by admin | Apr 30, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Nyoman Lia Susanthi Dosen PS Seni Pedalangan
Banyak tuntutan menjadikan seni pertunjukan harus dikemas untuk konsumsi pariwisata. Sehingga fungsi wayang sebagai tontonan kerap kali dipolesi dengan sentuhan inovatif dan kreatif. Dimulai dari pemanfaatan teknologi, menciptakan karakter-karakter baru dalam pewayangan hingga menyelipkan bahasa Inggris dalam setiap pementasannya. Bahasa yang biasa digunakan dalam pementasan wayang adalah bahasa Kawi, Bali dan Indonesia. Namun karena kebutuhan pasar menjadikan peket yang diberikan untuk penonton asing adalah wayang berbahasa Inggris. Sehingga pesan dan filosofi yang terkandung dalam wayang dapat diterima oleh penonton asing. Dari paparan diatas sangat diperlukan untuk melahirkan dalang yang memiliki kemampuan berbahasa asing khususnya bahasa Inggris.
ISI Denpasar sebagai lembaga pendidikan pencetak seniman intelektual, menjadikan bahasa Inggris sebagai matakuliah umum. Khususnya bagi mahasiswa Jurusan Pedalangan ISI Denpasar, mereka memperoleh matakuliah ini sebanyak dua semester, berjenjang (Bahasa Inggris I dan Bahasa Inggris II), pada semester II dan III. Dalam pembelajaran matakuliah bahasa Inggris memiliki tujuan instruksional yaitu mahasiswa mampu menggunakan bahasa Inggris baik lisan maupun tulisan dengan baik dan benar. Guna mencapai tujuan tersebut diperlukan pemikiran cermat, agar faktor-faktor yang terlibat dalam pembelajaran dapat berhubungan, bersinergi, sehingga tujuan pembelajaran tercapai.
Namun dalam proses pembelajaran bahasa Inggris di Jurusan Pedalangan ISI Denpasar seringkali menjadi momok bagi sebagian mahasiswa. Walaupun bahasa Inggris telah dipelajari dari tingkat sekolah menengah, bahkan tingkat sekolah dasar, banyak mahasiswa belum mampu menguasainya. Beberapa keluhan yang sering muncul adalah ketidakpahaman terhadap struktur tata bahasa internasional tersebut. Bahasa Inggris dinilai matakuliah sulit terutama dalam tata bahasa (English Grammar) serta penghafalan sekian ribu kosa kata baru. Selain itu faktor usia mahasiswa Pedalangan yang dominan sudah berusia lanjut, menjadikan bahasa Inggris sangat malas untuk dipelajari. Kendala-kendala inilah yang menyebabkan calon dalang berpendidikan ini tidak benar-benar menguasai bahasa Inggris.
Artikel Selengkapnya
by admin | Apr 29, 2010 | Artikel, Berita
Pembinaan Karawitan Kelompok Karawitan Ngesti Laras, Paguyuban Ngeksi Gondo Dibawah Naungan Yayasan Adi Budaya Denpasar Tahun 2009
Oleh: Tri Haryanto, S.Kar., M.Si.
Sebagaimana umumnya keberadaan Perguruan Tinggi di Indonesia, di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, pembinaan kesenian khususnya dibidang seni karawitan merupakan bentuk implementasi dari salah satu dharma bagi komunitas di perguruan tinggi yaitu pengabdian kepada masyarakat. Darma ini diartikan sebagai pengamalan ilmu pengetahuan teknologi dan seni, dilakukan oleh perguruan tinggi secara melembaga melalui metode ilmiah, langsung kepada masyarakat yang membutuhkan, dalam upaya mensukseskan dan mengembangkan manusia pembangunan (Adiputra, 1997:295). Karenanya adalah kewajiban bagi setiap insan akademik untuk melaksanakan kegiatan ini seiring dengan darma pendidikan dan penelitian.
Dalam pelaksanaannya, pengabdian kepada masyarakat terfokus pada suatu wilayah tertentu, utamanya yang kurang berkembang seperti pada kelompok karawitan Ngesti Laras pada Yayasan Adi Budaya. Diadakannya pembinaan-pembinaan dalam rangka pelestarian dan penguatan ketahanan nilai-nilai budaya (budaya Jawa), sebagai salah satu upaya mensejajarkan budaya Jawa dengan budaya lokal (Bali) dalam menunjang dunia pariwisata dan sebagai wujud preventif guna mencegah pengaruh negatif yang muncul dari dampak kepariwisataan.
Kelompok karawitan Ngesti Laras adalah bagian dari suatu Yayasan Adi Budaya di bawah naungan keluarga besar Paguyuban Ngeksi Gondo di Denpasar. Selain karawitan, wujud dari pelestariannya meliputi adat budaya ”nganten Jawa”, seni tari, dan seni pedalangan. Dengan demikian, sungguh berat apa yang diemban oleh kelompok karawitan Ngesti Laras, karena harus juga mendukung dari semua jenis seni yang membutuhkan peran serta dari karawitan sebagi pendukung pertunjukannya. Seperti dalam upacara pernikahan yang masih ingin melestarikan adat seperti apa yang berkembang di Jawa, maka perlu juga dukungan dari karawitan sebagai pengiring upacara pernikahan tersebut. Selai itu juga dalam pementasan seni pertunjukan lainnya seperti, pertunjukan seni Tari dan seni Pedalangan yang masih membutuhkan iringan langsung, juga perlu dukungan dari karawitan.
Dilaksanakannya sistem pembinaan terhadap kelompok karawitan Ngesti Laras secara berkelanjutan, hal ini disebabkan oleh karena adanya keinginan anggota kelompok karawitan dan masyarakat pendukung (Paguyuban Ngeksi Gondo) untuk senantiasa dapat meningkatkan apa yang telah dicapai dapat diandalkan dalam berbagai aktivitas yang melibatkannya. Kebanggaan kelompok karawitan terhadap aktivitas yang disertainya, menimbulkan antusiasme yang sangat tinggi dimana salah satu keinginan yang belum mereka gapai adalah memiliki sarana dari jenis-jenis pakaian tari, dan wayang sebagai sarana pentas pedalangan. Sedangkan untuk gamelan sudah diberi dari Pemerintah Daerah Tingkat I Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan Juni 2006, meskipun masih berwujud gamelan Kuningan, namun dari pihak Pemda TK I DIY memberikan sinyal untuk memberikan gamelan yang lebih layak untuk disandingkan dengan gamelan-gamelan yang ada di Pulau Dewata ini yang serba gemerlapan.
Merasa dengan potensi yang dimiliki serta adanya dukungan dari masyarakat pendukung (Paguyuban Ngeksi Gondo), kelompok karawitan Ngesti Laras selalu ingin mengembangkan diri dengan berbagai hal yang ada kaitannya dengan adat budaya dan seni pertunjukan. Tidak menutup kemungkinan juga akan bisa menembus dalam ranah kepariwisataan di Pulau Dewata, melihat celah yang ada dan tidak menutup kemungkinan hal itu mudah untuk dijangkau. Untuk menjangkau itu, maka kelompok karawitan ini selalu ingin berbenah diri untuk menambah perbendaharaan materi baik untuk konser, untuk iringan adat budaya, iringan tari, dan iringan pedalangan.
Pembinaan Karawitan Ngesti Laras Yayasan Adi Budaya selengkapnya
by admin | Apr 29, 2010 | Artikel, Berita
Analisa Semiotika Terhadap Lokalitas Potensi Budaya Lokal Dalam Desain Iklan Televisi PT Garuda Indonesia Airline Dari Tahun 1990- 2009
Oleh : Alit Kumala Dewi, S.Sn ( Ketua) dan I Nyoman Larry Julianto, S.Sn (Anggota)
Ringkasan Penelitian Dosen Muda Biaya DIPA 2009
Iklan televisi telah menjadi komoditas masyarakat. Kehadirannya bahkan telah menjelma menjadi kekuatan baru yang mampu menyulap khalayak untuk secara suka rela melakukan apa yang diinginkan para produsen dan kreator iklan memerlukan kreatifitas dan ide-ide yang inovatif sehingga karyanya dapat diterima dengan baik oleh komunikan. Salah satu iklan yang berhasil memadukan dampak komersial dan sosial budaya adalah iklan televisi PT Garuda Indonesia Airline.
Hampir di setiap iklan PT. Garuda Indonesia Airline, terlihat jelas bahwa para creator iklan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk meramu cita rasa lokal, dengan mengangkat image dan potensi budaya lokal Indonesia. Dengan memanfaatkan potensi budaya lokal dan kesenian tradisional sebagai sumber energi kreatif penciptaan karya desain iklan televisi, maka keunikan yang dimunculkan dari lokalitas budaya lokal berikut masyarakat pendukungnya akan memberikan kontribusi positif bagi perkembangan jagat periklanan Indonesia
Tujuan dari penelitian ini adalah mampu menganalisi iklan televisi dari PT. Garuda Indonesia Airline tahun1999-2009 dengan menggunakan teori semiotika dan mampu menjelaskan strategi kreatif yang dipilih pada wujud iklan televisi tersebut
Hasil pembahasan yang diperoleh dari ketiga iklan komersil di atas yakni, iklan Garuda Indonesia Airline versi menuju Bali-Indonesia (1991), versi anniversary 60 th dan versi wayang kulit, pesan yang terdapat pada ketiga iklan komersil di atas dapat dianalisis menurut Saussure untuk melihat makna konotatif dan makna denotatif, menurut Roland Barthes yakni menggunakan kode Semantik, kode Narasi, dan kode Kebudayaan, penggunaan kode-kode tersebut berdasarkan tanda verbal dan tanda visual, tanda verbal didekati dari ragam bahasa, gaya penulisan, tema dan pengertian yang didapatkan, dan tanda visual menurut C.S Peirce dapat dilihat dari cara menggambarkannya, apakah secara ikonis, indeksikal, atau simbolis.
Kesimpulan yang diperoleh bahwa iklan televisi dari PT. Garuda Indonesia lebih banyak memakai simbol-simbol kebudayaan, hal itu dilakukan agar mampu membangkitkan rasa tertarik sehingga dapat menimbulkan stimulus dan reaksi pada target sasaran (khalayak ramai)
by admin | Apr 29, 2010 | Artikel, Berita
oleh: I Made Arnawa, SSKar., M.Sn. dan Tri Haryanto, S.Kar., M.Si.
Pendro II, merupakan pengembangan dari Pendro I, hasil dari karya Pendro I memberikan inspirasi baru tentang hasil Tone yang merupakan penggabungan dari gamelan yang berlaras Pelog dan Slendro. Dari hasil Tone tersebut telah dibuatkan satu gamelan baru yang disebut dengan gamelan Pendro, dengan gamelan baru ini penata mempergunakannya untuk membuat karya baru dengan judul Pendro II.
Dari hasil karya-karya sebelumnya, masih menggunakan dua gamelan yang berbeda dalam satu sajian karya, seperti karya yang berjudul “Merajut Tali Keragaman”, menggunakan berbagai gamelan, namun tidak dapat menyatu dalam penyajiannya. Dari fungsi gamelan masih menunjukkan karakteristik gamelan dari masing-masing barungan itu sendiri. Kemudian dalam Pendro I telah dicoba untuk menggabungkan dua gamelan yang berbeda laras dengan satu kesatuan karya, hasil dari penggabungan itu muncul laras (Tone) baru, dan hasil Tone baru itu telah kami buat gamelan baru dengan Tone yang dihasilkan tersebut. Dari gamelan baru ini diharapkan dapat memberikan nuansa musikal baru, dengan menggunakan berbagai teori estetika yang baru pula memungkinkan muncul karya-karya baru yang lebih inovatif.
Dasar dari penciptaan ini, selain dari pengalaman penata dalam berkarya, juga dari berbagai acuan karya yang seirama dengan konsep karya Pendro II yaitu Rekaman CD “Pendro I” karya I Made Arnawa (2004). “Clapping Music” (1972) dan “Tehilim” (1979) karya Steve Reich.
Wujud garapan di sajikan dalam bentuk dan struktur serta Tekstur. Bentuk dan struktur masih ada kaitannya dengan bentuk struktur tradisi. Kemudian untuk bahasa musikalitasnya disebut dengan tekstur. Tekstur yang penata maksudkan dalam garapan Pendro II adalah bahasa musikalitas yang terbentuk dari konsep Mayatupatus. Mayatupatus adalah angka-angka yang tertera dalam Pengider Bhuwana sebuah lontar gamelan Bali yang sudah dialihbahasakan oleh I Made Bandem. Ma= lima (5), Ya= sanga (9), Tu= pitu (7), Pa= papat (4), Tus = kutus (8). Angka-angka 59748 inilah yang menjadi roh garapan Pendro II.
Untuk penotasian, kami buat dengan sistem notasi yang telah biasa dipergunakan dalam sistem penotasian di Bali, yaitu menggunakan simbol penganggen aksara Bali. Notasi Bali (ding-dong) pelog tujuh nada disejajarkan dengan Notasi Kepatihan (Jawa/Surakarta) dan Notasi Diatonis seperti dalam tabel berikut.
Pada gamelan Pendro, hanya terdapat empat nada yaitu nada 4 (dong), 5 (deng), 7 (dung), dan 1 (dang). Perlu disampaikan di sini bahwa laras dalam gamelan Pendro terdiri dari laras pelog (dung dan dang) dan slendro (dong dan deng) yang terbagi dalam empat nada.
Kata Kunci: Pendro, Bentuk dan Struktur, Tekstur
Pendro II Selengkapnya
by admin | Apr 29, 2010 | Artikel, Berita
Studi Pemanfaatan Karya Seni Lukis Sebagai Penunjang Pembelajaran Bahasa Inggris Yang Efektif Dan Efisien Di Fakultas Seni Rupa Dan Desain Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar
Oleh: Ni Kadek Dwiyani
Dibiayai Oleh DIPA ISI Denpasar 2009
Abstrak: Dalam proses belajar mengajar yang efektif dan efisien dalam pengajaran Bahasa Inggris perlu diperhatikan pengunaan alat-alat bantu dalam menyampaikan materi yang agak kompleks dalam penyajian sehingga peserta didik dalam ini mahasiswa akan lebih tertarik mengikuti proses perkuliahan.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah keberadaaan peserta didik yang memiliki latar belakang pengetahuan seni akan lebih mudah jika menggunakan alat bantu yang dipergunakan menggunakan media terdekat yang mereka ketahui, sehingga dalam melakukan analisis akan karya seni, mereka tidak merasa terlalu asing dengan alat bantu yang ada. Khususnya dalam penelitian tindakan kelas untuk pembelajaran bahasa Inggris seni, frekuensi pemberian bahan latihan yang lebih banyak akan mendorong mahasiswa peserta didik terbiasa untuk mengembangan kemampuannya berbahasa, terutama dalam meningkatkan penguasaan tata bahasa dan juga perbendaharaan kata/ kosakata, sehingga mereka akan menjadi lebih aktif dalam menyampaikan ide dan gagasan mereka baik dala bahasa tulisan maupun bahasa lisan.
Proses penelitian mengenai studi pemanfaatan karya seni lukis sebagai penunjang pembelajaran Bahasa Inggris yang efektif dan efisien di Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Denpasar dilakukan melalui dua tahap pelaksanaan peneltian tindakan kelas yang dibagi dalam waktu 3 bulan untuk setiap tahapan dengan melaksanakan kombinasi antara 4 kemampuan dasar dalam bahasa Inggris yang dikenal dengan istilah speaking (keterampilan membaca), reading (keterampilan membaca), listening (keterampilan mendengar), dan writing (keterampilan menulis). Proses pembelajaran dengan menggunakan metode penggabungan keempat dasar keterampilan bahasa Inggris ini disebut dengan Integrative Skills.