M

Tentang ISI Bali

Sejarah

Pengantar

Akreditasi

Visi dan Misi

Struktur Organisasi

SAKIP

JDIH

Penghargaan

PPID

Green Metric

Pendidikan

Fakultas Seni Pertunjukan (FSP)

Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD)

Pascasarjana

Program Internasional

Alumni

Penelitian

Penelitian, Penciptaan dan Diseminasi Seni dan Desain (P2SD)

Penelitian Disertasi (PDD)

Penelitian Kompetisi Nasional

Penelitian Kerja Sama

Pengabdian

Bali Citta Swabudaya (BCS)

Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)

Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Pusat

Kesenian Ching Pho Ling Di Daerah Purworejo Jawa Tengah Cerminan Budaya Pisowanan

Oleh: Nanik Sri Prihatini (Dosen Jurusan Tari dan pada Program Pascasarjana ISI Surakarta)

Purworejo secara administrasi merupakan salah satu daerah kabupaten di Propinsi Jawa Tengah bagian selatan. Kabupaten Purworejo menurut Koen-tjaraningrat termasuk ke dalam wilayah  budaya Bagelen yang kaya dengan seni pertunjukan rakyat. Bagelen pada abad XVIII menjadi wilayah Mata-ram yang disebut wilayah Negaragung, daerah inti kerajaan yang langsung diperintah dari pusat kerajaan (Djuliati, 2000:12). Kekayaan seni pertujukan rakyat di daerah Bagelen ditandai dengan adanya berbagai bentuk seni per-tunjukan yang masih hidup dan berkembang di daerah tersebut. Setidaknya ada kurang lebih 30 bentuk seni pertunjukan rakyat yang berupa tari, musik dan teater.

Dilihat dari bentuk pertunjukannya, seni pertunjukan rakyat di dae-rah Purworejo nampaknya dilatarbelakangi oleh kondisi dan fenomena se-tempat yang pernah terjadi pada masa lalu. Dengan kata lain bahwa keseni-an rakyat yang hidup dan berkembang di daerah Purworejo merupakan re-presentasi atau pengungkapan peristiwa masa lalu ke dalam suatu wujud ke-senian. Peristiwa masa lalu yang pernah terjadi di daerah Purworejo di antaranya pada masa terjadinya perang Dipanegara melawan kolonial pada tahun 1825-1830, pengaruh kekuasaan kerajaan Mataram Baru dan masuk-nya agama Islam. Realitas tersebut digarisbawahi oleh Sedyawati (1995: 1), di antaranya bahwa bentuk seni pertunjukan yang membawa pesan ke-Islam an telah berlangsung turun-menurun dan mempunyai masyarakat pendu-kung di tiap-tiap daerahnya. Nuansa ke-Islam-an tercermin dengan diguna-kannya instrumen terbang (rebana), jidur atau bedug kecil dan lagu-lagu yang disajikan dengan bahasa Arab. Pengaruh perang Dipanegara tercermin pada tema keprajuritan serta bentuk sajian dengan pola lantai berbaris, ge-rak, busana, dan peralatan tari yang digunakan. Seni pertunjukan rakyat yang berkembang di daerah ini pada umumnya disajikan secara kelompok dan hampir semuanya menggunakan pola lantai berbaris.

Ada sembilan bentuk seni pertunjukan rakyat yang sampai sekarang masih hidup dan berkembang di daerah Purworejo, adalah: Dolalak, Ching Pho Ling, Kobrosiswa, Kuda Kepang, Kuntulan, Madya Pitutur, Samanan, Kemprang, dan Slawatan. Dari bentuk-bentuk yang telah disebutkan, Dola-lak merupakan salah satunya yang paling berkembang, kondisi ini ditandai dengan jumlah kelompok atau perkumpulan Dolalak yang ada. Eksistensi saat ini, kesenian Dolalak disajikan oleh penari-penari perempuan yang sebelumnya selalu disajikan oleh penari laki-laki. Saat ini tercatat kurang lebih 120 kelompok Dolalak wanita tersebar di seluruh wilayah Purworejo. Untuk itu Dolalak di Kabupaten Purworejo dijadikan sebagai kesenian ung-gulan.

Keberadaan Dolalak yang menjamur sangat berbeda apabila diban-dingkan dengan seni pertunjukan Ching Pho Ling yang keberadaannya sa-ngat memprihatinkan. Kesenian Ching Pho Ling yang pernah hidup di bebe rapa tempat di wilayah Purworejo seperti di Kecamatan Kaligesing, Keca-matan Bagelen, saat ini hampir punah dan satu-satunya yang masih hidup terdapat di Desa Kesawen, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo.

Mataram Baru merupakan sebuah kekuasaan politik yang berpusat di daerah Yogyakarta, dan sejak awal abad XVII mulai menguasai Pulau Jawa. Wilayah kekuasaan Mataram merupakan lingkaran-lingkaran konsen-tris yang berpusat di keraton, tempat kediaman raja dan tempat ibukota kera-jaan. Konsentris pertama disebut kutagara, ibukota kerajaan, adalah tempat pengaruh raja yang paling kuat. Konsentris kedua adalah negaragung, wi-layah yang disediakan bagi lungguh (tanah yang disediakan atau dipinjam kan sebagai sarana nafkah) para kerabat dan pejabat kerajaan. Adapun konsentris ketiga disebut daerah mancanagari, jabarangkah dan pasisiran yang diperintah oleh seorang bupati kepala daerah

Konsentris kedua yang disebut daerah nagaragung biasanya di bawah wewenang seorang wadana yang disebut wadana jaba. Bagelen merupakan salah satu daerah negaragung yang tidak dipimpin oleh seorang wadana jaba tetapi oleh Demang Adipati. Untuk itu wewenang daerah Bagelen dikuasai oleh beberapa orang demang. Para demang ini bertugas mengurus masalah pajak serta masalah-masalah umum yang berada di kawasan wila-yahnya. Para demang biasanya bertanggung-jawab kepada para Patuh, yaitu pejabat dan kerabat kerajaan yang menguasai lungguh. Para patuh sebagai golongan priyayi atau sentana merupakan orang yang menerima lungguh pada umumnya tinggal di ibukota kerajaan dan tidak mengelola sendiri tanah mereka. Mereka menyerahkan pengelolaan lungguhnya kepada para demang setempat.

Dalam suatu sistem feodal seperti Mataram yang pada masa itu be-lum banyak mengembangkan ekonomi uang, untuk menggaji pegawai atau-pun memberi tunjangan kepada keluarga raja pada umumnya diberikan tunjangan dalam bentuk tanah, yang kemudian tanah garapan untuk nafkah tersebut disebut dengan nama tanah lungguh. Para penerima lungguh oleh para raja selanjutnya juga diberikan wewenang untuk menarik pajak atau hasil atas tanah lungguh. Tanah lungguh bagi para priyayi (pejabat keraja-an) dapat bersifat sementara, artinya hak untuk memungut pajak hanya da-pat dilakukan selama si penerima lungguh menjabat. Ada pula tanah lung-guh yang bersifat permanen, biasanya diberikan kepada keluarga raja, dan para sentana yang dikasihi oleh raja. Tanah lungguh yang kedua disebut tanah ganjaran atau tanah pusaka yang dapat dimiliki secara turun-temurun (Djuliati, 2000:51).

Kesenian  Ching  Pho  Ling  Di  Daerah  Purworejo Jawa Tengah  Cerminan Budaya Pisowanan, selengkapnya.

Respons Emotional Well-Being Dalam Laras Gamelan Jawa

Oleh Djohan (Dosen Musik pada Institut Seni Indonesia Yogyakarta)

Dalam kehidupan sehari-hari, hampir bisa dipastikan setiap orang pernah mengalami perasaan nyaman atau tidak nyaman. Baik melalui hubungan interpersonal dalam lingkungan keluarga, tempat kerja, atau tempat tinggal. Persinggungan bermacam orang dengan watak, kepribadian, budaya, dan perilaku yang berbeda, sangat memungkinkan terjadinya gesekan-gesekan yang dapat memicu perilaku emosional. Sebagai akibatnya, frekuensi ke-nyamanan tentu akan membawa pengaruh pada kinerja serta kualitas hidup seseorang.

Sikap dan perilaku seseorang ketika harus berinteraksi dengan orang di luar dirinya sering kali menimbulkan dampak positif sekaligus negatif. Dampak positif akan diperoleh bila interaksi yang terjadi karena adanya jalinan yang baik dan saling memahami. Sementara dampak negatif akan timbul bila ada kesalah pahaman atau bahkan perbedaan pendapat di anta-ranya. Perilaku rasa senang atau tidak senang sering dapat dilihat secara ka-sat mata melalui perubahan fisiologis. Namun dapat pula tidak tampak ka-rena faktor ekspresi kultural yang berbeda pada setiap orang.

Bagi orang Jawa, sebuah relasi dipahami dengan keselarasan atau har-monis di mana kesabaran, kerendahan hati, kesopanan, penerimaan, peng-hindaran dan menarik diri dimaksudkan untuk mempertahankan hubungan yang nyaman (Mulder, 1999). Di satu sisi hubungan antar manusia, per-selisihan tidak dapat dihindari sehingga perasaan tidak senang pun tidak da-pat ditolak. Disisi lain budaya Jawa sarat dengan nilai yang juga banyak dimanifestasikan melalui bentuk-bentuk kesenian.

Salah satu luaran dari budaya yang hampir tiap hari ditemui orang di manapun berada adalah musik seperti yang disampaikan Merriam, (1964) dalam bukunya the Anthropology of Music bahwa tidak ada aktivitas bu-daya manusia yang begitu meresap, menjangkau sampai ke dalam, mem-bentuk, dan kadang mengendalikan perilaku manusia seperti musik. Dekat-nya musik dengan kehidupan ma-nusia kemudian menyebabkan tumbuhnya minat dan perhatian yang lebih besar terhadap musik, serta mendorong adanya kajian tentang musik kaitannya dengan berbagai disiplin ilmu.

Orang mulai mempertanyakan apa yang dirasakan seseorang ketika mendengar suatu jenis musik tertentu, mengapa musik yang menjadi tema suatu film yang dapat sedemikian memengaruhi orang-orang yang menon-tonnya, dan memiliki karakter musik tertentu, apakah karakter musik juga memiliki hubungan atau saling mempengaruhi terhadap masyarakat pemi-liknya.

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, maka suatu disiplin ilmu tidak berhenti pada paradigma tunggal, dan terus melengkapi dari berbagai perspektif. Salah satu disiplin yang baru di Indonesia adalah Psikologi Mu-sik sebagai hibrida dari Psikologi dan Musikologi. Bagi Psikologi sendiri penerapan “hard science” dilakukan melalui bidang peminatan psikologi eksperimen, faal, psikoneurologi, psikobiologi dan yang sejenis.

Hal yang ingin dikembangkan adalah teori-teori dasar diri individu sebagai sosok biologis. Maka masalah “body” yang menjelaskan perilaku dari sisi fisiologis menjadi penting.  Namun demikian dalam kaitan dengan manusia, masalah “body” tidak dapat dilepaskan dari masalah “mind” sebab keduanya muncul bersama-sama dalam perilaku manusia. Untuk itu, telaah dari sisi “soft science” berperan dalam menjelaskan aspek-aspek persepsi, kognisi, atau emosi manusia.

Sebagai salah satu ilmu pengetahuan, musik juga dapat dijelaskan de-ngan tataran yang sama. Bahwa “hard science” di bidang musik akan lebih menyoroti perangkat keras dan alat, sebagai materi penghasil bunyi, dan dampak elemen musikal seperti pitch dan sebagainya. Kemudian pende-katan “soft science” lebih untuk menjelaskan bagaimana musik menggugah perasaan pendengarnya, mengapa jenis musik tertentu lebih disukai, dan bagaimana sebuah lagu tercipta, atau yang terkait dengan perilaku manusia. Bila dilihat dari aspek psikologi, maka kajian “soft science” di bidang mu-sik sangat erat terkait dengan dimensi-dimensi psikologis seperti persepsi, memori, dan emosi. Sehingga  dalam kajian tentang emotional well-being ini diharapkan juga dapat menjembatani antara Psikologi dan Musikologi. Dengan demikian telaah Psikologi Musik dapat berkembang karena kolaborasi di antara keduanya memungkinkan penjelasan yang lebih kom-prehensif.

Kajian pengaruh laras slendro terhadap emosi berupaya mengaitkan elemen musikal laras dengan aspek-aspek emosi. Seperti pendapat Sloboda (1999), yang secara eksplisit mengungkapkan bahwa musik memiliki fungsi untuk meningkatkan, mengubah emosi dan aspek spiritual, atau membawa seseorang pada kondisi “transenden”. Demikian pula penelitian yang meng-kaji peran musik dalam kehidupan sehari-hari oleh DeNora (1997) menun-jukkan bahwa musik merupakan sarana untuk menata dan meningkatkan kualitas diri baik pada aspek kognitif, emosi maupun fisik.

Hasil penelitian Sloboda (2001), menemukan bahwa musik berkaitan erat dengan perubahan suasana hati dan dapat menghasilkan ketenangan. Misalnya, musik dapat memperbaiki suasana hati yang diwarnai kejenuhan dan kebosanan, meningkatkan konsentrasi, memperkuat ingatan, menggu-gah semangat bahkan berkaitan erat dengan perasaan-perasaan lebih men-dalam seperti kesedihan dan kesepian. Oleh karena itu musik berkaitan erat terhadap emosi dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian-penelitian yang telah dikemukakan menguatkan hasil kajian yang dilakukan, seperti fungsi musik dalam kehidupan sehari-hari, dan musik dalam sebuah komposisi tetap akan memberikan kontribusi terhadap respons emosi walau rumit, sederhana atau sefamiliar apapun.

Respons  Emotional  Well-Being Dalam  Laras  Gamelan  Jawa, selengkapnya

Pemujaan Siva-Buddha Dalam Masyarakat Hindu Di Bali

Oleh I Ketut Widnya (Dosen Fakultas Brahma Widya, Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar)

Sinkretisme Siva-Buddha  di Indonesia adalah suatu gejala keagamaan yang sangat komplek. Istilah-istilah: siva-buddha tunggal dan bhinneka tunggal ika, secara khusus, memang bisa memberi indikasi yang kuat tentang sinkretisme antara Sivaisme dan Buddhisme di Indonesia. Tetapi dalam arti yang lebih luas sumber-sumber sastra Jawa Kuna yang memuat istilah-istilah tersebut secara keseluruhan tidak berbicara tentang kemanunggalan di antara kedua sistem keagamaan tersebut. Para sarjana, peneliti dan pemerhati, telah mengkaji masalah ini dari berbagai sudut pandang. Tetapi masalah Siva-Buddha  tidak sesederhana seperti yang diperkirakan sebelumnya. Kebanyakan para sarjana menganggap bahwa masalah Siva-Buddha  sudah selesai dengan mengutip sumber-sumber yang terbatas dalam kesusastraan Jawa Kuna. Masalah Siva-Buddha  bukan terjadi karena diambil begitu saja melalui sumber-sumber arkeologi maupun sumber-sumber sastra. Keberadaannya dalam panggung sejarah karena kontribusi yang diberikan oleh para sarjana, baik para orientalis barat, sarjana India maupun sarjana Indonesia. Itulah sebabnya masalah Siva-Buddha ini menjadi semakin komplek karena diwarnai oleh silang pendapat para sarjana.

Kompleksitas permasalahan tersebut sudah tampak sejak di India, yaitu dengan adanya kenyataan “saling menukar” dewa-dewa di antara agama Hindu, Buddha dan Jaina. Dewa-dewa Hindu seperti Parvati dan Indra ditemukan di antara dewa-dewa Jaina, demikian juga dewa Ga<apati, Saraswati, Mahakala, Nilakantha, dan sebagainya, terkenal di antara dewa-dewa Buddha. Sementara Hindu meminjam dewa-dewa Buddha seperti Mahacina Tara, Janguli dan Vajrayogini di bawah nama Tara, Manasa dan Chinna-masta. Kenyataan ini menyulitkan para peneliti untuk memberi batasan yang tegas mengenai sinkretisme antara Sivaisme dan Buddhisme. Di Indonesia, kesusastraan Jawa Kuno, tidak hanya berbicara tentang penyamaan-penyamaan yang terbatas antara Siva dan Buddha, melainkan juga diantara kelompok-kelompok dewa dalam agama Hindu dan Buddha, di samping penyamaan dewa-dewa dalam intern agama Hindu dan intern agama Buddha secara terpisah. Buddha kadang-kadang disamakan dengan Visnu. Di tempat lain Buddha disamakan dengan Brahma, atau Visnu disejajarkan kedudukannya dengan Siva (Harihara).

Tulisan-tulisan tentang Siva-Buddha, baik berupa artikel maupun hasil-hasil penelitian, sudah cukup banyak dipublikasikan. Namun, suatu gejala yang aneh bahwa di Bali sendiri, umat Hindu yang memuja tuhan “Siva-Buddha” sebagai Sanghyang Tunggal, kebanyakan belum memahami realitas ini. Padahal teks-teks yang menguraikan tentang sinkretisme Siva-Buddha  di Bali terus bermunculan sampai pada zaman modern ini. Lebih dari itu, hasil penelitian menunjukkan, gejala sinkretisme Siva-Buddha  di Bali merupakan yang terbesar dibanding masa-masa sebelumnya, baik di Jawa Timur (pada zaman Majapahit), maupun di India (pada Dinasti Pala). Kenyataan ini menuntut adanya penelitian yang lebih mendalam dan komprehensif mengenai eksistensi Siva-Buddha  dalam realitas kehidupan umat Hindu di Bali. Penelitian ini akan memfokuskan kajian pada dinamika atau evolusi Siva-Buddha  dalam ajaran Tantra yang menjadi medium penyatuan Siva-Buddha di Bali. Dengan fokus kajian tersebut, diharapkan mampu memberi gambaran tentang eksistensi Siva-Buddha  dalam realitas masyarakat umat Hindu di Bali.

Pemujaan Siva-Buddha Dalam Masyarakat Hindu Di Bali, selengkapnya

Perkembangan Lagu Pop Bali Di Era Globalisasi

Perkembangan Lagu Pop Bali Di Era Globalisasi

Oleh: I Komang Darmayuda

Pop Bali dalam Acara Dies NatalisMenurut Setia (dalam Dharma Putra, 2004) pada artikelnya yang berjudul “Kecendrungan Tema Politik dalam Perkembangan Mutakhir Lagu Pop Bali”, dikatakan bahwa lagu pop Bali memasuki dunia rekaman pada awal tahun 1970-an, yang  dilakukan oleh Band Putra  Dewata pimpinan A.A. Made Cakra (almarhum). Judul album  pertamanya adalah Kusir Dokar yang rekamannya  dilakukan di Banyuwangi, karena kebutuhan  untuk studio rekaman di Bali pada saat itu belum ada (Dharma Putra, 2004: 92). Dalam album  tersebut A.A.  Made Cakra berhasil menampilkan identitas lagu Pop Bali dengan nuansa Balinya yang kental. Banyak tema-tema lagunya mengungkapkan tentang keadaan alam dan situasi kondisi masyarakat Bali saat itu. Sebagian besar melodi lagu-lagu ciptaan  A.A. Made Cakra menggunakan tangga nada pelog dan slendro, sehingga tembang atau melodinya sangat khas dengan  nuansa Bali. Pada saat itulah dapat dikatakan bahwa  identitas lagu Pop Bali berhasil diciptakan oleh A.A. Made Cakra. Hal ini juga dapat disimak dari rekaman album-album berikutnya yaitu, Galang Bulan, Dagang Koran dan seterusnya. Dari sekian banyak lagu ciptaannya,  A.A.  Made Cakra telah mampu mempertahankan identitas atau ciri khas lagu pop Bali, menggunakan bahasa Bali dengan baik, dan dengan nuansa Bali yang kenntal tanpa terpengaruh oleh nuansa lagu pop dari daerah-daerah lainnya, maupun nuansa lagu pop Indonesia atau pop Barat.

Pada perkembangan selanjutnya  di era 1980-an, nama seperti  Ketut Bimbo,  Yong Sagita, Yan Bero, Yan Stereo mulai populer dengan lagu-lagunya yang bertema jenaka, cinta, dan banyak mengetengahkan tema tentang fenomena-fenomena  aktual  yang sedang terjadi di masyarakat  saat itu. Kehadiran para pencipta sekaligus penyanyi  tersebut  cukup mampu mengubah selera pasar lagu pop Bali dengan berbagai gaya dan irama pop  yang ditawarkan. Bila disimak  dari iringan musiknya, banyak musisi yang sudah menggunakan  sistem  digital (MIDI), yakni dengan memprogram musik iringannya pada satu instrument yang disebut keyboard dengan dibantu oleh peralatan yang cukup canggih seperti MC (Miccrosoft Computer). Dengan peralatan seperti itu, iringan musik untuk lagu-lagu pop Bali sudah mulai dikerjakan oleh seorang programmer musik,  tanpa harus menggunakan alat-alat musik Band (gitar melodi, gitar bas, drum, dan keyboard) seperti yangdilakukan  pada era A.A. Made Cakra.

Malam Kesenian Dies NatalisDiakhir tahun 1990-an perkembangan lagu pop Bali semakin semarak  dengan hadirnya Widi Widiana. Lagu-lagunya banyak mengeksploitasi kisah cinta dengan irama musik yang melankolis dan mendayu-dayu.  Hadirnya para progremer dari luar Bali cukup memberi warna terhadap nuansa iringan musik pop Bali. Nuansa dan identitas lagu pop Bali yang sebelumnya sudah jelas diciptakan oleh Anak Agung Made Cakra belakangan menjadi sedikit  kabur. Di era ini, lagu pop Bali dipadukan dengan  nuansa-nuansa lain seperti ; nuansa Mandarin, Jawa Timuran, Sunda, Jawa dan lain-lainnya. Dengan demikian, seandainya lagu-lagu pop Bali dimainkan secara  instrumental (tanpa  vocal atau kata-kata), maka akan sulit membedakan antara lagu pop Bali dengan lagu pop daerah lainnya, seperti Sunda, Banyuwangi, Jawa Tengah, dan Mandarin.

Di tahun 2003, hadirlah Lolot N Band yang menawarkan pembaruan pada lagu pop Bali, dan memilih musik dengan irama yang menghentak (Rock Alternatif). Dengan sambutan yang positif dari masyarakat terhadap pembaruan oleh Lolot N Band, menjadikan lagu pop Bali tidak hanya beraliran pop, melainkan sudah merambah ke aliran-aliran  alternatif lainnya seperti ; reagge (Joni Agung  & Double T),  Rap  ( XXX ), Keroncong  (Agung Wirasutha), dan Rock Funky (Bintang Band).

Di era globalisasi yang disertai dengan kemajuan teknologinya, lagu pop Bali yang semula sudah jelas jati diri dan identitasnya,  cendrung  mengarah pada tren-tren musik  tertentu, dan penggunaan bahasa Bali cukup bebas. Sejalan dengan perubahan ini, kini telah terjadi interaksi budaya, terjadinya pembauran  seni  dalam nuansa  lagu pop Bali. Hal ini terjadi karena konsep globalisasi memberikan peluang yang cukup besar akan terjadinya pembauran seperti itu Pembauran terjadi dalam skala  yang berbeda-beda, baik dilaksanakan secara terencana  dengan konsep yang jelas maupun yang terjadi secara spontan tanpa didasari  oleh pemikiran yang matang, menyangkut berbagai aspek  terutama bentuk, isi, dan tata penyajian. Untuk melebur atau menyatukan nilai-nilai estetik yang terkandung di dalamnya diperlukan wawasan yang luas dan kematangan dalam diri seniman, sehingga tidak berdampak pada perusakan identitas yang ada. Pembauran seperti itu  patut  dicermati akan kemungkinan berdampak yang kurang baik terhadap kesenian Bali termasuk juga lagu pop Bali (Dibia, 2004 : 1).

Untuk itu diperlukan strategi untuk mempertahankan identitas dan jati diri lagu pop Bali, dengan jalan mendalami kembali  nilai-nilai, prinsip-prinsip dasar, dan roh budaya Bali dalam lagu pop Bali. Rasa  bangga terhadap budaya sendiri harus senantiasa ditingkatkan. Dengan rasa optimisme yang tinggi kita akan mampu mengembangkan lagu pop Bali tanpa meninggalkan  jati diri atau identitasnya.

Dari pemaparan tersebut, peneliti  akan memfokuskan penelitian terhadap  perubahan-perubahan yang dialami pada Perkembangan Lagu Pop Bal di Era Globalisasi. Perkembangan yang terjadi meliputi  pada penggunaan bahasa Bali, nuansa musikal, dan irama musik atau aliran musik yang digunakan.

Perkembangan Lagu Pop Bali Di Era Globalisasi, selengkapnya

Keberadaan Seni Kriya Masa Kini

Keberadaan Seni Kriya Masa Kini

Oleh I Made Sumantra

Koleksi Kriya

Koleksi Kriya

Bidang ilmu kriya, jika diuraikan dari akar keilmuannya, masih terus menjadi perdebatan sengit dikalangan praktisi dan akademisi di bidang seni rupa. Bidang kriya, telah menjadi ajang perebutan antara masuk ke dalam disiplin ilmu seni atau ilmu disain.  Penulis  tidak ingin menambah kekusutan dari perang definisi yang ada. Seni kriya dapat berada dan mencangkup kedua ilmu tadi, seni dan disain sehingga memungkinkan muncul dua istilah seperti: kriya seni dan kriya disain, seni kriya dan disain kriya. Agar dapat lebih menjelaskan konsep ini, penulis mencoba mengambil contoh kasus objek ukir kayu yang berwujud sebuah lampu hias. Benda lampu hias ini akan memiliki penampilan, makna dan fungsi yang sangat berbeda tergantung di wilayah/ kubu mana ia berada. Barang-barang kriya dalam hal ini memiliki fleksibelitas yang tinggi, berada pada posisi di antara wilayah seni dan disain. Kondisi ini menyadarkan kita bahwa seharusnya tidak ada definisi yang kaku dalam pengelompokan kriya, karena hal itu tergantung di wilayah mana secara esensial kriya itu sendiri beraktivitas.

Jika kriya telah menjadi barang-barang pesanan dalam jumlah besar, maka otomatis pertimbangan-pertimbangan teknik produksi, cost, dan nilai-nilai kepraktisan akan menjadi faktor yang penting. Barang-barang ini cenderung dikelompokan sebagai produk kriya disain. Sebagai kontrasnya, ada saatnya kriyawan membuat hanya satu buah karya, seperti lampu hias yang unik. Jelas disain, konsep berkarya kriyawan tersebut berasal dari keinginan membuat satu benda lampu hias, sehingga lebih dekat kepada pola-pola kerja seni murni yang menghasilkan objek tunggal. Persoalan apakah benda lampu hias tersebut dikemudian hari akan diproduksi kembali dalam jumlah tertentu adalah masalah lain. Yang pasti, konsep awal pembuatannya tidak didasari oleh kreteria-kreteria mass production. Bentuk kriya seperti ini lebih tepat jika masuk dalam wilayah produk kriya seni.

Mengkaji dan mengembangkan konsep kriya dalam Komperensi Kriya di Bandung, berdasarkan sifatnya, kriya di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu Kriya Tradisional dan Kriya Modern/ Kontemporer (Konperensi Kriya, ”Tahun Kriya dan Rekayasa 1999” Institut Teknologi Bandung,

26 Nov” 99).  Kriya Tradisional adalah segala bentuk produk hasil kebudayaan materi tradisional masyarakat, tanpa mengalami perubahan-perubahan yang berarti pada masa kini. Sebagai contoh kriya kelompok ini adalah aneka perhiasan, benda-benda perlengkapan upacara/ religi, wayang kulit, senjata-senjata tradisional, seperangkat gamelan. Beberapa produk tradisional masih tetap diproduksi, terutama untuk kebutuhan pasar pariwisata.

Adapun Kriya Modern/ Kontemporer adalah produk-produk kriya  yang memiliki kebaruan-kebaruan dalam konsep pengembangan disain, teknik produksi dan perupaan. Bagaimanapun, Kriya Modern/ Kontemporer dapat tetap berbasis tradisional, dalam arti produk tersebut merupakan hasil pengembangan dari teknik-teknik lama dan bentuk–bentuk tradisional atau bermuatan nilai-nilai filosofis masa lalu.

Keberadaan Seni Kriya Masa Kini, Oleh I Made Sumantra, selengkapnya

Loading...