M

Tentang ISI Bali

Sejarah

Pengantar

Akreditasi

Visi dan Misi

Struktur Organisasi

SAKIP

JDIH

Penghargaan

PPID

Green Metric

Pendidikan

Fakultas Seni Pertunjukan (FSP)

Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD)

Pascasarjana

Program Internasional

Alumni

Penelitian

Penelitian, Penciptaan dan Diseminasi Seni dan Desain (P2SD)

Penelitian Disertasi (PDD)

Penelitian Kompetisi Nasional

Penelitian Kerja Sama

Pengabdian

Bali Citta Swabudaya (BCS)

Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)

Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Pusat

Perbaikan Data Based Akses ke Jaringan ISI Denpasar Terpadu (JISTA)

Nomor : 056 /I.5.14/TP/2009 Tanggal 20 Januari 2010

Hal : Perbaikan data akses ke JISTA

Yth : Bapak/Ibu dan segenap civitas akademika

di –

Tempat

Dengan hormat,

Dalam rangka penambahan layanan Jaringan ISI Denpasar Terpadu (JISTA), menindak lanjuti instruksi Rektor pada saat rakerda ISI Denpasar tanggal 7 dan 8 desember 2009, dan sekaligus mengantisipasi pelaksanaan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), maka UPT Puskom akan memperbaiki sistem akses pada Jaringan ISI Denpasar Terpadu (Jista).

Perbaikan databased akan dimulai dari databased akses ke jaringan, dengan demikian maka username pasword lama akan kami reset/hapus pada tanggal 31 Januari jam 00 WITA. Kepada seluruh penguna layanan Hotspot diminta untuk melakukan registrasi ulang dengan mendownload form dialamat http://help.isi-dps.ac.id/index.php?action=artikel&cat=12&id=2&artlang=id atau mengambil langsung aplikasinya ke gedung UPT PUSKOM Lt.2.

Oleh karenanya kami mohon bapak/ibu dan segenap civitas akademika yang mempunyai/memanfaatkan fasilitas hotspot untuk segera mengganti username dan paswordnya sebelum tanggal 1 februari 2010.

Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya disampaikan terima kasih.

Kepala UPT PUSKOM,

Hendra Santosa, SS.Kar., M.Hum

NIP. 196710311992031001

Tembusan :

  1. Rektor sebagai laporan

  2. Arsip

Perkembangan Fungsi Suling Dalam Komposisi Kekebyaran

Perkembangan Fungsi Suling Dalam Komposisi Kekebyaran

Oleh: I Gede Yudarta, SSKar., M.Si (Dosen PS. Seni Karawitan)

Gamelan Gong KebyarMengamati perkembangan seni karawitan Bali khususnya seni karawitan kekebyaran dewasa ini, telah terjadi pergeseran atau perubahan fungsi beberapa instrumen yang terdapat dalam barungan gamelan gong kebyar. Salah satu perubahan tersebut adalah semakin berkembangnya fungsi instrumen suling dalam barungan gamelan tersebut.

Suling sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Musik adalah flute tradisional yang umumnya terbuat dari bambu (Banoe, 2003:). Secara fisik, suling yang terbuat terbuat dari bambu memiliki 6-7 lobang nada pada bagian batangnya dan lubang pemanis (song manis) pada bagian ujungnya. Sebagai salah satu instrumen dalam barungan gamelan Bali, terdapat berbagai bentuk ukuran dari yang panjang, menengah dan pendek. Dilihat dari ukurannya tersebut, suling dapat dibedakan jenisnya dalam beberapa kelompok yaitu: Suling Pegambuhan, Suling Pegongan, Suling Pearjan, Suling Pejangeran dan Suling Pejogedan (Suharta, 2005:16). Dari pengelompokan tersebut masing-masing mempunyai fungsi, baik sebagai instrumen pokok maupun sebagai pelengkap. Penggunaan suling sebagai instrumen pokok biasanya terdapat pada jenis barungan gamelan Gambuh, Pe-Arjan, Pejangeran dan Gong Suling. Sedangkan pada beberapa barungan gamelan lainnya termasuk gamelan gong kebyar suling berfungsi sebagai instrumen ”pemanis” lagu dan memperpanjang suara gamelan, sehingga kedengarannya tidak terputus (Sukerta, 2001:215). Dalam fungsinya itu, suling hanya menjadi instrumen pelengkap dalam arti bisa dipergunakan ataupun tidak sama sekali.

Sebagai salah satu alat musik tradisional, suling tergolong alat musik tiup (aerophone) dimana dalam permainan karawitan Bali dimainkan dengan teknik ngunjal angkihan yaitu suatu teknik permainan tiupan suling yang dilakukan secara terus menerus dan memainkan motif wewiletan yang merupakan pengembangan dari nada-nada pokok atau melodi sebuah kalimat lagu.

Terkait dengan fungsi suling dalam seni karawitan kekebyaran, hingga saat belum diketahui secara pasti kapan instrumen suling masuk sebagai bagian barungan gamelan tersebut. Munculnya gamelan gong kebyar sebagai salah satu bentuk ensambel baru dalam seni karawitan Bali pada abad XIX, tidak dijumpai adanya penggunaan suling dalam komposisi-komposisi kekebyaran yang diciptakan. Penyajian komposisi ”kebyar” yang dinamis, menghentak-hentak serta pola-pola melodi yang ritmis tidak memungkinkan bagi suling untuk dimainkan di dalamnya. Sebagai salah satu contoh, dalam komposisi ”Kebyar Ding”, yang diciptakan pada tahun 1920-an tidak terdengar tiupan suling. Ini dapat dijadikan salah satu indikator bahwa pada awal munculnya gamelan gong kebyar, suling masih berfungsi sebagai instrumen sekunder dan belum menjadi bagian yang penting dalam sebuah komposisi.

Sebagai salah satu tonggak penting perkembangan fungsi suling dalam komposisi kekebyaran, dapat disimak dari salah satu komposisi yaitu Tabuh Kreasi Baru Kosalia Arini, yang diciptakan oleh I Wayan Berata dalam Mredangga Uttsawa tahun 1969, dimana dalam komposisi tersebut mulai diperkenalkan adanya penonjolan permainan suling tunggal. Terjadinya perkembangan fungsi suling tersebut merupakan salah satu fenomena yang sangat menarik dimana suling yang pada awalnya memiliki fungsi sekunder yaitu instrumen pendukung, berkembang menjadi instrumen primer yaitu instrumen utama.

Sebagaimana terjadi dalam perkembangan komposisi tabuh kekebyaran saat ini, suling memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan komposisi kekebyaran dimana melodi yang dimainkan tidak hanya terpaku pada permainan laras pelog lima nada, namun oleh para komposer sudah dikembangkan sebagai jembatan penghubung hingga mampu menjangkau nada-nada atau melodi menjadi lebih luas melingkupi berbagai patet seperti tembung, sunaren bahkan mampu memainkan nada-nada selendro. Dari pengembangan fungsi tersebut komposisi tabuh kekebyaran yang tercipta pada dua dekade belakangan ini menjadi lebih inovatif dan kaya dengan nada atau melodi.

Adanya pengembangan fungsi instrumen suling dalam komposisi kekebyaran terkadang menimbulkan fenomena yang lebih ekstrim dimana dalam sebuah karya komposisi instrumen ini muncul sebaga alat primer dan vital, tanpa kehadiran instrumen tersebut sebuah komposisi tidak akan dapat dimainkan sebagaimana mestinya.

Fenomena Dibalik  Kejayaan Gong Kebyar: Khususnya Gong Kebyar Gaya Buleleng

Fenomena Dibalik Kejayaan Gong Kebyar: Khususnya Gong Kebyar Gaya Buleleng

Oleh: Pande Made Sukerta

Odalan GamelanDalam percaturan karawitan Bali, baik pertemuan yang berbentuk sarasehan maupun seminar atau yang sejenis, belum ada yang menjelaskan dimana dan kapan Gong Kebyar diciptakan. Memang selalu dikatakan bahwa Gong Kebyar dilahirkan di Buleleng yang informasinya merujuk dari tulisan Colin Mc Phee dalam bukunya Music In Bali (1966 : 328) mengatakan bahwa tahun 1915 Gong Kebyar digunakan mebarung di Desa Jagaraga, Buleleng. Selanjutnya informasi tersebut digunakan sebagai acuan dan malahan lebih dikembangkan lagi sehingga dikatakan bahwa Gong Kebyar muncul di Buleleng tahun 1915. Informasi yang lain dikatakan bahwa Gong Kebyar  lahir di Desa Bungkulan. Almarhum I Nyoman  Rembang (1977 : 4) juga mengatakan bahwa kemunculan Gong Kebyar sesudah zaman penjajahan, maka tidaklah mustail kalau ada kecenderungan para analisis berpendapat bahwa inspirasi yang membangkitkan ide Gong Kebyar ada hubungannya dengan masuknya kebudayaan yang dibawa masuk oleh penjajah. Tetapi benar atau tidaknya persoalannya demikian, belumlah dapat dipastikan. Dari beberapa informasi tersebut belum memberikan gambaran kapan dan dimana Gong Kebyar lahir. Informasi tentang kelahiran Gong Kebyar sangat perlu diinformasikan kepada masyarakat luas, meskipun belum selengkap seperti yang diharapkan.

Permasalahan yang lain adalah krisisnya kehidupan Gong Kebyar Gaya Buleleng saat sekarang. Pengamatan ini hampir dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Buleleng khususnya dan Bali umumnya sehingga berdampak hilangnya gayagaya Gong Kebyar yang pernah hidup dan berkembang pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu sekitar 1970-an. Adanya krisis kehidupan Gong Kebyar di Bali, kemudian muncul  keseragaman yang dapat diamati pada setiap festival Gong Kebyar pada even  Pesta Kesenian Bali (PKB) yang diselenggarakan setiap tahun sekali.  Berdasarkan analisa, munculnya keseragaman Gong Kebyar dalam Festival Gong Kebyar pada Pesta Kesenian Bali (PKB) disebabkan adanya pergeseran tuntutan seniman dan Pemerintah Daerah Buleleng untuk memperoleh juara dengan cara “apa pun”, di antaranya dengan menggunakan pelatih serta menyajikan karya-karya yang disusun seniman dari daerah lain yang sering memperoleh juara. Hal seperti ini patut disayangkan karena berdampak kurang menguntungkan bagi kehidupan kesenian di Bali. Sekeha-sekeha Gong Kebyar dari Buleleng yang tampil dalam PKB sebagai duta Kabupaten Buleleng tidak luput dari virus keseragaman ini. Munculnya keseragaman Gong Kebyar di Bali, kiranya tidak perlu menyalahkan perorangan, kelompok atau instansi yang penting bagaimana cara menyikapinya.

Kedua permasahan tersebut mempunyai sifat yang berbeda, yaitu permasalahan pertama merupakan informasi tentang kelahiran Gong Kebyar  yang diperoleh dari hasil penelitian. Dalam hal ini informasi kelahiran sangat penting diketahui bersama karena dengan memahami sejarah akan lebih mantap melakukan pelestarian. Permasalahan kedua merupakan masalah kehidupan yang dialami Gong Kebyar Gaya Buleleng yang sangat memprihatinkan sehingga perlu dicarikan solusinya. Dengan mengetahui perkembangan Gong Kebyar Gaya Buleleng juga akan lebih mantap melakukan pelestarian.

Fenomena Dibalik  Kejayaan Gong Kebyar : Khususnya Gong Kebyar Gaya Buleleng, unduh selengkapnya.

Tri Hita Karana A Conception In Conducting Balinese Arts

By: I Made Marjaya

Art is one of seven culture elements that show the identity of a nation because it has special characteristic which is bringing an unique experience that improve by its own and stay save inside the artist that create it (Soedarso, 1990:63)

An art is also the ancestor’s idea, sense and intention results which are inherited from generation to generation since the human civilization exist. Balinese art that inspired by Hindu always improves in accordance to the development of the society that supports it. An art is created to keep the balance of live based on Hindu, and also convinced has power to attract every one to enjoy it. The basic power in conducting art thing is beauty or known as ethics. Every creation of art is always base on ethics (act value), logic (truth value), and aesthetics (beauty value). Also in creating an art thing must fulfill three elements which are satwam (truth), siwam (greatness) and sundaram (beauty).

Art is the expression of human soul which implemented in art form which are classified into four main groups which are art of performing, fine art, art of media recording and art of literature. The art of performing has meaning an art that the expression conducted by performing acts because the art moves on space and time. That is way it called only temporary art, an art that is not durable and gone when the art has already been performed. An art of performing covers art of dancing, art of music, martial art and art of drama. Fine art has meaning an art that the expression fall into two or three dimensions, and the art form has a visualization and static characteristic. Fine art included art of painting, sculpture, art of graphic, artistic skill, advertisement art, architecture art and decoration art. Art of media recording is audio-visual art and the realization is the existence of recording art. Media recording art covered film, video and audio computer art. Art of literature is writing work, if compared to other writing work, has various characteristics of superiority like authenticity, artistic, transferred in contents and the expression. Art of literature covers novel, short story, epic, lyrics and also recitation art (Bandem, 1996:1)

An art also has wide and limited meaning. In wide meaning it is an art that related to the human skill such as writing a poem, making shoes, or predict the incoming of sun eclipse. Further more the art in limited meaning is used in a special class of skill includes the product called the fine arts such as art of painting, art of music, art of dancing, shadow play puppetry art, architecture art etc (Marajaya, 2004:11)

For Balinese society, performing an art is a tribute (yadnya), which can be offered to the God (Ida Sanghyang Widi), and for the physical needs, so that through an art a person can be prosperous. Therefore wherever they are and whatever they do, the balance of live concept will always become the main basic. According to the philosophy and logical in prakempa manuscript, the human balance of live concept can be materialized into several dimensions such are:

(1) The human balance of live in single dimension, is the balance of live based on mokshartam jagaddhitaya ca iti dharma philosophy; (2) The human balance of live in dualistic dimension, which is believe of two massive powers like bad and good, night and noon, man and woman, north and south, real and illusion etc; (3) The human balance of live in third dimension, which is believe to the existence of three elements of life such as tri murti, tri loka, tri aksara, tri sakti etc; (4) The human balance of live in fourth dimension, which is believes to the four powers of life such as catur lokapala, catur asrama, catur purusa arta etc; (5) The human balance of live in fifth dimension, which is believes to the existence of five powers of life, panca mahabhuta, panca sradha, panca yadnya etc; (6) The human balance of live in sixth dimension such as sadripu, sad rasa etc; (7) The human balance of live in seventh dimension, which is the human balance of live that believed to the seven conceptions, such as sapta wara, sapta loka etc; (8) The human balance of live in eighth dimension, which is the human’s believe to the eight powers such as asta iswarya; (9) The human balance of live in ninth dimension, is that human must believe with the existence of nine elements in balance such as dewata nawa sanga; (10) The human balance of live in tenth dimension, which is believe to the existence of ten elements in balance such as dasa aksara (Bandem, 1986:11).

Tri Hita Karana A Conception  In Conducting Balinese Arts, download.

Musical Influence In Bali And Java

By I Nyoman Windha

The origins of Balinese gamelan are somewhat mysteries as there are few written records existing regarding very early forms of gamelan. From temple reliefs and existing ancient bronze drums, we can see strong early influences from China, mainland Southeast Asia and, in particular, India. In the first century A.D., Hinduism came to Java from India, along with Buddhism. These were the predominant religions in Java up to the fifteenth century, when Islam spread inland from the north coast, having traveled from Sumatra, where it had established its first strongest presence, dating back to the twelfth century A.D. To this day, Indonesian Islamic culture, particularly music, is strongest in Sumatra, particularly in the northernmost province of Aceh.

In Java persisting evidence of the path of adoption of Islam can be found in the fact that the strongest Muslim cultural layer of Central Java remains on the north coast. One popular musical genre there is the gambusan, in which four or more veiled girls sing Muslim songs, mostly in Arabic, accompanied traditionally by four tambourines, a flute (suling), and a small drum. Larger modern forms of this ensemble my additionally include four violins, a clarinet, an accordion and a gambus, which is a pear-shaped plucked lute said to have been brought long ago from the Persian-Arabic area to Pekalongan on the north coast, and to other strongly Muslim areas such as Minangkabau.

In Java, the Islamic influence on gamelan can be found in Gamelan Sekaten, the largest and loudest in Java. This ancient gamelan form is played once a year in an important ceremony. The gamelan is said to have been created by Java’s first Muslim prince in the early sixteenth century. He had built two enormous gamelan in the hope of attracting the largely Hindu population to the new Islamic faith. He ordered this large gamelan to play continuously for a week in his newly built court mosque, during the celebration of Mohammed’s birth, the Sekaten Festival. This festival still takes place every year with the gamelans at the great mosques of Surakarta and Yoygakarta.

Another important performing arts tradition descending from Arabic culture is the Qasidah. Qasidah is a classical Arabic word for epic religious poetry, traditionally performed by a storyteller-singer, accompanied by percussion and chanting. In Indonesia, Muslims practice their own versions of this by improvising lyrics in local languages that address contemporary moral issues and concerns. A modern version of Qasidah is popular. It is a pop-song form using modern western instruments, and rhythms and melodies from the popular Dangdut form which in turn borrows them from Arabic pop songs.

Current Balinese culture traces origins back through Java to India. In Java, the last great Hindu kingdom, called Majapahit, fell to Muslim rulers around 1500. Today, nearly ninety percent of Java’s population is Muslim, but the traditional arts of gamelan, dance, and theatre all have their roots in the older Hindu-Buddhist culture. In the late fifteenth century the Hindu Javanese Majapahit Empire fell to Muslim rulers. At this time, many of the Javanese princes fled eastwards across the narrow strait to Bali, taking with them their priests, dancers and musicians. To this day the Balinese religion is a unique blend of Hinduism and traditional Balinese beliefs.

In both Java and Bali gamelan music is inseparable from the arts of poetry, dance and drama. A gamelan player will be familiar with dance movements and poetry and many dancers are quite at home sitting in the gamelan. There is a very strong interrelation among different art forms, as exemplified by a tight interweaving with musical gesture and dance movement. This high degree of interrelation is signified further by the large amount of crossover for artists between different art forms. Beyond the fact that dancers and musicians can often perform competently, and even virtuosically, in either realm, musicians are often painters and wood carvers and the reverse is true also. The gamelan is rarely played on its own without accompanying dance or puppetry. Like many other Southeast Asian ensembles, it is closely linked to the theatre.

One of the most popular forms of theater in Java and Bali is wayang kulit. The wayang was originally associated with ancestor worship in the pre-Hindu era, but later adopted the Hindu stories of the Ramayana and Mahabharata, which have formed the basis of Javanese and Balinese dance and theatre for over a thousand years.

Loading...