M

Tentang ISI Bali

Sejarah

Pengantar

Akreditasi

Visi dan Misi

Struktur Organisasi

SAKIP

JDIH

Penghargaan

PPID

Green Metric

Pendidikan

Fakultas Seni Pertunjukan (FSP)

Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD)

Pascasarjana

Program Internasional

Alumni

Penelitian

Penelitian, Penciptaan dan Diseminasi Seni dan Desain (P2SD)

Penelitian Disertasi (PDD)

Penelitian Kompetisi Nasional

Penelitian Kerja Sama

Pengabdian

Bali Citta Swabudaya (BCS)

Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)

Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Pusat

Kajian Seni Lukis Wayang Kamasan Sebagai Media Pendidikan Moral

Kajian Seni Lukis Wayang Kamasan Sebagai Media Pendidikan Moral

Oleh: Drs. I Nyoman Nirma

Dibiayai DIPA ISI Denpasar

Ringkasan Penelitian

Ketepatan memilih media dalam pembelajaran sangat tergantung pada pengetahuan dan pengalaman pendidik tentang ragam media dari media yang sederhana sampai pada media yang canggih. Bila dilihat dari perkembangannya pada mulanya media dianggap sebagai alat bantu mengajar guru (teaching aids). Alat Bantu yang dipakai adalah alat Bantu Visual misalnya: gambar, model, obyek dan alat-alat lain yang dapat memberikan pengalaman konkrit, motifasi belajar serta mempertinggi daya serap dan retensi belajar (Sadiman dkk,2005:07)

Di Bali media pembelajaran agama Hindu yang berwujud gambar-gambar dijumpai dalam bentuk seni lukis Wayang Kamasan. Dikenal dengan istilah ‘Wayang Kamasan’, karena seni lukis ini berkembang di desa Kamasan, Klungkung-Bali. Ini dibuktikan dengan  hadirnya seni lukis Wayang Kamasan pada gedung Kertha Gosa yang dibangun sejak jaman kerajaan Klungkung.  Tema lukisan wayang ini menceritakan tentang perjalanan Bhima ke swarga loka, Diah Tantri, Sang Garuda Mencari Amerta dan Palelindon.  Pada prinsipnya  seluruh cerita dalam lukisan ini bersumber pada ajaran-ajaran agama Hindu.

Berdasarkan lukisan Wayang Kamasan yang ada pada gedung Kertha Gosa, mengindikasikan bahwa sejak dahulu seni lukis Wayang Kamsan telah dijadikan sebagai media budaya untuk menyampaikan pendidikan moral yang baik bagi masyarakat di jaman Kerajaan Klungkung.

Hingga kini tema-tema cerita yang biasa diangkat dalam seni lukisan Wayang Kamasan di desa Kamasan, Klungkung-Bali meliputi cerita Mahabharata, Ramayana, Sutasoma, Lelintangan, Panji, dan cerita-cerita rakyat lainnya yang mengadung nilai filosofis ajaran Agama Hindu. Ini  berarti seni lukis Wayang Kamasan sangat penting peranannya sebagai media dalam menstransfer pendidikan moral dalam Kehidupan Masyarakat Bali.

Berdasarkan uraian di atas, maka Seni lukis Wayang Kamasan sebagai Media Pendidikan Moral akan dikaji eksistensinya dalam mengajarkan moral yang baik agar mudah diingat  dan dipahami, serta dilaksanakan oleh masyarakat Bali.

Gending Ritual Keagamaan

Gending Ritual Keagamaan

Oleh I Wayan Suharta Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Keberadaan kebudayaan Bali mencakup unsur-unsur yang sangat banyak dan beragam,  salah satu diantaranya adalah unsur upacara. Upacara-upacara di Bali adalah merupakan suatu mata rantai yang tak dapat terpisahkan antara tatwa dan filsafat yaitu merupakan tujuan dari ajaran agama Hindu, serta susila adalah aturan-aturan yang patut dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Ketiga unsur tersebut merupakan unsur-unsur universal ajaran agama Hindu dimana antara unsur yang satu dengan yang lainnya harus saling dipahami dan ditaati secara terpadu serta tidak terpisahkan (Swarsi, 2003 : 1).

Cukup beralasan dan masuk akal, karena sebagian besar siklus kehidupan orang Bali dikendalikan oleh kegiatan-kegiatan yang relegius. Dalam menjalankan kegiatan tersebut terlihat bahwa kehadiran hakekat yang tertinggi selalu mendapat porsi yang dominan dan menonjol. Mereka percaya bahwa dengan selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan hakekat yang tertinggi yaitu Tuhan Yang Maha Esa berserta segala ciptaannya, mereka akan berhasil dalam setiap pekerjaan sesuai dengan dharmanya.

Sebagai intisari dari pandangan dan konsep hidup inilah timbul paradigma tentang tiga keseimbangan hidup yang kemudian disebut Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Konsep ini mengajarkan agar selalu dijaga keseimbangan dan keselarasan hidup antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, antara manusia dengan alam lingkungannya dan keseimbangan hidup antara manusia dengan sesamanya (Tim Penyusun Pemda Tk. I Bali, 1992 : 32). Sebagai realisasi dari ketiga konsep ini, dilaksanakan melalui berbagai cara seperti pembacaan mantra dan doa-doa, menyanyikan lagu-lagu pujaan dan menyelenggarakan upacara yang disebut yadnya.

Sesuai dengan ajaran agama Hindu,  yadnya berarti sebagai suatu korban suci secara tulus ikhlas tanpa pamrih. Yadnya merupakan sarana untuk mengadakan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai perbuatan mulia untuk menjaga keseimbangan dan tercapainya tujuan hidup di dunia akhirat. Oleh sebab itu hampir setiap hari dapat dijumpai orang melaksanakan yadnya dari tingkat yang terkecil seperti yadnya sesa hingga yang terbesar seperti upacara Eka Dasa Rudra di pura Besakih. Indikasi ini menunjukan adanya berbagai bentuk dan pelaksanaannya, yang secara garis besarnya ada lima jenis yadnya yang dilaksanakan oleh masyarakat Hindu di Bali  disebut Panca Yadnya, meliputi ; Bhuta Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya dan    Dewa Yadnya.

Artikel selengkapnya

Pergeseran Bentuk Estetika Wadah Di Perusahaan Ida Bagus Gede Pidada, Br. Abian Tubuh, Kesiman, Denpasar

Pergeseran Bentuk Estetika Wadah Di Perusahaan Ida Bagus Gede Pidada, Br. Abian Tubuh, Kesiman, Denpasar

Oleh: I Ketut Sida Arsa, S.Sn

RingkasanPenelitian Biaya DIPA 2009

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi pergeseran bentuk estetika wadah di perusahaan I.B. Gede Pidada di Kelurahan Kesiman. Penelitian ini merupakan penelitian survey lapangan dengan melibatkan sekitar 30 orang yang merupakan karyawan dan masyarakat Kesiman. Data dalam penelitian ini  dikumpulkan dengan menggunakan teknik dokumentasi, wawancara, dan kuesioner. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif kuantitatif

Hasil analisis data menunjukkan bahwa persinggungan globalisasi dengan budaya lokal telah melahirkan suatu bentuk kebudayaan baru. Dimana unsur-unsur estetik dalam setiap kebudayaan dikemas menjadi suatu yang serba instan dan mendatangka keuntungan. Estetika dipandang tidak lebih dari hasil suatu proses logis, dimana kebutuhan dan teknik oprasional dipadukan sehingga menghasilkan sebuah bentuk karya yang akhir dalam hal ini wadah. Wadah dipandang hanya sebagai ekspresi logika dan rasionalitas fiungsi sehingga melahirkan bentuk ”estetika komoditi” yang dikendalikan oleh prinsif dasar kemersial dan kapitalisme yaitu mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, sehingga ekspresi estetis dalam pembuatannya tidak menjadi sesuatu yang utama melainkan hanya sebagai pemanis saja. Proses komodifikasi secara sadar atau tidak sadar telah menyentuh langsung pada dingding makna kebudayaan apalagi ketika simbol, ikon, dan budaya telah mulai disentuh oleh prinsif komersil

Berdasarkan temuan ini maka disarankan hendaknya seluruh pihak yang terkait dalam proses komodifikasi budaya Bali, kususnya yang bergerak di dalam komodifikasi wadah agar tetap memeperhatikan nilai-nilai estetika dan religiss yang terdapat pada wadah, serta menjaga keutuhan budaya Bali.

Kata Kunci : estetika, komoditi, komersial

Semester Pendek

PENGUMUMAN

SEMESTER PENDEK

DENGAN DILUNCURKANNYA PROGRAM SEMESTER PENDEK PERIODE 2010, DIUMUMKAN KEPADA SELURUH MAHASISWA FSRD YANG BERMINAT

HUBUNGI BAGAIAN AKADEMIK FSRD TANGGAL 2 – 31 MEI 2010

DENPASAR, 30 APRIL 2010

TTD

PEMBANTU DEKAN I

Kehidupan Wanita Pengrajin Gerabah Di Desa Binoh Kelurahan Ubung Kaja Denpasar

Kehidupan Wanita Pengrajin Gerabah Di Desa Binoh Kelurahan Ubung Kaja Denpasar

Oleh: Ida Ayu Gede Artayani, S.Sn, M.Sn.

Dibiayai DIPA ISI Denpasar, 2009

Ringkasan Penelitian

Desa Binoh terletak di wilayah Kecamatan Denpasar Barat, adapun Desa Binoh dibatasi oleh Kelurahan Sempidi di sebelah barat, kelurahan Ubung Kelod di sebelah selatan, dan  Desa Peguyangan di sebelah timur.

Desa Binoh terdiri dari dua bagian yaitu, Binoh Kaja dan Binoh Kelod, kerajinan yang hidup di daerah ini adalah keterampilan tradisional yang diwariskan secara turun temurun. Pengrajin atau pekerja di sini kebanyakan wanita yang telah berumur dan telah berkeluarga. Para suami atau kaum laki-laki biasanya bekerja di sawah dan membantu dalam pengangkutan barang-barang gerabah yang sudah jadi serta dalam proses pembakaran.

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mendorong kaum wanita untuk menekuni  pekerjaan sebagai pembuat kerajinan gerabah. Dan kendala apa yang dihadapi oleh pengrajin dalam memajukan usahanya.

Melalui penelitian di lapangan, menggunakan metode observasi dan wawancara, akhirnya permasalahan tersebut bisa terjawab. Adapun faktor yang mendorong wanita melakukan pekerjaan ini karena: Faktor pendidikan (wanita pengrajin rata-rata berpendidikan SD)  kesempatan kerja, dan faktor ekonomi karena menggeluti pekerjaan ini tidak terkait oleh waktu sehingga para wanita bisa menselaraskan peranannya sebagai ibu rumah tangga.

Adapun kendala yang dihadapi oleh para pengrajin disini adalah: bahan baku dari daerah pengrajin sendiri semakin berkurang, dan harus mendatangkan dari daerah lain, teknologi, dan disain yang kurang serta pemasarannya. Selain itu dengan banyaknya gerabah-gerabah dari luar masuk kedaerah Bali yang memiliki disain lebih bagus.

Loading...