by admin | Jan 23, 2010 | Berita, pengumuman
Diberitahukan kepada seluruh Pembimbing Akademik / Dosen FSRD ISI Denpasar, sesuai dengan kalender akademik bahwa perkuliahan untuk semester Genap 2009/2010 akan dimulai pada tanggal 8 Pebruari 2010. untuk memperlancar proses administrasi akademik dalam Pengisian Kartu Rencana Studi (KRS), kami mohon kehadiran seluruh Pembimbing Akademik (PA) pada :
Tanggal : 25 – 30 Januari 2010
Pukul : 09.00 wita
Tempat : Ruangan sesuai jurusan masing-masing
Demikian kami sampaikan untuk diperhatikan dan dilaksanakan, atas kerjasamanya kami ucapkan terimakasih.
Denasar 21 Januari 2010
An. Dekan,
Pembantu Dekan I,
TTD
Drs. Olih Solihat Karso, M.Sn
NIP. 196107061990031005
by admin | Jan 23, 2010 | Artikel
Fungsi Karawitan Bali Di Yogyakarta: Sebuah Tinjauan Kontekstual, kiriman I Ketut Ardana (dosen ISI Yogyakarta)
Menelaah fenomena kesenian secara kontekstual sangat erat hubungannya dengan sosio kultural terhadap lingkungan tempat seni itu hidup dan berkembang. Ahimsa-Putra mengelompokan telaah kesenian dalam antropologi ada 2 katagori, yaitu (1) telaah yang berciri tekstual, (2) telaah yang berciri kontekstual. Telaah tekstual yaitu memandang fenomena kesenian sebagai sebuah “teks” untuk dibaca, untuk diberi makna, atau untuk dideskripsikan strukturnya, bukan untuk dijelaskan atau dicarikan sebab musababnya. Hal ini berbeda dengan telaah kontekstual, yakni telaah yang menempatkan fenomena kesenian di tengah konstelasi sejumlah elemen, bagian, atau fenomena yang berhubungan dengan fenomena tersebut. Paradigma yang umumnya digunakan dalam menelaah kesenian secara kontekstual adalah struktural, fungsional karena pendekatan inilah yang sangat menonjol kontekstualitasnya. Paradigma fungsional yang digunakan dalam tulisan ini dibatasi permasalahannya. Permasalahan itu menyangkut seputar karawitan Bali di Yogyakarta sebagai topik utama dalam penulisan.
Peran dan fungsi kesenian pada umumnya dalam masyarakat sangatlah beranekaragam. Pluralitas budaya memposisikan kesenian khususnya kesenian tradisi memiliki kekayaan bentuk maupun fungsi. Antara daerah yang satu dengan daerah yang lain memiliki peran dan fungsi yang berbeda-beda. Selain keragaman budaya, hal ini juga dipengaruhi oleh iklim geografis yang berbeda. Sebagai contoh, Antara manusia yang hidup di negara berkembangan dengan yang hidup di negara maju sangat berlainan dalam memanfaatkan seni pertunjukan pada hidup mereka. Di negara-negara yang sedang berkembang yang dalam tata kehidupanya masih banyak mengacu ke budaya agraris, kesenian memiliki fungsi ritual yang sangat beragam. Lebih-lebih apabila negara tersebut memeluk agama yang selalu melibatkan seni dalam kegiatan-kegiatan upacaranya, seperti misalnya agama Hindu di Bali. Sebaliknya, di negara-negara maju yang dalam tata kehidupannya sudah mengacu ke budaya industrial, yang segala sesuatu diukur dengan uang, sebagian besar bentuk-bentuk kesenian merupakan penyajian estetis yang melulu untuk dinikmati keindahannya. Keadaan semacam ini bisa diamati misalnya di Amerika Serikat. Oleh karena itu, Ada beberapa teori fungsi yang dirumuskan oleh para pakar seni. Curt Sachs dalam bukunya History Of The Dance menyatakan bahwa ada 2 fungsi tari, yaitu (1) untuk tujuan-tujuan magis; dan (2) sebagai seni tontonan. R.M. Soedarsono mengelompokan fungsi seni pertunjukan menjadi 2 kelompok yaitu, kelompok fungsi-fungsi primer dan kelompok fungsi-fungi sekunder. Secara garis besar seni pertunjukan memiliki 3 fungsi primer, yaitu (1) sebagi sarana ritual; (2) sebagai ungkapan pribadi yang pada umunya berupa hiburan pribadi; (3) sebagai presentasi estetis. Khusus tentang seni musik etnis Alan P. Merriam dalam bukunya yang berjudul The Antropology Of Music mengatakan ada 8 fungsi musik etnis, yaitu (1) sebagai kenikmatan estetis, yang bisa dinikmati oleh penciptanya atau penontonnya; (2) hiburan bagi seluruh masyarakat; (3) komunikasi bagi masyarakat yang memahami musik, karena musik bukanlah bahasa universal; (4) representasi simbolis; (5) respons fisik; (6) memperkuat konformitas norma-norma sosial; (7) mengesahkan institusi-institusi sosial dan ritual-ritual keagamaan; (8) sumbangan pada pelestarian serta stabilitas kebudayaan. Para pakar ini memfungsikan seni pertunjukan baik tari, karawitan (musik etnis), serta teater tradisional dengan proporsi yang berbeda-beda. Namun demikian, ada suatu persamaan persepsi, yaitu seni selalu dihadirkan dalam upacara ritual keagamaan serta sebagai “benda” untuk dinikmati keindahannya. Dari keragamaan pernyataan di atas muncul suatu pertanyaan, bagiamanakah peran dan fungsi karawitan Bali di Yogyakarta?. pertanyaan ini tentu saja bisa dijawab dari beberapa teori fungsi di atas.
Karawitan Bali sebagai mana yang dikenal oleh banyak kalangan memiliki 2 katagori, yiatu (1) karawitan instrumental; dan (2) karawitan vokal. Karawitan instrumental adalah seni suara yang menggunakan alat musik sebagai sumber suara sedangkan karawitan vokal adalah seni suara yang menggunakan suara manusia sebagai sumber suara. Namun demikian, tidak dipungkiri ada juga penggabungan kedua elemen tersebut dalam 1 bentuk lagu yang disebut dengan sandyagita, dan gegitan. Oleh karena itu, fungsi karawitan Bali di Yogyakarta dikaji dari aspek karawitan Instrumental, karawitan vokal, dan sandyagita.
Fungsi Karawitan Bali Di Yogyakarta: Sebuah Tinjauan Kontekstual, selengkapnya
by admin | Jan 22, 2010 | Artikel
Oleh: Y. Murdiyati dan Sunaryo (Dosen pada Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta )
Di Jawa terdapat wujud kebudayaan yang dalam persebarannya sering muncul unsur-unsur yang sama, karena pengaruh kondisi lingkungan dan waktu. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan sebagai konsep adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan hasil budi dan karyanya itu. Sepanjang masa di muka bumi ini senantiasa terjadi perpindahan bangsa-bangsa yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi.
Mengingat hal tersebut, guna kepentingan analisis konsep kebudayaan, perlu dikemukakan unsur-unsur kebudayaan universal, sekaligus sebagai isi semua kebudayaan yang ada di dunia, yakni: (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian hidup, dan (7) sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur universal tersebut masing-masing dapat dipecah menjadi sub unsur-unsurnya. Demikian halnya dalam pembicaraan kebudayaan di Tambakrama juga dapat menghubungkan kesenian khususnya Tayub dengan unsure-unsur yang terkait, misalnya masalah-masalah kehidupan masyarakat termasuk yang remaja, komunikasi, pendidikan kesenian, ekonomi, dan komersial kesenian yang dikembangkan oleh turisme, dan aspek politis kesenian yang harus diterapkan dalam proses pembinaan kepribadian dan integrasi nasional.
Kebudayaan tersebut minimal memiliki tiga wujud, yakni: (1) wujud kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud kompleks aktivitas kelakuan berpola pada manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama yaitu ide, gagasan dan sebagainya yang bersifat abstrak, misalnya ide untuk menciptakan karya ilmiah atau karya tari, baik tari klasik maupun tari rakyat. Mengingat salah satu tari rakyat yang sekaligus dijadikan objek penelitian ini adalah tari Tayub di Tambakrama, Ponjong, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, maka contoh wujud pertama kebudayaan tersebut misalnya adat nanggap Tayub dalam upacara Rasulan atau bersih desa, nadaran, perkawinan, khitanan, pengobatan dan sebagainya.
Menurut Marsiyono, keberadaan Tayub dalam upacara-upacara tersebut dilakukan secara turun-temurun atau diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Dalam hal ini Kluckhon menyatakan bahwa mengingat kebudayaan merupakan proses belajar, bukan sesuatu yang diwariskan secara biologis, maka seharusnya wujud pertama kebudayaan yang telah dipaparkan, disosialisasikan kepada masyarakat remaja khususnya sebagai generasi penerus, agar secara keseluruhan dapat dipahami, bahkan dipertahankan (dilestarikan, dibina, dikembangkan) dalam kehidupan sosial sesuai dengan perkembangan zaman. Namun kenyataannya wujud kebudayaan tersebut kurang disosialisasikan atau tidak ada kegiatan pembelajaran tari Tayub bagi generasi penerus.
Wujud kedua sering disebut sistem sosial, yang terdiri atas aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, bergaul, dan selalu mengikuti pola-pola berdasarkan adat setempat, misalnya aktivitas dalam penyelenggaraan upacara Rasulan, pertunjukan Tayub, berorganisasi dan sebagainya. Sistem sosial di Tambakrama misalnya aktivitas manusia yang berinteraksi selalu mengikuti pola-pola berdasarkan adat seperti halnya sikap saling menghormati, beretika (bersopan santun, bertata krama), bersatu, gotong royong, solider, terbuka dan sebagainya. Kenyataannya para remaja kurang memperhatikan perihal etika dalam kehidupan sehari-hari, padahal seharusnya bila kebudayaan itu telah dipahami, sudah barang tentu tercermin pula dalam perilaku mereka. Selain itu, para remaja juga kurang berminat masuk organisasi untuk menggalakkan kegiatan pembelajaran tari Tayub, sehingga pengurus, guru atau penari senior, dan organisasi itu sendiri tampak kurang berperanan dalam mempertahankan tari tersebut. Dengan kata lain, kurang terjalin kerjasama untuk menyelenggarakan kegiatan pembelajaran (workshop) tari Tayub. Padahal, seharusnya seluruh komunitas itu menjalin kerjasama untuk mencari strategi demi mempertahankan kehidupan Tayub dalam masyarakat.
Tidak berbeda halnya dengan wujud ketiga atau kebudayaan fisik yang merupakan benda-benda hasil karya manusia. Di Tambakrama misalnya salah satu cabang kebudayaan yakni kesenian Tayub, sebenarnya komunitas masyarakat kesenian itu memiliki balai desa dan seperangkat instrumen gamelan jawa, yang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan belajar mengajar tari Tayub, juga beberapa stel kostum tari. Hanya wujud fisik tersebut kurang dimanfaatkan untuk membentuk komunitas generasi penerus, sebagai salah satu strategi untuk mempertahankan kelangsungan hidup tari Tayub. Oleh karena itu, diharapkan adanya sponsor untuk menyelenggarakan pembelajaran tari Tayub secara rutin khususnya bagi para remaja. Kesenjangan itulah antara lain yang mendorong dilakukannya penelitian ini, sekaligus sebagai alasan penelitian. Selain belum ada yang meneliti, alasan lainnya adalah kurangnya budaya sarasehan, diskusi, seminar, ceramah, pelatihan atau pembelajaran tari Tayub dan sebagainya.
Regenerasi Penari Tayub Di Tambakrama, Ponjong, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, selengkapnya
by admin | Jan 22, 2010 | Artikel, Berita
Oleh. I Dewa Made Pastika
Fungsi petulangan dalam upacara ngaben sangat erat kaitannya de-ngan kepercayaan nenek moyang terhadap binatang-binatang yang dianggap suci, keramat, memiliki kekuatan dan dijadikan lambang-lambang tertentu. Seperti kerbau yang terdapat diseluruh tanah air dipandang sebagai lambang kesuburan, sebagai penolak roh-roh jahat dan sebagai tunggangan roh le-luhur di akhirat (Van Der Hoop, 1949:136). Di daerah Toraja, Sulawesi pada waktu peralatan penjenasahan banyak kerbau dipotong, satu di antara kerbau tersebut dianggap sebagai kendaraan orang yang meninggal di akhirat. Hias-an rumah masyarakat Toraja dibuat dari kayu berbentuk kerbau. Hal ini ada persamaan dengan petulangan berbentuk lembu pada upacara ngaben di Ba-li. Binatang kerbau mempunyai arti yang sangat penting dalam upacara penjenasahan (Van Der Hoop, 1949:138).
Kepercayaan terhadap binatang menjangan yang disucikan, digam-barkan dalam bangunan bagian muka dari Menjangan Seluang Mospait, ru-mah suci untuk dewa Mojopahit dalam kuil di Pura Desa Singaraja Bali, sua-tu peringatan terhadap perpindahan orang Hindu Jawa ke Bali setelah jatuh-nya Majapahit (Van Der Hoop, 1949:156). Di Bali kepercayaan terhadap bi-natang lembu sebagai binatang yang disucikan. Lembu dipercaya sebagai wahananya Dewa Siwa. Dewa Brahma dipandang sebagai dewa pencipta segala yang ada, wahananya binatang singa. Sedangkan Dewa Wisnu ber-fungsi sebagai pemelihara, wahananya naga. Binatang-binatang tersebut di-sucikan, dihormati, sebagaimana menghormati dewa-dewa dengan manifes-tasinya masing-masing.
Menurut Drs. Ida Bagus Purwita dari Griya Yang Batu Denpasar, (sekarang sulinggih) meninjau dari segi filosofinya bahwa perwujudan petu-langan dengan motif binatang, mengandung arti sebagai petunjuk jalan ke sorga bagi roh orang yang telah meninggal. Binatang nama lainnya sattwa terdiri dari kata sat dan twa. Sat berarti inti (esensiil); twa berarti sifat. Jadi sattwa berarti bersifat esensiil dalam agama ialah Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Dengan menggunakan petulangan berbentuk binatang, mengandung maksud agar roh secepatnya menuju Siwa Loka (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Sedangkan binatang tersebut sebagai perwujudan petu-langan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan umat terhadap kesucian dari binatang tersebut.
Penggunaan petulangan dengan bentuk binatang ditentukan oleh si-fat perwatakan serta kewajiban seseorang dalam masyarakat. Menurut lontar awig-awig Denpasar milik Mangku Jero Kuta, Jagat Wewengkon Badung pemakaian bentuk petulangan diatur menurut susunan kasta yang ada di Bali yaitu sebagai berikut: Bagi wangsa sudra jadma memakai petulangan ben-tuk gedarba atau bentuk macan, atau bentuk gajah mina. Sang Aria memakai petulanggan berbentuk menjangan. Sang Kesatria memakai petulangan ben-tuk singa. Brahmana Welaka memakai petulangan bentuk lembu hitam dan Pendeta memakai petulangan bentuk lembu putih. Dengan demikian fungsi petulangan adalah sebagai berikut.
- Dalam pengertian umum petulangan berfungsi sebagai tempat membakar jenasah dan secara spiritual, berfungsi sebagai pengantar roh ke alam roh (sorga atau neraka) sesuai dengan hasil perbuatan di dunia.
-
Menunjukkan jenis sekte seseorang yang dianut leluhurnya.
-
Menunjukkan watak dan kewajiban seseorang dalam masyarakat.
-
Menunjukkan rasa bakti dan penghormatan terhadap dewa-dewa, karena dengan meniru wahananya sebagai sarana upacara. Maka seolah-olah lebih dekat dengan Ida Sang Hyang Widhi.
- Sebagai pernyataan rasa seni yang menimbulkan kepuasan batin bagi yang di-upacarai, orang yang menyelenggarakan upacara, seniman (sangging) yang mengerjakannya, dan masyarakat luas yang menikmatinya.
by admin | Jan 22, 2010 | Artikel
Oleh I Made Latra (Dosen pada UPT. MKU Universitas Udayana Denpasar)
Berbicara masalah pengkajian sastra-sastra klasik Indonesia umumnya dan sastra Bali khususnya, mungkin dapat kita renungkan kembali pernyataan R.M.Ng. Poerbatjaraka ketika meresmikan berdirinya Fakultas Sastra Uni-versitas Udayana tahun 1958. Pernyataan beliau adalah “Bali adalah pulau yang telah terkenal sebagai peti tempat penyimpanan dan pembendaharaan sastra dan budaya lama” (Sudharta, 1989:10). Pernyataan tersebut sesung-guhnya mengandung dimensi waktu jauh ke depan, agar “peti” yang me-ngandung “misteri-misteri budaya lama” dipahami oleh para generasi.
Karya-karya kesusastraan Bali mengandung dua hal pokok yaitu: (1) mempunyai konsep-konsep artistik tersendiri, dan (2) mempunyai kon-sep-konsep spritual kemanusiaan dan atau kebenaran yang universal dan ha-kiki (Agastia, 1980: 2). Di samping itu olah Sastra Bali tidak semata-mata bersifat susastra, melainkan erat kaitannya dengan kepercayaan, adat-isti-adat, upacara ritual, maupun tradisi sosial masyarakat Bali yang bersifat kompleks (Suastika, 1985:1) Dalam kesusastraan itu sarat berbagai pengeta-huan seperti: filsafat, ajaran ethika, estethica, arsitektur dan Astronomi (Puja,1982/1983: 29).
Pengungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam sastra klasik sangat diperlukan zaman sekarang, agar generasi muda yang akan datang tidak ke-hilangan jejak untuk menelusuri aktivitas sosial budaya atau peradaban ne-nek moyangnya. Perlunya kita mempelajari, memahami warisan rohani bu-daya bangsa masa lampau lewat sastra-sastra lama, seperti diucapkan oleh Ida Bagus Mantra, “Ada suatu dalil secara rohaniah menyatakan bahwa apabila dalam suatu perubahan manusia dapat menguasai perubahan-per-ubahan itu, maka selamatlah peradaban itu berjalan, tetapi bila beban itu merupakan suatu kejutan dan manusia harus menegakkan kehidupan ro-haninya, kehidupan agama dan sastra-sastra agama yang terdapat dalam pustaka-pustaka suci, sehingga ia butuh dalam menghadapi perubahan itu sendiri dan tetap berjalan dalam mengembangkan kreativitasnya sebagai subjek untuk menjalankan kewajibannya” (Agastia, 1994:59).
Sastra klasik Bali yang tentunya memiliki kekhasan tersendiri hingga kini masih terpelihara dengan baik. Hal ini dapat dibuktikan dalam tradisi “mabebasan” (pembacaan karya sastra secara bergiliran disertai diskusi), dalam sebuah kelompok sosial yang disebut “Sekaa Pesantian”. Sejalan de-ngan urain itu, A. Teeuw mengatakan di mana-mana di pulau Jawa, Madu-ra, Bali, Lombok, di bagian Sumatra dan Sulawesi, sastra memang seba-giannya diturunkan dan disimpan dalam naskah-naskah tertulis, tetapi sastra ini secara wajar dibacakan bersama-sama, antara pembaca dan pendengar seringkali pula bergiliran perannya, seperti dalam mabebasan di Bali dan nembang di Jawa (1998:40). Apa yang telah dijelaskan A. Teeuw tentang mabebasan di Bali sampai saat ini masih terus terpelihara, dikembangkan, dihayati, diulas serta ditulis bahkan diciptakan kembali.
Melalui tradisi mebebasan inilah masyarakat Bali mengakrabi dan mengapresiasi karya-karya Jawa Kuna dan Bali. Tradisi ini dapat dianggap sebagai ajang “kritik sastra”, karena melalui tradisi ini sebuah karya diba-cakan, diterjemahkan, diulas serta dikomunikasikan antara anggota sesuai dengan kemampuan masing-masing. Di sini pula terjadi komunikasi dua arah dengan sangat “demokratis” Di antra anggota yang hadir, sehingga pa-da akhirnya akan disepakati adanya sebuah nilai yang adiluhur sebagai cer-min hidup dalam berpikir, berkata, dan berprilaku. Penulisan dan penya-linan karya-karya sastra kakawin, geguritan dan lain-lainnya di Bali sampai menjelang abad 20-an masih berlangsung di bebarapa Puri, Geriya dan sanggar-sanggar penulisan lainnya.
Salah satu karya sastra abad XX yang luput dari perhatian kita selama ini adalah berjudul “Kakawin Ekàdaúaúiwa”. Kakawin ini ditulis oleh seo-rang astra Brahmana muda dari Sibetan Bebandem, Karangasem Bali. Nas-kah kakawin ini masih ditulis di atas sebuah buku tulis dan belum sempat ditulis di atas rontal. Dengan demikian, naskah kakawin ini dapat dikatakan sebagai naskah tunggal.
Kakawin Ekadaúaúiwa merupakan karya sastra kakawin abad XX, yang digubah oleh pangawi yang masih tergolong sangat muda. Kakawin ini memiliki kedudukan yang sangat penting di antara kakawin yang ada, karena faktor isi dan keunikan penyajiannya yang merupakan jiwa zaman yaitu adanya ajaran “Siwa Sidanta” yang khas model Bali. Demikian pen-ting kedudukannya terutama di antara peneliti yang ada, sehingga Kakawin Ekadaúaúiwa sangat pantas atau penting diteliti. Naskah ini penulis dapat-kan langsung dari pengarangnya, yang tentunya sangat jarang dijumpai adanya pengarang yang sangat produktif menulis karya sastra tradisional se-perti kakawin di zaman modern ini. Sungguh bahagia dan bangga hati pe-nulis atas kreativitas pengarang kakawin ini, sehingga penulis merasa ter-tarik meneliti Kakawin Ekadaúaúiwa ini sebagai bahan kajian, sekaligus se-bagai upaya penghargaan terhadap hasil ciptaannya dan berusaha menye-barluaskan kepada masyarakat agar karya tradisional khususnya kakawin berkembang secara berkelanjutan. Di usia yang masih tergolong muda seo-rang astra Brahmana kelahiran Sibetan Bebandem Karangasem telah me-nunjukkan kreativitasnya di bidang olah sastra, dalam bentuk puisi Jawa Kuna berupa kakawin, yang tentunya tidak sembarang pengawi Bali mampu melakukannya. Di samping kesukaran bahasa yaitu penguasaan bahasa Ja-wa Kuna puisi Jawa Kuna sangat rumit, belum lagi harus memperhatikan isi cerita dan pengungkapan estetika memerlukan daya imajinasi yang tinggi.
Berdasarkan latar belakang di atas, kajian terhadap Kakawin Eka-daúaúiwa ini memiliki kedudukan penting dalam khazanah kebudayaan Ba-li, yaitu: 1) bagaimana Estetika Kakawin Ekàdaúaúiwa sebagai sebuah tem-bang? 2) bagaimana Estetika Kakawin Ekàdaúaúiwa sebagai sebuah karya sastra Jawa Kuna?
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mendes-kripsikan nilai-nilai estetis yang bersifat konseptual yang terkandung dalam Kakawin Ekàdaúaúiwa ini. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami secara mendalam estetika yang terdapat dalam Kakawin Ekàdaúaúiwa yang sarat akan nilai-nilai kebenaran lewat mang-gala, corpus (isi), dan epilognya.
Sedangkan manfaat bagi penulis dan masyarakat luas, oleh karena konsep-konsep pemikiran yang terkandung dalam karya ini sebagai sum-bangan pemikiran untuk memahami konsep-konsep kebudayaan masa lam-pau, yang pada gilirannya dapat digunakan untuk memperkaya khazanah budaya bangsa, khususnya kebudayaan daerah, dalam rangka pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional.
Estetika Kakawin Ekàdaúaúiwa Selengkapnya