by admin | Jan 31, 2010 | Artikel, Berita
Kiriman I Wayan Suweca
Seniman karawitan Bali masa lampau sesungguhnya sudah sangat peka terhadap rasa musikal, hal itu kita warisi hingga sekarang dan kita cukup dibuat terpesona ketika mendengarkan gending-gending ciptaan mereka, rasa musikalnya enak dan cocok/sesuai dengan apa yang mereka ingin ungkapkan. Ketika hal ini ditanyakan kepada beberapa guru senior tradisional mereka menjawab dengan bermacam-macam. Ada yang menyebutkan hal itu disebabkan sang komposer masa lampau sudah sangat sepuh dan sangat peka terhadap rasa musikal, namun ada juga menyebutkan karena sang komposer masa lampau membuat lagu melewati eksplorasi yang mantap dan membutuhkan waktu yang cukup lama termasuk mengadakan semedi sebelum mencipta lagu (Wawancara dengan I Wayan Berata tanggal 28 Juli 2004 dirumahnya). Jawaban seperti ini tentu sifatnya sangat filosofis bahkan mungkin juga politis sehingga membuat kita selalu tanda tanya dan terus ingin menelusuri guna mendapatkan jawaban yang lebih mudah dipahami dari segi keilmuan.
Beberapa literarur telah ada yang menyinggung masalah rasa musikai seperti misalnya Lontar Prakempa dan Aji Gurnita, kedua lontar ini sesungguhnya telah menjelaskan teori rasa dalam karawitan Bali, walaupun untuk memahami secara mendalam masih sangat susah karena sifat literatur tersebut lebih mengedepankan aspek estetika filosofis. Di satu sisi dewasa ini kita sangat membutuhkan teori yang bisa memandu para seniman muda untuk memahami teori sekaligus mempraktekkannya.
Lontar Prakempa menyebutkan ada empat aspek utama dalam gamelan Bali yaitu tatwa (filsafat atau logika), susila (etika), lango (estetika), dan gegebug (teknik) (Bandem, 1986:1). Keempat unsur pokok sebagai isi dari lontar Prakempa ini pada dasarnya sebuah sumber berharga guna mencermati teori rasa musikal dalam karawitan Bait. Sebagai sebuah pedoman pokok keempat aspek utama ini masih perlu diteliti secara mendalam untuk bisa dijadikan landasan dalam menguraikan lebih eksplisit untuk menjadi sebuah keterangan yang mudah dicerna.
Lontar Aji Gurnita ada menyebutkan sebuah bab khsus yang diberi judul Tutur Catur Muni-Muni, yaitu empat gamelan sekawan yang semuanya dianggap bersumber pada gamelan Gambuh, sebuah gamelan yang konon penciptanya adalah para dewa dari langit (Ibid., p. 6). Gamelan Gambuh atau Pegambuhan oleh seniman Bali sering disebut-sebut sebagai “tambang emas” atau sumber inspirasi atau sumber acuan penciptaan gamelan dan repertoar gamelan lainnya. Hal ini berarti dengan mengoreksi secara detail unsur-unsur musikal gamelan Gambuh akan ditemukan seperangkat cara atau aturan untuk menciptakan sebuah lagu yang baik.
Penelitian yang sifatnya menerangkan lebih detail mengenai isi Lontar Prakempa dan Aji Gurnita sesungguhnya sudah dilakukan oleh seniman karawitan Bali dan banyak melahirkan teori-teori yang sangat bermanfaat bagi pembelajaran karawitan Bali. Almarhum I Gusti Putu Geria lewat analisisnya telah melahir-kan konsep Tri Angga, sebuah teori logika musikal dan bedah struktur karawitan Bali, yang pada dasarnya adalah konsep estetika dalam memahami struktur. Teori ini sampai sekarang selalu dijadikan pedoman bagi para komposer untuk membuat struktur gending menjadi harmonis serta memiliki kaedah-kaedah estetika.
I Made Bandem selain telah menterjemahkan dan membedah dengan cermat isi Lontar Prakempa dan Aji Gurnita, juga menelaah dan menguraikan lebih detail aspek teknik/gegebug kemudian menyusun sebuah artikel berjudul Ubit-Ubitan, Sebuah Teknik Permainan Gamelan Bali. Ubit-ubitan atau kotekan yang dianalisis oleh I Made Bandem berdasarkan informasi dua maestro karawitan Bali yaitu almarhum I Gusti Putu Geria dan almarhum I Nyoman Kaler. Lebih lanjut disebutkan bahwa ragam kotekan atau ubit-ubitan juga akan menentukan rasa musikal tertentu (Ibid., p. 15).
I Wayan Rai S dalam orasi ilmiahnya berjudul Unsur Musikal dan Ekstra Musikal dalam Penciptaan Gending-Gending Iringan Tari Bali juga telah memberikan panduan kepada kita untuk memahami karakterisasi karawitan sebagai iringan tari. Rai menyebutkan ada dua unsur penting yang dijadikan acuan oleh komposer dalam menciptakan iringan tari Bail yaitu unsur musikal dan unsur ekstra musikal (Rai, op. cit. p. 4). Penelitian yang dilaku-kan I Wayan Rai ini masih merupakan hasil analisis dan hipotesa awal untuk dijadikan acuan dalam mengadakan penyelidikan yang sifatnya lebih detail.
Colin McPhee dalam bukunya berjudul Music In Bali (1966) juga menjelaskan tentang adanya variasi dalam tetekep yang dapat melahirkan karakterisasi gending-gending Pegambuhan. McPhee menyebutkan tetekep selisir memiliki karakter halus (refined), tetekep tembung memiliki karakter keras (coarse), sedangkan tetekep sundaren memiliki karakter antara halus dan keras. Tetekep tebeng juga berkarakter halus tetapi biasanya digunakan secara khusus untuk mengiringi tokoh putri (princess), sedangkan tetekep baro untuk mengiringi tokoh pelayan dan pelawak dalam dramatari Gambuh (Phee, 1966:40). Namun demikian apa yang menyebabkan variasi tetekep itu dapat menentukan perbedaan rasa belum dijelaskan secara detail McPhee hanya menjeiaskan kenyataan yang biasa dipergunakan kemudian dideskripsi seperti tersebut di atas.
Karawitan Bali Dalam Perspektif Rasa, selengkapnya
by admin | Jan 30, 2010 | Artikel
Kiriman I Wayan Suharta
Balaganjur adalah sebuah orkestra tradisional Bali yang memiliki perangai keras, didominasi oleh alat-alat perkusi dalam bentuk lepas. Ciri yang sangat menonjol untuk menentukan identitas Balaganjur bahwa umumnya dimainkan sambil berjalan kaki untuk mengiringi kegiatan-kegiatan tertentu yang sifatnya prosesi. Balaganjur terbentuk dari berbagai jenis alat dengan “warna” suara yang beraneka ragam. Kendati demikian, semua jenis alat tersebut masih memiliki kesamaan dari cara memainkannya yaitu dengan cara dipukul (Sugiartha, 1996:31).
Secara fisik Balaganjur didominasi oleh instrumen-instrumen berpencon, bentuk instrumen-instrumen tersebut pada dasarnya sama, hanya saja terdapat perbedaan ukuran besar-kecil setiap bagian instrumen. Alat-alat yang menjadi kesatuan barungan Balaganjur dapat dikelompokkan menjadi kelompok instrumen pemegang melodi, kelompok instrumen pemberi ornamentasi, kelompok instrumen pemurba irama dan kelompok instrumen pengatur matra.
Kelompok instrumen pemegang melodi, dimainkan oleh enam orang penabuh (pemain gamelan); empat orang pemain reyong dan dua orang sebagai pemain ponggang. Instrumen pemberi ornamentasi yaitu cengceng kopyak, pemainnya tidak tetap antara enam sampai duabelas orang. Kelompok instrumen pemurba irama yaitu dua buah kendang (lanang-wadon) dimainkan oleh dua orang. Instrumen pengatur matra; meliputi dua buah gong (lanang-wadon) dimainkan oleh seorang penabuh, sebuah tawa-tawa, sebuah kempli, sebuah kempul dan sebuah bende yang masing-masing dimainkan oleh seorang penabuh. Karena Balaganjur adalah musik prosesi, maka diperlukan tenaga tambahan yang membantu membawakan gong empat orang, kempul satu orang dan bende satu orang. Jadi secara keseluruhan penabuh yang diperlukan untuk mendukung penyajian Balaganjur antara 25 sampai 35 orang.
Balaganjur merupakan salah satu wujud kesenian yang hingga sekarang masih mencerminkan karya seni yang adiluhung, sehingga harus dilestarikan keberadaannya. Namun demikian kedudukan Balaganjur akhir-akhir ini telah menghadapi masalah yang dapat dikatakan dilematis, meskipun tidak secara keseluruhan meng-anggap demikian. Pada satu pihak merisaukan bahwa Balaganjur tengah terancam nilai-nilai keasliannya, disisi lain justru keberadan Balaganjur semakin kokoh, kendatipun ditengah-tengah gelombang modernisasi yang begitu pesat.
Sebagai seni tradisional kesadaran untuk mengembangkan Balaganjur di kalangan seniman dan masyarakat Bali semakin bergaerah. Perhatian yang sungguh-sungguh dalam menggarap seni karawitan ini begitu menonjol bila dibandingkan dengan jenis karawitan yang lain. Walaupun gamelan merupakan bagian tak terpisahkan dari seni pertunjukan, secara audio-visual Balaganjur dapat berdiri sebagai seni tersendiri. Maka kemudian yang harus dipikirkan adalah bagaimana upaya yang dilakukan agar Balaganjur tetap lestari, akan tetapi juga harus mendasarkan pada sikap terbuka terhadap kemungkinan penyesuaian unsur-unsur seni yang ada, sehingga relevan dan diterima menurut situasi zamannya.
Tulisan ini akan mengkaji eksistensi Balaganjur dewasa ini dengan berbagai inovasinya, terutama mengenai makna Balaganjur ketika Balaganjur sedang mengalami proses sekularisasi dengan dampak membawa “perubahan estetis” secara musikalitas. Perubahan yang dimaksud lebih mengarah kepada pengembangan khasanah yang dimiliki Balaganjur, yang pada intinya lebih banyak berpijak pada konsep dasar yang telah ada untuk menghasilkan karya-karya yang inovatif, mantap dan masih mampu dicerna oleh masyarakat pendukungnya.
Dengan menjadikan Balaganjur sebagai topik tulisan ini, penulis bermaksud untuk menyajikan bagaimana masyarakat di Bali memberikan makna terhadap penyajian Balaganjur terutama dalam konteks aktivitas sosial masyarakat, baik yang berkaitan dengan aspek kehidupan beragama dan adat, maupun dengan aspek kehidupan berkesenian dalam menghadapi perubahan di lingkungan budayanya. Beberapa hal penting yang menjadi catatan bahwa 1) Balaganjur masih tetap eksis dan unsur-unsurnya telah banyak mengalami perkembangan; 2) Balaganjur telah memiliki satu konsep garap yang mapan untuk melahirkan karya-karya yang baru; dan 3) dewasa ini telah lahir kreasi-kreasi Balaganjur, baik hasil karya para seniman muda maupun seniman tua dengan mengadopsi unsur-unsur seni kekinian yang dapat memperkaya khasanah Balaganjur itu sendiri.
Kesenian seperti Balaganjur adalah salah satu unsur kebudayaan memiliki wujud dan peran yang sangat menonjol dalam mengisi tujuan, yang berorientasi kepada pelestarian nilai-nilai budaya. Sebagai bagian dari kebudayaan kesenian merupakan simbol dari masyarakat dan mengandung nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Tema-tema yang diangkat sebagai isi dari kesenian itu pada dasarnya bersumber dari kehidupan masyarakat.
Hakekat hidup orang Bali yang berpedoman pada hukum karma phala, sikap hidup yang berorientasi pada dualisme; baik dan buruk, sangat berpengaruh terhadap kesenian Bali (Bandem, 1996:33). Tema-tema kesenian Bali sebagian besar berangkat dari dualisme tersebut sehingga muncul norma dan etika yang kuat serta mengandung makna tertentu bagi setiap pertunjukan kesenian. Makna penyajian seperti Balaganjur sangat bergantung pada fungsinya. Ketika Balaganjur berfungsi melengkapi pelaksanaan ritual keagamaan Balaganjur memiliki makna religius dan ketika Balaganjur mengalami sekularisasi yang berorientasi seni presentasi estetis, Balaganjur mengalami perkembangan makna yang mengarah kepada makna profan.
Makna Balaganjur Dalam Aktivitas Sosial Masyarakat, selengkapnya.
by admin | Jan 30, 2010 | Artikel
Oleh: Mahdi Bahar
Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri dan perlu diakui ialah, bahwa kemunculan istilah (terminology) “kontemporer” di Indo-nesia tidak terlepas dari “ulah” kaum akademis anak negeri ini. Istilah yang bukan merupakan produk budaya masyarakat di Indonesia itu mereka adopsi berdasarkan pemahaman yang beragam.
Ternyata istilah “kontemporer” adalah istilah yang mem-punyai arti terlalu luas. Dalam diskusi sekitar masalah-masalah kebudayaan di Taman Ismail Marzuki sebagai acara Pesta Seni Jakarta pada [tanggal] 13 Desember 1970 yang lalu, oleh para peserta secara diam-diam rupanya telah disetujui pilihan yang diajukan oleh Dr. Fuad Hasan, yaitu bahwa seni kontemporer adalah seni yang menggambarkan “Zeitgeist” atau jiwa waktu masa kini (…). [Sedyawati sendiri berpandangan, bahwa] yang lebih mendekati maksud yang dituju, yaitu: seni kontemporer adalah seni yang menunjukkan daya cipta yang hidup, atau menurut istilah Dr. Umar Kayam: yang menunjukkan kondisi kreatif dari masa terakhir (Sedyawati, 1981:122).
Polemik dengan penilaian yang lebih menukik lagi tentang istilah kontemporer dan penerapannya dalam dunia musik “Indo-nesia” pada akhir-akhir ini (1994), tergambar dari pemikiran (konsepsi) yang dilancarkan atas pandangan Franki Raden dalam artikelnya berjudul “Dinamika Pertemuan Dua Tradisi: Musik Kontemporer Indonesia, di Abad XX”. Tulisan ini disigi Slamet Abdul Sjukur melalui esainya, “Mak Comblang dan Pionir Asongan: Musik Kontemporer itu Apa?. Selanjutnya, Dieter Mack meng-”klarifikasi”-lagi tulisan tersebut melalui artikel berjudul, “Sejarah, Tradisi, dan Penilaian Musik: Mempertimbangkan “Musik Kontemporer” dari Kacamata Budaya Barat”. Kemudian, Yapi Tambayong menyorot pula artikel Franki itu melalui dialog antara “Pradangga” dan “Waditra” melalui tulisan berjudul, “Niat Kembali Sonder Pergi: Pelbagai Pergulatan Musik (di) Indonesia”. Bentuk dialog ini mirip dengan dialog Socrates bersama Glaucon, Adeimantus, Polemarchus, Cephalus, Thrasymachus, dan Cleitophon di Piraeus dalam The Republic (Buchanan, 1977:5) membicarakan beberapa hal secara mendasar dan kritis. Namun yang jelas, bahwa pemahaman istilah contemporary (1631) sebagaimana dalam Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary yang berarti kejadian, keberadaan, kehidupan, yang ditandai oleh karakteristik periode sekarang (Mish, 1985:283) tersebut, tidak serta merta saja bisa diterapkan dalam membingkai suatu pembicaraan (disiplin).
Dalam kaitan itu pula tampaknya Mack dalam pengantar bukunya Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural mendasari pembicaraan antara lain dengan berpandangan, bahwa sejak tahun 1991 terasa diskusi berputar-putar terus tanpa ada penyelesaian yang memadai, sebab diterapkannya salah satu istilah dari lain budaya, tetapi arti pada budaya asal tersebut tidak disinggung, tidak diterapkan, bahkan barangkali kurang diketahui. (Mach, 2001:1). Namun dalam kaitan itu Mack mengakui pula, bahwa di Barat sendiri pun sering terjadi perbedaan persepsi antara jenis-jenis seni kontemporer (Ibid., p. 7).
Meskipun demikian Mack mengemukakan, bahwa yang dimaksud dengan musik kontemporer di Barat adalah per-kembangan karya seni otonom, yang dalam hal ini adalah musik seni (art music) Barat sejak awal abad XX, khususnya di Eropa dan Amerika, sebagai suatu sikap menggarap di ujung perkembang-an seni yang digeluti, yang merupakan reaksi atas dipandangnya musik seni sebelumnya tidak lagi sesuai dengan tuntutan zaman.(Ibid., p. 2, 35,36).
Apabila padangan tersebut merupakan pembenaran atas pengertian “musik kontemporer” dalam kebudayaan Barat, maka harus pulalah diterima kenyataan bahwa pada ujung perkembangan atau awal pertumbuhan fase-fase (zaman) yang disebut dengan Barok, Klasik, dan Romantik, sebagai model-model musik kontem-porer yang mewakili zamannya. Terjadinya zaman-zaman seni secara linear dalam rentang kurun waktu masing-masing, merupakan reaksi atas seni yang ada sebelumnya, sehingga ia merupakan gaya musik yang baru dari pada gaya seni yang ada sebelumnya. Dari persepsi ini patut dihormati pandangan Sjukur yang mengatakan, bahwa memang tiap musik itu “kontemporer” pada zamannya, maka tidak mengherankan kalau Bach ditinggalkan jemaah gereja St. Thomas, karena musiknya dikecam sebagai terlalu norak buat waktu itu (Sjukur, 1994:15).
Penulis sependapat dengan cara berpikir seperti demikian dan oleh karenanya kajian dalam dimensi diakronis atau sejarah (history) seperti yang dimaksud Gilbert J. Carraghan, sj., yaitu kaji-an mengenai peristiwa-peristiwa manusia masa lampau atau kenyataan-kenyataan karya manusia masa lalu (Garraghan dan Delanglez, 1957:3) akan dapat memberikan periodisasi tentang perjalanan peradaban manusia. Sebutan Barok, Klasik, atau Roman-tik dalam perjalanan kebudayaan Eropa atau zaman Batu Tua, Batu Muda, Perunggu, Besi, dan seterusnya, dalam sejarah kebudayan Indonesia, tidaklah bernama pada saat pertama kali kejadian itu berlangsung. Ia diberi nama oleh “sejarawan” setelah kejadian dengan segala kemapanan yang menciri padanya berlangsung dalam kurun waktu tertentu.
Oleh karena itu, amat tepatlah pemakaian istilah kontemporer hanya melekat pada pengertian, yaitu terjadinya suatu tindakan yang dipandang tidak seperti sebelumnya. Pada tindakan ini ada sesuatu yang berubah sebagai manifestasi dari adanya tuntutan akan per-ubahan dari yang dipadang mapan sebelumnya. Pada waktu per-ubahan itu terjadi, maka peristiwa tersebut merupakan sesuatu yang kontemporer (“mengkini”). Dalam hal ini, padangan tidak diberi arah pada apa atau ontologi dari aspek yang berubah; ontologi dari objek yang berubah tidak serta merta melekat padanya sebutan istilah kontemporer. Memang ontologi (apa) dari yang berubah merupakan produk dari suatu tindakan mengubah, tetapi setelah produk terbentuk sebagai suatu entitas, maka padanya tidak melekat lagi perubahan. Ia telah menetap sebagai sesuatu, bisa produk itu berupa karya seni, dan sebagainya. Sebagai contoh, sebuah karya musik yang diciptakan dengan segala kebaruan dalam kaitannya dengan fenomena kontemporer, tidak akan berubah lagi se-bagaimana misalnya terlihat pada rekaman audio visualnya tatkala pertama kali karya tersebut dipertunjukkan. Sementara itu, perubahan sebagai suatu fenomena, bisa terjadi kapan saja setelah karya tersebut menjadi, seiring dengan perjalanan waktu secara linear; karya tinggal, waktu berjalan.
Cara pandang begini didasari oleh pemikiran konsistensi pemakaian arti berubah dengan dampak kebaruan dari yang sebelum berubah, yang niscaya padanya mencerminkan jiwa atau pemikiran masa itu. Oleh karenanya, kalau pengertian kontemporer dilekatkan pada materi atau ontologi yang berubah, maka logikanya akan tumbuh secara linear periodisasi kontemporer-kontemporer, bisa I, II, III, dst. Demikian pula apabila objeknya adalah “musik”, akan ada seharusnya musik kontemporer I, II, III, dan seterusnya.
Dalam tulisan ini, kontemporer diartikan seperti demikian, yaitu terjadinya peristiwa perubahan yang mencerminkan jiwa waktu masa kini atas bentuk-bentuk yang dipadang mapan sebelumnya. Dalam konteks ini, ontologi dari sesuatu yang berubah dimaksud adalah apa yang disebut musik oleh orang Indonesia pada umumnya dan secara khusus adalah musik kebudayaan Minang-kabau.
Profil “Kontemporer” Musik Kelahiran Minang selengkapnya
by admin | Jan 30, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: I Nyoman Linggih
Menurut Koentjaraningrat (1990:203-204) setiap kebudayaan suku bangsa di dunia memiliki tujuh unsur kebudayaan yang universal yaitu: 1) bahasa, 2) Sistem pengetahuan 3) organisasi sosial, 4) sistem peralatan hidup dan teknologi, 5) sistem matapencaharian hidup 6) sistem religi, 7) kesenian. Kesenian adalah merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yang universal tersebut, oleh karena itu seni atau kesenian merupakan produk dari sebuah kebudayaan dari setiap suku atau bangsa di dunia. Untuk itu memahami sebuah fenomena kesenian atau seni tidak bisa dipisah-kan dari latar belakang di mana seni itu lahir.
Untuk dapat mengerti menyelami dan menilai usaha karya seni dari sesuatu bangsa dengan seksama, tidaklah cukup hanya menganalisa bentuk-bentuk karya seninya saja, kesusastraannya, seni suaranya, tari-tariannya dan seni rupanya. Pemahaman terhadap gaya hidup, keyakinan kepercayaan dan struktur penghidupan dan kehidupan dari suatu masyarakat adalah sendi-sendi yang sangat penting dalam penuangan bentuk karya seninya dan dengan demiki-an dianggap sangat perlu untuk diselami dengan penuh simpati dan secara tertib untuk dapat mengadakan interpretasi dan peninjau-an yang tepat (Murdowo, 1967:18).
Bali salah satu dari suku bangsa di Indonesia memiliki karakteristik seni dan budaya yang menarik. Oleh karena itu Bali tetap menarik bagi wisatawan mancanegara untuk dikunjungi untuk melihat kepaduan estetika budaya yang diilhami oleh sebuah frame yaitu religiusitas Hinduisme. Berdasarkan hal tersebut Bali terkenal dengan berbagai julukan seperti Pulau Sorga, Paradise created, Pulau seribu pura, Pulau Pariwisata dan lain sebagainya. Berbicara mengenai seni di Bali, karena hubungan agama Hindu dengan seni tak dapat dipisahkan, hal itu dapat menumbuhkan rasa seni yang sangat mendalam dalam masyarakat dalam berbagai bidang, ter-utama dalam bidang seni pahat, seni gamelan, seni lukis, seni tari, seni hias, seni patung dan lain-lain (Mantra,1991:5).
Hal ini dipertegas lagi oleh I Gusti Bagus Sugriwa (1952:22) bahwa kesenian Bali atau seni budaya suku Bali-Hindu yang hidup bergolak sampai sekarang, pada hakikatnya adalah anak atau cabang ranting dari agama Hindu Bali. Kesenian dengan agama ini mempunyai hubungan yang amat erat pada umumnya tidak dapat dipisahkan satu sama lainya. Tegasnya jika agama Hindu Bali itu musnah dari nusa Bali ini, tak dapat dipungkiri lagi kesenian Bali-Hindu yang meliputi seni sastra, seni nyanyi, seni tari, seni ukir, seni rupa dan lukis dan bunyi-bunyian pun akan turut hilang. Sebaliknya bila kesenian Bali-Hindu itu hilang, mungkin pula agama Hindu-Bali itupun gaib juga. Meskipun apa yang dikemukakan oleh I Gusti Bagus Sugriwa secara realitas emperik belum meyakinkan, namun secara normatik memang beralasan, dalam pengertian ada kekhawatiran beliau akan “kepunahan tradisi seni Hindu”. Konsep berkesenian dalam masyarakat Bali berkaitan dengan nilai agama Hindu yang sering terjelma dalam karya-karya seni.
Keindahan Bali dapat mencakup aspek-aspek seperti yang dikemukakan oleh The Liang Gie (1976:35) yaitu keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral dan keindahan intelektual. Dua aspek keindahan terakhir menyangkut kaidah estetika yang bersumber pada agama Hindu. Keindahan moral menyangkut sikap dan perilaku masyarakat Bali berdasarkan ajaran agama Hindu, demikian juga keindahan intelektuil tercermin pada makna gagasan yang menjadi isi dari setiap seni yang tercipta. Estetika adalah salah satu unsur yang penting dalam hidup manusia. Ia menggerakkan manusia ke arah konstruktif dalam berbagai lapangan hidup, antara lain kepada rasa jengah yang berlandaskan Rajasika dan Satwika (Mantra, op. cit. p. 12).
Landasan Rajasika dan Satwika ini merupakan dasar-dasar yang meletakkan hubungan keindahan dengan esensi agama Hindu sebagai “roh” karya seni yang lahir dan berkembang di Bali. Kesenian Bali telah berkembang begitu pesatnya, seiring dengan perkembangan dunia pariwisata, maka dampak dari perkembangan pariwisata tersebut, muncullah kreativitas seni yang mencoba untuk memperindah pulau Bali itu sendiri. Salah satu seni yang turut memperindah tata ruang kota atau jalan di Bali adalah seni patung. Seni patung ini termasuk seni pahat, yang meliputi seni-seni patung dan relief (Widia,1991:1). Dalam pandangan Murdowo (1967:41) bahwa pulau Bali dipenuhi dengan ukiran dan patung-patung; di puri-puri, pura-pura di pinggir dan persimpangan jalan selalu ada patung-patung yang terukir sangat indah dan mempunyai gaya style yang tersifat bagi seni pahat Bali. Patung-patung yang menghiasi sudut-sudut kota atau persimpangan jalan, seperti patung Caturmuka di jantung kota Denpasar , Patung Kala Rau di Kota Gianyar, Patung Pemuteran Mandara Giri di Kota Gianyar, Dewa Indra Menjaga Tirta Suci di Gianyar dan sebagainya. Patung-patung seperti itu sumber penciptaannya diambil dari mitologi Hindu.
Secara umum patung-patung yang menghiasi keindahan kota di Denpasar, baik di wilayah Kabupaten Badung maupun di Kodya dapat digolongkan menjadi 1) patung Kala; Catur Muka di perempatan Jln. Gajah Mada, 2) Monumen Puputan Badung di Lapangan Puputan Badung, Monumen Anumerta Kapten Japa di Simpang Empat Sanur, Monumen Anumerta Kapten Cokorde Agung Tresna di Simpang Empat Gatot Subroto, dan Monumen Anumerta Mayor I Gusti Ngurah Bagus Sugianyar di Simpang Empat Terminal Ubung. Monumen Anumerta I Gusti Ngurah Rai di Pertigaan Tuban Nusa Dua, 3) patung Wayang/Dewa-Dewa; Pendeta di Suci, Gatotkacasraya Airport Tuban, Dewaruci di Simpang Siur Kuta, dan sebagainya. Secara khusus Denpasar pasti memiliki lebih dari 20 patung, patung-patung kecil, serta Monumen yang dapat dibagi menjadi 1) patung tradisional dan religius dari batu, 2) patung besar, modern dan realistik dari perunggu, 3) patung-patung kecil serta Monumen dari batu lunak atau semen kebanyakan dilapisi cat sebagai pelindung, dan antara lain karena ciri kerakyatannya disebut ‘seni semen’. Patung-patung tersebut ber-kaitan dengan:1) Dewa dan roh, 2) perjuangan kemerdekaan pada awal atau akhir abad ini, 3) tokoh-tokoh wayang, 4) kebijaksanaan pemerintah misalnya pemberantasan buta huruf dan 5) kegiatan sosial budaya yakni patung sebagai hiasan seperti yang sering kita lihat terbuat dari kayu untuk para wisatawan (Nas, 1996:14).
Tak kalah menariknya untuk disimak adalah Patung Dewa Ruci yang terletak di persimpangan Jalan Arteri Nusa Dua-Tanah Lot, penciptaan patung Dewa Ruci adalah merupakan transformasi dari teks-teks karya Sastra Jawa Kuna khususnya. Namun dalam perkembangan di lapangan terjadilah improvisasi bentuk patung, kehadiran tokoh Bhima ini menjadi hal yang menarik untuk dikaji, baik secara material maupun secara konseptual. Secara material adalah aspek estetika ragawi yang dapat dicerna oleh indria penglihatan, sedangkan aspek konseptual meliputi nilai-nilai tersirat yang ada pada Patung Dewa Ruci itu. Sebagai sebuah konsep visualisasi dari sebuah ajaran agama, maka Patung Dewa Ruci/Nawa Ruci sarat akan makna hidup dan kehidupan.
by admin | Jan 30, 2010 | Artikel, Berita
Oleh I Gusti Ngurah Seramasara
Dari hasil-hasil penelitian para ahli, maka periode jaman Bali kuna ditetapkan dari abad IX sampai dengan abad XIV, karena pada kurun waktu ini pengaruh Majapahit belum ada walaupun pengaruh Jawa sudah masuk ke Bali. Batas antara Bali Kuna dengan Bali yang kita kenal sekarang sebagai pewaris budaya kerajaan Majapahit disepakati oleh sejarawan sejak jatuhnya kerajaan Bedahulu di bawah pemerintahan Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten adalah tahun 1364. Jelas merupakan suatu periode yang masih perlu diperbincangkan, tetapi pemikiran historis bahwa penetapan itu berdasarkan atas sumber-sumber tertulis yang ada. Sumber-sumber tertulis dalam bentuk prasasti-prasasti mengenai Bali, baru diketahui sejak abad IX, dan dari hasil-hasil penelitian para ahli yang ingin mengetahui sejarah Bali secara lebih mendalam, jatuhnya Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten dianggap sebagai munculnya budaya Baru yang di bawa oleh penguasa Majapahit ke Bali.
Peneliti-peneliti asing yang banyak memperbincangkan sejarah Bali antara lain: Dr. H.N. van der Tuuk dan Dr. J.L.A Brandes menemukan prasasti Blantih dan prasasti Klandis pada tahun 1885, dan pada tahun 1890 kedua peneliti ini menemukan beberapa Parasti di desa Julah yang sekarang disimpan di desa Sembiran yang disebut dengan prasasti Julah. Penelitian mengenai prasasti Bali kemudian dilanjutkan oleh Dr. P.V van Stein Callenfels, yang hasilnya diterbitkan dalam Ephigrafia Balica tahun 1926. Pada tahun 1928 Dr. W.F Stutterheim di Pura Sibi. Desa Kesian, Gianyar yang kemudian hasilnya diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul Ouheden van Bali (1929). Kemudian Dr. R. Goris melanjutkan penelitian tersebut di atas serta membukukan prasasti-prasasti tersebut dengan Judul Prasasti Bali I dan Prasasti Bali II pada tahun 1954 ( Kartodirdjo, 1976:129-186).
Prasasti pertama yang berhasil ditemukan berangka tahun 804 saka, yang isinya adalah ijin kepada beberapa bhiksu untuk membangun pertapaan di Bukit Kintamani, kemudian prasasti yang berangka tahun 818 saka pemberian ijin kepada beberapa bhiksu untuk membangun kuil Hyang Api di desa Banua Bharu. Prasasti Trunyan yang berangka tahun 813 saka adalah pemberian ijin untuk membangun kuil Bhatara Da Tonta. Hal ini menunjukan bahwa pengaruh India sudah masuk ke Bali melalui ajaran agama dan ajaran agama itu menuntut dibangunnya tempat-tempat pemujaan, sehingga ijin untuk membangun tempat pemujaan dapat diasumsikan bahwa agama yang datang ke Bali telah mengekpresikan kebudayaannya melalui berbagai jenis dan bentuk kesenian. Misalnya muncul arsitektur bangunan suci, sistem pemujaan, serta berbagai bentuk kesenian seperti seni patung (arca), seni tari, kerawitan dan pedalangan. Prasasti itu juga memberikan petunjuk bahwa budaya Hindu sudah ada di Bali sebelum jatuhnya Bali ketangan Majapahit.
Prasasti Blanjong yang berangka tahun 835 saka berisi tentang kemenangan raja Sri Kesari Warmadewa, dan juga menyebutkan istananya terletak di Singadhwalawa, kemudian pada tahun 837 menyebutkan nama raja Sri Ugrasena yang kemudian dilanjutkan oleh raja Tabanendra pada tahun 877-889 saka, tetapi pada tahun 882 muncul sebuah prasasti yang menyebut nama Jayasinga Warmadewa. Setelah pemerintahan raja Jayasinga Warmadewa tahun 897 ditemukan lagi nama raja Jaya Sadu Warmadewa. Setelah pemerintahan Dinasti Warmadewa, munculah dinasti Udayana yang memerintah bersama istrinya yaitu Gunaprya Dharmapatni, yang lebih dikenal dengan Mahendradata pada tahun 923 saka. Udayana mempunyai tiga orang anak yaitu Airlangga, Marakatta, dan Anak Wungsu. Airlangga kemudian memerintah di Jawa Timur, sehingga tahta pemerintahan Udayana dilanjutkan oleh Marakatta (944 – 971saka). Setelah Marakatta pemerintahan dilanjutkan oleh Anak Wungsu (971-999 saka). Setelah dinasti Udayana muncul nama raja Sri Walaprabu (1001-1010 saka), kemudian muncul nama raja Sakalendukirana 1010 – 1023 saka), dilanjutkan oleh Sri Suradipa (1037-1041), kemudian Bali diperintah oleh Sri Jayasakti (1055 – 1072 saka), kemudian Ragajaya (1077 saka) dan pemerintahan dilanjutkan oleh Sri Jayapangus (1099-1103 saka). Setelah pemerintahan Sri Jaya Pangus Bali diperintah oleh Eka Jaya Lencana (1122 saka), kemudian dilanjutkan oleh Hyang Adidewa Lencana 1182. Setelah pemerintahan Adidewa Lencana Bali dikuasai oleh Raja Singosari yaitu Kerta Negara. Setelah hancurnya Singosari, di Bali muncul nama raja Sri Maharaja Bhatara Mahaguru Dharmottungga Warmadewa (1247). Munculnya dinasti Warmadewa kembali menarik perhatian bagi peneliti sejarah karena unsur nama Warmadewa sudah lama hilang pada raja-raja Bali (Ibid., p. 187 ). Pada tahu 1259 saka, Bali diperintah oleh Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten yang dianggap sebagai raja penganut aliran Tantrayana dan menganggap dirinya adalah Tuhan. Dari penjelasan prasasti tersebut dapat dibuktikan bahwa di Bali telah ada system pemerintahan, struktur kenegaraan, serta system kepercayaan yang merupakan emberio dari agama Hindu yang kita anut sekarang.
Prasasti-prasasti tersebut kemudian dikumpulkan oleh Dr. R Goris dalam sebuh buku yang diberi judul Prasasti Bali I dan Prasasti Bali II. Prasasti ini disamping memuat dinasti dari raja-raja yang berkuasa di Bali juga memuat mengenai masalah perpajakan, perundagian, pertanahan, juga memuat berbagai jenis kesenian yang ada pada jaman Bali Kuna. Jenis-Jenis kesenian tersebut antara lain: patapukan, pamukul, menmen, abanwal, abonjing, bangsa, anuling, pasangka, parbwayang, aringgit, dan parpadaha. Semua istilah ini adalah istilah seni misalnya: partapukan (pertunjukan topeng), pamukul (pemukul gambelan), menmen (topeng), abanwal (badut atau bondres), abonjing (angklung), anuling (suling), pasangka (peniup trompet), parbwayang (pertunjukan wayang), parpadaha (permainan kendang), aringgit (pertunjukan wayang). (Goris, 1954:125 ).
Disamping sumber-sumber prasasti seni pertunjukan akan dapat diamati melalui data-data berupa relief-reliaf candi, dan seni arca-arca maupun alat-alat kesenian dari prunggu seperti nekara Pejeng yang dapat dianggap sebagai alat musik dan reliefnya juga menggambarkan data-data kesenian.
Ketika kita mengamati sikap-sikap tangan dan kaki pada seni arca batu, kita akan dapat membayangkan bahwa sikap tangan dan kaki dari arca itu menggambarkan gerak tari. Hal ini menunjukan bahwa Tari sebagai sebuah hasil kreativitas seni tidak hanya ada ketika ditemukannya prasasti tetapi lebih jauh dapat dianggap sebagai hasil kebudayaan zaman Megalitik. Sumber sumber kesenian ketika Bali ditaklukan oleh kerajaan Majapahit, tidak hanya dapat diamati melalui prasasti dan seni arca juga mulai diabadikan melalui penulisan babad dan pemancangah serta plutuk-plutuk bebantenan.