M

Tentang ISI Bali

Sejarah

Pengantar

Akreditasi

Visi dan Misi

Struktur Organisasi

SAKIP

JDIH

Penghargaan

PPID

Green Metric

Pendidikan

Fakultas Seni Pertunjukan (FSP)

Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD)

Pascasarjana

Program Internasional

Alumni

Penelitian

Penelitian, Penciptaan dan Diseminasi Seni dan Desain (P2SD)

Penelitian Disertasi (PDD)

Penelitian Kompetisi Nasional

Penelitian Kerja Sama

Pengabdian

Bali Citta Swabudaya (BCS)

Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)

Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Pusat

Indentifikasi dan Inventarisasi Kain Gringsing di Desa Tenganan, Karangasem

Indentifikasi dan Inventarisasi Kain Gringsing di Desa Tenganan, Karangasem

Oleh : Tjok Istri Ratna Cora Sudharsana (Dosen Program Studi Desain Interior ISI Denpasar)

Anonim dari Pagerinsingan foto Ratna CoraDalam selembar kain terjelma perjalanan panjang sebuah bangsa. Kreativitas bangsa Indonesia selama kurun waktu kurang lebih 1500 tahun, melalui berbagai kegiatan tradisi budaya menciptakan berbagai teknik pembuatan kain dan ragam hiasnya.

Ketrampilan membuat ragam hias di Indonesia dipengaruhi oleh unsur sejarah. Pengaruh yang paling menonjol tampak dari masa neolithikum. Setelah itu pengaruh datang dari kebudayaan Dongson yang dibawa bangsa dari Tonkin dan Annam Utara sekitar 700 tahun sebelum Masehi, bangsa inilah yang menjadi nenek moyang bangsa Indonesia. Selain bentuk – bentuk fauna dan flora serta pemujaan terhadap leluhur yang dikenal dari masa neolitik , salah satu bukti peninggalan di Bali berupa nekara kecil dari bahan perunggu yang bermotif katak dan garis-garis geometris mempengaruhi motif ragam hias pada tenunan Indonesia.

Perkembangan berbagai ragam hias dibarengi berbagai teknik pembuatan kain seperti : Teknik tenun ikat single dan double, batik, celup dan printing (cap). Sebagai bangsa Indonesia kita patut berbangga, karena hanya ada tiga tempat di dunia yang menggunakan teknik dobel ikat, yaitu Jepang, India dan Indonesia. Satu-satunya daerah di Indonesia yang mengenal pembuatan tenun dobel ikat adalah Tenganan, Karangasem,Bali. Hasil tenunan dengan teknik ini dinamakan kain Gringsing. Tenganan Pegringsingan terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Desa seluas 1.496.002 hektar, berpenghuni sekitar 600 jiwa terdiri atas tiga banjar, yaitu : Banjar Dauh, Banjar Kangin dan Banjar Pande mencerminkan budaya abad ke – 11. Tenganan merupakan salah satu desa kuno di Bali yang disebut dengan ”Bali Aga”.

Menurut hasil penelitian, V.E Korn, De Dorpsrepubliek Tenganan Pegeringsingan (1933), Kata Pegringsingan diambil dari kata gringsing yang terdiri dari kata gring dan sing. Gring berarti sakit dan sing berarti tidak. Jadi gringsing berarti tidak sakit. Bahkan orang yang memakai kain gringsing dipercaya dapat terhindar dari penyakit dan lebih kompleks lagi gringsing adalah penolak mara bahaya. Pendapat lain datang dari Urs Ramseyer (1984) dalam tulisan yang berjudul ”Clothing, Ritual and Society in Tenganan Pegeringsingan Bali”, menduga orang Tenganan sebagai sesama penganut dewa Indra merupakan imigran dari India kuno, kemungkinan membawa teknik dobel ikat melalui pelayaran dari Orrisa atau Andhra Pradesh. Kemudian teknik dobel ikat ini dikembangkan secara independen di Tenganan. Atau mungkin juga para imigran menguraikan kutipan-kutipan dari beberapa jenis tenun patola untuk dikembangkan di Indonesia. Saat ini suatu dinamika dalam kebudayaan terjadi juga di Tenganan yang sedang mengalami perubahan. Meskipun demikian ada unsur-unsur budaya yang tetap dipertahankan. Kaye Crippen (1994), Change and Continuation of Double Ikat Weaving in Tenganan, Bali mengemukakan bahwa adanya upaya untuk menghidupkan kembali motif-motif kain gringsing. Walaupun warna dan keunikan desain ikat saat ini tidak sama dengan kain-kain kuno yang pernah didokumentasikan oleh museum-museum di Eropa, khususnya dari museum Basel,Swiss. Tahun 1972, Group Peneliti dari museum Fur Volkerkunde, Basel, Schwitzerland, Urs Ramseyer membawa foto-foto kain gringsing yang beberapa jenisnya tidak lagi berada di Desa Tenganan bahkan tidak diketahui namanya. Mereka sangat berjasa membawa foto-foto kain kuno untuk dipelajari dan dibuat kembali. Dengan demikian masyarakat Tenganan dapat merevitalisasikan keunikan budayanya yang menjadi identitas masyarakat setempat.

Ragam motif kain gringsing terilhami oleh bentuk flora, fauna, wayang dan candi.

Motif Anonim dari Pegeringsingan, foto Ratna CoraAdapun motif-motif kuno kain gringsing yang dikenal meliputi: 1) Wayang kebo, 2) Cemplong ; 3)Cecempakan ; 4)Lubeng ; 5) Teteledan ; 6) Batung Tuhung ; 7) Patlikur Isi; 8. Tidak diketahui namanya (tetapi motif dasar Patlikur Isi dengan ukuran besar) ; 9) Enjekan Siap ; 10) Wayang Putri ; 11) Tidak diketahui namanya (di duga Pitri Dedari,disebabkan motif wayang istri) ; 12) Tidak diketahui namanya ; 13) Tidak diketahui namanya ; 14) Pepare ; 15) Gegonggangan ;16) Sanan Empeg ;17) Sitan Pegat ; 18) Dinding Ai ; 19) Dinding Sigading ; 20) Talidandan ; 21) Tidak diketahui namanya (mirip enjekan siap) ; 22) Tidak diketahui namanya ; 23) Wayang (tidak diketahui namanya – sikap : menyilangkan kaki). Hingga kini masih meninggalkan tanda tanya perjalanan beberapa kain gringsing yang tidak diketahui namanya. Foto-foto beberapa motif kain gringsing yang tidak diketahui namanya.

Sistem Penerimaan  Mahasiswa Baru (SPMB) Tahun 2010

Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) Tahun 2010

ISI Denpasar membuka pendaftaran calon mahasiswa baru untuk kelas reguler, dengan 4 jalur Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Adapun 4 jalur SPMB adalah

1. SPMB Jalur Umum

2. SPMB Jalur Unggulan Daerah

3. SPMB Jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK)

4. SPMB Jalur Bidik Misi

Untuk selengkapnya silahkan klik disini

Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) ISI Denpasar Tahun 2010

Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) ISI Denpasar Tahun 2010

Pada tahun anggaran 2010, ISI Denpasar  kembali menyelenggarakan Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) bagi mahasiswa yang telah memenuhi persyaratan. Mulai tahun 2009 Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional meluncurkan Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) untuk dilaksanakan dan dikembangkan oleh perguruan tinggi.

Pengertian Kewirausahaan adalah semangat, sikap, perilaku kemampuan seseorang dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Kewirausahaan adalah suatu proses kreativitas dan inovasi yang mempunyai resiko tinggi untuk menghasilkan nilai tambah bagi produk yang bermanfaat bagi masyarakat dan mendatangkan kemakmuran bagi wirausahawan.  Kewirausahaan itu dapat dipelajari walaupun ada juga orang-orang tertentu yang mempunyai bakat dalam hal kewirausahaan.  Strategi pendidikan yang diwujudkan dalam PMW bertujuan membentuk soft skill agar berperilaku sesuai karakter wirausaha.

Pada tahun 2009 ISI Denpasar telah menye-lenggarakan PMW,  menetapkan 88 orang mahasiswa peserta PMW dengan jumlah proposal rencana bisnis 34 judul (mandiri dan berkelompok), modal kerja yang dialokasikan sebesar Rp. 7.900.000,- (tujuh juta sembilan ratus ribu rupiah) per mahasiswa.

Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) ISI Denpasar Tahun 2010, selengkapnya.

Dampak Pariwisata Terhadap Seni Patung Tradisional Di Desa Silakarang

Dampak Pariwisata Terhadap Seni Patung Tradisional Di Desa Silakarang

Oleh I Wayan Mudana, diterbitkan dalam Jurnal Mudra Edisi September 2007

Pengaruh pariwisata terhadap sosial budaya masyarakat Bali dapat dilihat dari berbagai kreativitas seni yang dilakukan oleh masyarakat, sistem organisasi kemasyarakatan yang dijalankan, serta karakteristik atau prilaku masyarakat Bali yang merupakan unsur utama ke Baliannya. Dari unsur seni budaya, pariwisata dapat mendorong masyarakat untuk menghidupkan kembali seni kebudayan asli yang sudah hampir terlupakan, dapat menggairahkan perkembangan kebudayaan asli, serta dapat menumbuhkan kreativitas seni masyarakat yang dapat memperkaya kasanah budaya Bali. Namun disayangkan kebanyakan motivasi mereka lebih pada komersialisasi, sehingga sering mengakibatkan terjadinya provanisasi benda-benda seni yang bersifat sakral dan tempat suci yang sering mendapatkan sorotan masyarakat banyak. Dari aspek keorganisasian, pariwisata dapat memperkokoh organisasi tradisional seperti banjar, desa pakraman, subak yang merupakan identitas masyarakat Bali yang menjadi salah satu daya tarik wisatawan. Sedangkan dari aspek prilaku dan pola hidup yang sering digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai kebaliannya masyarakat Bali sudah adanya tedensi pergeseran, namun secara umum masyarakat Bali masih bisa mempertahankan karakteristik prilaku sebagai masyarakat Bali.

Khusus mengenai eksistensi seni budaya yang merupakan hasil karya masyarakat Bali asli yang belum dipengaruhi budaya asing (luar) yang sering diidentifikasikan sebagai budaya tradisional yang mencerminkan identitas warna lokal (budaya lokal) Dalam melihat pengaruh pariwisata terhadap budaya lokal maka dalam penelitian ini akan diteliti tentang salah satu unsur seni budaya yang berupa karya seni patung yang dihasilkan oleh masyarakat Desa Silakarang, Singapadu Kaler, Sukawati, Gianyar. Lokasi ini merupakan jalur pariwisata yang sering dilewati bahkan dikunjungi oleh wisatawan yang membeli dan memesan patung. Sering sekali patung yang dipesan oleh wisatawan sesuai dengan desain yang mereka kehendaki, sehingga eksistensi patung tradisional terancam perkembangannya bahkan dikwatirkan terancam kepunahannya. Apalagi dengan berkembangnya kunjungan wisatawan dari berbagai belahan dunia yang memungkinkan banyak ide atau desain-desain yang bervaraiasi yang mengapresiasi patung tradisional. Sehingga patung yang dihasilkan tidak lagi memberikan warna lokal asli daerah Bali, tetapi lebih pada dominasi budaya wisatawan terhadap budaya lokal.

Penelitian yang dilakukan ini bersifat deskriptif dan komperatif, yaitu penelitian yang menjelaskan suatu fenomena dan membandingkan antara satu fenomena dengan fenomena lainnya. Dalam penelitian ini akan menjelaskan tentang eksistensi seni patung tradisional akibat adanya pengaruh pariwisata, dan membandingkan antara pendapatan yang diterima oleh masyarakat dari pembuatan patung tradisional (warna lokal) dengan pendapatan yang diterima dari pembuatan patung modern.

Penelitian ini dilakukan di Desa Silakarang yang merupakan jalur menuju kawasan pariwisata Ubud dan mulai dilakukan dari bulan Oktober 2005 sampai bulan Februari 2006. Alasan pengambilan lokasi ini, karena di Desa Silakarang yang 90% masyarakatnya sebagai pematung batu padas dan merupakan daerah pematung pertama di daerah Gianyar, yang sering disebut sebagai sentral seni patung batu padas. Karya-karya seni patung yang dibuat di Silakarang dianggap bisa mewakili eksistensi seni patung tradisional kalau dilihat dari aspek bentuk, fungsi dana makna, dan dampak pariwisata dilihat dari aspek estetik, sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan. Sebagai jalur wisata yang banyak dilewati oleh para wisatawan, transaksi bisnis antara para wisatawan dengan para pengusaha sangat besar pengaruh pariwisata terhadap eksistensi budaya lokal khusunya seni patung tradisional.

Dampak Pariwisata Terhadap Seni Patung Tradisional Di Desa Silakarang, selengkapnya

Apresiasi  Estetika Dan  Etnis Multikultur Di Indonesia: Mencegah Disharmoni, Menjaga  Kebertahanan NKRI

Apresiasi Estetika Dan Etnis Multikultur Di Indonesia: Mencegah Disharmoni, Menjaga Kebertahanan NKRI

Oleh Ketut Sumadi, diterbitkan dalam jurnal Mudra Edisi September 2007

Indonesia termasuk negara besar di kawasan Asia Tenggara yang terdiri atas ratusan pulau, memiliki beragam etnik (suku) yang hidup dan berkembang dengan tradisi serta keyakinan religius yang unik sehingga lahir corak budaya berbeda satu sama lain. Kemajemukan budaya atau multibudaya dalam pandangan Posmodernisme dikenal dengan istilah multikulturalisme.  Paham  multikulturalisme diperkirakan diwacanakan pertama kali pada tahun 1960 oleh ahli Sosiologi Kanada, Charles Hobart ketika dilangsungkannya konferensi tentang Dewan Kanada tentang agama Kristen dan Yesus di Winnipeg (Manitoba) Kanada, namun sebagai wacana politik yang resmi berkembang di Kanada tahun 1997 dan di Australia tahun 1977-1978 (Ardhana,2001:3), konsep multikulturalisme ini diterjemahkan Edi Sedyawati sebagai konsep “aneka budaya” (Bagus, 2001:8).

Keunikan dan keanekaragaman kultur masing-masing etnis itu, baik dalam bentuk seni sastra, seni pertunjukkan, seni suara/musik, seni kriya, maupun seni lukis, memiliki estetika yang berbeda pula.. Di Eropa perumusan tentang estetika baru terjadi tahun 1648 oleh Baumgarten, tetapi baru dapat diakui secara umum setelah Immanuel Kant (1724-1804), seorang Filsuf Jerman, memakainya dalam tulisan-tulisan falsafinya (Jelantik, 1994: 15).  Estetika sebagai filsafat keindahan memang berkaitan erat dengan seni (Wurianto, 2006 dalam Suastika, 2006:vii). Mengutif Plato (dalam Sutrisno, 1999;107), Wurianto menguraikan, keindahan dapat ditengarai dari dua hal, yaitu benda-benda/hal-hal indah merupakan kelompok objek yang dilihat, dinikmati dan didengar yang berada di sekeliling manusia. Selain itu keindahan  ada tanpa melekat  dalam dunia objek-objek indera, tetapi berada dalam “the intelligible world”, yaitu dunia nontemporal, nonspesial, tetapi dalam dunia forma yang berisi sari-sari pokok dan abadi dari pengetahuan. Keindahan mengatasi dunia indera, pengalaman, yaitu pengalaman akan keindahan merupakan hal yang khusus, tidak dapat tuntas dideskripsikan, dipaparkan. Sementara itu,  Thomas Aquinas  memberikan syarat-syarat mengenai keindahan dengan ciri: (a) Indah itu sekaligus sempurna, tidak terpecah dan tidak tersamai; (b) Berciri harmoni, selaras, bermakna proporsional; (c) Jelas, terang, dan jernih. Sedangkan G.W.F. Hegel (dalam Woryomartono, 2001:39) menyatakan bahwa letak dan kedudukan karya seni yang dalam hal ini disebut dengan “fina art” adalah usaha dan manifestasi dari manusia untuk membawa keindahan alam raya ke dalam ranah budaya.

Dalam perspektif kajian budaya (culture study) di Indonesia, masing-masing  kultur etnis di Indonesia memiliki estetika yang sarat muatan untuk membangun kehidupan harmonis dan  selaras dalam ranah budaya Nusantara yang bhineka tunggal ika. Karena itu,  tidak berlebihan kiranya, jika kajian pengetahuan tentang estetika dan  etnis multikultur di Indonesia  diharapkan dapat  mengangkat nilai relevansi dan makna dari keragaman budaya tersebut, sehingga akan melahirkan pemahaman tentang seni budaya sebagai  upaya mencegah disharmoni berbangsa dan bernegara, yang pada akhirnya bermuara pada kebertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Di sinilah diperlukan adanya kemauan yang tulus dari seluruh etnis di Indonesia untuk melangkah seiring seirama dalam mengapresiasi estetika dalam kandungan budaya yang beragam itu. Konsep  apresiasi sangat dekat dengan penikmatan. Dalam apresiasi terdapat proses yang melibatkan aspek pemahaman, sikap, dan penilaian Pemahaman terkait dengan pengalaman pribadi yang berhubungan dengan ingatan, penerapan, analisis, kemampuan mensintesis dan unsur-unsur kritis. Di tengah gegap gempitanya kreativitas para seniman melahirkan karya-karya seni,  menurut Jelantik (1994:7), pembicaraan tentang estetika menjadi semakin penting, karena  karya seni yang dilahirkan itu tidak bisa lepas dari  rasa kepedulian atas bobot dan mutu estetik, serta  kepedulian atas arah kemana dibawanya kesenian itu.  Oleh karena itu,  wahana yang  besar untuk menumbuhkan  iklim apresiasi estetika itu  adalah melalui bangku pendidikan, baik formal maupun nonformal.

Secara formal pengenalan dan kajian apresiasi estetika diberikan di sekolah dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai di Perguruan Tinggi, terlebih pada Perguruan Tinggi Seni seperti di Institut Seni Indonesia (ISI) di seluruh Indonesia, kajian estetika tidak cukup di atas kertas semata, tetapi lebih pada usaha membawa keindahan itu dalam ranah budaya yang mengantar setiap orang menemukan jati dirinya dan kesadaran sebagai warga negara Indonesia yang bersatu serta berdaulat.

Sedangkan secara nonformal, pengenalan dan kajian apresiasi estetika kultural multietnis di Indonesia bisa diberikan lewat  aktivitas berkesenian di bale banjar atau di sanggar-sanggar kesenian yang kini tumbuh subur di tengah masyarakat, seperti yang dilakukan Sanggar Tari “Lokananta” dari Banjar Mukti Singapadu, Sukawati Gianyar (Bali Post,  4 Februari 2007). Pesta Kesenian Bali (PKB) juga bisa menjadi studi kasus menarik, karena selama sebulan berlangsungnya  PKB setiap tahun, banyak menampilkan seniman dari berbagai etnis di Indonesia, bahkan dari luar negeri. Demikian pula para seniman kini mulai menampilkan karya-karya seni yang menggabungkan berbagai elemen budaya etnis di Indonesia sebagai wujud usaha mereka  membangun semangat kebersamaan dan persatuan bangsa melalui estetika.

Tulisan singkat ini memang dimaksudkan untuk menggugah apresiasi masyarakat terhadap estetika seni multietnis itu dari perspektif kajian budaya dalam rangka mencegah  disharmoni dan menjaga kebertahanan NKRI di tengah krisis multidimensi yang, salah satunya diwarnai dengan terjadinya  konflik  etnis di beberapa daerah di Indonesia, sampai saat ini.

Apresiasi  Estetika Dan  Etnis Multikultur Di Indonesia: Mencegah Disharmoni, Menjaga  Kebertahanan NKRI, selengkapnya

Loading...