M

Tentang ISI Bali

Sejarah

Pengantar

Akreditasi

Visi dan Misi

Struktur Organisasi

SAKIP

JDIH

Penghargaan

PPID

Green Metric

Pendidikan

Fakultas Seni Pertunjukan (FSP)

Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD)

Pascasarjana

Program Internasional

Alumni

Penelitian

Penelitian, Penciptaan dan Diseminasi Seni dan Desain (P2SD)

Penelitian Disertasi (PDD)

Penelitian Kompetisi Nasional

Penelitian Kerja Sama

Pengabdian

Bali Citta Swabudaya (BCS)

Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)

Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Pusat

Bentuk, Fungsi dan Material Bangunan Rumah Tinggal Tradisional Bali Madya II

Bentuk, Fungsi dan Material Bangunan Rumah Tinggal Tradisional Bali Madya II

Oleh Drs. I Gede Mugi Raharja, MSn

d.  Paon/ Dapur

Paon ini terletak di bagian Selatan/Delod natah umah, sehingga sering pula disebut dengan Bale Delod. Fungsi Paon ini adalah untuk tempat memasak dan juga dapat digunakan sebagai tempat tidur. Fasilitas di dalam bangunan Paon ini adalah 1 buah bale-bale yang terletak di bagian dalam dan tungku tradisional sebagai tempat untuk memasak.  Bentuk Bangunan Paon adalah persegi panjang, dan menggunakan saka/ tiang yang terbuat dari kayu yang dapat berjumlah 6 (sakenem), dan 8 (sakutus/astasari). Bangunan Paon adalah rumah tinggal yang memakai bebaturan dengan lantai yang lebih rendah dari Bale Dauh.

e. Jineng

Unit bangunan Jineng terletak di bagian Tenggara natah umah, dan sering pula disebut dengan Kelumpu, atau yang memiliki ukuran lebih besar disebut Gelebeg. Fungsi Jineng ini adalah untuk tempat menyimpan padi (lumbung). Sedangkan yang disebut Gelebeg, selain dipakai untuk mnyimpan padi, juga dapat digunakan sebagai tempat beristirahat atau bekerja, seperti menenun kain atau membuat lawar/ mebat, sebab di bawah ruang simpannya berisi bale-bale di bagian tengah.  Bentuk Bangunan Jineng adalah persegi panjang, dan menggunakan saka/ tiang yang terbuat dari kayu yang dapat berjumlah 4 (sakepat) dan 6 (sakenem). Bangunan Jineng adalah tempat untuk menyimpan padi yang memakai bebaturan dengan lantai yang lebih rendah dari paon.

f.  Angkul-angkul/Pintu Masuk

Bangunan Angkul-angkul berfungsi sebagai pintu masuk ke pekarangan. Angkul-angkul adalah bentuk pintu masuk yang sederhana. Sedangkan bentuk yang lebih besar disebut Bintang aring dan ada juga disebut Kori.  Angkul-angkul berfungsi sebagai pintu masuk dari jalan (rurung) menuju pekarangan rumah. Setiap unit rumah tinggal memiliki sebuah bangunan angkul-angkul yang terbuat dari bahan tanah, bata, batu cadas, kayu dan bahkan beton cetak.

g. Elemen Pembentuk Ruang

1). Lantai /Bebaturan

Lantai  bangunan umumnya masih tetap memakai bahan tanah, cadas dan bata, khususnya pada lantai bangunan tradisional. Sesuai dengan perkembangan jaman beberapa lantai bangunan rumah tinggal Bali Madya telah beralih pada pemakaian bahan-bahan modern seperti semen, marmer, teraso, tegel dan keramik. Umumnya lantai dibuat sederhana dan tidak banyak menggunakan permainan lantai.

2). Dinding

Dinding pembatas  ruangan  pada bangunan rumah tinggal tradisional Bali Madya, pada umumnya memakai bahan dari tanah, bata dan cadas. Beberapa dinding rumah telah menggunakan material batako sebagai akibat perkembangan material dinding. Batako dipilih hanya karena kekuatannya lebih lama dari tanah.  Elemen – elemen pendukung dinding seperti parba (di bagian atas bale-bale) dan apad (di samping kiri bale-bale) adalah menggunakan bahan dari kayu.

Bentuk, Fungsi dan Material Bangunan Rumah Tinggal Tradisional Bali Madya II Selengkapnya

Presiden RI Sanjung ISI Denpasar

Presiden RI Sanjung ISI Denpasar

Jakarta- Presiden Konfederasi Swiss Doris Leuthard melakukan lawatan selama empat hari ke Indonesia, yakni Jakarta dan Surabaya pada 6-9 Juli 2010 guna meningkatkan hubungan dan kerja sama kedua negara. Guna menyambut dan menghormati tamu negara Presiden Konfederasi Swiss, Doris Leuthard bersama delegasi dan para pengusaha asal Swiss, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi tuan rumah jamuan santap malam kenegaraan di Istana Negara, Rabu (7/7) malam. Didampingi Ibu Ani, suasana jamuan terasa sangat akrab, hangat dan bersahabat. SBY mengungkapkan rasa senangnya dapat menyambut kehadiran Presiden Swiss lewat suguhan tari nusantara. Diawali dengan tari penyambutan, Tari pendet yang dibawakan 9 penari cantik dari ISI Denpasar. Dilanjutkan dengan Tari Tifa dari NTT serta Tari Rampai dari Aceh.

Kehadiran ISI Denpasar ditengah-tengah acara jamuan tersebut karena undangan langsung dari Presiden, berkat keberhasilan ISI Denpasar dalam menyajikan garapan oratorium “Anggada Duta” saat pembukaan PKB ke-32 beberapa waktu lalu. Saat para penari dan penabuh serta Pembina mendapat kesempatan untuk foto bersama, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono beserta Ibu Presiden tak henti-hentinya menyampaikan ungkapan bangga dan terima kasih atas suguhan Tari Pendet yang dibawakan secara apik oleh ISI Denpasar. Ibu Presiden, Ani Yodoyono terus mengumbar senyumnya dan menanyakan apakah penari Pendet ini juga ikut menari saat Oratorium Anggada Duta? Saat menyampaikan bahwa semua penari pendet ini adalah pendukung garapan tersebut, Ibu Presiden menyampaikan bahwa garapan ISI Anggada Duta masih melekat dalam ingatannya, karena memiliki kesan dan pesan mendalam. Presiden RI pun sangat menyanjung dengan mengatakan bahwa “ISI selalu bagus, tolong bina terus, kembangkan seni dan budaya Bali, We love Bali”.

Moment ini pun tidak dapat dilupakan oleh para mahasiswa dan dosen ISI Denpasar. Dukungan ini tentu menjadi momentum bagi seniman Bali untuk mempertahankan seni budaya yang sudah diwarisi.

Humas ISI Denpasar melaporkan

Pentas Balaganjur,  Kebanggaan  Kawula Muda  Bali

Pentas Balaganjur, Kebanggaan Kawula Muda Bali

Oleh: Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan

Balaganjur kini semakin gaul di kalangan anak muda Bali. Padahal dulu gamelan ini tak lebih dari bunyi-bunyian pelengkap upacara kematian. Tapi kini Balaganjur  menggeliat dan menggebrak menjadi seni pertunjukan yang layak disimak. Karena itu, sejak tiga tahun terakhir ini Pesta Kesenian Bali (PKB) memberikan ruang khusus pada seni pentas ini. Bahkan PKB ke-32 tahun 2010 ini menampilkan sembilan grup Balaganjur persembahan kabupaten/kota se-Bali. Sajian seni yang disebut Parade Balaganjur Pragmentari tersebut dapat disimak penonton di panggung terbuka Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Senin (21/6) malam lalu adalah kesempatan Denpasar, Gianyar, dan Badung unjuk lebolehan.

Perkembangan Balaganjur menggiring penonton tak hanya terpukau oleh gaya bermain musik Balaganjur itu saja. Konfigurasi tari yang ditampilkan  justru menambah pesonanya. Ada  aksi Balaganjur lengkap  dengan  tari-tarian yang bernuansa heroik. Dan banyak pula terlihat yang memadukan  musik Balaganjur dengan koreografi tari yang dibingkai dengan tuturan mitologi, legenda, epos Ramayana dan Mahabhrata. Bleganjur kini memang tak sekedar sajian musik instrumental. Ia kini bisa disajikan dan disaksikan sebagai seni pertunjukan utuh. Siapa pun berangkali tak menduga, Balaganjur kini mencuat dan demikian ngetrend, khususnya di kalangan anak muda. Padahal sebelumnya, kaum muda  Bali  sempat malu menyentuhnya.

Tapi kini simaklah Parade Balaganjur Pragmentari di arena PKB itu, kaum muda Bali dengan penuh kebanggaan dan suka cita menyuguhkannya dan  penonton yang memadati panggung terbuka ISI tersebut menikmati dengan antusias. Kota Denpasar tampil dengan tajuk “Nirasraya”, Kabupaten Gianyar mengetengahkan lakon “Gajah Waktra” dan Kabupaten Badung hadir dengan Balaganjur pragmentari “Bandha Moksa”. Ketiga grup tampil mempesona dengan memadukan keterampilan memainkan instrumen dan tata garap tari. Berkesempatan unjuk diri antara 10-15 menit, betapa gelora kreativitas seni kaum muda itu membumbung.

Pentas Balaganjur,  Kebanggaan  Kawula Muda  Bali Selengkapnya

Teori Hegemoni Sebuah Teori Kebudayaan Kontemporer

Teori Hegemoni Sebuah Teori Kebudayaan Kontemporer

Oleh: Saptono (dosen PS Seni Karawitan)

Teori hegemoni merupakan sebuah teori politik paling penting abad XX. Teori ini dikemukakan oleh Antonio Gramci (1891-1937). Antonio Gramci dapat dipandang sebagai pemikir politik terpenting setelah Marx. Gagasanya yang cemerlang tentang hegemoni, yang banyak dipengeruhi oleh filsafat hukum Hegel, dianggap merupakan landasan paradigma alternatif terhadap teori Marxis tradisional mengenai paradigma base-superstructure (basis-suprastruktur). Teori-teorinya muncul sebagai kritik dan alternatif bagi pendekatan dan teori perubahan sosial sebelumnya yang didominasi oleh determinisme kelas dan ekonomi Marxisme tradisional.

Teori hegemoni sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi tradisi Marxis. Menurut Femia pengertian semacam itu sudah dikenal oleh orang Marxis lain sebelum Gramci, seperti; Karl Marx, Sigmund Freud, Sigmund Simmel. Yang membedakan teori hegemoni Gramci dengan penggunaan istilah serupa  itu sebelumnya adalah; Pertama, ia menerapkan konsep itu lebih luas bagi supremasi satu kelompok atau lebih atas lainnya dalam setiap hubungan sosial, sedangkan pemekaian iistilah itu sebelumnya hanya menunjuk pada relasi antara proletariat dan kelompok lainnya. Kedua, Gramci juga mengkarakterisasikan hegemoni dalam istilah “pengaruh kultural”, tidak hanya “kepemimpinan politik dalam sebuah sistem aliansi” sebagaimana dipahami generasi Marxis terdahulu (Femia, 1983).

Teori hegemoni dari Gramci yang sebenarnya merupakan hasil pemikiran Gramci ketika dipenjara yang akhirnya dibukukan dengan judul “Selection from The Prissons Notebook” yang banyak dijadikan acuan atau diperbandingkan khususnya dalam mengkritik pembangunan. Dalam perkembangan selanjutnya teori hegemoni ini dikritisi oleh kelompok yang dikenal dengan nama “New Gramcian”.

Teori hegemoni dibangun di atas preis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Menurut Gramci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka.  Inilah yang dimaksud Gramci dengan “hegemoni” atau menguasai dengan “kepemimpinan moraldan intelektual” secara konsensual. Dalam kontek ini, Gramci secara berlawanan mendudukan hegemoni, sebagai satu bentuk supermasi satu kelompok atau beberapa kelompok atas yang lainnya, dengan bentuk supermasi lain  yang ia namakan “dominasi” yaitu kekuasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik (Sugiono, 1999:31).

Teori Hegemoni Sebuah Teori Kebudayaan Kontemporer Selengkapnya

Tradisi Gebug Ende

Tradisi Gebug Ende

Oleh: I Gede Suwidnya (Mahasiswa PS Seni Karawitan)

Musim kemarau kala itu di desa Seraya Karangasem belum berahir.Hujan yang dinanti-nanti berlum juga menunjukkan tanda-tanda akan turun.Bagi masyarakat di desa Seraya kondisi ini sangat tidak menguntungkan.Mereka juga ingin merasakan tanah mereka diguyur hujan meski berada pada daerah kering.Terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai petani.Tentunya masyarakat di daerah tersebut tidak akan tenang dan bissa diam dengan keadaan seperti itu.

Ahirnya mereka melakukan suatu rapat untuk menjalankan suatu tradisi yang sangat sakral yang mungkin dapat mengatasi masalah kemarau yang berkepanjangan.Dari hasil paruman desa,tercetuslah ide untuk melaksanakan ritual yang bernama “GEBUG ENDE”.

Gebug Ende adalah salah satu tradisi yang unik dan diyakini oleh masyarakat sekitar dapat membantu masalah mereka mengatasi masalah kemarau yang berkepanjangan,tentunya tradisi ini sudah berjalan lama secara turun temurun dan menjadi kepercayaan masyarakat setempat.

Pengertian Gebug Ende :

Istilah Gebug Ende dikenal juga dengan nama Gebug Seraya.Gebug Ende berasal dari kata Gebug dan Ende,Gebug berarti memukul  dan Ende berarti alat yang digunakan untuk menangkis (tameng).Alat yang digunakan untuk memukul adalah rotan dengan panjang sekitar  1,5 centi meter hingga 2 meter.Sedangkat alat untuk menangkisnya terbuat dari kulit sapi yang dikeringkan dan dianyam berbentuk lingkaran.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Tari Gebug Ende merupakan salah satu tarian/permainan yang menjadi tradisi masyarakat Seraya yang dimainkan oleh dua orang lelaki baik dewasa maupun anak-anak yang sama-sama membawa ende dan penyalin,dimana pemainnya saling memukul dan menyerang.Tehnik yang dibutuhkan adalah memukul dan menangkis.

Tradisi Gebug Ende Selengkapnya

Loading...