by admin | Apr 27, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Syafi’udin (Mahasiswa Fotografi, ISI Denpasar)
Saat ini, teknologi fotografi sudah sedemikian canggih. Digitalisasi membuat semuanya jadi sangat mudah, sehingga fotografi semakin banyak peminatnya dan menjadi wabah di berbagai kalangan di Indonesia. Ada yang sekedar hobby, ada yang memang menjadi seorang fotografer jurnalistik atau fotografer komersil. Tentunya semuanya telah menjadi ruang bisnis yang cukup profit. Apapun bentuknya, bisnis fotografi seolah tak pernah mati karena hampir semua bidang membutuhkan dokumentasi foto, seiring dengan kemajuan teknologi fotografi itu sendiri.
Secara historis, fotografi mengalami beberapa kali era perkembangan. Pada tahun 1824, seorang seniman lithography Perancis Joseph-Nicéphore Niépce, setelah 8 jam meng-exposed pemandangan dari jendela kamarnya melalui proses “Heliogravure” di atas plat logam yang dilapisi aspal, berhasil melahirkan sebuah imaji yang agak kabur dan berhasil pula mempertahankan gambar secara permanen. Kemudian ia pun mencoba menggunakan kamera obscura berlensa. Maka pada tahun 1826 lahirlah sebuah “foto” yang akhirnya menjadi awal sejarah fotografi. Kemudian berkembang pada era William Henry Fox Talbot (1834-1840) yang menemukan negative film dan kertas foto dengan lapisan emulsi silver nitrat yang lebih pendek waktu eksposure & cetaknya, yaitu hanya dalam hitungan menit bahkan detik. Setelah itu fotografi terus berkembang hingga era digital yang sangat canggih.
Penemuan-penemuan lain di bidang fotografi masih banyak, diantaranya daguerreotype (Daguerre: 1838), Gum Bichromate (Mungo Ponton: 1839), Calotype (WHF Talbot: 1840), Cyanotype (Sir John Herchel: 1842), Salt print, albumen print dan lain-lain. Semuanya tentu mempunyai karakter dan nilai seni tersendiri. Bahkan hingga saat ini, masih ada beberapa orang yang menggunakan & mengembangkan tekni-teknik tersebut untuk membuat karya seni fotografi.
Di Indonesia, adalah Irwandi,S.Sn, M.Sn, seorang dosen ISI Yogyakarta, yang mengembangkan teknik Cyanotype dalam karya seni fotografinya. Berawal dari ketertarikannya pada fotografi ‘old print’, dia melakukan beberapa kali percobaan dan berhasil ‘menemukan’ kembali teknik cyanotype. Pada Tahun 2005, dia mengadakan pameran fotografi old print tentang cyanotype. Kemudian dia aktif menyelenggarakan workshop fotografi cyanotype di beberapa kampus di berbagai kota. Dan bersama rekannya, Edial Rusli, dia juga menulis buku fotografi tentang teknik old print.
Cyanotype pertama kali ditemukan oleh seorang ilmuwan Inggris bernama Sir John Herchel pada tahun 1842. Selain itu, John Herchel juga menemukan fixer atau larutan pengawet dalam proses cuci-cetak foto. Cyanotype disebut juga dengan istilah blue print karena karakteristik hasil cetaknya yang berwarna biru / cyan. Uniknya, cyanotype ini tidak hanya dicetak pada media kertas, namun juga dapat dicetak pada kain, kayu, batu dan media lain. Tak heran jika karya fotografi dengan teknik cetak cyanotype ini mempunyai nilai seni yang tinggi.
Bahan-bahan chemical yang dipergunakan adalah Potassium Ferricyanida, Ferric Amonium Citrate dan Aquades. Bahan-bahan tersebut kemudian dicampur dengan takaran:
- Solution A (20% solution) : 25 grams Ferric Ammonium Citrate dan 125ml Distilled Water
- Solution B (14% solution) : 17 grams Potassium Ferricyanide dan 125ml Distilled Water
Pengukuran harus dilakukan dengan tepat memakai timbangan millimeter. Kemudian, solution A dan solution B dicampur pada gelas ukur hingga bener-benar saling menyatu, maka jadilah larutan emulsi. Pengukuran dan pencampuran tersebut harus dilakukan pada ruangan dalam kondisi cahaya tugsten atau merah. Larutan emulsi tersebut dioleskan pada kertas atau media lain yang sebelumnya telah direndam dalam larutan garam 2% (proses penggaraman). Pengolesan dilakukan dengan memakai kuas yang halus, kemudian kertas tersebut dikeringkan.
Setelah kertas siap digunakan, diatas emulsinya ditempel film yang akan dicetak. Film bisa berupa film hitam-putih, film ortho/lith film/ image setter dan transparancy printer/ photocopy. Kemudian ditindih dengan kaca dan dijepit dengan diberi alas triplek di bawah kertas supaya posisinya tidak tergeser-geser ketika proses exposing atau penyinaran. Proses exposing menggunakan cahaya matahari atau lampu UV selama 10-20 menit. Setelah itu proses Developing atau washing.
Proses developing atau washing dilakukan di ruang dengan kondisi cahaya redup atau tungsten. Cuci kertas / cetakan tadi dengan air selama 1-2 menit. Kemudian rendam ke dalam larutan sodium thiosulphate / fixer selama 1-2 menit atau lebih. Larutan fixer ini berfungsi sebagai pengawet. Setelah itu dibilas lagi dengan air dan kemudian dikeringkan. Karya foto dengan teknik cetak cyanotype sudah siap dinikmati.
Cyanotype bukanlah teknik yang mudah, namun prosesnya yang butuh ketelatenan dan kreatifitas membuat karya foto menjadi lebih artistik. Meski saat ini kebanyakan orang lebih menyukai teknik yang lebih mudah dengan adanya teknologi digital, namun bukan tidak mungkin jika cyanotype ataupun teknik old print lainnya justru menjadi aliran fotografi alternatif yang mempunyai nilai jual lebih tinggi. Saat ini bahkan ada komunitas fotografi old print di beberapa daerah. Fotografi adalah sebuah seni observasi. Seni dalam mencari sesuatu yang menarik dari sebuah tempat yang biasa saja. Hal ini hanya sedikit berhubungan dengan apa yang kita lihat dan sangat berhubungan dengan cara kita melihat. Selamat memotret dan berkesperimen… ([email protected])
by admin | Apr 27, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Wardizal, Dosen PS Seni Karawitan
Syamsimar, lahir Jorong Guguak Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat pada tahun 1945. Tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga yang kurang mampu dimana orang tua laki-laki (Datuk Tumbijo) berprofesi sebagai petani dengan menyambi sebagai tukang saluang dan orang tua perempuan (Rakiah) sebagai ibu rumah tangga. Latar belakang pendidikan orang tua laki-laki, tidak begitu mengembirakan dengan arti kata tidak pernah sekolah. Sedangkan orang tua perempuan sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) naman tidak sampai tamat. Syamsimar sendiri berhasil menamatkan pendidikannya di Sekolah Rakyat bertempat di tanah kelahirannya di Jorong Guguak, Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Profesi orang tua laki-laki sebagai petani, tidak mencukupi untuk menghidupi keluarga. Menurut pengakuan Syamsimar, pada masa dahulu (dekade 60-an) kehidupan ekonomi masyarakat secara umum betul-betul dalam masa-masa sulit. Situasi sosial, politik, dan keamanan pada masa itu juga serba tidak menentu. Oleh karena itu, peluang dan kemampuan berusaha warga masyarakat juga sangat terbatas. Namun, apapun situasinya, proses kehidupan harus berjalan dan berlanjut. Untuk mencukupi kehidupan ekonomi keluarga, Datuk Tumbijo sang Ayah melakoni profesi lain dengan menyambi sebagai tukang saluang (mengiringi dendang dengan intrumen saluang). Dalam perkembangannya kemudian, profesi tambahan sang ayah ternyata cukup mampu menutupi kebutuhan ekonomi keluarga, walau hanya untuk keperluan makan sehari-hari (Wawancara, tanggal 15 Agustus 2009).
Profesi sang Ayah sebagai tukang saluang –disamping bertani sebagai pekerjan utama- menjadi faktor pendorong utama perjalanan kehidupan dan proses kesenimanan syamsimar dikemudian hari. Syamsimar kecil sering diajak sang ayah ke acara-acara bagurau (pertunjukan saluang dendang) di daerah-daerah sekitar kampung tempat tinggal. Tidak ada maksud lain, hanya keinginan menyenangkan hati sang anak dan sebagai ujud atau ungkapan kasih sayang dan perhatian sang Ayah. Namun sejarah berkata lain, rutinitas keikutsertaan Syamsimar dalam mendampingi sang ayah pada acara-acara bagurau (pertunjukan saluang dendang), tanpa disadari telah menjadi proses pendidikan non formal pada diri Syamsimar dalam mempelajari dan memahami dendang Minanngkabau. Seiring dengan perjalanan waktu, Syamsimar tumbuh sebagai sosok wanita Minangkabau yang mempunyai bakat dan talenta dalam pertunjukan dendang. Setelah melalui proses pematangan dan pencarian jati diri yang cukup panjang, Syamsimar ’memproklamirkan’ diri sebagai pendendang wanita pada umur 20 tahun (tahun 1965).
Dalam perjalanan kehidupan rumah tangganya, Syamsimar telah melangsungkan pernikah sebanyak 4 (empat) kali. Pernikahan pertama dilangsungkan Syamsimar pada umur 14 tahun (1959) dengan seorang petani Malin Putiah dan cerai hidup. Pernikahan kedua dilakukaan Syamsimar pada umur 17 tahun (1962) dengan dengan Malin Suleman, seorang tukang rumah/perabot. Pernikahan ketiga dilakukan pada tahun 1964 dengan Kinan, seorang petani. Untuk menunjang kelancaran profesinya sebagai tukang dendang, Syamsimar menikah untuk keempat kalinya dengan Yusri lelo Sati pada tahun 1966 seorang Tukang Saluang dan mendirikan goup kesenian ”Minang Maimbau”.
Keputusan untuk menjadi tukang dendang diambil lebih didasarkan kepada faktor ekonomi. Berdasarkan pengalaman pribadi selama mendampingi sang ayah, Syamsimar meyakini dengan melakoni profesi sebagai tukang dendang cukup mudah mendapatkan uang. Di samping itu, juga karena dorongan bakat dan talenta serta lingkungan keluarga dimana ayah dan suami sebagai seorang tukang saluang. Syamsimar juga melihat, bahwa dendang pada hakekatnya berisikan ungkapan suara hati terhadap berbagai fenomena kehidupan yang terjadi dan berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, jika dicermati secara mendalam hampir semua teks nyanyian dendang (pantun) berisikan jeritan, ratapan bahkan juga nasehat terhadap berat dan sulitnya menjalani kehidupan.
Syamsimar merupakan sosok seniman yang ditempa dalam lingkungan agama (Islam) dan adat Minangkabau yang begitu kuat. Selama masa perjalanan hidupnya dihabiskan di kampung halaman Parahyangan, Tanah Datar. Wanita Minangkabau dihadapkan kepada berbagai pantangan dan larangan yang ”dianggap’ dapat memberi malu kepada kaum kerabat pesukuan. Melibatkan diri dalam aktivitas berkesenian merupakan perbuatan sumbang yang kurang pantas dilakoni oleh kaum perempuan. Dalam kungkungan adat yang cukup membelenggu tersebut, Syamsimar mampu eksis dan menempa dirinya menjadi seorang tukang dendang. Kemampuan untuk bertahan dan menunjukkan eksisitensi di tengah masyarakat tidak terlepas dari dukungan keluarga, baik orang tua, mamak maupun anak dan suami. Hal yang paling utama adalah, rasa keberterimaan masyarakarat terhadap kehadiran Syamsimar sebagai seniman tukang dendang wanita. Respon dan sambutan yang bagus dari bebagai lapisan masyarakat telah mengantarkan Syamsimar ke dapur rekaman. Mulai rekaman pertama tahun 1967 sampai rekaman rerakhir tahun 2001 dilakukan dalam naungan perusahaan rekaman Tanama Record Padang. Sampai sekarang (yang masih diingat oleh Syamsimar), 50 buah master kaset rekaman saluang dendang telah dihasilkan. Sukses yang diraih juga berdampak terhadap kehidupan ekonomi keluarga Syamsimar. Anggapan awal Syamsimar bahwa dengan menjadi tukang dendang akan lebih mudah mendapatkan uang tampaknya menemukan pembenaran. Dari penghasilan sebagai tukang dendang, Syamsimar bisa membikin rumah, membeli mobil, menabung dan memagang (menyewa) sawah.
Masa-masa kejayaan syamsimar sangat dirasakan pada dekade 70-an (mulai top 1967). Alunan suara dan sentilan-sentilan pantun yang didendangkan dan lebih banyak merefleksikan fenomena sosial sangat disukai banyak orang. Ribuan kaset rekaman dendang Syamsimar telah tersebar secara luas di tengah masyarakat. Nama Syamsimar begitu melegenda, fenomenal bahkan dapat dikatakan sebagai salah satu penyangga musik tradisional Minangkabau, khususnya musik vokal (dendang). Sejak tahun 2003, Syamsimar telah berhenti secara total dari hiruk pikuknya pertunjukan saluang dendang di Minangkabau. Di samping usia yang sudah uzur (64 tahun), Penyakit stroke yang dideritanya telah mengantarkannya lebih banyak dipembaringan tempat tidur. Namun demikian, dedikasi dan sumbangsihnya dalam pengembangan dan pelestarian musik vokal Minangkabau (dendang) hampir tak tergantikan sampai sekarang.
by admin | Apr 27, 2010 | Artikel, Berita
Oleh I Wayan Suharta Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Setiap masyarakat memiliki tradisinya sendiri. Tradisi itu meliputi segala aspek kehidupan seperti ; sosial, budaya, ethis, moral dan keagamaan. Tradisi itu hidup dalam masyarakat dan terungkap lewat bahasa, dalam perilaku dan adat-istiadatnya. Secara historis tradisi merupakan hasil pergumulan masyarakat dalam perjalanan hidupnya menghadapi berbagai tantangan dan masalah yang dijumpainya. Dalam masyarakat, tradisi itu dijaga dan dilestarikan. Oleh masyarakat, lewat pendidikan tradisi itu diteruskan dari satu angkatan ke-angkatan berikutnya. Ajaran yang mementingkan tradisi yang diterima dari generasi-generasi sebelumnya sebagai pegangan hidup disebut tradisionalisme (Mangunhardjana, 1996 : 220).
Tradisi dapat berasal dari praktek hidup yang sudah berjalan lama berpegang pada tradisi budaya yang ada dalam masyarakat sebagai warisan nenek moyang. Para penganut tradisi budaya memandang tradisi masyarakat sebagai prinsip dan cita-cita ethisnya, serta dalam menentukan perilaku dan aktifitas ethis mereka. Kadang-kadang mempergunakan kesenian sebagai wahana pengungkapan, untuk mewujudkan bentuk-bentuk kesenian yang dapat dimaksudkan sebagai satu kategori kesenian tradisional.
Kesenian tradisional adalah suatu bentuk seni yang bersumber dan berakar serta telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyarakat lingkungannya. Pengolahannya didasarkan atas cita-cita masyarakat pendukungnya. Cita rasa disini mempunyai pengertian yang luas, termasuk nilai kehidupan tradisi, pandangan hidup, pendekatan falsafah, rasa ethis dan estetis serta ungkapan budaya lingkungan. Hasil kesenian tradisional biasanya diterima sebagai tradisi, pewarisan yang dilimpahkan dari angkatan tua kepada angkatan muda. Dengan ciri-ciri, tumbuh secara konstan beratus-ratus tahun, bentuknya mendetail, isinya selaras dengan keinginan orang-orang di daerah kekuasaan dan ada renungan tentang pandangan hidup (Jennifer Lindsay, 1989 : 40).
Palegongan merupakan salah satu kesenian tradisional adalah suatu bentuk seni yang bersumber dan berakar, serta telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyarakat Bali pada umumnya. Gending-gending Palegongan masih sanggup bertahan dalam identitas tradisionalnya, serta mengendalikan alamnya sendiri, justru karena dalam alam musiknya terkandung nilai-nilai yang lebih dalam seperti nilai budaya, peradaban, norma, dan adat yang menyatu dengan masyarakat pendukungnya (Aryasa, 1980 : 12).
Pola-pola gending Palegongan yang sudah menjadi baku dihasilkan melalui expresi konsepsi para empu dalam keadaan suasana jiwanya yang sedang menikmati rasa kedamaian, kemegahan, kesucian dan kecemerlangan, disajikan sebagai perwujudan rasa bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa serta rasa pengabdian kepada masyarakatnya, tanpa dikejar suatu tujuan balas imbalan atau sifat-sifat pamerih yang berlebihan.
Gamelan sebagai suatu media ungkap, telah memiliki identitas tersendiri dengan kelengkapan dan wujud instrumen yang berbeda-beda, merupakan ciri tradisi gamelan Bali untuk membedakan jenis barungan yang satu dengan jenis barungan yang lain. Beberapa ciri tradisi untuk menunjukkan identitas dari gamelan Palegongan sebagai satu barungan gamelan, adalah : 1) laras yang dipakai adalah laras pelog, 2) memiliki lima sistem susunan nada-nada, 3) berdiri sendiri sebagai satu kesatuan yang disebut barungan, 4) ada sistem ngumbang-ngisep, yaitu dua buah nada yang bilahnya dibuat sama tetapi getaran suaranya berbeda, 5) bentuknya berbilah dan sebagian besar mempergunakan resonator, 6) sistem pembuatannya masih memakai sistem tradisi dengan pedoman petuding, 7) umumnya dikelola oleh sekaa sebagai organisasi tradisi.
by admin | Apr 27, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: I Made Suparta, Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar
Prinsip-prinsip seni rupa adalah cara penyusuan, pengaturan unsur-unsur rupa sehingga membentuk suatu karya seni. Prinsip Seni Rupa dapat juga disebut asas seni rupa, yang menekankan prinsip desain seperti: kesatuan, keseimbangan, irama, penekanan, proporsi dan keselarasan. Desain atau yang dulu diistilahkan dengan sebutan nirmana sebenarnya secara meteri tidak ada perubahan yang mendasar, karena semua prinsip tersebut masih seperti semula.
1. Prinsip Kesatuan
Untuk mendapatkan suatu kesan kesatuan yang lazim disebut unity memerlukan prinsip keseimbangan, irama, proporsi, penekanan dan keselarasan. Antara bagian yang satu dengan yang lain merupakan suatu kesatuan yang utuh, saling mendukung dan sistematik membentuk suatu karya seni. Dalam penerapannya pada bidang karya seni rupa/kriya prinsip kesatuan menekankan pada pengaturan obyek atau komponen obyek secara berdekatan atau penggerombolan unsur atau bagian-bagian. Dalam kekriyaan pengaturan ini bisa dilakukan atau dapat dilakukan dengan cara permainan teknik pahatan, memformulasikan obyek, subyek, dan isian-isian pada suatu bidang garapan.
2. Prinsip Keseimbangan
Prinsip keseimbangan berkaitan dengan bobot. Pada karya dua dimensi prinsip keseimbangan ditekankan pada bobot kualitatif atau bobot visual, artinya berat – ringannya obyek hanya dapat dirasakan. Pada karya tiga dimensi prinsip keseimbangan berkaitan dengan bobot aktual (sesungguhnya). Keseimbangan ada dua yaitu: Simetris dan asimetris. Selain dua keseimbangan itu ada juga yang namanya keseimbangan radial atau memancar yang dapat diperoleh dengan menempatkan pada pusat-pusat bagian. Pencapaian keseimbangan tidak harus menempatkan obyek secara simetris atau di tengah-tengah. Keseimbangan juga dapat diperoleh antara penggerombolan dengan obyek-obyek yang berukuran kecil dengan penempatan sebuah bidang yang berukuran besar. Atau mengelompokkan beberapa obyek yang berwarna ringan (terang) dengan sebuah obyek berwarna berat (gelap).
3. Prinsip Irama
Irama dalam karya seni dapat timbul jika ada pengulangan yang teratur dari unsur yang digunakan. Irama dapat terjadi pada karya seni rupa dari adanya pengaturan unsur garis, raut, warna, teksture, gelap-terang secara berulang-ulang. Pengulangan unsur bisa bergantian yang biasa disebut irama alternatif. Irama dengan perubahan ukuran (besar-kecil) disebut irama progresif. Irama gerakan mengalun atau Flowing dapat dilakukan secara kontinyu (dari kecil ke besar) atau sebaliknya. Irama repetitif adalah pengulangan bentuk, ukuran, dan warna yang sama (monotun).
4. Prinsip Penekanan
Pada seni rupa bagian yang menarik perhatian menjadi persoalan/masalah prinsip penekanan yang lebih sering disebut prinsip dominasi. Dominasi pada karya seni rupa dapat dicapai melalui alternatif melalui memggerombolkan beberapa unsur, pengaturan yang berbeda, baik ukuran atau warnanya. Seperti misalnya gambar orang dewasa pada sekelompok anak kecil, warna merah di antara warna kuning. Penempatan dominasi tidak mesti di tengah-tengah, walaupun posisi tengah menunjukkan kesan stabil.
Penekan atau pusat perhatian atau juga disebut obyek suatu karya/garapan adalah karya yang dibuat berdasarkan prioritas utama. Karya yang diciptakan paling awal tersebut lebih menonjol dari berbagai segi obyek pendukungnya seperti ukuran, teknik, dan pewarnaannya. Dalam seni kriya, penciptaan suatu karya dinominasi menjadi tiga bagian; I. obyek ciptaan. 2. obyek pendukung dan 3. isian-isian. Obyek ciptaan mendapat perhatian yang prioritas dan dominan karena akan dijadikan pusat perhatiannya. Obyek pendukung yang dimaksudkan adalah bentuk-bentuk yang dibuat agar tidak sama persis dengan obyek ciptaan, karena sifatnya sebagai pendukung. Sedangkan isian-isian adalah obyek yang memberikan aksen terhadap kedua obyek ciptaan. Atau memberi pola/motif pada bidang-bidang tertentu untuk memunculkan obyek ciptaan.
5. Prinsip Proporsi
Proporsi adalah perbandingan antara bagian-bagian yang satu yang lainnya dengan pertimbangan seperti: besar-kecil, luas-sempit, panjang-pendek, jauh –dekat dan yang lainnya. Dalam seni rupa kriya, perbandingan ini mempertimbangkan seperti bidang gambar dengan obyeknya. Yang juga memjadi perbandingan dalam seni rupa kriya adalah skala maupun riil/aktual. Berdasarkan kondisi riil, botol lebih tinggi dari pada gelas atau piring lebih lebar dari pada mangkok. Proporsi juga digunakan untuk membedakan obyek utama (tokoh), pendukung (figuran), dan isian-isian (pendukung/latar).
6. Prinsip keselarasan
Prinsip ini juga disebut prinsip harmoni atau keserasian. Prinsip ini timbul karena ada kesamaan, kesesuaian, dan tidak adanya pertentangan. Selain penataan bentuk, teksture, atau warna-warna yang berdekatan (analog). Kalau dalam karya ada warna-warna yang berlawanan (komplementer) harus dicarikan warna pengikat/sunggingan seperti warna putih.
by admin | Apr 26, 2010 | Berita
Pameran Dan Seminar Akademik Multimedia Menuju Insdustri Kreatif
Program Studi Fotografi, Fakultas Seni Rupa dan Desain, ISI Denpasar, bekerjasama dan berkolaborasi dengan Fakultas Seni Media Rekam (FSMR) ISI Yogyakarta menggelar Fotografi Expo 2010, (27-30/4) 2010 di kampus ISI Denpasar. Acara yang bertajuk “Pendidikan Multimedia Menuju Industri Kreatif” dan pameran “Jalan Menuju Media Kreatif II” merupakan gagasan dua perguruan tinggi seni ISI Denpasar dan ISI Yogyakarta, acaranya terdiri dari Pameran multi media (fotografi dan televisi), di Ruang pameran FSRD, ISI Denpasar (27/4), dibuka oleh Rektor ISI Denpasar Prof. Dr. I Wayan Rai S. MA., dan Rektor ISI Yogyakarta, Prof. Drs. Soeprapto Soedjono, MFA, PhD. Selain pameran juga diselenggarakan Seminar (28/4), Keynote Speaker Drs. Alexandri Luthfi R.,M.Si, Dekan Fak. Seni Media Rekam ISI Yogyakarta. Seminar kali ini menampilkan pembicara Dedi Setiawan, S.Sn.,M.Sn, dosen Jurusan Televisi FSMR ISI Yogyakarta judul makalah” Pendidikan Multimedia dalam rangka menyongsong industri Kreatif”. Pembicara dari ISI Denpasar I Komang Arba Wirawan, S.Sn., M.Si Ketua Program Studi Fotografi FSRD, ISI Denpasar dengan judul makalah” Fotografi Kapal Pesiar Menuju Pasar Kerja Internasional”. Pada hari ketiga (29/4), fotografi expo menggelar workshop” Oldprint Photography Process” oleh Irwandi,S.Sn.,M.Sn dosen FSMR ISI Yogyakarta.
Pada acara ini juga dilakukan penandatanganan MoU kedua lembaga seni di Indonesia, dalam pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, dalam menumbuhkan industri kreatif di dunia kampus seni. “Saya mendukung kegiatan fotografi expo ini sehingga hasil proses kreatif mahasiswa dan dosen diantara dua perguruan tinggi seni dapat diapresiasi masyarakat luas” harap Rai. Dengan pertanggungjawaban kepada publik sehingga dunia kampus dapat mengevaluasi dan memproyeksi peningkatan kualitas output mahasiswanya. Dekan FSMR ISI Yogyakarta menyatakan kegiatan pameran dan seminar merupakan sarana evaluasi akademik perkembangan pendidikan tinggi seni di Indonesia” ini merupakan kegiatan tahunan FSMR ISI Yogya dan tahun ini kita pilih ISI Denpasar” ungkap Alex.
Selain itu Dekan FSRD Ni Made Rinu, berterimakasih kepada mahasiswa PS. Fotografi yang kreatif, sehingga beberapa prestasi dapat diraih tahun ini seperti lolos dalam program Transfer Kridit MIT. “Saya bangga dengan prestasi ini sehingga tahun-tahun ke depan dapat ditingkatkan lagi. Melihat perkembangan teknologi dunia fotografi digital membawa perkembangan yang positif pada peningkatan jumlah mahasiswa fotografi, dari tahun-ketahun. Dapat dicatat bahwa PS Fotografi tahun ini mengembangkan kurikulum baru Fotografi Kapal Pesiar, sebagai kebutuhan pasar. “Sebagai lembaga seni kita seharusnya dinamis membaca perkembangan akan peluang pasar, karena perkembangan teknologi digital sangat cepat pada era global ini” Ungkap Arba wirawan.
Pada Fotografi expo kali ini diundang siswa sekolah SMU/SMK yang baru tamat untuk mengembangkan diri dalam era multimedia untuk mengikuti seminar, workshop menyaksikan pameran dan hunting sehingga wawasannya mereka terbuka.
Arba Wirawan, 081338738806