by admin | Apr 2, 2010 | Artikel, Berita
Oleh : Drs. A.A. Gde Ngurah T.Y., M.Si., Jurtusan Seni Murni, FSRD, DIPA 2008
Abstrak Penelitian
Latar belakang dan daya tarik memilih topik penelitian TRANSPORMASI RERAJAHAN SENI LUKIS BALI MODERN adalah karena penulis melihat banyaknya muncul lukisan-lukisan Bali modern yang memakai tema-tema rerajahan. Ketika memasuki tengah abad ke 21, telah terjadi perubahan-perubahan, terutama dalam seni lukis Bali modern, dalam irama penuh kreasi, ide, dan kreatifitas senimannya yang bersumber pada “rerajahan”. Rerajahan pada hekekatnya merupakan budaya Hindu Bali, sebagai suatu produk lokal genius. Hal ini dapat dilihat pada upakara panca yadnya, sarana pengobatan, ilmu penengen dan ilmu pengiwa. Antara rerajahan, tantra, dan mantram memiliki suatu keterpaduan yang sangat erat dan saling mendukung di dalam membangkitkan kekuatan magis sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan masyarakat Bali. Transformasi Rerajahan Seni Lukis Bali Modern pada dasarnya telah dimlai sejak masuknya pengaruh budaya luar. Rudolf Bonnet dan Walter Spioes memberikan pengaruh kepada kehidupan seniman Bali untuk mengungkapkan ide –idenya secara bebas. Transpormasi rerajahan telah diawali pada zaman Pitha Maha, perubahan dan pembaharuan terjadi karena transformasi melalui akulturasi dan asimilasi yang berkaitan erat dengan penemuan baru. Rerajahan sebagai subyek mater diolah dan dilebur menjadi bentuk, fungsi dan makna baru, pada seni lukis Bali modern. Meskipun demikian Rerajahan yang erat hubungannya denag nAgama Hindu tetap disakralkan. Metode transpormasi dapat memberikan penghayatan ide-ide terhadap pelukis, melalui; Adopsi, Deprmasi, Abstraksi dan Setelirisasi rerajahan, sehingga terwujudlah suatu karya sni Bali modern yang berkepribadian, original dan segar.
Tujuan dan manfaat penelitian ini adalah; untuk mendapatkan gambaran secara lebih mendalam dan jelas mengenai traspormasi rerajahan dalam kontek perubahan bentuk, fungsi dan makna, pada seni lukis ali modern. Penelitian ini menggunakan kerangka teori; estetika, yang menitik beratkan pada bentuk yang berhubungan dengan keindahan, teori struktural fungsional, untuk mengetahi fungsu suatu rangkaian kebutuhan naluri manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupan, teori semiotika, untuk membedah makna.
Metode yang digunakan adalah; dengan pendekatan kualitatif dengan mengidentifikasi obyek transpormasi rerajahan pada seni lukis Bali modern secara langsung. Data dipisahkan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari pelukisnya dan data sekunder didapat dari buku-buku refrensi yang relevan. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dokumentasi, dan kepustakaan. Selanjutnya dilakukan pengkajian yang cermat, akurat terutama terhadap penyajian bentuk, fungsi dan makna transformasi rerajahan seni lukis Bali modern. Hasil analisis ditemukan, keberadaan rerajahan pada hakekatnya telah menunjukan perannya sebagai sumber inspirasi, sehingga adanya pergerakan perubahan budaya dari transformasi rerajahan menjadi suatu tema-tema atau bentuk baru, dari bentuk baru ke fungsi estetis dan dari fungsi estetis ke makna.
Dari perubahan dan pengaruh yang terjadi, transformasi rerajahan seni lukis Bali modern telah terhegemoni oleh pariwisata, art shop dan kolektor seni. Transformasi merupakan salah satu cara untuk mengekpresikan ide-idenya atau imaginasinya melalui bentuk-bentuk rerajahan, Dalam transpormasi tersebut unsur-unsur internal rerajahan, seperti nilai-nilai agama dan adat dilebur menjadi satu dengan disertai oleh pengaruh modern berupa olahan ide, teknik serta pengungkapan karya seni, memunculkan seni lukis bali modern yang bersifat individualistik dan mengandung nilai-nilai komersial.
by admin | Apr 2, 2010 | Artikel, Berita
Oleh : I Made Sumantara, S.Sn., Jurusan kriya, FSRD, DIPA 2008
Abstrak penelitian
Penelitian merupakan penelitian kasus dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Obyek penelitiannya adalah Patung Kreatif Karya Ida Bagus Putu Gede Sutama. Pematung ini lahir di Banjar Taman Sari Desa Sanuir Denpasar, tanggal 21 Juli 1957. Bahan-bahan yang dipakai berkarya adalah kayu,batuan, dan benda-benda temuan laninnya yang dianggap tidak berguna sesuai peruntukannya. Bahan-bahan tersebut dapat ditemui dalam bentuk benda bekas seperti alat bajak petani disawah, perahu, sampan, kayu bekas bangunan, batu karang dengan berbagai tekstur, potongan kayu yang kualitasnya masih baik tetapi bentuknya kurang baik, sampai kayu yang mulai lapuk dan lain-lain. Sedangkan alat yang dipakai dalam berkarya adalah pahat, gergaji, kapak, dan lain-lain. Proses berkarya diawali dengan pemahaman terhadap struktur artistik alami bahan-bahan yang digunakan. Prose ini sebetulnya telah dimulai sejak bahan tersbut diperoleh ayau ditemukan. Bahan tersebut direnungkan dalam pikiran tentang kedalam bentuk apa bahan tersebut dapat diwujudkan. Setelah proses ini matang dan ada ketetapan, maka tahapan selanjutnya adalah mencari hari baik untuk memulai memvisualisasikan ide tersebut kedalam bentuk karya patung.
Tema-tema yang diungkapkan disesuaikan dengan bentuk material yang digunakan, karena bentuk yang diwujudkan mengikuti bentuk bahan. Sebagai orang Bali, kebaliannya muncul pada karya-karyanya dengan mengangkat nilai-nilai tradisi masyarakat Bali. Karya-karya pematung ini dikatagorikan sebagai patung kreatif karena mampu menampilkan karya-karya berkualitas dengan bahan yang tidak lasim dipergunakan oleh pematung pada umumnya. Karya pematung ini dapat dilihat dalam dua kelompok yaitu pertama dalah kelompok yang termasuk bentuk abstraktif filosfis karena bentuknya dideformasi atau disederhanakan (kelainan bentuk) dan distorsi (kelainan proporsi). Sedangkan pesan yang dapat disimak dari karya-karya pematung ini adalah ada yang hanya sekedar menyampaikan ikon benda yang menjadi sumber inspirasinya dan ada juga menyampaikan makna-makna tertentu yang bersifat pembelajaran, kritik sosial dan kebedaan manusia dengan berbagai fenomena kehidupannya. Keberhasilan pemahaman makna tersebut oleh masyarakat sangat tergantung dari tingkat kemampuan dan pengalaman masyarakat. Sikap seniman yang peduli terhadap benda-benda yang dianggap second hand sebagai karya perlu di apresisi dan sebagai sumber belajar. Karena ini berarti peduli terhadap kebersihan dan kelestarian lingkungan. Hal ini perlu terus didesiminasikan baik terhadap seniman maupun masyarakat luas.
by admin | Apr 1, 2010 | Artikel, Berita
Oleh : Drs. I Wayan Suardana, M.Sn., Jurusan Kriya Seni, FSRD, Penciptaan 2008
Abstrak Penelitian
Setiap upacara adat dan keagamaan di Bali memrlukan Upakara sebagai wujud dari Upacara tersebut, dan disesuaikan dengan jenis dan tujuan Upacara yang dilakukan. Material Upakara sebagain besar merupakan segala hasil dari lingkugan alam yang ada yang diolah sedemikian rupa dan jadulah suatu bentuk tertentu yang secara visual mengandung nilai estestis yang tinggi. Disamping kandungan estetis yang tinggi didalamnya juga terkandung nilai filosofis dengan penuh makna dan arti.
Keagungan dan kemuliaan segala peralatan Upacara dan didukung dengan prosesi Upacara yang sngat meriah dan kusuk memperlihatkan betapa sucinya dan indahnya Upakara tersebut. Segala sesuatu penuh makna dan penuh arti dan secara visual memancarkan kandungan nilai estetis yang tak ternilai harganya. Kebahagiaan dan kebanggaan akan muncul di hati orang atau masyarakat apabila mereka telah melaksanakan Upacara secara lengkap dan meriah.
Pelaksanaan Upacra persembahan telah selesai, maka segala Upakara yang disebut dengan Lugsuran atau Paridan sudah dapat dipindahkan dan dirapikan. Bagian dan kondisinya masih baik dapat dimakan atau dapat digunakan untuk yang lainnya, tetapi bagian yang tidak berguna dapat dibuang sebagai sampah. Sesuatu yang sangat mulia dan sangat agung dalam beberapa hari atau menit saja kemudian sudah menjadi sampah yang tidak berguna bahakan dianggap mengganggu.
Dari kaca mata artistik puing-puing Upakara ternyata tidak hanya sampah belaka, tetapi suatu yang sngat menarik dan mengandung nilai estetis yang tinggi. Puing-puing Upakara merupakan suatu media yang sangat artistik yang sungguh sangat sayang dibuang begitu saja. Fenimena di atas melahirkan sebuah konsep penciptaan yaitu “Tebuang Sayang” yang dilatar belakangi oleh aktifitas Upacara keagamaan, dimana totalitas religius yang kuat sebelum pelaksanaan Upakara tidak dibarengi dengan penghargaan setelah upacara selesai. Sungguh sangat sayang sebuah karya seni yang agung dan artistik dibuang begitu saja tatkala sudah dianggap tidak berguna lagi dan menjadi puing-puing sampah yang tak karuan.
Dari hasil eksplorasi yang penggarap lakukan, penggarap berhasil membuat beberapa rancangan disain kriya murni dalam bentuk dua dimensional yang diaktualisasikan dengan teknik ukir. Teknik pahatan yang digunakan disini sedikit keluar dari pakem kriya selama ini yang mana pahatan harus dimunculkan secara unik, rumit, halus dan sebaginya. Namun dalam karya ini pahatan ditampilkan secara ekspresif yang penuh dengan kebebasan baik melalui garis, bidang, ruang dan tekstur. Pahatan ekspresif ini digunakan untuk menghilangkan image selama ini bahwa untuk menghasilkan sebuah karya kriya memerlukan ketekunan dan waktu yang relatif lama. Disamping itu juga untuk menjawab bahwa dalam kriya itu juga ada gagasan dan ekspresi dan bukan hanya kemampuan ketrampilan belaka. Finishing dalam karya ini menggunakan eksperimen warna yang ditampilkan baik secara pelakat maupun transparan dengan goresan kuas yng ekspresif. Penggunaan warna sebagai finishing karya ini karena ingin memunculkan warna yang sebenarnya dari sumber obyek yang ada. Centre of interes juga akan dimunculkan dari proses pewaqrnaan ini. Warna yang digunakan adalah warna akrelic yaitu warna pencair air yang dapat diolah dengan mudah. Pencampuran dan permainan warna akan diadakan di atas material sehingga kan menjadi warna komplementer yang scara visual warna menjadi dominan. Finishing akhir dipoles dengan semir kiwi untuk mencari kilap yang mncul dari dalam kayu.
by admin | Apr 1, 2010 | Berita
JAKARTA–Kementerian Pendidikan Nasional akan meninjau ulang peraturan pemerintah dan peraturan menteri yang dibuat dengan mengacu pada UU Nmor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang pada Rabu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. “Dalam satu dua hari ini kita akan lihat konsekuensi pembatalan undang-undang BHP. Semua aturan yang ditetapkan, baik berupa peraturan pemerintah dan peraturan menteri, yang konsiderasinya menggunakan undang-undang BHP,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh di Jakarta, Rabu malam.
Peraturan perundangan yang dibuat dengan konsiderasi undang-undang BHP, ia mencontohkan, antara lain peraturan pemerintah tentang universitas pertahanan dan peraturan pemerintah tentang pengelolaan pendidikan. Menteri Pendidikan Nasional juga mengatakan bahwa pemerintah menghargai dan menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan sebagian masyarakat untuk membatalkan undang-undang BHP dan beberapa pasal dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. “Kami menghargai dan menghormati keputusan lembaga negara seperti MA, MK dan KPK sesuai dengan portofolionya. Tidak ada istilah pemerintah menolak atau melawan keputusan lembaga negara itu,” katanya.
Ia menjelaskan pula bahwa dalam hal ini pemerintah tidak berada dalam posisi berhadapan atau saling berlawanan dengan masyarakat yang mengajukan peninjauan kembali kedua undang-undang itu ke Mahkamah Konstitusi. “Posisi pemerintah lebih pada penyempurnaan dari proses pembentukan peraturan perundangan, jadi konteksnya menyempurnakan peraturan perundangan,” katanya.
Sebelumnya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa undang-undang nomor 9 tahun 2009 tentang badan hukum pendidikan bertentangan dengan undang-undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Red: krisman
Sumber: ant http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita/10/03/31/109074-pemerintah-tinjau-ulang-aturan-turunan-uu-bhp
by admin | Apr 1, 2010 | Artikel, Berita
Oleh : Drs. I Nyoman Parnama Ricor, Jurusan Desain, FSRD, DIPA 2008
Abstrak penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif, pengambilan data dilakukan dengan teknik sampel. Hal ini dilakukan mengingat banyaknya sampel dalam populasi sehingga tidak memungkinkan semua diambil disamping itu dukungan dana yang tidakmemadai. Untuk mengumpulkan data perkembangan ornamen di Denpasar dilakukan dengan teknik pengamatan terhadap subyek penelitian dengan memperhatikan tanda-tanda yang ada pada sumber data tersebut. .Dengan demikian pendekatan. Dapat dikatakan sebagai pendekatan semiotik. Dengan memperhatikan tanda-tanda tersebut dapat diketahui perkembangan ornamen pada bangunan tersbut, sehingga dapat dijelaskan antara bangunan yang baru. .sesuai dengan variabel dan tujuan penelitian yang diajukan, maka dapat dijelaskan sebagai berikut Perkembangan bahan/meterial banguan termasuk ornamen yang terjadi saat ini di Kota Denpasar mengalami keragaman bahan baku. Pada bangunan-banguan tua seperti pada banguan –banguan suci bahan-bahan yang digunakan hanya bata merah dan batu padas sebagai tambahan untuk penerapan ornamen ukiran. Namun kalau dilihat pada bangunan baru saat ini material bangunan tersbut lebih variatif, selain bata merah dan batu padas, saat ini digunakan batu padas kerobokan yang sifatnya lebih kasar dari pada batu padas ukiran yang dikenal sebelumnya. Disamping itu juga digunakan material pasir laut hitam, di Bali dikenal dengan bias melila, dimanfaatkan sebagai ornamen pelinggih padmasana, ornamen angkul-angkul, penyengker, dan sebagainya. Perkembangan terkahir adalah pemanfaatan batu candi atau batu hitam sebagai bahan pelinggih, gapura, maupun penyengker suatu banguan suci.
Perkembangan motif ornamen yang paling menonjol kelihatan adalah pada bangunan bale kulkul, gapura an pelinggih. Hal ini nampak dari bangunan lama yang motif ukirannya tidak rapat, terkesan kaku, saat ini motif ukiran lebih luwes, rapat, rumit terkesan mewah. Motif-motif yang dikembangkan masih tetap sama seperti sebelumnya seperti karang asti, karang boma, karang tapel dan sebagainya, serta pepatran seperti patra sari, patra punggeln patra sambung, patra mesir, patra cina, emas-emasan dan lain-lain yang penerapannya dilakukan dengan teknik ukir. Dulu seorang pengukir adalah seorang penggagas motif sdangkan sekarang kebanykan pengukiur adalah seorang plagiator, yaitu seorang peniru dan penyebar motif dan style yang sudah ada. Dampaknya style ukiran dibeberapa tempat sama. Tidak ada kekhasan ukiran seorang tukang ukir atau kekhasan suatu daerah.
Pada banguan publik seperti sekolah dan perkantoran tidak terjadi perkembangan ornamen yang sioginifikan seperti yang terjadi pada gapura atau pelinggih. Penerapan ornamen hanya sebagai sebagai aksen pada beberapa tempat, wujudnya berupa pola-pola ornamen tanpa ukiran. Bahkan beberapa bangunan tampil polos dan sderhana namun tetap dapat memunculkan keindahan. Bangunan seperti itu keindahannya dapat dimunculkan dari bentuk dan karakter bahan yang digunakan. Namun beberapa publik yang membawa citra Bali menerapkan ortnamen ukiran yang sangat keltal seperti bangunan Art Centre Denpasar, BPD BaliJalan Gajah Mada Denpasar, dan Muium Bali Denpasar.