by admin | Apr 26, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: I Komang Arba Wirawan, Dosen PS Fotografi
Berawal dari fotografi jurnalistik yang digeluti selama 5 tahun bekerja sebagai wartawan foto pada harian Denpasar Post (1998-2003), Kelompok media Bali Post. Kecintaan pada dunia fotografi tumbuh seiring dengan waktu, berbekal dengan kamera analog Nikon FM 2, berbagai sudut kota lalu lintas kota Denpasar, olah raga, human interest dan kriminalitas terekam menghiasi harian DenPost. Hiruk pikuk reformasi 1998, demo mahasiswa, sampai bom Bali I menjadi tugas jurnalistik yang sangat berkesan. Meliput dengan menahan kesedihan hati dan air mata dimana saat menyaksikan korban bom terbakar, dimana hasil karya ini terlalu sadis untuk dipublikasikan. Ini semua membawa pada sebuah titik dimana fotojurnalistik merupakan ajang tempaan menuju pada foto seni, yang membawa kematangan melihat moment, angle, dan ekpresi estetis. Berbekal dengan kamera analog Nikon F4 yang berhasil dibeli dari bonus dikantornya memberikan fasilitas yang lebih lengkap dalam menghasilkan sebuah karya fotojurnalistik. Saat kesempatan muncul untuk menjadi tenaga pengajar di Program Studi Fotografi, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Mengarahkan pada bertemunya titik gaya seni fotografi yang digelutinya. Kesempatan studi banding ke Program Studi Fotografi, Fakutas Media Rekam ISI Yogyakarta, dari pimpinannya tidak disia-siakan, dengan menghasilkan karya monumen 11 maret, light of jogja, taman sari, yang mendapat apresiasi pada pameran di Musium Neka (2006). Kesuksesan ini membawa keyakinan semakin percaya diri, bahwa seni fotografi suatu saat dapat berdampingan dengan seni rupa yang lain. Apalagi kondisi kampus yang dinamis dengan iklim dan pergaulan seni yang tinggi, mempercepat cita-cita menjadikan Bali sebagai pusat seni fotografi. Pemikiran ini dilatar belakangi bahwa Bali dapat menjadi pusat seni rupa (seperti lukis dan patung, terakhir seni kartun) mengapa seni fotografi tidak.
Berdasar pada teori seni yang terkait dengan wacana fotografi adalah teori seni komunikasi, teori seni ekspresi, teori seni fungsional, dan teori seni instrumental. Teori-teori seni ini bisa saling terkait satu sama lain dalam konteks bagaimana sebuah karya foto dapat di implementasikan sebagai fotografi seni dengan bentuk-bentuk penampilannya secara dwimatrawi.
Membuat foto seni yang merupakan bagian fotografi, yang memiliki konsep estetika yang memperhitungkan terlebih dahulu unsur-unsur penciptaan sebuah foto, dari pencahayaan sampai proses pencetakannya. Semua direncanakan dengan matang dan terencana, karena kini foto seni telah sama rumitnya dengan seni lain. Apalagi jika kita membincangkan posisi fotografi dalam konteks kesenirupaan (fine art). Bisakah dan mampukah fotografi disandingkan dalam keluarga seni rupa (High Art). Koeksistensinya ini tidaklah berpretensi saling menegasikan. Justru sebaliknya, dan siapa tahu, dunia High Art makin diperkaya dengan hadirnya fotografi di komunitasnya. Sejalan Dengan perkembangan teknologi sekarang ini fotografer yang mau menekuni foto seni akan lebih mudah dengan hadirnya teknik digital. Apalagi mau bekerja keras mencoba dan mau belajar terus-menerus. Sebuah foto akan dapat menjadi representasi fotografer yang menciptakannya. Sehingga lahir maestro-maestro fotografi punya ciri khas masing-masing, sehingga mengenalkan diri ke publik yang lebih luas.
Sebuah karya fotografi yang dirancang dengan konsep tertentu dengan memilih objek foto yang terseleksi dan diproses dihadirkan sebagai luapan ekspresi artistik fotografernya, maka karya tersebut bisa menjadi sebuah karya fotografi ekspresi. Sehingga karya foto tersebut dimaknakan sebagai suatu medium ekspresi yang menampilkan jati diri photografernya dalam proses penciptaan karya fotografi seni.
Fotografi sebagai salah satu entitas dalam domain seni rupa juga tidak terlepas dari nilai-nilai dan kaidah estetika senirupa yang berlaku. Namun dengan keyakinan bahwa setiap genre memiliki nilai dan kosa estetikanya sendiri, maka fotografi pun berbagai sub-genre-nya juga tidak lepas dari varia nilai dan kosa estetikanya sendiri. Setiap kehadiran jenis fotografi karena tujuan penghadiran tentunya juga memerlukan konsep perancangan yang bermula dari ide dasar dan kontemplasi yang berkembang menjadi implementasi praksis yang memerlukan dukungan peralatan dan teknik ungkapan kreasinya. Lebih jauh lagi bagi pencapai objektifnya, diperlukan berbagai eksprementasi dan eksplorasi baik terhadap objek fotografi maupun proses penghadiranya setelah menjadi subjek/subjectmatter dalam karya fotografinya. Tidak tertutup kemungkinan bahwa setiap objek perlu dipotret beberapa kali dalam rangka eksperimentasi dengan berbagai sudut pandang/angle (pandangan estetik) maupun dengan teknik komposisi dan panduan pecahanyaan dan kecepatannya penutup rana yang berbeda. Semuanya digunakan dengan tujuan untuk mendapatkan berbagai ragam alternative tampilan yang memiliki nilai estetis yang berbeda secara eksploratif dan dipastikan bisa memberikan beberapa pilihan hasil foto yang terbaik yang disesuaikan dengan hasil foto yang terbaik yang disesuaikan dengan kebutuhan nilai estetis yang diharapkan. Hal tersebut tercemin dalam domain fotografi sebagai aspek yang ideasional maupun yang bersifat teknikal.
Proses penciptaan dan penghadiran karya seni fotografi pada umumnya melalui empat proses : a) Proses pencarian Ide; b) Proses pemotretan; c)Proses editing atau kamar terang ; c) Proses printing atau akhir end-product-nya. Pada setiap proses memiliki varian estetika tersendiri baik bersifat ideasional maupun yang bersifat teknikal. Proses yang pertama pencarian ide dicari dengan studi kepustakaan ataupun eksplorasi internet, diskusi, menyaksikan pameran-pameran seni rupa lainnya juga traveling mencari objek-objek dan moment estetis dalam perjalan tersebut. Proses yang kedua, pemotretan adalah eksekusi dari fotografernya disini tentunya telah dipersiapkan teknik, dan peralatan yang memadai untuk menghasilkan karya seni fotografi. Proses yang ketiga adalah proses editing yang diperlukan penguasaan komputer Photoshop yang memadai untuk menampilkan karya yang lebih estetis dari hasil pemotretan. Proses yang keempat disini tidak kalah pentingnya karena hasil akhir sebuah karya seni fotografi dapat dinikmati apakah karya seni fotografi tersebut mendapat apresiasi dari masyarakat atau tidak, juga ditambahkan dengan pertimbangan apakah print kertas atau print kanvas sehingga dengan tambahan pigura karya seni fotografi tersebut sempurna. Selamat Berkarya.
by admin | Apr 26, 2010 | Berita, pengumuman
PENGUMUMAN
Diberitahuan kepada seluruh mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar bahwa:
1. Mahasiswa dinyatakan gagal apabila:
- Dalam dua tahun pertama tidak mampu mengumpulkan kredit minimal 40 SKS dari matakuliah yang nilainya minimal C, atau mengumpulkan kredit minimal 30 SKS dengan nilai IPK 2,0.
- Dalam empat tahun pertama tidak mampu mengumpulkan nilai kredit minimal 90 SKS dari mata kuliah dengan nilai minimal C, atau mengumpulkan kredit minimal 75 SKS dengan nilai IPK minimal 2,0.
- Masa studi lebih dari 14 semester.
2. Putus Belajar dan Sanksi Lainnya
- Mahasiswa yang dinyatakan gagal studi tergolong mahsiswa putus belajar (Drop Out).
- Mahasiswa yang dua semester berturut-turut tidak mendaftarkan diri tanpa sepengetahuan Dekan, dianggap mengundurkan diri atau gagal studi.
- Mahasiswa yang tidak memiliki nilai selama dua semester tanpa sepengetahuan Dekan, dianggap mengundurkan diri atau gagal studi.
- Mahasiswa yang terbukti sah melakukan tindakan kriminal, diusulkan untuk dikeluarkan.
- Mahasiswa yang melakukan tindakan tercela dan mencemarkan nama baik almamater, diberi peringatan oleh Ketua Jurusan / Dekan atau Rektor.
3. Berhenti Kuliah Sementara
- Mahasiswa dapat menghentikan studinya untuk sementara waktu dengan seijin dan persetujuan Rektor (c.q. Pembantu Rektor I).
- Penghentian studi sementara waktu dapat diberikan maksimal empat semester dan selama waktu tersebut tidak diperhitungkan dalam lama penyelesaian studi.
- Mahasiswa menghentikan waktu studinya secara tidak sah, tidak dapat diterima kembali dan mereka dianggap mengundurkan diri.
Kepada mahasiswa yang namanya tercantum dalam pengumuman ini dimohan untuk menghadap ke Pembantu Dekan I FSRD ISI Denpasar, terakhir 27 Mei 2010.
|
Jurusan |
SENI MURNI LUKIS |
|
| No |
NIM |
Nama Mahasiswa |
L/P |
| 1 |
031471586 |
I KETUT BUSANA |
L |
| 2 |
031471602 |
DEWA GEDE AGUNG |
L |
| 3 |
031471645 |
RADEN PRAKIYUL WIG |
L |
|
Jurusan |
Kriya Keramik |
|
| No |
NIM |
Nama Mahasiswa |
L/P |
| 1 |
031461163 |
NURCHATIJAH |
P |
| 2 |
0210205014 |
J HENDRA SIAHAAN |
L |
|
Jurusan |
Desain Interior |
|
| No |
NIM |
Nama Mahasiswa |
L/P |
| 1 |
031521007 |
AISYA RACHMA |
P |
| 2 |
031521011 |
IDA AYU GD.RATIH SOETHA P |
P |
| 3 |
031521032 |
ARIF RAHMAN |
L |
| 4 |
031521037 |
MADE DEWI PURNAMA SARI |
P |
| 5 |
0210315009 |
I NYM RUDY KRISNAWAN |
L |
| 6 |
0110005021 |
I PUTU SUTARYONO |
L |
| 7 |
0110005066 |
ABDI PATRIA S N |
L |
| 8 |
0010005015 |
I GD KEMBAR DHARMA M |
L |
| 9 |
9910005031 |
I GM DWI A SANTIKA |
L |
| 10 |
9810020001 |
I WAYAN BUKIT SARIANA |
L |
| 11 |
9810020079 |
FRANKY |
L |
| 12 |
9710020049 |
ARKO WIYONO |
L |
|
Jurusan |
PhotoGraphi |
|
| No |
NIM |
Nama Mahasiswa |
L/P |
| 1 |
03148110 |
I MADE ROBERTO |
L |
|
Jurusan |
Desain Komunikasi Visual |
|
| No |
NIM |
Nama Mahasiswa |
L/P |
| 1 |
031511011 |
IDA AYU DEWI ARINI |
P |
| 2 |
031511016 |
A. MUSTHOFA QUMARUDDIN |
L |
| 3 |
031511024 |
ARIE DWI PUTRA |
L |
| 4 |
031511025 |
I GUSTI NGR.MD. MAHARDIKA |
L |
| 5 |
0210205005 |
KEMALA TAUFIQ |
P |
| 6 |
0210205017 |
I PT TONY HARTAWAN |
L |
| 7 |
0210205018 |
JESLIA HERAWATI |
P |
| 8 |
0210205020 |
ADE RENALDO |
L |
| 9 |
0210325040 |
RIO SANDE UDAYANA |
L |
| 10 |
0110005048 |
I KETUT SUDIASA |
L |
| 11 |
0010005056 |
I G.L. ERLANGGA KRISNA K.P |
L |
| 12 |
9910005050 |
I MADE PURNAWIRAWAN |
L |
| 13 |
9810020011 |
I MADE ADI PARBAWA |
L |
| 14 |
9810020037 |
I NYOMAN JAYANEGARA |
L |
| 15 |
9710020037 |
GUROWO HASTO BASKORO |
L |
| 16 |
9610020062 |
ERNOWO AHMADI |
L |
Demikian pengumuman ini dibuat untuk dilaksanakan. Terimakasih.
Denpasar, 26 April 2010
Pembantu Dekan I
Drs Oliha Solihat Karso, M.Sn
NIP. 196107061990031005
by admin | Apr 26, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: I Made Suparta, Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar
Grace Cochrane menggambarkan seni kriya yang tidak melakukan reaksi yang berlawanan mengenai nilai dan arti yang didifinisikan oleh seni, terhadap yang perlu dikerjakan dengan istilah yang diaplikasikan secara langsung pada sejarah crafts dan desain, yang bermanfaat bagi praktek crafts adalah mempunyai nilai kemasyarakatan. (Grace Cochrane, 1997: 56-57). Nilai kemasyarakatan kriya memang tidak perlu disangsikan lagi karena kriya itu lahir sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat secara jasmani maupun rohani.
Kriya sebagai salah salu bagian dari Seni rupa dipandang sangat relevan sebagai media/sarana untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan. Pendekatan yang dikenal dengan education throught art (pendidikan melalui seni) telah diterapkan sejak usia dini. ( Herbert Read dalam Syafii dkk. 2003: 1.6). Ceritera Tantri yang divisualisasikan dalan karya cipta kriya sesuai dengan pendapat Herbert Read adalah sangat tepat bila ceritera tantri yang diwujudkan berupa kriya seni relevan di diperkenalkan pada anak-anak sejak dini.
Mantan Dirjen Dikti Satryo Soemantri Brodjonogoro pada seminar di ISI Denpasar, 18 Mei 2009 berkeinginan untuk menjadikan seni sebagai suatu kebutuhan hidup. Ajakan atau seruan tersebut adalah angin segar sekaligus tamparan bagi para pelaku seni baik yang ada pada jalur pormal maupun para seniman alam. Beliau sangat percaya, hanya para senimanlah yang mampu melakukan hal tersebut, dimana dalam krisis global ekonomi melanda dunia, seni relatif stabil bertahan khususnya dibidng industri kerajinan.
Secara visual, keberadaan ukiran yang bertemakan Ceritera Tantri merupakan salah satu bagian dari seni tradisional Bali yang sampai saat ini masih lestari. Dalam tradisi kehidupan masyarakat Bali, perilaku binatang dijadikan sebagai cermin dalam menjalani kehidupan ini. Dalam artian kita tidak harus berperilaku seperti binatang, namun ketokohan binatang yang kadang kala mempunyai sifat yang lebih mulia dari manusia patut dijadikan panutan. Karena ceritera yang menggunakan binatang sebagai tokohnya ini banyak memberikan cermin hidup dan kehidupan.
Nilai yang terkandung dalam seni kriya adalah kegunaannya yang sesuai dengan tingkat kebutuhan praktisnya, oleh karena itu nilai itu dapat bermacam-macam seperti: religius, spiritual, moral, etis, estetis, dan nilai praktis. Nilai-nilai itu dapat ditarik dari landasan dasarnya, antara lain: agama, logika, etika, dan estetika. 1). Melalui agama akan keluar nilai relegius, magis, kepercayaan dan spiritual. 2). Melalui logika akan keluar nilai intelektual, ilmiah, ilmu pengetahuan, dan kebenaran empiris. 3). Melalui etika akan keluar berbagai macam nilai moral, sopan santun, susila dan etis. 4). Melalui estetika akan melahirkan nilai keindahan, keseimbangan, kesegaran, hiburan, keanggunan, keagungan, dan estetis. (Karna Yudibrata, 1981/1982: 56-57). Seni kriya tidak lepas dari unsur-unsur motif maupun pola sebagai elemen dasar pembuatan ornamen/hiasan, penempatan, dan kesesuaian mengikuti bidang/ruang guna terciptanya keharmonisan. Ditinjau secara kronologis kegiatan hias-menghias maupun penggunaan motif hias, berdasarkan sifatnya yang ada, dapat digolongkan menjadi 4 (empat). Pertama kategori primitif (prasejarah), kedua kategori klasik (mulai dikenalnya tulisan), ketiga kategori tradisional (zaman Madya) dan terakhir kategori modern (praktis, ekonomis, dan efisien). Pada dasarnya semua karya/benda seni kriya digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan manusia, baik secara jasmani maupun rohani sesuai zamannya. Walaupun pengambilan motif dan penggunaan pola ditampilkan secara sederhana, dalam perkembangan selanjutnya, motif hias maupun pola-pola yang diterapkan dalam seni kriya menurut fungsinya dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama yang tergolong kriya seni sebagai media tersalurnya gagasan estetik, kedua yang tergolong kriya fungsional sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup sekaligus mengandung elemen estetis, dan ketiga yang tergolong kriya fungsional konstruktif merupakan simbolisasi dan perwujudan cita-cita luhur. (SP. Gustami, 1983/1984: 2-4).
Apapun bentuk dan makna seni kriya, kehadiran mereka masih di tunggu oleh masyarakat, walaupun sebatas untuk pemenuhan kebutuhan primernya dan terbatas pada tingkatan masyarakat kelas menengah ke bawah. Disadari pula, derasnya pengaruh luar (asing) dan adanya dorongan alam dapat menimbulkan cara pandang dan perilaku masyarakat untuk membentuk komunitas (stratifikasi) sosial yang akan mengantarkan adanya dualisme budaya masyarakat yaitu kelas atas dan bawah. (SP. Gustami, 1991:1).
Menentukan sikap ketika dihadapkan pada suatu keadaan memilih, bukanlah suatu tindakan yang mudah untuk dilakukan. Kecermatan menjadi sebuah pertimbangan yang menentukan bagi para kriyawan yang memilih kewajiban ganda. Kewajiban ganda yang dimaksud adalah kriyawan yang mempunyai visi dan misi dengan berbagai konsep dan tindakan yang dapat mensejajarkan kiprah seni kriya dengan seni rupa lainnya. Faktor waktu bagi pelaku seni kriya yang ada di belakang meja pemerintahan, menjadikan mereka memiliki kesempatan yang terbatas untuk berkreasi. Sebaliknya, kriyawan (perajin) yang terjun maupun menerjunkan diri di bidang seni kerajinan jarang sekali, bahkan tidak sempat, memikirkan visi dan misi seni kriya sesuai perkembangan zaman. Dirunut dengan rentang waktu yang cukup panjang dan berliku-liku, sudah pada tempatnya bila kriyawan intelektual meninggalkan prinsip-prinsip yang tidak lagi mendukung kemajuan seni kriya untuk mengejar dan mensejajarkan predikat “seninya”. Namun demikian, kriya juga tidak bisa lepas dengan produk-produk yang dibutuhkan masyarakat seperti yang diharapkan oleh Grace Cochrane.
by admin | Apr 26, 2010 | Berita
JAKARTA–MI: Rencana pemerintah untuk membuat peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu) dan UU baru untuk menggantikan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) ditentang oleh Koalisi Masyarakat Sipil Anti UU BHP. Pasalnya, perundang-undangan yang menggantikan UU BHP dinilai memiliki visi yang sama.
Pengamat pendidikan Darmaningtyas, Minggu (25/4) menyatakan bahwa perundang-undangan baru justru menimbulkan masalah. Kemungkinan besar norma-norma dalam perundangan tersebut masih sama dengan UU BHP. “Ini akan memunculkan polemik di masyarakat, karena visi yang kami tentang adalah UU BHP ini justru merendahkan pendidikan sendiri,” jelasnya.
Menurutnya, sepuluh tahun pendidikan tinggi berbentuk Badan Hukum Pendidikan justru menggerogoti mutu pendidikan. Lembaga pendidikan cenderung menjadi lahan bisnis dan memberatkan masyarakat.
“Secara substansi ini malah membatasi masyarakat untuk meraih pendidikan karena mahalnya pendidikan, bukan memudahkan. Soal mutu, masih sama saja. Saya usul perguruan tinggi dikembalikan bentuknya dari PT BHMN menjadi PTN,” jelas Darmaningtyas.
Kuasa Hukum Koalisi Masyarakat Sipil Anti UU BHP, Taufik Basari, menambahkan bahwa pemerintah harus memperhatikan pertimbangan hukum dalam sidang MK. Karena dalam persidangan konstitusi, materi perdebatan harus menjadi pertimbangan dalam pembuatan UU baru. “Sidang itu diskusi, jika pemerintah mengenyampingkan diskusi dalam sidang itu sama saja tidak memahami materi perdebatan,” tegas Taufik.
Tobas, panggilan akrab Taufik, menyatakan Menteri Pendidikan M Nuh, harusnya bersikap terbuka terhadap masyarakat. Karena jika mereka mengeluarkan perundangan yang memiliki visi yang sama dengan UU BHP, sama saja pengingkaran terhadap putusan MK. “Artinya substansi persidangan tidak dipahami oleh menteri,” tegasnya.
Taufik menawarkan kepada Kementerian Pendidikan untuk berdialog dengan pihak penggugat UU BHP. Sehingga substansi yang diamanatkan konstitusi tetap dapat diserap. (AO/OL-03)
Penulis : Aryo Bhawono
Sumber: http://www.mediaindonesia.com/read/2010/04/26/138400/88/14/Kepentingan-UU-BHP-tidak-Boleh-Diakomodir-dengan-Perundangan-Baru
by admin | Apr 26, 2010 | Berita
JAKARTA, KOMPAS.com – Sekolah Bertaraf Internasional yang dirintis pada 100 sekolah SMP, SMA/SMK, di seluruh Indonesia yang mulai 23-29 April 2010 menerima siswa baru, merupakan bentuk komersialisasi pendidikan yang dahsyat. Ini jelas akibat merajalelanya komersialisasi pendidikan.
“”Proyek ini adalah metamorfosis dari sekolah unggulan, dan Kelas Internasional, yang selama ini menjalankan komersialisasi pendidikan. Kelas internasional yang kurikulumnya, sepenuhnya merujuk ke Cambridge atau International Baccalaureate pembayarannya amat mahal,” ujar Ketua Komite SMA 70 Jakarta Musni Umar di Jakarta, Minggu (25/4/2010) malam.
Sebagai contoh, SMA 70 yang membuka kelas internasional beberapa tahun lalu, dan menjadi sekolah unggulan, uang masuk yang dikenakan persiswa mencapai Rp 31 juta. Tahun pertama dan tahun kedua, masing-masing Rp 25 juta, belum termasuk uang semester, yang dibayar enam bulan sekali.
Maka, menurut Musni, kelas internasional bisa disebut tingkat komersialisasi pendidikan yang tinggi dan misterius. Selain mahal, dan mendapat subsidi dari pemerintah Rp 500 juta, pengelolaan keuangannya tidak transparan.
Pasalnya, sebut Musni, hanya pengelolanya dan kepala sekolah yang tahu. Selain itu, tiap tahun pengelola kelas internasional harus membayar dalam jumlah yang besar ke Cambridge.
Tahun lalu, menurut Musni, para siswa baru kelas reguler SMA 70 harus membayar Rp 11 juta, ditambah Rp 450.000 perbulan, dan kelas akselerasi Rp 1 juta per bulan. Dengan pembayaran sebesar itu, masih banyak orang tua siswa yang mengeluh dan merasa berat, apa lagi kalau diberlakukan sekolah bertaraf internasional yang syaratnya harus mandiri keuangan dan kurikulum.
Laporan wartawan KOMPAS Imam Prihadiyoko
Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/04/25/22002224/Komersialisasi.Pendidikan.Merajalela
Berita lain: Kemendiknas Siapkan Sanksi Terhadap Komersialisasi PTN
Jakarta – Kemendiknas kecewa dengan kebijakan buruk sejumlah Perguruan Tinggi Negeri(PTN) yang membuat UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) dibatalkan. Kemendiknas mulai ancang-ancang membuat payung hukum baru yang sekaligus memberi wenang Kemendiknas memberi sanksi tegas kepada PTN yang nakal dan memperdagangkan pendidikan.
“Kita sangat mewaspadai itu (komersialisasi) karena sebetulnya kita agak kecewa dengan perluakuan-perlakuan di PTN. Kadang rektor yang tidak ramah menjadikan UU BHP dibatalkan,” papar Wakil Mendiknas Fasli Jalal.
Hal ini disampaikan Fasli usai Talk Show Perspektif Indonesia bertajuk “Quo Vadis Politik Pendidikan Tinggi Kita?” di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Jumat (9/4/2010).
Untuk meluruskan pandangan tentang semangat otonomi PTN, Fasli sudah beberapa memanggil. Menurut Fasli, otonomi PTN bukan untuk mencari uang sebanyak-banyaknya.
“Sudah kita lakukan dua pertemuan. Kita paksa mereka cari dana tapi pastikan pendidikan semua lapisan masyarakat terakomodasi,” papar Fasli.
Menurut Fasli, Kemendiknas juga sedang mempersiapkan payung hukum agar memiliki wewenang memberi sanksi untuk PTN nakal. Payung hukum akan dimasukkan satu set dengan PP pengganti UU BHP yang telah dibatalkan.
“Karena itulah paling tidak di PP ini disana kita atur supaya mendiknas punya power untuk memberi sanksi,” papar Fasli.
Namun demikian, menurut Fasli, payung hukum dan aturan baru ini belum beres menjelang penerimaan mahasiswa baru tahun ini.
“Kemungkinan dalam seleksi penerimaan besok belum ya karena PP belum ada sementara PTN sudah mempersiapkan mekanisme masing-masing, mungkin dua tahu lagi baru bisa diberlakukan,” tutup Fasli.
Penulis: Elvan Dany Sutrisno
Sumber: http://www.detiknews.com/read/2010/04/09/182427/1335578/10/kemendiknas-siapkan-sanksi-terhadap-komersialisasi-ptn