M

Tentang ISI Bali

Sejarah

Pengantar

Akreditasi

Visi dan Misi

Struktur Organisasi

SAKIP

JDIH

Penghargaan

PPID

Green Metric

Pendidikan

Fakultas Seni Pertunjukan (FSP)

Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD)

Pascasarjana

Program Internasional

Alumni

Penelitian

Penelitian, Penciptaan dan Diseminasi Seni dan Desain (P2SD)

Penelitian Disertasi (PDD)

Penelitian Kompetisi Nasional

Penelitian Kerja Sama

Pengabdian

Bali Citta Swabudaya (BCS)

Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)

Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Pusat

Fungsi Gamelan Gong Gede Batur (3)

Fungsi Gamelan Gong Gede Batur (3)

Oleh Pande Mustika (Dosen PS Seni Karawitan)

Fungsi Ritual

Gamelan Gong GedeGamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur, sebagai salah satu wujud budaya, yang kehadirannya masih didukung oleh masyarakat Bali khususnya masyarakat Desa Pakraman Batur. Berfungsi sebagai persembahan dalam berbagai keperluan pada kehidupan masyarakatnya, yaitu sebagai persembahan untuk keperluan upacara agama khususnya upacara dewa yadnya.

Adapun upacara puja wali yang dapat diiringi barungan gamelan Gong Gede adalah :

Upacara puja wali di Pura Jati dilaksanakan tiga hari sebelum purnama kasa dengan penyajian gamelan Gong Gede yang lebih diistilahkan sebagai tedun terompong.

Upacara puja wali pada purnama karo, merupakan puja wali yang dilaksanakan tepat di depan pelinggih Padmasana di Pura Ulun Danu Batur dengan penyajian gamelan Gong Gede yang komplit atau tedun Trompong, dan lama kegiatan selama tiga hari.

Upacara puja wali pada purnama kelima dilangsungkan tiga hari di Pura Kental Gumi atau di Pura Ulun Danu, dengan disajikan gamelan Gong Gede lengkap atau tedun trompong.

Upacara puja wali pada purnama kaulu dilangsungkan di Pura Ulun Danu selama tiga hari, dengan disajikan gamelan Gong Gede atau tedun terompong.

Upacara puja wali pada purnama kedasa dilangsungkan di Pura Ulun Danu Batur yang merupakan puncak upacara. Menurut Jero Gede Duuran dan Jero Gede Alitan mengatakan upacara ini disebut upacara Bhatara Turun Kabeh yang dilangsungkan selama 11 hari sampai 14 hari dengan penyajian barungan gamelan Gong Gede (tedun trompong) dengan gamelan bebonangan. Pada saat terakhir upacara (penyineban) gamelan Gong Gede turun dari bale gong (tempat penyimpenan) tempat penyajiannya menuju madia mandala untuk mengiringi tarian baris perang-perangan, metiti suara dan menampilkan tabuh-tabuh lelambatan klasik.

Gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur merupakan bagian integral dari ritual keagamaan yang memiliki ciri-ciri sebagai seni ritual. Pada prinsipnya eksistensi gamelan Gong Gede menunjukkan ciri-ciri seni ritualistik seperti itu. Selain sebagai seni tirual, penyajian gamelan Gong Gede juga pendukung suasana yang dapat dijadikan salah satu ciri (cihna) sedang berlangsungnya upacara keagamaan.

Fungsi Sosial

Dalam hubungannya dengan masyarakat berfungsi sebagai pengemban seni (karawitan), barungan Gong Gede hampir setiap bulan purnama di undang (tuwur) oleh krama yang melaksankan piodalan (Pura Puseh, Pura Desa, Pura Dalem, dan Pura-pura lainnya) di desa pekraman Batur. Jero gambel yang melaksanakan tugasnya tidak menerima upah dalam bentuk uang (ngayah).

MAKNA GAMELAN GONG GEDE BATUR

Makna gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur sebagai ungkapan emosional dari pelaku seni yang diungkapkan lewat bahasa musik mempunyai makna sebagai berikut: makna religius, makna pelestarian budaya, makna keseimbangan.

Makna Religius

Pertunjukan gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur sebagai salah satu karya seni, sebagai ungkapan yang dapat dilihat dari penyajian karawitan (tabuh), tidak sekedar sebagai ungkapan estetik tetapi juga mempunyai makna religius. Dalam konteks religius, semua unsur masyarakat terlibat sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing yang dilandasi dengan perasaan tulus yang disebut dengan ngayah.

Barungan gamelan Gong Gede dalam mengiringi upacara keagamaan (ritual) memiliki makna religius. Penabuh gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur sebelum melaksanakan tugasnya selalu diperciki Tirta untuk mendapatkan keselamatan.

Makna Pelestarian Budaya

Derasnya aliran informasi dalam era globalisasi terutama di bidang seni (khususnya seni karawitan) membawa dampak positif dan negatif, hal ini mengakibatkan banyak hilangnya keaslian watak dan kemandirian budaya yang dimiliki. Kesadaran untuk melestarikan warisan budaya yang luhur (Gong Gede) memberi makna hidup dan rasa kemuliaan. Untuk menghadapi tantangan harus ada kemauan yang murni sesuai dengan pandangan hidup masyarakat Batur.

Makna Keseimbangan

Dalam pelaksanaan upacara tertentu Kehadiran gamelan Gong Gede sudah menjadi kebutuhan. Keterikatan gamelan Gong Gede dengan ritual keagamaan melahirkan perilaku-perilaku sosial yang mengarah kepada pembentukan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan pedoman bagi warga masyarakatnya.

Barungan gamelan Gong Gede dipandang sangat penting karena dapat memenuhi kebutuhan warga masyarakat secara moral dan spiritual sehingga terwujud rasa kesehimbangan. Keseimbangan yang mencakup persamaan dan perbedaan dapat terefleksi dalam beberapa dimensi. Refleksi keseimbangan yang banyak ditemukan dalam kesenian Bali adalah refleksi estetis yang dapat menghasilkan bentuk-bentuk simetris yang sekaligus asimetris atau jalinan yang harmonis sekaligus disharmonis yang lazim disebut dengan rwa bhineda. Dalam konsep rwa bhineda terkandung pula sernangat kebersamaan, adanya saling keterkaitan, dan kompetisi mewujudkan intraksi dan persaingan. Konsep rwa bhineda oleh seniman Pengrawit dituangkan dalam gamelan Bali (Gong Gede). Hal ini dapat diamati pada sistem pelarasan ngumbang-isep dan instrumen yang berpasangan (lanang wadon).

Perencanaan Pencahayaan Buatan Pada Interior Ruang Kelas

Oleh : I Dewa Gede Agung Diasana Putra

Hasil penelitian terhadap penggunaan energi, dalam hal ini listrik pada bangunan gedung menunjukkan bahwa jumlah energi listrik yang dipergunakan untuk keperluan pencahayaan ruangan menempati urutan terbesar kedua setelah sistem tata udara. Sebagaimana diketahui bahwa sumber daya alam untuk membangkitkan listrik adalah terbatas dan suatu saat akan habis. Hal ini menyebabkan harga listrik akan semakin mahal. Oleh karena itu sistem tata cahaya suatu bangunan harus direncanakan dengan baik dengan memperhitungkan usaha-usaha konservasi energi yang dapat dilakukan.

Melihat begitu pentingnya cahaya bagi manusia untuk beraktivitas, maka tidaklah mengherankan jika perencanaan cahaya pada bangunan juga memegang peranan penting bagi keberhasilan fungsi dari bangunan tersebut.

Seorang perencana dalam perencanaan bangunan, selalu mempertimbangkan pencahayaan bagi bangunan yang dirancangnya baik itu pencahayaan alamiah siang hari (sun lighting) maupun perencanaan pencahayaan buatan (artificial lighting ). Pada pencahayaan alamiah siang hari (PASH), sumber cahaya didapat dari sinar matahari sehingga keberadaannya sangat tergantung dari keadaan alam serta posisi suatu daerah di bumi. Sehingga pengendalian pencahayaan alamiah tidak sama antara daerah yang satu dengan daerah lainnya.

Sementara itu pencahayaan buatan tidak terpengaruh oleh perbedaan waktu, tempat, maupun musim. Hal mana tidak didapat pada pencahayaan alamiah. Pada umumnya pencahayaan buatan ini dipergunakan pada saat penerangan alamiah siang hari berada pada kekuatan minimum atau kurang memenuhi syarat. Untuk memenuhi fungsi pencahayaan buatan yang pada umumnya sebagai pencahayaan untuk menutupi kekurangan pencahayaan alamiah siang hari, tentunya setiap perencanaan suatu pencahayaan buatan sangat tergantung dari kondisi perencanaan alamiah siang hari yang ada (walaupun ada beberapa fungsi bangunan yang memang menghindari masuknya pencahayaan alamiah siang hari)

Dengan memperhatikan uraian di atas, perencanaan pencahayaan buatan merupakan suatu usaha untuk mendapatkan suatu desain yang dapat memenuhi kebutuhan cahaya yang sesuai dengan kebutuhan bagi aktivitas manusia dalam suatu ruang sehingga aktivitas yang diwadahi dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Adapun tujuan lainnya dari perencanaan pencahayaan ini adalah pemanfaatan energi yang dipergunakan sesuai dengan kebutuhan sehingga desain pencahayaan yang dihasilkan menghasilkan suatu pencahayaan yang hemat energi.

Usaha yang dilakukan agar pencahayaan hemat energi yaitu dengan memanfaatkan cahaya alamiah seoptimal mungkin. Besarnya cahaya alamiah yang mampu menerangi suatu ruang, waktu suatu cahaya dapat menerangi suatu ruang, serta adanya suatu barang yang peka terhadap sinar matahari merupakan beberapa persyaratan yang harus diperhatikan dalam perencanaan pencahayaan buatan yang berpedoman pada perencanaan pencahayaan.

Perencanaan Pencahayaan Buatan Pada Interior Ruang Kelas, selengkapnya.

Gagal Gaul Sebuah Karya Kontemporer

Oleh: I Ketut Sutapa, dosen pada Jurusan Seni Tari ISI Denpasar.

Masyarakat masa depan yang penuh resiko mengalihkan pemikiran manusia bukan kepada masa lalu tetapi ke masa depan. Masyarakat masa depan yang penuh resiko, berorientasi kepada masa depan, sebagai masa depan yang telah diperhitungkan hal-hal yang mungkin terjadi (calculate tisk). Masyarakat masa depan yang digambarkan selalu dipertanyakan mengenai, bagaimana kita harus hidup menghidupi masa depan/ Apakah kita telah menyimak secara seksama apa yang akan terjadi di masa depan, maka sekurang-kurannya kita mempunyai pegangan hidup secara mantap untuk menghadapi masa depan yang lebih baik. Dapat kita ambil contoh, misalnya, mengenai masyarakat masa depan yang penuh resiko ialah: apakah resiko tersebut merupakan kenyataan faktual atau moral? Yang jelas, pertanyaan mengenai masyarakat masa depan yang penuh resiko tersebut haruslah merupakan suatu pertanyaan moral karena hal ini berkaitan dengan visi masyarakat masa depan yang kita inginkan. Ada yang beranggapan bahwa masyarakat masa depan dapat dikalkulasikan secara matematis artinya menghitung resiko yang akan terjadi, yang akan dipikul karena keputusan yang diambil pada masa kini.

Masyarakat masa depan yang penuh resiko menyajikan konsekuensi-konsekuensi kehidupan yang akan dihadapi namun tidak diinginkan. Dengan mengetahui konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan berarti kita memprediksikan hal-hal yang tidak diinginkan akan terjadi di masa depan atau sekurang-kurangnya, kita dapat mengurangi resiko negatif yang dapat terjadi karena keputusan yang diambil pada masa kini, kehidupan yang akan dihadapi yang tidak diinginkan. Bicara mengenai resiko berarti mempersoalkan mengenai apa yang seharusnya tidak boleh kita perbuat, dan bukan apa yang harus diperbuat. Pandangan ini kelihatannya pandangan yang negatif namun sebenarnya hanyalah memperlihatkan kepada kita mengenai kehati-hatian dalam mengambil keputusan masa kini karena konsekuensinya di masa depan yang tidak kita harapkan.

Kita semua mengetahui keadaan di Indonesia saat ini adanya krisis yang melanda bangsa masih terus terasa meskipun telah ada tanda-tanda kebangkitan di dalam sektor ekonomi dan keuangan. Tetapi keterpurukan yang lebih parah adalah keterpurukan moral.  Bahkan penyakit tersebut semakin mengganas karena juga merongrong kehidupan dan keteraturan hidup bersama, yaitu krisis hukum, sejak krisis moneter 1997 menunjukkan adanya kerapuhan moral dari pribadi warga negara Indonesia. kemerosotan moral tersebut menunjukkan ada sesuatu yang kurang di dalam sistem pendidikan. Oleh sebab itu, pembaruan pendidikan merupakan tanggung jawab moral dari bangsa Indonesia untuk melihat kembali, menyusun kembali, dan mencari jalan untuk memperbaiki sistem pendidian  agar dapat dihasilkan  warga negara yang cakap, terampil,  bermoral, dan bertanggung jawab (Tilaar, 2004: 335).

Karena yang terjadi sekarang, saat ditengah terpaan globalisasi dan kebutuhan material yang membumbung tinggi, banyak orang tua dari keluarga sederhana dan pendidikan pas-pasan yang kehilangan semangat hidup atau terjerumus melakukan tindakan nista untuk bertahan hidup, berdagang narkoba, menjual diri, dan bahkan membunuh (Murgiyanto, 2004:11).

Penciptaan karya seni bertujuan untuk mengangkat fenomena masyarakat sejak krisis moneter 1997 yang melanda bangsa kita masih terus terasa meskipun telah ada tanda-tanda kebangkitan di dalam sektor ekonomi dan keuangan. Tetapi keterpurukan yang lebih parah adalah keterpurukan moral. Bahkan penyakit tersebut semakin mengganas karena juga merongrong kehidupan dan keteraturan hidup bersama, yaitu krisis hukum. Pada kesempatan ini saya mencoba mencari solusi untuk memberikan penyadaran akan nilai-nilai luhur yang ada di masyarakat melalui penggarapan sebuah karya yang tidak lagi semata-mata sebagai hiburan belaka.

Gagal Gaul Sebuah Karya Kontemporer, selengkapnya.

Nilai Ajaran Inkarnasi Dalam Lakon Purbosejati

Nilai Ajaran Inkarnasi Dalam Lakon Purbosejati

Oleh: I Nyoman Murtana

NakulaPertunjukan wayang sering dikatakan memiliki nilai adiluhung. Nilai ini mungkin dibangun oleh banyak faktor yang terdapat pada seluruh unsur per tunjukan wayang yakni bahasa, rupa, suara, dan gerak sebagai sarana eks-presi.  Diduga, bahwa salah satu nilai yang turut membangun keadiluhung-an pertunjukan wayang adalah ekspresi religius yaitu ungkapan rasa sujud kepada Tuhan melalui sikap dan prilaku tertentu yang dapat diinderakan melalui ujaran dan tindakan. Nilai ini juga terdapat dalam Lakon Purba Sejati yang melukiskan proses penitisan Rama pada Kresna. Istilah peni-tisan menimbulkan dugaan, bahwa dalam lakon ini terdapat nilai ajaran in-karnasi. Jika dugaan ini benar, maka nilai-nilai ajaran inkarnasi merupakan salah satu unsur yang turut andil membangun nilai adiluhung.

Di sisi lain nilai adiluhung pertunjukan wayang mulai dipertanyakan aktualitasnya, karena kini tata nilai yang dianut oleh sebagian masyarakat cenderung bergeser menuju nilai-nilai secular. Hal ini menyebabkan nilai keadiluhungan terpojok. Penganutnya yaitu para generasi tua telah kehabis-an energi dan kehilangan rasa percaya diri untuk mempertahankan.  Nilai-nilai keagamaan yang terkandung dalam lakon wayang tidak lagi dipahami dan diyakini sebagai landasan filosifi proses berfikir, berujar, dan bertindak, meskipun wayang telah berada pada tataran budaya “adiluhung”.  Permasa-lahannya, bahwa nilai keadiluhungan pertunjukan wayang yang telah mele-wati proses perumitan (sophisticated process) tidak sepenuhnya dapat mem-beri kontribusi langsung terhadap sakralitas kehidupan masyarakat masa ki-ni yang modern, berwawasan ke depan, terbuka, maju dan rasional, karena masyarakat tanpa sadar telah melangkah menuju dunia profan. Pemicunya antara lain pola hidup konsumtif yang cenderung menghamba pada dunia materi yang dapat menyeret kehidupan dalam proses sekularisasi.Akibat-nya, nilai-nilai seni adiluhung sebagai salah satu wujud kebudayaan ideal terabaikan. Hal ini terkait dengan penemuan dan inovasi kreatif para dalang dalam menyajikan pertunjukan wayang yang dari masa ke masa menun-jukkan proses sekularisasi yang antara lain didorong oleh daya “komersial”. Ini merupakan salah satu pengaruh inovasi dan penemuan kebudayaan ma-teriil (bandingkan Ogburn dalam Johnson, 1994:112).

Kesenjangan kebudayaan materiil dan kebudayaan non-materiil yang transenden berefek pada sebagian masyarakat pengagum nilai-nilai religiusi tas pertunjukan wayang. Mereka kehilangan pegangan hidup yang dapat memperlemah mentalitas budaya. Bagi yang tidak tahan segera mencari pe-gangan lain, meskipun kurang memberi dasar keyakinan yang mantap. Ke-adiluhungan sebagai nilai substantive terkadang masih diupayakan guna mencari tumpuan sesaat, pencerahan sesaat sebagai penghias skeptisisme, sambil melirik berbagai alternatif yang fungsi sosialnya lebih menguntung-kan. Akibatnya pertunjukan wayang tidak lagi mampu menegakkan reputa-sinya sebagai seni adiluhung dan sebagai sumber pencarian nilai-nilai (Amir,1991; Hassan,1977:42), karena telah terperangkap sebagai seni hibur an. Berbeda dengan situasi pada masa lalu, bahwa dalang selain seorang se-niman, juga seorang pendeta atau guru spiritual yang unggul (Mulyono, 1974:76; Covarrubias, 1977:237; Clara van Groenandael, 1987:304). Ini mengindikasikan, bahwa pada saat itu pertunjukan wayang merujuk pada tatanan ideal yang stabil. Masyarakat stabil memiliki pandangan hidup bu-daya yang dominan berdasarkan kenyataan sosial yang absolut. Berbeda dengan masyarakat pluralistik dimana struktur sosial mudah berubah, ber-kembang berbagai pandangan hidup, dan pola-pola budaya kompetitif yang sekaligus berarti penyediaan aneka alternatif bagi masyarakat (Johnson, 1994:12). Indikasi ini juga melanda dunia pewayangan (baca: dalang, pe-nonton, patronase).

Naskah Lakon Purba Sejati yang disusun Mujaka Jakaraharja jauh dari suasana vulgar. Ia berisi nilai-nilai adiluhung yang terkait dengan ke-percayaan. Selain itu Mujaka Jakaraharja tergolong dalang apik yang serius (Murtiyoso, wawancara tanggal 13 Mei 2005). Lagi pula, situasi pedalangan pada waktu dia masih hidup (dia wafat di panggung saat mendalang pada tahun 1992 di Tawangmangu), belum mengalami disparitas bentuk dan re-duksi isi seperti pada era “Pantap dan Reformasi”. Ini adalah satu aspek yang menggugah peneliti untuk menelaah signifikansi nilai ajaran inkarnasi Lakon Purba Sejati susunannya.

Nilai Ajaran Inkarnasi Dalam Lakon Purbosejati, selengkapnya:

Aspek Sejarah Ornamen Tradisi Bali

Aspek Sejarah Ornamen Tradisi Bali

Oleh Drs. I Made Radiawan, Ap.Des, M.Erg

Dalam sejarah perkembangan ornament Bali sangat berhubungan dengan:

Kakul-kakulan

Kakul-kakulan

Aspek kehidupan beragama di Bali, karenanya agama hindu berkaitan dengan budaya yang ada di daerah Bali yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam kehidupan beragama muncul adanya aktivitas-aktivitas dalam kehidupan seperti berkesenian. Aktivitas tersebut adalah dengan adanya upacara yadnya.  Pada proses upacara tersebut dibarengi dengan alat-alat upacara diwujudkan  yang seindah-indahnya. Sebagai contah dengan dibuatnya sesajen/banten yang seindah-indahnya untuk dihaturkan kepada Tuhan/ Ida Sanghyang Widi Wasa selama upacara tersebut berlangsung. Pada bangunan (pelinggih) yang ada diareal Pura dibuatlah ornament/motip baik itu keketusan, pepatraan dan kekarangan yang beraneka ragam  sebagai wujud bakti kepada Ida Sanghyang Widi Wasa.

Aspek  benda-benda sejarah,  Daerah Bali sangat potensi  penemuan benda-benda sejarah. Seperti didesa Pejeng seperti nekara pejeng yang berupa nekara perunggu yang ditempatkan di Pura Penataran Pejeng, nekara terhiasakan ornament tatahan topeng, diperkirakan umurnya 1500 tahun, juga ditemukan relief di Yeh Pulu, Goa Gajah, Gunung Kawi, Patung Dewi di desa Kuteri Blahbatuh, arca dipupr Puseh Batuan, Pura Puncak Penulisan, Pusering Jagat.

Aspek masa pemerintahan raja-raja di Bali,  begitu pada masa Bali Age, Bali diperintah oleh para arya dari Majapahit  tahun 1343 Masehi. Pusat kerajaan semula di Samplangan Gianyar dengan rajanya Sri Kresna Kepakisan sebagai Dalem pertama di Bali, dan pindahlah ke Klungkung Dalem Waturenggong sebagai rajanya, berpusatnya kebudayaan dan kesenian berada di kerajaan Gelgel, yaitu di kab Klungkung, terbukti adanya gambar wayang yang tertera di langit-langit  bangunan kertagosa. Pada masa kerajaan seniman mengabdi di istana dan mempersembahkan berbagai karya-karya indah yang diterapkan pada bangunan di Pura dan Puri.  Kegiatan  dalam menghias pada masa kerajaan di Gelgel banyak bidang yang bermunculan  yaitu ragam hias tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia. Seniman mempersembahkan ornament  pada bangunan Puri seperti dipahatkan pada pintu-pintu, pilar dan tembok  bangunan seperti pepatraan, keketusan dan kekarangan (flora fauna).

Pada jaman Kolonial, dapat pengaruh dari luar dengan berbagai motip dan teknik seperti disebutkan patra  Olanda, patra Cina dan patra Mesir.

Loading...