by admin | Apr 22, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: I Ketut Kodi, SSP. M.Si
Ringkasan Hasil Penciptaan Dana DIPA 2009
Wayang Betel adalah sebuah garapan pewayangan yang ter inspirasi dari Wayang Lemah/Wayang Gedog, garapan ini tecipta karena penggarap melihat kehidupan wayang lemah pada masyarakat Bali hanya dikaitkan dengan upacara keagamaan. Penanggap pertunjukkan ini kurang memperhatikan baik tempat pentas maupun sarana-sarana pendukung lainnya. Hal ini membuat para dalang malas untuk menggarap bagian artistiknya, hiburan dan konteksnya. Wayang Lemah yang berfungsi ritual menjadi kemasan baru berbentuk hiburan seni yang segar, sehat dan bermutu.
Dalam masalah ini akan dicoba menyiasati agar seniman Dalang dan musisinya tidak hanya duduk sebagaimana pagelaran wayang lemah biasa, melainkan juga berinteraksi aktif membangun suasana dramatik. Jelasnya, dalang yang biasanya hanya duduk memainkan wayang kini ditampilkan dengan berakting di atas panggung didukung oleh penataan lampu dan musik pengiring inovatif berintikan Gender Rambat.
Beberapa wayang kiranya perlu dibuat dengan ukuran yang lebih besar sehingga suasana wayang lemah yang semula hanya ritus akan dikembangkan menjadi suatu bentuk hiburan/entertainmen yang mengintegrasikan kritik dan komentar sosial sesuai dengan perkebangan Zaman Kaliyuga dewasa ini. Sesuai dengan namanya, Betel berarti tembus pandang. Garapan wayang Betel ini berbentuk Wayang Lemah sehingga dapat dilihat tembus betel oleh penonton tanpa terhalang kelir/screen putih. Musik iringan yang berintikan instrumen Gender Rambat juga akan diintegrasikan sedemikian rupa sehingga garapan wayang ini juga menyajikan komponen musikal teater atau teater musik. Dalam garapan “Wayang Betel” ini penggarap akan menggunakan konsep menimalis dengan tidak mengerungangi keunggulan – keunggulan yang telah ada. Karena berkesenian itu tidak harus selalu mewah, seni pun bisa muncul dari sesuatu yang sederhana.Garapan ini merupakan bagian dari epos Mahabharata yakni kehidupan Pandawa di hutan setelah lepas dari bencana kebakaran Gua gala-gala sampai gugurnya Detya Adimba.
Kata Kunci : Wayang Betel, Gender Rambat, Mahabharata
by admin | Apr 22, 2010 | Artikel, Berita
Oleh I Wayan Suharta Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Palegongan merupakan salah satu barungan klasik yang mampu bertahan dan masih terpelihara sampai sekarang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah “klasik” diartikan mempunyai nilai atau posisi yang diakui dan tidak diragukan, yang bernilai tinggi serta langgeng dan sering dijadikan tolak ukur, bersifat sederhana, serasi dan tidak berlebihan (Tim Penyusun Kamus, 1988 : 445).
Istilah klasik tidak sekedar menggolongkan sekelompok bentuk seni menurut tempat atau kelompok orang, akan tetapi sebagai sebutan bentuk kesenian yang mengandung konotasi penting tentang sifat bentuk-bentuk kesenian karena keindahan dan standarnya yang tinggi, dipeliharan sampai ke anak cucu, mengacu kepada suatu gaya dari suatu masa khusus, suatu gaya karena ciri-ciri bentuk yang dapat digambarkan secara jelas. Lebih lanjut istilah klasik menunjukan sifat antik atau tua, sifat mapan dari bentuk-bentuk kesenian yang sudah mencapai suatu keadaan ideal (Jennifer Lindsay, 1989 : 50).
Berbicara tentang Palegongan sebagai bentuk kesenian yang tergolong klasik punya konotasi yang sama dengan kerumitan, bentuk dan standar yang tinggi. Bagaimanapun juga, istilah klasik masih mempunyai hubungan etimologis khusus, jika digunakan utnuk menggambarkan kesenian tradisional. istilah klasik tidak mempunyai petunjuk acuan yang dapat dibandingkan dengan perkembangan selanjutnya. Jika istilah tersebut dipakai untuk mengacu kepada salah satu kesenian yang mencapai puncaknya, sehingga berkaitan dengan gagasan tentang identitas, masa lalu, dan suatu pandangan tentang bentuk yang ideal atau yang optimal, maka istilah klasik selalu menunjuk kepada bentuk terbaru yang dicapai pada masa sebelumnya.
Suatu gagasan bahwa tahap perkembangan yang dicapai oleh Palegongan sebagai kesenian klasik, merupakan tahap yang ideal atau “puncak” dan bukan tahap menengah atau paling rendah, menunjukkan bahwa artistik masa lalu itu sendiri sekarang lebih dihargai. Tetapi implikasi pandangan semacam itu adalah bahwa bentuk kesenian klasik yang telah mencapai puncaknya tidak dapat dikembangkan lebih lanjut, kecuali dilepaskan dari keadaan optimum tersebut, yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa setiap perubahan dan bentuk yang ideal dapat berarti kemunduran atau penurunan.
Dalam pendekatan klasik kesenian merupakan pernyataan dari pada idealisme intelektual, didasari oleh seperangkat sistem perlambangan yang menetap, yang dapat berbeda-beda menurut kemampuan setiap seniman dalam cara menyatakan dan cara menyajikannya, serta identitas penghayatannya (Jennifer Lindsay, 1989: 52).
Melalui acuannya kepada sifat mapan dari kesenian klasik, dan gagasan tentang suatu puncak yang telah dicapai, berarti bahwa bentuk-bentuk kesenian yang telah mencapai puncaknya harus dapat dikenali, dan bahwa bentuk puncak juga harus tidak hanya dapat dikenali, tetapi paling tidak dalam teori harus dapat direproduksi. Menekankan identifikasi batasan-batasan formal sebagai ciri pokok kesenian klasik punya implikasi penting bagi cara bagaimana bentuk-bentuk kesenian semacam itu dihargai, dan bagi keputusan-keputusan yang dibuat sebagai usaha mempertahankan bahkan menyelamatkan bentuk-bentuk kesenian tersebut.
by admin | Apr 21, 2010 | Artikel, Berita
Oleh Bendi Yudha
Pengantar Karya seni Lukis
Bahan Akrilik pada Kanvas
Ukuran: 100 X 100 Cm
Fenomena yang terjadi sekarang ini bahwa dunia materi mengungguli dan bahkan menguasai dunia spiritual, sehingga carut marutnya tatanan kehidupan ini muncul di mana-mana. Nampaknya nilai-nilai spiritual dalam kehidupan ini sudah mulai luntur yang mendasari pikiran dan prilaku manusia, sehingga segala sesuatunya selalu diukur berdasar atas materi, membuat manusia terninabobokan olehnya bahkan ia menjadi bingung serta lupa akan jati dirinya sebagai manusia. Di sinilah manusia harus menyadari bahwa kunci dari kebingungan tersebut adalah; ia hendaknya insaf serta kembali ke jalan yang benar yaitu menghayati nilai-nilai sastra yang mengajarkan kebenaran untuk menuju jalan keabadian.
Hal tersebut di atas divisualisasikan lewat bentuk uang kepeng dengan ukuran besar sebagai simbol akan besarnya pengaruh kekuatan duniawi terhadap kehidupan manusia, yang seyogyanya harus diimbangi dengan ajaran ajaran spiritual sebagai penyucian diri yang bersumber dari sastra aji merupakan kunci agar tidak terjerumus ke lembah nista. Dalam konteks ini hal tersebut disimbolkan dengan berbagai bentuk dan jenis lontar serta bentuk kunci beralaskan kain putih pada sudut kanan yang mengandung arti bahwa hanya nilai-nilai kesucianlah yang mampu mengantarkan manusia ke alam keabadian.
by admin | Apr 21, 2010 | Artikel, Berita
Oleh I Wayan Gulendra
Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Denpasar
Ringkasan Penelitian
Seni merupakan ekspresi gejolak jiwa pengalaman imajinatif atas pengamatan dan perenungan terhadap fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakat. Kemudian dengan kemampuan inteleksi dan intuisi mengintepretasi fenomena artistic yang diekspresikan ke dalam bahasa visual seni rupa. Seni akan mencerminkan latar belakang kebudayaan dan lingkungannya dimana ia diciptakan.
Pencipta sebagai bagian dari komunitas masyarakat Bali, dalam berkesenian ternyata fenomena-fenomena social, agama serta pesona keindahan alam lingkungan Bali telah menggetarkan batin dan memberikan rangsangan imajinatif. Hal tersebut memprovokasi aktivitas intuisi , membangun potensi kreatif untuk dicurahkan di atas kanvas. Berangkat dari aktivitas intepretasi terhadap perbedaan sebagai suatu realita keindahan, ketika perbedaan-perbedaan dipahami secara filosofis dari hakekat kehidupan semesta. Perbedaan sesuatu yang hakiki bagi setiap bentuk kehidupan di dunia ini, ketika disusun, dikelola secara harmonis maka terbentuk suatu kehidupan yang dinamis, saling membutuhkan, dan saling menghargai. Fenomena-fenomena tersebut dieksplorasi, diamati, direnungkan sehingga memperolrh gagasan-gagasan kreatif untuk diujudkan kedalam karya seni lukis.
Tujuan penciptaan adalah mengintepretasi fenomena kehidupan masyarakat tentang perbedaan yang sering dijadikan ajang konflik demi kepentingan tertentu, hal tersebut diartikulasikan ke dalam bahasa rupa yang lebih bersifat pribadi.
Untuk mencapai apa yang diharapkan sesuai dengan tujuan penciptaan, maka pencipta menggunakan pendekatan eksploratif secara eksternal maupun internal, artinya setiap fenomena yang diamati secara nyata, kemudian direnungkan, dihayati sehingga memperoreh imajinasi tentang konsep ide, bentuk maupun warna.
Perwujudan ide-ide dalam tataran konsep bentuk dan cara ungkap lebih mengutamakan makna-makna simbolik. Motif-motif yang hadir merupakan perpaduan teknik dan respon tekstur, namun sumber gagasan masih terbaca. Baik dari unsur bentuknya maupun unsur warnanya.
Kata kunci: Beda dalam keselarasan adalah keindahan
by admin | Apr 21, 2010 | Berita
JAKARTA(SI) – Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) mengajukan dua payung hukum sebagai pengganti Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP).
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendiknas Mansyur Ramli menjelaskan, dua alternatif payung hukum tersebut yakni peraturan pengganti undang-undang (perppu) dan revisi PP 17/2010 tentang penyelenggaraan pendidikan. “Naskah perppu sudah siap dan begitu pula revisi PP.Tinggal Mendiknas pada Senin(26/4) depan yang akan mengajukannya ke presiden untuk minta persetujuan,” katanya usai rapat kerja dengan Komisi X DPR kemarin. Mansyur menjelaskan, yang akan diatur dalam perppu adalah landasan hukum bagi ketujuh perguruan tinggi negeri berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yakni UI, ITB, IPB, Unair, UGM, UPI, dan USU. Menurut dia, perppu tersebut nantinya juga akan mengatur pengelolaan keuangan dan otonomi perguruan tinggi.
“Akan tetapi masalah yayasan masih belum masuk di peraturan pengganti ini,”jelasnya. Sementara Konsultan UU BHP Kemendiknas Johannes Gunawan saat raker menjelaskan, dua alternatif itu diajukan untuk mengantisipasi beberapa jenjang pendidikan yang selama ini mengacu pada UU BHP.Di antaranya jenjang pendidikan menengah atau madrasah yang berbentuk atau diselenggarakan yayasan dan pendidikan tinggi berbadan hukum milik negara (BHMN).Selain itu,ada pendidikan tinggi yang berbentuk yayasan dan pendidikan tinggi yang berbentuk badan hukum pendidikan (BHP) seperti universitas pertahanan.
Lebih jauh dia menambahkan, ketidakjelasan bentuk badan hukum bagi yayasan disebabkan yayasan tidak boleh secara langsung menyelenggarakan pendidikan, melainkan dilakukan dengan membentuk badan usaha. Berdasar pasal 7 ayat (1) UU No 16 Tahun 2001,yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud yayasan. ”Hal tersebut bertentangan dengan prinsip nirlaba bagi badan hukum penyelenggara pendidikan Pasal 53 ayat (3) UU Sisdiknas,” terangnya. Selain itu,menurut Pasal 39 PP No 63 Tahun 2008 tentang Yayasan, yayasan yang sampai tanggal 6 Oktober 2008 belum menyesuaikan dengan UU, tidak diperbolehkan lagi menggunakan kata yayasan serta harus bubar dan melikuidasi kekayaannya.
Hingga saat ini masih terdapat ribuan yayasan yang belum sesuai dengan UU tersebut sehingga nasib siswa dan mahasiswa pun tidak jelas. Begitu pula ijazah yang diterbitkan sekolah atau perguruan tinggi yang tidak berbadan hukum menjadi ilegal. Anggota Komisi X DPR Ferdiansyah menyetujui alternatif perppu.Menurut dia,perppu dapat mengatur tentang tata kelola dan status badan hukum. Karena itu, pihaknya menunggu pengajuan dari Kemendiknas terkait alternatif tersebut. Sementara itu,anggota Komisi X DPR Abdul Wahid Hamid menjelaskan, perppu memang lebih baik karena kondisi darurat yang dialami pengelola pendidikan usai UU BHP ditolak MK.
Akan tetapi, anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) ini menandaskan,Kemendiknas mesti mempersiapkan PP sebagai substansi di bawah perppu. Sedangkan anggota Komisi X DPR Dedi Suwandi Gumelar lebih memilih revisi PP 17 sebagai peraturan baru. Pasalnya, pasalpasal dalam PP tersebut sudah mengadopsi elemen-elemen, baik dalam UU BHP dan sudah merujuk ke konstitusi yang telah ada. “Yang paling cepat diimplementasikan adalah PP 17. Kalau ajukan UU, butuh waktu yang sangat lama,” ujar anggota Fraksi PDIP ini. Sebelumnya kalangan rektor juga masih berbeda pendapat terkait payung hukum pengganti UU BHP. Rektor ITB Akhmaloka berharap kalangan perguruan tinggi tetap diberikan otonomi untuk mengelola kampus. Karena itu, apapun payung hukumnya harus bisa menjembatani aspirasi masyarakat kampus.
Mendiknas Mohammad Nuh telah meminta kalangan kampus untuk tetap menjalankan aktivitas pendidikan. Meski landasan hukum keberadaan PTN BHMN telah ditolak,status tersebut masih tetap berlaku. Sebab, keberadaannya mengacu pada UU Sisdiknas. (neneng zubaidah)
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/319033/