 
							
					
															
					
					 by admin | Jun 29, 2010 | Berita
 YOGYAKARTA (SI) – Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Suharna Surapranata meminta agar para peneliti Indonesia tidak terkungkung dalam ego masingmasing.
YOGYAKARTA (SI) – Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Suharna Surapranata meminta agar para peneliti Indonesia tidak terkungkung dalam ego masingmasing.
Menurut dia, hingga saat ini masih banyak peneliti yang asyik dengan kepentingan masingmasing tanpa melihat kebutuhan masyarakat yang lebih luas. “Tidak boleh terjadi, peneliti asyik dengan dirinya. Mereka hanya mencari pamor pribadi.Inovasi teknologi harus diperuntukkan bagi masyarakat banyak meskipun kadang tidak membuat dirinya terkenal,” tegas Suharna saat menjadi keynote speaker di seminar nasional Riset dan Teknologi 2010 di Gedung Auditorium Universitas Islam Indonesia (UII),Yogyakarta, kemarin. Menurut dia,pemerintah sudah berupaya memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada mereka yang telah berhasil berinovasi di bidang teknologi.
Hanya saja, pemberian penghargaan, khususnya di bidang materi, masih terbatas. Hal itu terjadi karena ketersediaan anggaran yang terbatas. Meski demikian,keterbatasan tersebut diharapkan bukan menjadi batasan, sebab masih bisa disiasati dengan melibatkan investor. “Proposal yang masuk jumlahnya ribuan. Kemenristek hanya memprioritaskan temuan-temuan yang sejalan dengan program nasional,” paparnya.Menurut Suharna, ada tujuh agenda riset nasional yang perlu mendapat dukungan dari para peneliti. Di antaranya, riset di bidang pangan,energi,pertahanan keamanan, transportasi, information and communication technologies (ICT), kesehatan, dan material baru.
Dari tujuh agenda riset tersebut, proposal penelitian yang masuk lebih banyak mengarah pada riset pangan serta energi dan pertahanan keamanan. “Dari tujuh bidang itu,mari kita teliti dan kita jemput kebutuhannya.Apa sih yang belum terselesaikan? Mari kita buat penelitiannya,” paparnya. Sementara itu, Rektor UII Edy Suandi Hamid menyatakan prihatin atas perkembangan riset teknologi di Indonesia. Data dari Scince Direct menunjukkan bahwa pertumbuhan riset di Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara lain. Hasil penelitian pada 1996, output riset Indonesia hanya sekitar 500-an paper dan hingga 2007, ungkapnya, masih kurang dari seribu papper.
“Indonesia kalah dari Thailand yang sudah berada pada lebih dari 1.000 paper pada 1996 dan melonjak 5.500 pada 2007. Begitu pula dengan Malaysia yang sudah mencapai lebih dari 3.500,” tegas Edy.Begitu pula data dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menyatakan bahwa penelitian Indonesia yang dipatenkan Amerika Serikat baru menempati posisi ke-43 di bawah Filipina.Yang lebih mengenaskan lagi, katanya, Indonesia hingga saat ini masih banyak bergantung pada teknologi dari luar.
Menurut data Institute for Management Development (IMD) 2009, daya saing Indonesia di bidang infrastruktur sains dan infrastruktur teknologi terus menurun. (arif budianto)
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/334096/
				
					
			
					
											
								 
							
					
															
					
					 by admin | Jun 29, 2010 | Berita
 SEMARANG, KOMPAS.com – Pengamat pendidikan Universitas Diponegoro Semarang, Prof. Y. Warella, menilai, relatif banyak indikator untuk menilai kualitas suatu perguruan tinggi, apalagi untuk ukuran kualitas dunia.
SEMARANG, KOMPAS.com – Pengamat pendidikan Universitas Diponegoro Semarang, Prof. Y. Warella, menilai, relatif banyak indikator untuk menilai kualitas suatu perguruan tinggi, apalagi untuk ukuran kualitas dunia.
“Setiap lembaga memiliki indikator penilaian yang berbeda dengan lembaga-lembaga lain, karena itu indikator suatu perguruan tinggi dinilai sebagai berkelas dunia menjadi beragam,” katanya di Semarang, Sabtu (26/6/2010).
Menurut dia, berbagai indikator yang ditetapkan suatu lembaga sebenarnya dapat dijadikan sebagai tolok ukur kualitas suatu perguruan tinggi, namun terkadang ada beberapa indikator yang terkesan tidak relevan.
“Ada lembaga yang menjadikan fasilitas kolam renang salah satu indikator, atau gelanggang olahraga, tentunya hal itu tidak berkaitan langsung dengan penilaian kelas dunia bagi perguruan tinggi,” katanya.
Namun, kata dia, bukan berarti suatu perguruan tinggi harus bersikap antipati dengan penilaian yang akan diproses menjadi pemeringkatan itu, karena ada beberapa indikator bersifat objektif yang bisa menjadi patokan. Ia menyebutkan beberapa indikator objektif suatu perguruan tinggi dikatakan berkelas dunia, antara lain berapa banyak guru besar yang dimiliki dan karya-karya ilmiah spektakuler yang masuk dalam jurnal nasional.
“Kalau banyak guru besar yang mengajar di luar negeri dan sebaliknya banyak guru besar luar negeri yang mengajar di suatu perguruan tinggi, berarti perguruan tinggi itu dikenal dan dipercaya secara luas,” katanya.
Terkait karya-karya ilmiah, kata dia, semakin banyak karya yang diterbitkan dalam jurnal internasional dan sudah dipatenkan, tentu menjadikan perguruan tinggi tersebut diakui oleh kalangan internasional.
“Demikian juga jumlah mahasiswa asing yang berkuliah di perguruan tinggi tersebut dan sebaliknya berapa mahasiswa yang berkuliah di luar negeri. Itu bisa dijadikan ukuran penilaian kualitas perguruan tinggi,” katanya.
Selain itu, kata Warella yang juga Direktur Program Pascasarjana Undip Semarang itu, banyak indikator objektif lain yang bisa dijadikan patokan, seperti rasio mahasiswa pascasarjana lebih besar dari mahasiswa sarjana, dan tokoh yang meraih Nobel.
Menurut dia, peran pascasarjana dalam peningkatan mutu sangat besar dan hal itu pula yang mendasari Pertemuan Pimpinan Pascasarjana Perguruan Tinggi Negeri Se-Indonesia Ke-32 yang akan diselenggarakan pada 28 Juni-1 Juli 2010.
“Kebetulan, kami ditunjuk sebagai tuan rumah ajang itu dan tema yang akan diangkat nantinya adalah ’Penajaman Peran Pendidikan Pascasarjana untuk mendukung ’World Class University’,” kata Warella.
Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/06/26/07261228/Indikator.bagi.Kualitas.Perguruan.Tinggi
				
					
			
					
											
								 
							
					
															
					
					 by admin | Jun 25, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Drs. A.A.Gede Rai Remawa, MSn., Drs. I Nyoman Wiwana, MSi., dan Drs. I Wayan Sukarya, A.A. Bawa Putra, SSi.,MSi.
Abstraks Penelitian Hibah Bersaing 2009
 Revitalisasi kearifan lokal menjadi isu strategis pada lima tahun terakhir ini, untuk memperkenalkan berbagai khasanah daerah yang dapat diangkat ke arena global. Berbagai kekayaan kearifan lokal dalam bidang seni rupa seperti; seni lukis, patung, arsitektur, interior, kriya kayu dan lain sebagainya masih banyak yang dapat diangkat ke permukaan agar kekayaan lokal Bali semakin dikenal.
Revitalisasi kearifan lokal menjadi isu strategis pada lima tahun terakhir ini, untuk memperkenalkan berbagai khasanah daerah yang dapat diangkat ke arena global. Berbagai kekayaan kearifan lokal dalam bidang seni rupa seperti; seni lukis, patung, arsitektur, interior, kriya kayu dan lain sebagainya masih banyak yang dapat diangkat ke permukaan agar kekayaan lokal Bali semakin dikenal.
Interior dan Arsitektur tradisional Bali lebih banyak memanfaatkan bahan alamiah seperti; batu, cadas, dan bata pada bagian dasar dan sebagian dindingnya, sedangkan bahan kayu, daun kelapa, alang-alang, dan ijuk dimanfatkan untuk rangka dan atapnya. Perkembangan teknologi dan desain tidak memungkinkan material ini tepat dimanfaatkan untuk keperluan interior dan arsitektur bangunan, karena bahan-bahan cadas dan bata memiliki kekurangan pada ketahanan dan debu yang dihasilkan. Perkembangan teknologi dan bahan menyebabkan masyarakat memiliki pilihan untuk menggunakan bahan lain seperti beton dan plesteran yang difinishing dengan cat tembok. Pilihan cat tembok ini cukup baik untuk finishing ruang dalam (interior), arsitektur dan bahkan ruang luarnya (ekterior) karena sifatnya yang  tidak berdebu dan tahan terhadap cuaca, serta mudah merawatnya. Untuk memperkaya khasanah finishing akhir ini, maka dilakukan penelitian terhadap warnabali yang sebelumnya banyak dimanfaatkan pada dunia kerajinan seperti; lukis, patung, arca dan topeng serta arsitektur yang menggunakan material kayu khususnya pada ornamen pintu, tiang dan hiasan lainnya.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dan laboratorium dan meneliti berbagai unsur bahan yang digunakan untuk membuat warnabali pada masa lalu. Berdasarkan eksperimen dan studi lapangan diperoleh bahwa warnabali terdiri dari 7 (tujuh) warna dasar seperti; hitam, biru, merah, jingga, coklat, kuning dan putih yang berasal dari tujuh bahan dasarnya seperti; mangsi, taum, kencu, deluge, pere, atal dan tulang.
Kesimpulan penelitian ini, warnabali memiliki intensitas visual yang tidak mencolok, lebih lembut apabila dibandingkan dengan warna Newton. Intensitas visual warnabali berbeda dengan warna modern. Hitam dan putih pada konsep warnabali adalah termasuk warna dan bukan sebagai shade dan tint. Hijau dan biru memiliki panjang gelombang maksimum 610 nm., Pelung; 600nm, kuning, coklat, merah, dadu dan brumbun; 520 dan 560 nm., sedangkan warnabali seperti; jingga, putih, abu dan hitam tidak menyerap warna.
Keyword: warnabali, nawa sanggha dan mancawarna
				
					
			
					
											
								 
							
					
															
					
					 by admin | Jun 25, 2010 | Berita
 JAKARTA — Arah kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional di antaranya adalah melakukan kajian dan revisi kurikulum pendidikan, dan pelatihan yang berorientasi pada pembentukan kreativitas dan kewirausahaan. Kebijakan ini kemudian kemudian diimplementasikan kepada anak didik sedini mungkin.
JAKARTA — Arah kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional di antaranya adalah melakukan kajian dan revisi kurikulum pendidikan, dan pelatihan yang berorientasi pada pembentukan kreativitas dan kewirausahaan. Kebijakan ini kemudian kemudian diimplementasikan kepada anak didik sedini mungkin.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdiknas Djoko Santoso yang mewakili Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengungkapkan lagi hal ini pada Konvensi Pekan Produk Kreatif Indonesia 2010, di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis (24/06/2010).
Pada konvensi yang dipandu Jaya Suprana itu, menghadirkan pula Menteri Perdagangan Mari Perdagangan Mari Elka Pangestu, dan Deputi Bidang Pendayagunaan IPTEK Kementerian Negara Riset dan Teknologi Idwan Suhardi, sebagai pembicara.
Djoko menyampaikan, Kemdiknas mendukung industri kreatif. Dia menjelaskan, salah satu komponen kurikulum pendidikan adalah memasukkan hal-hal yang bersifat inovatif. Misalnya, dengan melakukan kegiatan di bidang penelitian untuk menumbuhkan ide-ide. “Akan ada restrukturisasi dalam kurikulum kita,” katanya.
Di jenjang pendidikan tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional mengadakan program wirausaha muda. Para mahasiswa, kata Djoko, didukung agar ke depan dapat menjadi pengusaha yang berbasis pada industri kreatif dan inovasi. “Kemudian ada program inkubator bisnis. Di situ kira-kira secara formal kita mencoba mengembangkan,” katanya.
Djoko menambahkan, perlu dikembangkan terobosan kreatif dalam mendidik anak. Dia mengatakan, sebagian besar waktu anak adalah di rumah. Oleh karena itu, orang tua dapat mengarahkan anaknya menjadi anak yang kreatif. “Peran keluarga sebetulnya jauh lebih penting ketimbang sekolah,” katanya.
Djoko menyampaikan, arah kebijakan Kemdiknas lainnya adalah menciptakan akses pertukaran informasi dan pengetahuan ekonomi kreatif antar penyelenggara pendidikan. Selain itu, meningkatkan jumlah dan perbaikan kualitas lembaga pendidikan dan pelatihan formal dan informal, yang mendukung penciptaan insan kreatif dalam pengembangan ekonomi kreatif.  “Arah kebijakan berikutnya adalah menciptakan keterhubungan dan keterpaduan antara lulusan perguruan tinggi, dan sekolah menengah kejuruan,” katanya.
Kemdiknas, kata Djoko, mendorong para wirausahawan sukses untuk berbagi pengalaman dan keahlian di institusi pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. “Tidak kalah penting adalah memfasilitasi pengembangan jejaring dan mendorong kerja sama antar insan kreatif Indonesia di dalam dan luar negeri,” katanya.
Adapun Menteri Mari menyampaikan, ada enam faktor penting dalam pengembangan ekonomi kreatif. Faktor itu meliputi kontribusi kepada ekonomi, iklim bisnis, citra dan identitas bangsa, sumber daya terbarukan, inovasi dan kreativitas, serta dampak sosial. Setiap tahun, kata dia, digelar berbagai macam kegiatan ekonomi kreatif di antaranya Inacraft, Trade Expo Indonesia, pameran ekonomi kreatif di dalam negeri maupun luar negeri.
Mari melanjutkan, kegiatan lainnya adalah fasilitasi kegiatan kreatif di daerah, rapid mapping data, dan melakukan prototipe dari produk UKM lalu membantunya mengakses pasar. “Selain itu sosialisasi ke daerah dan pembuatan film untuk membangkitkan rasa bangga masyarakat,” katanya.
Acara konvensi dirangkai Pameran Produk Kreatif Indonesia 2010 berlangsung mulai 23-27 Juni 2010. Pada anjungan pendidikan berpartisipasi delapan perguruan tinggi, 23 SMK, dan Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia Kartini untuk jenis pendidikan nonformal dan informal. (aline)
Sumber: http://www.kemdiknas.go.id/list_berita/2010/6/24/kreatif-%281%29.aspx
				
					
			
					
											
								 
							
					
															
					
					 by admin | Jun 25, 2010 | Berita
 YOGYAKARTA, KOMPAS.com – Pembelajaran berbasis mahasiswa perlu diterapkan dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi, karena mahasiswa dituntut aktif dalam memperdalam ilmu. Melalui sistem pembelajaran ini dosen tidak lagi menjadi yang “maha tahu”.
YOGYAKARTA, KOMPAS.com – Pembelajaran berbasis mahasiswa perlu diterapkan dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi, karena mahasiswa dituntut aktif dalam memperdalam ilmu. Melalui sistem pembelajaran ini dosen tidak lagi menjadi yang “maha tahu”.
Pengamat pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Shanti Wardaningsih mengatakan, pembelajaran berbasis mahasiswa perlu dikembangkan sebagai salah satu sistem pembelajaran di dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Menurutnya, melalui sistem pembelajaran tersebut dosen tidak lagi menjadi yang maha tahu karena mahasiswa bisa mendapatkan pengetahuan tidak hanya dari dosen, tetapi juga sumber-sumber lain seperti jurnal dan internet.
“Sistem pembelajaran tersebut juga menuntut dosen untuk selalu menambah ilmu pengetahuan, jika tidak mau ketinggalan dari mahasiswanya,” kata Shanti dalam diskusi Student Learning Center di Yogyakarta, Kamis (24/6/2010).
Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini mengatakan, sistem pembelajaran tersebut bukan hanya untuk meningkatkan ilmu pengetahuan mahasiswa, tetapi juga menciptakan mahasiswa yang berpikir kritis. Seperti contoh, kata dia, sistem pembelajaran itu juga tepat diterapkan pada mahasiswa keperawatan.
Menurut dia, mahasiswa keperawatan juga harus berpikir kritis dan mampu menganalisis suatu kasus sampai tuntas dan menyeluruh sehingga bisa dihasilkan pemecahan masalah yang tepat. “Seorang perawat bukan hanya tahu bagaimana cara menyuntik, tetapi juga harus tahu kenapa dia harus menyuntik, apa isi dari yang disuntikkan, dan apa efek dari suntikan tersebut. Hal itu untuk menghindari eksekusi yang salah,” ujarnya.
Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/06/24/15341148/Hey..Dosen.Bukan.Lagi.Sosok..quot.Maha.Tahu.quot..