh telu, dan tabuh nem. Walaupun demikian, sebagai salah satu sekaa gong terkemuka di kawasan Kuta, sekaa gong ini memiliki motivasi dan keinginan yang tinggi untuk menambah perbendaharaan repertoar tabuh untuk dapat menampilkan tabuh-tabuh lelambatan klasik yang berbeda dengan repertoar yang telah dimiliki sebelumnya.

Untuk itu kami dihubungi dan diminta secara pribadi untuk memberikan pembinaan dan menuangkan materi tabuh lelambatan. Adanya permintaan tersebut tentunya merupakan suatu tantangan dan untuk dapat memenuhi apa yang diinginkan kami mencoba memberikan materi yang berbeda dengan apa yang telah dimiliki sebelumnya. Adapun materi yang kami pilihkan adalah dua buah tabuh dua lelambatan pegongan, serta salah satu komposisi tabuh pat lelambatan.

Komposisi tabuh pat Lokaria ini pada mulanya berbentuk tabuh lelambatan pegongan kreasi yang diciptakan oleh I Wayan Sinti. Dipilihnya tabuh lelambatan ini di samping untuk dapat dipergunakan sebagai tabuh ingingan upacara, juga sebagai salah satu upaya revitalisasi dan merekon-struksi keberadaan komposisi tersebut, mengingat keberadaannya semenjak usai ditampilkan dalam festival tidak pernah dimainkan dan sudah mulai dilupakan oleh sekaa gong tersebut. Untuk dapat ditampilkan sebagai pengiring upacara keagamaan tentunya harus diadakan penyesuaian dengan mengadakan beberapa perubahan terutama aspek musikalitas serta penye-derhanaan teknik permainan instrumen sehingga nantinya mengarah kepada bentuk tabuh lelambatan pegongan klasik.

Dalam upaya merubah bentuk komposisi ini menjadi sebuah komposisi lelambatan klasik, di samping mengadakan penyederhanaan, di sisi yang lain juga dilakukan dengan memberikan ornamentasi pada beberapa bagiannya sehingga penampilannya tidak saja terkesan klasik namun mampu memberi-kan nuansa baru sebagai salah satu bentuk tabuh lelambatan klasik. Salah satu bentuk perubahan yang dilakukan adalah dengan mempergunakan 2 (dua) periring yang ditempatkan pada bagian awal gending pengawak dan bagian akhir gending pengisep, dengan tujuan untuk memberikan keragaman dinamika sehingga tidak tampil monoton.

Penyajian model 2 (dua) periring umumnya dilakukan pada komposisi tabuh lelambatan kreasi, dimana bentuk periring tersebut ditempatkan pada bagian depan sebelum menginjak bagian pengawak dan pada bagian akhir pengisep yang menghantarkan ke bagian berikutnya, yaitu bebaturan (pengecet). Komposisi dengan model dua periring ini belum pernah dilakukan dalam penyajian tabuh lelambatan klasik gaya Badung, dimana pada umumnya hanya mempergunakan satu periring yang ditempatkan pada bagian awal dari pengawak. Sebagai salah satu karya komposisi yang lahir dari seniman Badung, walaupun terjadi perubahan serta diberikan ornamentasi pada beberapa bagiannya, penampilannya sebagai salah satu bentuk tabuh lelambatan gaya Badung masih tetap dipertahankan sebagaimana bentuk-bentuk tabuh lelambatan yang lainnya sehingga tidak tercabut dari akar tradisi yang melahirkannya.

Tujuan dari kegiatan ini di samping untuk menjawab rumusan masalah di atas, juga sebagai salah satu upaya untuk merevitalisasi dan merekonstruksi salah satu bentuk karya seni yang pernah ada dan dimiliki oleh sekaa gong Kerthi Budaya sehingga memiliki suatu bentuk komposisi tabuh lelambatan klasik dengan nuansa baru serta tetap berpijak pada akar tradisi gaya bebadungan yang nantinya dapat disajikan sebagai tabuh instrumental dalam mengiringi rangkaian upacara keagamaan dan aktivitas sosial lainnya.

Dilaksanakannya kegiatan ini secara umum diharapkan dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat Banjar Pengabetan serta sekaa Gong Kerthi Budaya sehingga keberadaannya sebagai salah satu sekaa gong terkemuka di desa Adat Kuta masih dapat dipertahankan.

Sedangkan di pihak lain, keterlibatan kami selaku pembina dan bagian dari civitas akademika ISI Denpasar dapat mempererat hubungan secara pribadi serta antara Lembaga ISI Denpasar dengan masyarakat khususnya sekaa gong Kerthi Budaya, Banjar Pengabetan Kuta sebagaimana yang telah terjalin dari tahun 1980-an.

Sebagai salah satu pembinaan yang bersifat kolektif, kegiatan ini tentunya melibatan banyak orang terutama anggota sekaa gong serta berbagai pihak terkait seperti prejuru banjar (Kelian Adat) beserta jajarannya. Namun demikian untuk memperlancar dan mempercepat proses pembinaan, secara khusus ada beberapa orang anggota sekaa yang dianggap mampu, diberikan materi secara intensif sehingga nantinya dapat ditularkan kepada anggota sekaa yang lainnya.

Metode yang diterapkan dengan cara meguru kuping dan meguru panggul. Walaupun terkesan tradisional, metode ini memiliki keunggulan, efektif dan efisien serta secara turun menurun di terapkan oleh para seniman-seniman karawitan Bali dalam aktivitas pembinaan yang dilakukannya. Meguru kuping dan meguru panggul adalah metode tradisional yang biasanya diterapkan secara bersamaan pada saat dilaksanakan pelatihan. Metode ini sangat berbeda dengan sistem pembelajaran musik sebagaimana umumnya yang sangat tergantung pada partitur. Suatu kebiasaan dalam memainkan komposisi karawitan Bali adalah dengan menghandalkan hapalan tanpa pernah dibantu dengan partitur. Sebagaimapun tingkat kesulitan, kerumitan dan panjang pendeknya sebuah komposisi adalah merupakan hal yang sangat biasa dilakukan oleh para seniman-seniman karawitan Bali. Dengan kemampuannya tersebut para seniman penyaji di Bali dikenal memiliki tingkat hafalan yang sangat baik.

Meguru kuping adalah metode yang dilakukan memberikan contoh-contoh melodi yang diperdengarkan secara langsung dihadapan orang-orang yang diberikan pelatihan. Sedangkan meguru panggul adalah dengan memberikan contoh-contoh teknik permainan instrumen secara langsung yang nantinya diikuti oleh para peserta pelatihan. Penerapan metode ini biasanya berulang-ulang hingga para peserta pelatihan dapat memahami dan mengikuti apa yang telah dicontohkan.

DAFTAR PUSTAKA

Astita, I Komang.1993. Gamelan Gong Gede: Sebuah Analisis Bentuk. Mudra, Jurnal Seni Budaya, Edisi Khusus Februari 1993. Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar: STSI Press.

Rembang, I Nyoman.1984/1985. Hasil Pendokumentasian Notasi Gending-Gending Lelambatan Klasik Pagongan Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek Pengembangan Kesenian Bali.

Sukerta, Pande Made.1998. Ensiklopedi Mini Karawitan Bali. Sastrataya-Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) Bandung-Indonesia.

Yudarta, I Gede. 2007. “Tabuh Lelambatan Pegongan Gaya Badung: Kontinuitas dan Perubahannya”. Laporan Penelitian Due-Like Batch IV Sekolah Tinggi Seni Indonesia/ ISI Denpasar.

Discografi Rekaman Audio.

  1. Festival Gong Kebyar se Bali 1993, Kabupaten Badung. Bali Stereo No. B 585

  2. Festival Gong Kebyar se Bali 1994. Kabupaten Badung. Bali Stereo No. B 895

  3. Festival Gong Kebyar se Bali 2006. Kota Denpasar. Bali Stereo No. B 1185

Mengembangkan Olah Rasa, Gali Seni Budaya

Mengembangkan Olah Rasa, Gali Seni Budaya

Suara gamelan Bali terdengar mengalun bersahut-sahutan dari halaman depan kantor Departemen Pendidikan Nasional di kawasan Senayan, Jakarta, pada Senin (10/8) pagi menjelang siang. Denting merdu gamelan Smarapagulingan mengumandangkan gending-gending klasik. Sementara itu nada-nada teduh Gender Wayang menyelingi dengan tabuh “Seketi“ dan “Cerucuk Punyah“.  Lenggok tari Pendet dan sebuah tari kreasi “Satya Brasta“ juga ditampilkan dalam panggung yang khusus dibuat untuk pagelaran seni pertunjukan Bali itu.

Adalah Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) menyelenggarakan event “Gelar Karya Anak Bangsa“ yang mengangkat tema “Membangun Masyarakat Cerdas dan Kreatif Berbasis Sains, Teknologi dan Seni untuk Daya Saing Bangsa“. Dalam acara yang dibuka oleh Menteri Pendidikan Nasional Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA itu, seni diberikan ruang untuk memberikan aksentuasi. Untuk kepentingan tersebut pihak Dikti mendatangkan para seniman dari Bali yakni tiga penari putri Sekolah Luar Biasa (SLB) Bali, empat seniman cilik, dan para penabuh serta penari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.

Menjelang acara pembukaan yang juga dikaitkan dengan Pameran Pendidikan Nasional, para penabuh wanita ISI yang memainkan gamelan Smarapagulingan dan empat orang penabuh cilik Bali yang dengan lincah menabuh gamelan Gender Wayang, menarik perhatian para undangan dan pengunjung. Undangan dan pengunjung tampak tertegun-tegun menyaksikan keintiman kaum wanita dan bakat seni bocah-bocah Bali dengan seni tradisinya. Tari Pendet yang dibawakan dengan apik oleh Ni Putu Sri Sugihartini, Ida Ayu Putri Sawitri, dan Kadek Deby Sintiya Dewi, siswa tuna rungu SLB Bali, mengundang decak haru.

Angin seni rupanya memang bertiup semilir pada manusia Bali, tak terkecuali bagi mereka yang tak bisa berbicara dan mendengar, karena sejatinya dalam dunia seni, emosi olah rasalah yang menjadi pengendali terdepan. Soal pentingnya olah rasa dalam membangun masyarakat yang cerdas dan kreatif, oleh Mendikdas Bambang Sudibyo,  diurai signifikan dalam sambutannya. Secara filosofis diungkapkan bahwa olah rasa tak kalah pentingnya dengan olah pikir, olah jiwa, dan olah raga dalam membangun manusia yang utuh. Oleh karena itu, tegasnya, olah rasa dalam pendidikan seni harus diasah sejak dini di kalangan insani masa depan bangsa dan eksistensi nilai-nilai keindahan budaya Indonesia wajib dijaga dan terus dikembangkan.

Kehadiran insan-insan seni dari Bali dalam acara itu rupanya dijadikan contoh bagaimana dunia olah rasa dibangun dalam pendidikan non formal di tengah masyarakat dan secara formal di sekolah. Empat seniman belia, Adi Sedana, Kadek Putra, Made Moris, dan Ayu Larasari yang unjuk kebolehan menabuh Gender Wayang siang itu adalah bentuk olah rasa  dan penghayatan generasi muda Bali terhadap ekspresi seni yang ada di lingkungannya. Begitu pula dengan keterampilan yang ditampilkan grup penabuh wanita Asti Pertiwi ISI Denpasar yang memainkan gamelan Semarapagulingan mengumandangkan tabuh dan mengiringi seni tari, merupakan implementasi penjelajahan olah rasa kaum wanita Bali dalam kancah seni musik tradisional yang sebelumnya hanya lazim jadi medan olah rasa kaum pria.

Selain cipta dan karsa, rasa adalah pilar utama dari keberadaan nilai-nilai keindahan karya manusia. Mungkin karena itu seni dapat berkomunikasi secara universal. Komunikasi dengan olah rasa itu, di tengah masyarakat bangsa-bangsa, khususnya dalam masyarakat Indonesia telah menjadi media solidaritas sosial, pendukung utama aktivitas keagamaan, hingga berperan menonjol sebagai presentasi estetik dan hiburan. Di pulau Bali, seni bersemi integral dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya. Dalam peristiwa keagamaan misalnya, seni selalu hadir menyediakan ruang olah rasa bagi setiap orang.

Namun ditengah orientasi hidup material masyarakat dunia belakangan ini, termasuk di Indonesia, karunia rasa yang diberikan Tuhan rupanya cenderung kurang diasah dan disyukuri. Muncul fenomena semakin tumpulnya kepekaan kita terhadap sesama, alam lingkungan dan masa depan dunia. Sebaliknya merebak sikap dan prilaku yang destruktif yang mengacu kepada anti kerukunan sesama dan perdamaian dunia, mengumbar nafsu konplik, terorisme dan perang. Seni sebagai wahana olah rasa yang menyemai sikap asih dan saling menghormati seperti mandul dan kehilangan makna.

Oleh karena pentingnya olah rasa untuk saling menghormati dalam kehidupan bersama, siang itu, digugah lewat dendang ceria lagu “Janger“ yang dibawakan secara bersama oleh penabuh Asti Pertiwi dalam puncak penampilannya. Pentingnya pengembangan olah rasa dalam membangun manusia Indonesia yang utuh juga dipresentasikan dalam sebuah lagu berjudul “Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif“  yang dibawakan secara duet oleh mahasiswi ISI Denpasar.  Lagu ciptaan I Komang Darmayuda, S.Sn, M.Si dan Ni Wayan Ardini, S.Sn, M.Si berdasarkan ide Rektor ISI Prof. Dr. I Wayan Rai S., MA itu bertutur, diantaranya, dengan tekanan lirik “olah pikir tingkatkan kecerdasan, olah raga sehatkan jasmani, olah jiwa jernihkan budi pakerti, olah rasa galilah seni budaya“.

Kadek Suartaya

Loading...