Kajian Tekstual Gending Leluangan Kekebyaran

Kajian Tekstual Gending Leluangan Kekebyaran

Kajian Tekstual Gending Leluangan Kekebyaran Dalam Upacara Piodalan Di Pura Kayangan Tiga Desa Adat Tembawu.

Kiriman I Ketut Ardana, S.Sn., Dosen Jurusan Seni Karawitan ISI Yogyakarta.

Gending-gending leluangan merupakan sebuah motif lagu atau gending yang biasa dimainkan dengan menggunakan gamelan luang atau gong luang. Ciri khas dari lagu ini adalah menggunakan 1 buah kendang yaitu kendang cedugan, sebuah kendang yang menggunakan panggul (Jawa : tabuh)  kendang sebagai alat pukul. Mayoritas pola garap gending-gending leluangan sangat sederhana baik secara olahan melodi maupun tafsir garap ornamentasinya. Reportoar-reportoar gong luang termasuk gending-gending klasik yang notabenanya digunakan untuk kepentingan upacara ritual keagamaan.

Kekebyaran berasal dari kata kebyar yang mengandung banyak pengertian. Kebyar  atau byar dapat berarti sinar yang muncul secara tiba-tiba, cepat, keras, dan lain sejenisnya. Kebyar dapat pula berarti bunyi yang timbul akibat dari pukulan instrumen gamelan secara keseluruhan, sedangkan Colin McPhee menyebutnya sebagai suara yang memecah secara tiba-tiba bagaikan pecah atau mekarnya sekuntum bunga. Oleh karena itu sudah sepantasnya gamelan yang mengandung karakter kebyar ini disebut gamelan kebyar, gong kebyar, atau gamelan gong kebyar.  Dengan demikian kekebyaran memiliki arti sebuah lagu yang menggunakan gong kebyar sebagai media ungkap. Sajian  gending yang menggunakan gong kebyar memiliki karakterisasi keras, lincah agresif, dan sejenisnya. Popularitas dan fleksibilitas gamelan gong kebyar menyebabkan refortoar dari barungan gamelan gong luang juga bisa disajikan melalui gong kebyar. Tentu saja karakter gending yang disajikan akan berbeda dengan gending yang disajikan melalui gong luang. Gending-gending leluangan yang menggunakan gong kebyar sebagai media ungkap memiliki nuansa gembira. Namun demikian, nuansa-nuansa ritual yang terkandung dalam gending-gending leluangan tidak hilang.

Ada suatu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Adat Tembawu yaitu melaksanakan upacara piodalan di Pura Kahyangan Tiga. Upacara tersebut jatuh setiap 6 bulan sekali dalam hitungan Wuku Bali. Ditengah-tengah melakukan upacara piodalan, masyarakat Desa Adat Tembawu menggunakan media gamelan sebagai iringan upacara. Transformasi gending leluangan ke dalam gong kebyar menjadi ciri khas gending. Upacara piodalan yang dilakukan setiap 6 bulan sekali merupakan persembahan masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa (Ide Sang Hyang Widi Wasa) dalam bentuk upacara dewa yadnya.

Setiap prosesi upacara piodalan di Pura Kahyangan Tiga Desa Adat Tembawu selalu diiringi gamelan baik itu gamelan balaganjur maupun gamelan gong kebyar. Pada gamelan gong kebyar, gending-gending terbagi dalam berapa jenis gending antara lain : gending-gending lelambatan klasik pegongan Bali  untuk mengiringi rentetan upacara ritual  ngatur piodalan dan persembahyangan, sedangankan gending leluangan kekebyaran untuk mengiringi  prosesi ritual pangilan-ngilen. Dari uraian di atas bagaimanakah pola tekstual gending leluangan kekebyaran ?

Desa Adat Tembawu adalah salah satu organisasi masyarakat desa yang yang menangani secara admistratif tentang pelaksanaan upacara keagamaan di wilayah Tembawu. Tanggung jawab keagamaan yang paling besar adalah melaksanakan upacara piodalan di Pura Kahyangan Tiga dan melaksanakan upacara prosesi melasti dalam rangka hari raya Nyepi yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali.

Pura Kahyangan Tiga merupakan tempat suci untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa bagi umat Hindu. Yang termasuk pura Kahyangan Tiga di Desa Adat Tembawu antara lain: Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem, dan Pura Kahyangan.  Pada Sabtu Kliwon wuku Kuningan masyarakat Desa Adat Tembawu melaksanakan upacara piodalan di Pura Desa. Pada Selasa Kliwon wuku Medangsia dilaksanakan upacara piodalan di Pura Kahyangan.  Pada Rabu Umanis wuku  Medangsia masyarakat melaksanakan upacara piodalan di Pura Puseh.  Pada Tilem (Bulan mati) pertama setelah hari raya galungan maka masyarakat melaksanakan upacara piodalan di Pura Dalem.

Upacara piodalan bisanya berlangsung selama 2 hari. Hari pertama berlangsung upacara piodalan (hari H). Pada hari kedua berlangsung upacara penyimpenan.  Pada hari pertama yang merupakan upacara pokok terdiri dari 3 tahapan yaitu tahap melasti, tahap ngaturang piodalan dan tahap pangilen-ngilen. Upacara ini berbentuk pangilen-ngilen. Upacara pangilen-ngilen terdiri dari beberapa jenis ritual, yaitu: nyanjan, memendak, meatur-atur, pangider bhuwana, mererauhan,wayang-wayang,  meyab-yaban, nanda,  biasa, ngurek, mendak keluwur, kincang-kincung. Setiap prosesi ritual pangilen-ngilen selalu diiringi gending-gending leluangan kekebyaran. Di bawah ini akan diuraikan jenis upacara dan reportoar pengiringnya.

Kajian Tekstual Gending Leluangan Kekebyaran Selengkapnya

Konsep Musikal Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan

Konsep Musikal Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan

Kiriman I Ketut Partha, SSKar., M. Si., dosen PS Seni Karawitan

1.  Pendahuluan

Gamelan Semara Pagulingan adalah perangkat gamelan yang berlaras pelog sapta nada (pelog tujuh nada) terdiri dari lima nada pokok dan dua nada pemero. Gamelan ini merupakan pemekaran dari gamelan Pagambuhan yang barungannya sangat sederhana menjadi barungan yang lebih besar dan tepat guna. Pemekaran ini diilhami pula oleh adanya gamelan Gong Luang (Rembang, 1985 : 3).

Menurut Wayan Rai S. dalam Mudra (1997 : 145), istilah Semara Pagulingan terdiri dari kata “Semara” dan “Pagulingan”. Semara, atau sering pula disebut semar ; adalah dewa keindahan; sedangkan pagulingan adalah istilah yang sering diaso-siasikan dengan bed chamber. Karena itu Semara Pagulingan diartikan sebagai love music for the bed chamber (Hood), atau gamelan rekreasi raja-raja zaman dahulu (Bandem). Menurut I Nyoman Rembang,  Semara Pagulingan bukanlah sebuah istilah yang semata-mata diasosiasikan dengan musik yang bernuansa sex, melainkan suatu istilah yang diberikan kepada gamelan yang mampu memberikan rasa keindahan yang luar biasa, dalam bahasa Bali disebut ngelangenin.

Pada mulanya masyarakat Bali mengenal Semara Pagulingan hanya berlaras pelog saih pitu, akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya muncul gamelan Semara Pagulingan yang berlaras pelog saih lima. Kedua jenis Semara Pagulingan tersebut secara fisik lebih kecil dari barungan Gong Kebyar jika dilihat dari ukuran instrumen gangsa dan trompong yang melengkapi. Sebagai penentu identitas, instrumen trompong memegang peranan penting dalam gamelan Semara Pagulingan.

Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan adalah gamelan Semara Pagulingan berlaras pelog saih lima memiliki identitas yang khas dengan keunikannya, yang masih mampu bertahan sesuai tradisi dan kondisi kehidupan masyarakat pendukungnnya. Tradisi menggunakan Semara Pagulingan dalam upacara-upacara adat dan keagamaan di Banjar Teges Kanginan telah berlangsung cukup lama yang hingga sekarang masih tetap dilaksanakan oleh generasi penerusnya.

Sampai dewasa ini Banjar Teges Kanginan masih memelihara dan memanfaatkan gamelan Semar Pagulingan secara fungsional, masih kokoh dan mampu melestarikan salah satu media kesenian Bali yang telah diwarisi secara turun-temurun. Lestarinya repertoire tersebut tidak terlepas dari adanya tabuh-tabuh yang disajikan secara khusus, baik untuk kepentingan melengkapi ritual keagamaan maupun untuk menunjang aktivitas masyarakatnya.

Tulisan ini akan mengkaji konsep musikal dan nilai-nilai yang menjadi identitas gamelan Semara Pagulingan yang berkembang di Banjar Teges Kanginan, Peliatan, Gianyar. Dengan menjadikan gamelan Semara Pagulingan sebagai topik tulisan ini, penulis bermaksud untuk menyajikan bagaimana perkembangan gamelan Semara Pagulingan dalam konteks aktivitas sosial masyarakat Teges Kanginan, baik yang berkaitan dengan aspek kehidupan beragama maupun dengan aspek kehidupan berkesenian dalam menghadapi perubahan dilingkungan budayanya.

Konsep Musikal Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan selengkapnya

Tari Baris Katekok Jago Pengawal Arwah Ke Sorga

Tari Baris Katekok Jago Pengawal Arwah Ke Sorga

Kiriman AAA Kusuma Arini, SST., MSi. Dosen PS Seni Tari ISI Denpasar.

Kesenian merupakan bagian tak terpisahkan dari aktivitas ritual masyarakat Hindu Bali. Dalam setiap kegiatan upacara, ada saja kesenian yang dipentaskan, terutama seni tari dan tabuh, lebih-lebih bagi mereka yang mampu secara material karena ritual masyarakat Hindu Bali tidak akan selesai tanpa ikut sertanya tari dan tabuh.

Tari-tarian yang diperkirakan oleh para ahli sebagai kelompok kesenian yang paling tua, meliputi sejumlah tarian sacral, yang di Bali lazim disebut tari Wali hingga kini masih terpelihara dengan baik oleh masyarakat pendukungnya, di samping tari-tarian Bebali dan Balih-balihan. Dalam beberapa dekade belakangan ini, terdapat sejumlah kesenian Wali yang sudah punah dan ada pula yang sudah mengalami perubahan fungsi, misalnya dari sajian upacara keagamaan kini dipentaskan untuk komoditi pariwisata.

Baris berbaris rupanya sudah dikenal masyarakat Bali sejak dahulu. Buktinya, ada tari Baris yang dalam pementasannya memakai cara berbaris, berderet dan berjajar. Pada dasarnya tarian ini dibagi atas dua macam. Pertama tari Baris Wali yang hanya dipentaskan dalam kaitan pelaksanaan suatu upacara Dewa Yadnya yang lazim disebut Babarisan, didukung oleh krama desa tertentu. Jenis yang kedua adalah tari Baris Balih-balihan yang berfungsi sebagai tontonan / hiburan, seperti tari Baris tunggal dan tari Baris kreasi berpasangan yakni Baris Bandana Manggala Yuda.

Salah satu bentuk Baris Wali tersebut adalah Baris Katekok Jago yang akrab disebut Baris Poleng karena kostum yang dipakai dominan hitam putih dan membawa tombak yang juga dicat hitam putih. Tarian ini merupakan tari tradisional yang langka karena hanya dijumpai di desa Tegal Darmasaba (Badung) dan Tangguntiti (Kota Denpasar). Sebelumnya pernah ada di Tembau dan Begawan (Kota Denpasar). Baris Katekok Jago mempunyai fungsi ganda, selain sebagai sarana upacara Dewa Yadnya, juga sering dipentaskan untuk upacara Pitra Yadnya. Tarian tersebut bisa diupah oleh perorangan atau kelompok terutama untuk upacara yang tergolong utama, baik untuk Dewa Yadnya maupun Pitra Yadnya.

Literatur tertua yang mengungkap tentang Baris adalah lontar Usana Bali yang menyatakan: setelah Mayadanawa dapat dikalahkan maka diputuskan mendirikan empat buah kahyangan di Kedisan, Tihingan, Manukraya dan Kaduhuran. Begitu kahyangan berdiri megah, upacara dan keramaianpun diadakan dimana para Widyadari menari Rejang, Widyadara menari Baris dan Gandarwa menjadi penabuh. Legenda Mayadanawa tersebut terjadi pada saat Bali diperintah raja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa sebagai raja keempat dari dinasti Warmadewa yang memerintah dari tahun 962 hingga 975. Dengan demikian dapat disimak bahwa pada abad X sudah ada tari Baris, namun bentuknya apakah sama dengan Baris upacara yang ada sekarang, memerlukan perenungan lebih mendalam.

Sumber lain yang lebih muda yakni Kidung Sunda yang ditulis tahun 1550 dapat memberikan gambaran yang lebih jelas, karena merupakan kesusastraan Majapahit yang kemudian banyak mempengaruhi kebudayaan Hindu Bali. Disebutkan, tujuh macam Babarisan yang dipentaskan raja Hayam Wuruk, sehubungan dengan upacara pemakaman raja Sunda yang tewas terbunuh dalam perang Bubat.. Salah satu Babarisan itu disebut tari Limping yang bentuknya mendekati Baris Tombak yang ada di Bali.

Jenis tarian ini merupakan perwatakan yang sangat unik, menekankan keseimbangan dan kestabilan langkah-langkah pada waktu berbaris maupun saat memainkan senjatanya sehingga disebut tari kepahlawanan. Semula merupakan tarian pengawal istana untuk bersiaga melindungi kerajaan dari kekacauan dan kemudian menjadi suatu sajian suci untuk berbagai kegiatan upacara agama. Dalam penyajiannya membentuk formasi berbaris ke belakang dan ke samping yang dibawakan secara masal, sampai 40 orang penari laki-laki.  Kini jenis tari Babarisan diperkirakan masih bertahan sekitar 20 macam, yang masing-masing memiliki perwatakan yang cukup unik. Demikian pula namanya sesuai dengan jenis senjata atau alat upacara yang dibawa ( Baris tombak, panah, tamiang, pendet dsb), warna pakaian (Baris kuning, poleng), penokohan (Baris Cina, Demang), serta wujud yang ditiru (Baris lutung, goak, kupu-kupu).

Tari Baris Katekok Jago Pengawal Arwah Ke Sorga selengkapnya

Diklat Program Mahasiswa Wirausaha

Diklat Program Mahasiswa Wirausaha

Bertempat di Gedung Lathamahosadi, Kamis-Jumat (24-25/3) ISI Denpasar gelar Diklat Program Mahasiswa Wirausaha, yang diikuti oleh 96 mahasiswa dari kedua fakultas , yaitu FSP dan FSRD. Diklat yang menghadirkan instruktur dari ISI Denpasar, Fakultas Ekonomi Udayana, BRI, Dinas Koprasi Pemkot Denpasar, dan juga alumni yang telah berhasil sebagai wirausaha muda. Diklat yang dibuka secara resmi oleh Rektor ISI yang diwakili oleh PR I, menyoal topik kewirausahaan, komunikasi bisnis, etika bisnis, kebijakan pembinaan UKM, manajemen pemasaran bagi UKM, manajemen SDM bagi UKM, manajemen produksi, manajemen keuangan, skim kredit bagi UKM, penyusunan bisnis plan, serta kiat-kiat pengusaha muda.

Rektor ISI dalam sambutannya yang diwakili oleh PR I, Drs. I Ketut Murdana,M.Si. mengatakan bahwa dengan semakin sulitnya lulusan perguruan tinggi mendapatkan pekerjaan, akan muncul banyak pengangguran “berdasi” yang sangat berdampak buruk terhadap stabilitas sosial dan masyarakat. “Atas nama pimpinan, kami sangat bangga dan berterima kasih kepada seluruh mahasiswa yang telah mengikuti diklat ini, dan juga para instruktur dan panitia yang terlibat. Program Mahasiswa Wirausaha ini merupakan langkah strategis untuk mempersiapkan peserta didik untuk mampu menciptakan lapangan kerja (job creator),” papar Murdana.

Hadir pula dalam pembukaan diklat tersebut,Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Drs. IMade Subrata, M.Si. melaporkan bahwa mata kuliah kewirausahaan sudah masuk dalam kurikulum ISI Denpasar. Dengan pendidikan akademik dan kewirausahaan, lulusan akan mampu menciptakan usaha kecil sesuai dengan program studi yang dipelajari.         “Selain itu, kegiatan kemahasiswaan ISI Denpasar, dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) tahun 2011 telah berhasil memenangkan 5 proposal yang terdiri dari 3 dalam bidang pengabdian masyarakat, dan 2 dalam bidang penelitian. Untuk tahun ini,ISI Denpasar mengirimkan 40 proposal PKM AI (Artikel Ilmiah) dan PKM GT (Gagasan Tertulis). Semoga dengan usaha keras dan keuletan mahasiswa,semakin banyak proposal yang akan lolos,”harap Subrata didampingi Kepala Biro bidang akademik, Drs. I Gusti Bagus Priatmaka,M.M. yang juga hadir dalam acara diklat selama dua hari tersebut.

Humas ISI Denpasar melaporkan.

Loading...