M

Tentang ISI Bali

Sejarah

Pengantar

Akreditasi

Visi dan Misi

Struktur Organisasi

SAKIP

JDIH

Penghargaan

PPID

Green Metric

Pendidikan

Fakultas Seni Pertunjukan (FSP)

Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD)

Pascasarjana

Program Internasional

Alumni

Penelitian

Penelitian, Penciptaan dan Diseminasi Seni dan Desain (P2SD)

Penelitian Disertasi (PDD)

Penelitian Kompetisi Nasional

Penelitian Kerja Sama

Pengabdian

Bali Citta Swabudaya (BCS)

Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)

Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Pusat

Resistensi dan Kompromitas Atas Keterlibatan Wanita Dalam Aktifitas Berkesenian di Minangkabau

Resistensi dan Kompromitas Atas Keterlibatan Wanita Dalam Aktifitas Berkesenian di Minangkabau

Oleh: Wardizal dan Hendra Santosa

Abstrak Penelitian

Penelitian ini mencoba mengkaji secara kritis ilmiah tentang fenomena resistensi dan kompromitas, terhadap keterlibatan wanita dalam aktivitas berkesenian di Minangkabau. Secara mendasar, penelitian ini bertujuan untuk mencari kebenaran fakta atau informasi tentang adanya anggapan, bahwa melibatkan diri dalam aktivitas berkesenian bagi wanita di Minangkabau merupakan perbuatan ’sumbang’ atau perilaku ’menyimpang’ yang dapat memberi malu pada kaum kerabat pesukuan. Resistensi terutama dari pihak mamak (saudara ibu yang laki-laki), sebagai figur yang berkuasa dalam sistem kekerabatan matrilineal yang dianut oleh suku bangsa Minangkabau. Pada sisi lain, fakta empiris menunjukan munculnya beberapa seniman wanita yang kemudian melegenda di tengah masyarakat. Untuk mendapatkan jawaban atas fenomena tersebut, ada tiga masalah penelitian yang relevan diajukan dalam penelitian ini, yaitu: (1) mengapa terjadi resistensi terhadap keterlibatan wanita dalam aktifitas berkesenian di Minangkabau, terutama dari pihak mamak, (2) Apakah keterlibatan wanita dalam aktifitas berkesenian di Minangkabau merupakan bagian dari proses kompromitas, dan (3) Sejauh mana kontribusi wanita dalam pengembangan dan pelestarian kesenian tradisional di Minangkabau. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan, seperti studi kepustakaan, untuk mendapatkan berbagai informasi dari sumber tertulis. Observasi, untuk mengamati berbagai fenomena dan peristiwa yang berkembang di tengah masyarakat. Wawancara dengan informan, nara sumber terpilih dan tokoh-tokoh yang mempunyai pengaruh dalam masyarakat.

Hasil penelitian ini menunjukkan, terjadinya resistensi terhadap keterlibatan wanita dalam aktifitas berkesenian di Minangkabau merupakan suatu proses rekontrukasi sosial. Pemahaman atau wacana yang berkembang di tengah masyakarakat mengidentikkan kehidupan berkesenian dengan dunia laki-laki. Faktor moralias dan etik-kulutural yang didasarkan kepada norma adat dan ajaran agama Islam, memberikan rambu-rambu yang sangat ketat menyangkut tata pergaulan antara wanita dan laki-laki. Dalam konteks berkesenian, ditenggarai tidak terbebas dari eksploitasi seksual yang sangat berpotensi bagi wanita untuk berbuat salah atau sumbang. Secara etik, adat Minangkabau melarang seseorang tidak saja untuk berbuat salah, karena akan membuat malu keluarga melainkan juga mencegahnya sejak awal dalam bentuk perilaku yang dapat menggiring keperbuatan salah itu, yaitu sumbang.

Trauma sejarah terkait dengan fungsi kesenian di masa lalu ikut menjadi pemicu antipati masyarakat terhadap dunia berkesenian. Beberapa bentuk seni pertunjukan rakyat sangat erat kaitanya dengan dunia mistik, magig dan difungsikan untuk hal-hal yang sifatnya negatif. Saluang Sirompak misalnya, pada masa dahulu difungsikan untuk mengguna-gunai seorang gadis akibat cinta seorang pemuda yang ditolak. Wanita yang terkena sirompak biasanya sulit disembuhkan dan tidak jarang menjadi gila. Demikian juga halnya dengan pendukung kesenian di masa lalu yang disebut dengan parewa. Pada dasarnya masyarakat anti kepada sikap dan tingkah laku parewa. Kehadiran mereka menimbulkan konflik psykologis di tengah masyarakat. Golongan adat kurang mempedulikan sikap parewa, sementara golongan alim ulama sangat enggan dan benci kepada parewa, karena semua tingkah laku dan perbuatan mereka bertentangan dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, kesenian yang dikembangkan dan dimainkan oleh parewa juga ikut dibenci oleh golongan alim ulama. Bahkan sampai sekarang, masih terdapat ulama ortodok di Minangkabau yang tetap menganggap  kesenian sebagai pekerjaan yang hukumnya haram.

Pada masa sekarang telah terjadi proses demokratisasi proses berkesenian di tengah kehidupan sosio-kulural masyarakat Minangkabau. Wanita telah memainkan peran pada setiap genre kesenian yang ada. Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu dan pemacunya, yaitu: (1) Perubahan kebudayaan di tengah masyarakat, yaitu melemahnya peranan keluarga luas (exented family) dan menguatnya peranan keluarga batih (nucleus family). Tangung jawab rumah tangga lebih banyak ke atas pundak suami (ayah) dari pada mamak. Kedekatan hubungan bathin antara seorang anak dengan bapak (ayah) tampaknya lebih banyak menghasilkan proses kompromi dari pada konflik. (2) Berdirinya Lembaga Pendidikan Tinggi Kesenian  STSI Padang Panjang (3) Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (4) Perkembangan Industri Pariwisata, dan (5) Tuntutan Kesetaraan Gender.

Kontribusi wanita terhdap perkembangan dan pelestarian kesnian tradisonal Minangkabau, secara kualitatif telah melahirkan beberapa seniman yang melegenda di tengah masyarakat. Dua orang diantara seniman wanita tersebut adalah (1) Syamsimar, tukang dendang dan (2) Gusmiati Suid, penata tari yang cukup punya nama di tingkat Nasional maupun Internasional.

Temu Karya Mahasiswa Kriya Se-Indonesia : Surprisse#4

Temu Karya Mahasiswa Kriya Se-Indonesia : Surprisse#4

Guna membangkitkan kejayaan kriya seperti di masa lalu, maka para kriyawan-kriyawan muda di Bali khususnya terinspirasi untuk mengadakan pameran dengan nama kegiatan Surprisse#4 yang mengusung tema “Dimensi Kriya Kini”. Dalam pameran ini menghadirkan karya-karya mahasiswa seni rupa khususnya jurusan kriya yang tergabung dari institut-institut seni di berbagai kota, di antaranya ISI Denpasar, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, ITB, IKJ, STSI Padang Panjang, UNS Solo, UNNES Semarang, STKW Surabaya, Universitas Malang, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Negeri Surabaya. Pameran yang dibuka dari tanggal 21 hingga 24 April 2010 ini, diharapkan mampu menyulut kembali semangat kriyawan-kriyawan muda yang lama padam. Selain itu kegiatan yang sudah berlangsung ke empat kalinya ini bertujuan sebagai wadah berekspresi dan penuangan ide dalam penciptaan karya kriya, sebagai ajang apresiasi mahasiswa kriya dan masyarakat, sebagai wujud eksistensi Seni Kriya dalam perkembangn Seni Rupa Indonesia serta mempertemukan mahasiswa kriya se Nusantara sebagai upaya mempersatukannya demi kebangkitan Seni Kriya Nusantara.

Adapun materi kegiatan yaitu pameran hasil karya mahasiswa kriya, sarasehan tentang perkembangan forum komunikasi mahasiswa kriya Indonesia dan presentasi hasil karya mahasiswa dari masing-masing institut, seminar tentang dunia kriya di Indonesia dari beberapa delegasi Institut Seni di Indonesia yang menjadi peserta, workshop keris; worksop Tapestri,serta workshop topeng ini akan diikuti seluruh mahasiswa Kriya Nusantara, dan siswa-siswi SMK sebagai upaya pelestarian budaya nusantara, mural : mural ini diikuti seluruh mahasiswa Kriya Nusantara, bertujuan mengekspresikan kreatifitas dari masing-masing delegasi peserta serta melakukan kunjungan ke pengeraji  tatah kulit/ kayu yang ada di Bali.

Menurut Wakil Ketua Pelaksana yang sekaligus Ketua Prodi Kriya, Drs. I Ketut Muka P, M.Si mengungkapkan kegiatan ini sangat didukung oleh Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A. dan rencananya dibuka oleh Wali kota Denpasar Bpk. Ida Bagus Rai Dharma Wijaya Mantra. Selain itu acara ini sebagai momentum untuk mempromosikan Prodi Kriya yang selama ini mulai ditinggalkan generasi muda, serta menunjukkan eksistensi mahasiswa kriya yang ada di seluruh Indonesia.

Seni kriya merupakan seni budaya yang menjadi akar dari seni rupa Indonesia sudah sepantasnyalah seni ini dilestarikan, dikaji, dan diamalkan kepada masyarakat luas. Serangkaian acara yang terangkum dalam kegiatan Surprisse #4 ini adalah wujud nyata dari konsep panjang tersebut. Sekecil apapun usaha yang dilaksanakan dengan niat baik pasti akan membuahkan hasil.

Humas ISI Denpasar melaporkan

Identitas Dan Kontinuitas Tari Legong Lasem Gaya Peliatan

Identitas Dan Kontinuitas Tari Legong Lasem Gaya Peliatan

Oleh : A.A.Ayu Kusuma Arini, Sst.,Msi., Ni Md. Bambang Rai Kasumari, Sst.,Msi., Cok. Istri Putra Padmini, Sst.,Msn.

Abstrak Penelitian

Tari Legong merupakan salah satu tari klasik Bali sebagai warisan budaya sejak dua abad silam. Daya tarik tarian Legong merupakan magnit tersendiri yang diakui kalangan pencinta seni tari Bali. Luwes, lentur dan gerak-gerak yang dinamis, sangat digemari wisatawan dan nampaknya akan tetap cemerlang sampai masa yang akan datang. Tari Legong di samping sebagai dasar tari putri juga menjadi primadona dari berbagai jenis tarian Bali yang paling unik di dunia.

Gaya tari Legong yang terkenal di Bali adalah gaya Peliatan, gaya Saba dan gaya Badung. Diantara ketiga gaya tersebut gaya Peliatanlah yang paling aktif melakukan pementasan secara reguler sebagai tari tontonan. Kepopuleran Legong telah dimulai sejak tahun 1931 setelah grup kesenian dari Peliatan menggemparkan masyarakat seni Eropa dalam Colonial Exhibition di Paris dengan penampilan tari Legong dan Calonarang. Demikian pula tahun 1952 untuk kedua kalinya melawat ke Eropa dan Amerika Serikat yang dibawa oleh seorang impresario Inggris, John Coast. Dengan demikian Legong Peliatanlah sebagai pelopor promosi pariwsata Bali di luar negeri. Begitu berkesannya penampilan tari Legong di London sampai-sampai BBC London memakai iringan tarinya untuk mengantar siaran bahasa Indonesia selama puluhan tahun.

Setelah sukses luar biasa di luar negeri dan sangat terkenal di dalam negeri maka segala usaha dilakukan untuk mempertahankan kekhasan gerak tarinya. Sudah tentu yang paling berjasa dalam membentuk penari-penari yang andal adalah duet A.A. Gde Mandera bersama Gusti Made Sengog yang keduanya telah tiada dengan menuangkan gaya dan perbendaharaan gerak tari yang spesifik. Pementasan secara reguler di Peliatan sejak tahun 1954 dengan kedatangan wisatawan kadang-kadang sebulan sekali, kemudian berlanjut hingga kini dengan pertunjukan tiga kali seminggu bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.

Permasalahan yang akan dipecahkan dalam penelitian ini adalah bagaimana identitas Legong Lasem gaya Peliatan dan faktor-faktor apa yang mendukung sehingga tetap kontinu melakukan pertunjukan dengan mempergunakan metode deskriptif kualitatif melalui interviu pelatih tari, mantan penari serta para penabuh dan pemerhati seni di desa Peliatan. Di samping itu juga dengan mengamati dokumen yang masih tersimpan dengan baik.

Temuan dari penelitian ini adalah kekhasan gerak ngelayak, agem yang melengkung, sikap tangan yang lebih sempit, dagu yang diangkat, bahu dan belikat yang terkunci, angsel yang tersendat dan gerakan yang bergetar. Sebagai faktor prndukung tetap kontinu melakukan pementasan adalah karena kediplinan anggota untuk tetap menjaga nama baik Legong Peliatan yang sudah digandrungi penggemarnya, management yang transparan antara pimpinan yayasan dengan anggota, pembagian dana kesejahteraan bagi anggota, serta kerjasama yang baik dengan pengelola pariwisata

Hasil penelitian diharapkan menjadi sumber informasi dan pengetahuan yang signifikan bagi pencinta seni tari tentang primadona tari Bali yang tetap mempertahankan identitasnya secara terus menerus.

Kata Kunci: Kontinuitas, tari Legong Lasem gaya Pelatan.

Rektor-rektor PTN Masih Beda Pendapat Terkait Penggunaan Dasar Hukum Pengganti UU BHP

Rektor-rektor PTN Masih Beda Pendapat Terkait Penggunaan Dasar Hukum Pengganti UU BHP

JAKARTA (SI) – Rektor-rektor perguruan tinggi negeri (PTN) masih berbeda pendapat terkait penggunaan dasar hukum baru sebagai pengganti Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Beberapa rektor meminta agar pemerintah cukup menerbitkan peraturan menteri.Sebab,menurut mereka, selain cepat, prosedur penerbitan peraturan menteri dinilai tidak rumit.Namun,ada juga rektor yang menilai bahwa peraturan menteri tidak cukup kuat untuk dijadikan dasar hukum pengganti UU BHP. Mereka pun meminta pemerintah menerbitkan peraturan pengganti undang-undang (perppu). Ketua Majelis Rektor PTN se- Indonesia Haris Supratna menyatakan lebih setuju jika pemerintah menerbitkan peraturan menteri. Sebab, menurut dia, saat ini perguruan tinggi membutuhkan dasar hukum sebagai pedoman pengelolaan.
”Peraturan menteri tidak membutuhkan prosedur yang rumit dan bisa dikeluarkan dalam waktu cepat,” tegas Haris kepada harian Seputar Indonesia (SI) di Jakarta kemarin. Haris mengaku sudah mengusulkan agar Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh menerbitkan peraturan menteri. Usulan itu, katanya, diajukan melalui Wakil Menteri Pendidikan Nasional(Wamendiknas) FasliJalal. Menurut Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu, peraturan menteri sudah cukup kuat dijadikan dasar hukum pengganti UU BHP.Sebab,peraturan menteri juga bisa mengatur pasal-pasal kemandirian PTN. Pendapat berbeda disampaikan Rektor Universitas Airlangga (Unair) Fasich. Menurut dia, peraturan menteri justru tidak mendukung otonomi ke seluruh perguruan tinggi yang ada di Indonesia.
Dirinya juga tidak setuju dengan opsi penerbitan peraturan pemerintah (PP).“Kalau ingin mengejar mutu perguruan tinggi yang setara dengan luar negeri, tidak mungkin hanya diakomodasi oleh tujuh perguruan tinggi BHMN (Badan Hukum Milik Negara) saja,”tegasnya. Adapun Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Akhmaloka mengungkapkan, berdasarkan indikasi, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) lebih memilih dua opsi yang ada, yakni menerbitkan PP atau perppu.
Namun, ujarnya, dari dua opsi itu tampaknya yang lebih memungkinkan diambil pemerintah adalah opsi perppu. Sebab, saat ini Kemendiknas sedang menyusun draf perppu sebagai pengganti UU BHP. (neneng zubaidah).

Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/318491/

Simbolisasi Bentuk Dalam Ruang Imaji Rupa

Simbolisasi Bentuk Dalam Ruang Imaji Rupa

Ringkasan Penelitian

Oleh: I Made Bendi Yudha Fakultas Seni Rupa Dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar

Masyarakat Bali yang dikenal religius, dalam hidup kesehariannya pada pelaksanaan ritual keagamaan yang disebut dengan Panca yadnya (lima jenis korban suci yang dilaksanakan dengan tulus ihklas), selalu  dilengkapi dengan sarana-sarana upakara/banten sesajen yang sarat dengan berbagai jenis bentuk dan gambar berupa simbol yang religius magis. Seni banten adalah seni simbol, di mana benda-benda yang konkrit dan abstrak bisa di buat artistik seperti halnya simbol-simbol dari huruf-huruf gaib; dasa aksara, panca aksara, yang secara aplikatif memiliki fungsi yang berbeda dan terkadang saling bertentangan sesuai dengan kebutuhan serta tujuan penggunaannya.

Dari hasil pengamatan tersebut timbul penafsiran tentang suatu makna bahwa, manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, pada dasarnya memiliki dua potensi besar yang saling tarik-menarik dan melengkapi yaitu; melakukan strukturisasi/menata (order) yang berorientasi pada penataan kehidupan yang lebih baik dan melakukan penyimpangan/pertikaian bahkan penghancuran (chaos) yang cenderung menolak kemapanan. Hal ini bila pengelolaannya tidak didasari dengan konsep keseimbangan dan  keharmonisan, maka akan berpengaruh terhadap tatanan sosial masyarakat yang rawan konflik dan perpecahan, sehingga  menggoyahkan sendi-sendi keutuhan berbangsa dan bernegara.

Konsep keseimbangan yang terkandung dalam sarana-sarana upakara/banten sesajen bila di komparasikan dengan memaknai fenomena kehidupan yang terjadi di lingkungan masyarakat dewasa ini, nampaknya telah terabaikan bahkan ditinggalkan. Hal ini dapat dibuktikan di mana telah terjadi tindakan-tindakan penyimpangan baik  terhadap alam maupun pada kehidupan manusia antara lain, terjadinya  eksploitasi terhadap sumber kekayaan alam, diskriminasi di bidang hukum dan HAM , jender, serta penyalahgunaan kewenangan di bidang administrasi negara, dan akan berdampak pada meluasnya krisis ekologis dan degradasi moral, serta mempertinggi tingkat kemiskinan masyarakat.

Berdasarkan pemahaman terhadap simbol-simbol tersebut di atas, dapat dijadikan sebagai pengalaman interaktif serta sumber inspirasi, yang menstimulasi alam imaji pencipta untuk memicu bagi munculnya olah cipta rasa yang kreatif berupa ide-ide tentang nilai-nilai kehidupan. Adapun tuturan konsep filosofisnya diabstraksikan ke dalam karya seni lukis, dengan memadukan bentuk representatif dengan abstraktif melalui penerapan garis, warna dan tekstur yang variatif, serta melalui teknik impasto, sehingga mencerminkan keaslian karya seni (authenticity of the art work), yang estetik, artistik serta mencerminkan nilai kebaruan (novelty)  yang personal.

Kata-kata kunci: seni lukis, simbolisasi bentuk, ruang, imaji rupa.

Loading...