by admin | Apr 18, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Kadek Swartana, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar
Pengertian dan Asal-usul Kekawin
Kekawin berasal dari kata “kawi” mendapat awalan ke dan akhiran an, menjadi kekawin. Kawi artinya Buat, susun, gubah, karang. Jadi kekawin dapat diartikan buatan, susunan, gubahan, dan karangan. Atas dasar pengertian tersebut , maka kekawin adalah puisi yang dibuat atau disusun dengan menggunankan bahasa Jawa Kuno. Puisi ini mengambil bentuk dari puisi para pujangga India kuno yang berbahasa Sansekerta. Kekawin biasa juga disebut dengan istilah lain, yaitu wirama, tembang gede dan sekar agung.
Dalam bahasa sehari-hari, ada beberapa istilah dalam menembangkan karya sastra, seperti kekawin, yaitu mabebasan, mapepaosan dan makekawin. Mabebasan artinya melagukan kekawin dengan terjemahannya. Dengan kata lain mabebasan berarrti kegiatan menyanyikan teks kekawin, kidung, atau macepat yang di ikuti dengan terjemahannya. Mapepaosan artinya melakukan kegiatan atau aktivitas pembacaan kekawin serta terjemahannya. Makekawin artinya melakukan hasil karya penyanyi atau melagukan puisi Jawa kuno, dengan memakai tembang India, yang diikat oleh aturan Guru Laghu. Dalam makekawin belum terkandung unsur penerjemahannya. Jadi makekawin belum dapat dikatakan mabebasan.
Menurut dugaan kekawin digubah di Jawa, pada abad IX – XV. Sekitar abad XVI, di Bali tumbuh dan berkembang pesat sampai saat ini, khususnya dalam rangkaian upacara adat dan upacara agama, kekawin di bacakan dengan pepaosan dan mabebasan. Kekawin atau puisi-puisi India Kuno ini dibawakan berdasarkan guru laghu dan wretta matra.
Fungsi Kekawin
Seperi halnya sekar alit, kidung, maka kekawin digunakan sebagai pengiring upacara yadnya (panca yadnya). Dalam kehidupan masyarakat Bali, aktivitas makekawin lebih di titik beratkan pada kegiatan upacara pitra yadnya. Kegiatan tersebut di mulai dari meninggal, ngeringkes, berangkat ke kuburan, penguburan / pembakaran jenasah, ngereka, nganyut, ngerorasin sampai ngelinggihang. Kekawin tersebut dinamakan kekawin Pitra Yadnya.
Kegiatan mabebasan dilakukan semalam suntuk. Keahlian tata bahasa kawi dan tata bahasa Bali amat diperlukan oleh pembaca maupun paneges kekawin. Kekawin yang biasa digunakan dalam upacara Dewa Yadnya adalah Merdukomala, Totaka, Indrawangsa, Pratiwitala. Untuk upacara Manusa Yadnya, adalah Wangsastha, Seronca, Wipula, Sardula, Sekarini. Dan kekawin yang biasa difungsikan dalamupacara Pitra Yadnya adalah wirama Indrawangsa, Aswalalita dan Girisa.
Syarat-syarat Kekawin
Dalam mempelajari kekawin ada berbagai cara, antara lain dengan system guru laghu, dengan pola melodi, dan biasa pula dengan cara pemberian tanda-tanda garis lurus, naik dan turun. Masalah Ritme dapat diatur dalam penulisan melodi dengan menyesuaikan guru laghu kekawin yang bersangkutan.
Syarat-syarat kekawin :
- Tiap bait kekawin terdiri atas 4 baris ( kecuali kekawin Raitiga memiliki 3 baris dalam tiap baitnya ) keempat baris tersebut memiliki :
- Pengawit ( penyemah atau pembuka )
- Penampi ( Pengisep )
- Pengumbang
- Pemalet ( penutup )
- Tiap baris suku katanya tetap sama sesuai dengan ketentuan yang ada pada tiap jenis kekawin kecuali Seronca.
- Memakai Guru dan Laghu.
- Suku kata terakhir boleh Guru, boleh Laghu
Guru dan laghu dalam kekawin merupakan pola dasar dalam pembentukan puisi Jawa kuno atau kekawin. Secara Etimologhi guru laghu terdiri dari dua kata, yaitu guru dan laghu. Dalam hubungannya dengan kekawin, maka Guru itu artinya suara berat, suara panjang dan beraturan. Dalam hukum kekawin maka guru diberi tanda garis datar ( — ), sedangkan kata Laghu sehubungan dengan aktivitas mabebasan artinya suara pendek, kencang dan ringan. Dalam hukum kekawin laghu ditandai dengan tanda garis melengkung ( È ). Berdasarkan pengertian tersebut maka dikatakan bahwa guru laghu berarti hukum kekawin tentang berat, ringan, panjang, pendek dan kencangnya suara dalam menyanyikan kekawin.
Kekawin Totaka selengkapnya
by admin | Apr 18, 2011 | Berita
Banyak orang besar atau yang memiliki potensi untuk menjadi orang besar, mengalami kegagalan bukan karena hambatan dan masalah besar, melainkan terjerembab hanya oleh karena kerikil-kerikil kecil yang mengganjal perjalanan kerjanya. Demikian juga dalam dunia tulis-menulis. Teramat banyak orang gagal karena masalah-masalah sepele yang luput dari perhatiannya. Tidak terhitung jumlah tulisan, berita, artikel, dan lain sebagainya yang dengan terpaksa “mental” dari meja redaksi surat kabar hanya karena kesalahan dua atau tiga kata yang salah tulis atau salah ketik.
Jangan pernah berpikir jika tulisan-tulisan yang Anda kirim ke redaksi sebuah surat kabar, majalah, atau penerbit, yang dikembalikan kepada penulisnya melulu karena tulisan tersebut tidak bermutu. Harus diyakinkan pada diri sendiri bahwa tulisan Anda itu berkualitas tinggi, setidaknya bagi diri sendiri sebagai pembuatnya. Jika akhirnya ditolak oleh sebuah atau berbagai media massa, umumnya alasan penolakan itu berputar pada: esensi tulisan yang berbeda dengan misi media dan yang terbanyak adalah karena kesalahan kecil berupa salah ketik dan penggunaan kata/bahasa dalam tulisan yang kurang tepat.
Jurnal ilmiah, baik nasional apalagi internasional lebih ketat lagi. Editor jurnal ilmiah internasional mempersyaratkan kesalahan ketik hanya boleh tiga (3) kali dalam sebuah tulisan. Artinya, saat seorang editor membaca tulisan ilmiah Anda dan tiba pada kesalahan ketik yang ke-4, maka dengan segera tulisan tersebut akan dilempar ke tong sampah, tidak perduli apakah substansi tulisan tersebut penting atau tidak. Bahkan bila teramat penting pun, tulisan ilmiah itu akan segera dikembalikan kepada Anda untuk diedit, direvisi, atau diperbaiki lagi. Dalam kasus terakhir ini, yang pasti kredibilitas tulisan dan penulisnya telah mengalami degradasi dan sulit untuk bersaing dengan tulisan-tulisan ilmiah kiriman penulis lainnya.
Mengedit dapat diartikan sebagai kegiatan membaca kembali sambil menemukan kesalahan-kesalahan redaksional sebuah tulisan. Proses ini biasanya dilakukan oleh diri sendiri terhadap tulisan sendiri dan oleh editor berbagai media massa–harian, mingguan, tabloid, majalah, dan lain sebagainya. Kegiatan edit-mengedit terlihat sepele sehingga tahap ini sering sekali kita abaikan. Padahal, pengalaman hampir semua penulis besar mengungkapkan bahwa proses editing adalah sebuah tahapan menulis yang menjadi salah satu kunci sukses mereka menjadi penulis ternama. Editing adalah kunci pertama untuk memprediksi apakah seorang penulis bakal sukses atau tidak. Oleh karena itu, dalam setiap kali menulis, senantiasalah melakukan proses editing minimal tiga kali sebelum sebuah tulisan dikirimkan ke redaksi. Walau sudah demikian, ketatnya melakukan editing, masih juga terdapat kesalahan ketik; kesalahan pemenggalan kata, kalimat, dan paragraph; kesalahan tanda baca; dan lain sebagainya.
Ada penulis yang beranggapan bahwa berhubung ada tim editor pada setiap surat kabar atau media massa sehingga setiap penulis boleh saja mengirimkan tulisannya kepada redaksi tanpa harus diedit alias masih amat mentah, belum terverifikasi ketepatan kata, tanda baca, pemenggalan kalimat, dan lai-lain. Pendapat ini ada benarnya tetapi bila Anda terbiasa melakukan editing dan terutama memastikan bahwa tulisan Anda terhindar dari kesalahan-kesalahan redaksional kecil, maka keuntungan itu tidak akan dinikmati oleh orang lain, melainkan oleh diri Anda sendiri. Keuntungan itu antara lain berupa pesan Anda dapat ditangkap dengan baik oleh editor dan pembaca, disiplin tulis-menulis Anda akan semakin meningkat dan berimbas kepada karakter kepribadian Anda yang baik dalam menghadapi tugas-tugas lain, dan tulisan tersebut akan cepat dimuat atau ditayangkan di media massa sasaran karena sudah bersih dari kesalahan-kesalahan redaksional.
Untuk membantu Anda, para penulis KabarIndonesia, berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengedit tulisan disesuaikan dengan pengalaman kesalahan editing tulisan-tulisan di KabarIndonesia selama ini. Dalam memahami dan menerapkan ketentuan-ketentuan ini perlu ditunjang oleh keinginan Anda untuk belajar tata bahasa Indonesia yang baik dan benar. Melalui pola ini, Anda bekerja dengan modal berbahasa yang berkualitas tinggi. Ketentuan-ketentuan di bawah ini pun, hanya sekumpulan kecil dari hal-hal yang perlu diketahui, dipahami, dan diterapkan oleh seorang penulis. Mempelajari dan menambahkan dengan ketentuan atau kaidah penulisan yang baik lainnya menjadi tugas kita bersama.
Kesalahan pertama yang sering dan mudah dijumpai adalah kesalahan menempatkan posisi tanda-tanda baca, seperti tanda “titik”, “koma”, “titik dua”, “titik koma”, dan lain-lain. Fungsi titik pada umumnya adalah untuk mengakhiri sebuah kalimat sehingga setiap kalimat yang sudah selesai perlu diberi tanda titik (.). Tanda ini dibuat segera setelah kata yang terakhir pada kalimat itu tanpa diantarai oleh spasi, alias menempel pada kata terakhir. Misalnya: “Kucing itu memanjat pohon untuk menangkap burung.”, bukan “Kucing itu memanjat pohon untuk menangkap burung .” Perhatikan tanda titik yang dibuat setelah kata “burung”.
Setelah tanda titik, diharuskan memberikan spasi (jarak antara) untuk memulai kalimat baru. Misalnya: “Kucing itu memanjat pohon untuk menangkap burung. Dia berusaha memanjat dengan mengendap-endap agar tidak terdengar oleh sang burung sasarannya.” Perhatikan dengan seksama tanda titik setelah kata “burung” segera diikuti tanda antara (spasi). Khusus tanda jarak antara atau spasi ini, perlu diletakkan tidak hanya di antara setiap 2 kata, tetapi juga setelah tanda-tanda baca (titik, koma, titik dua, titik koma, tanda seru, tanda tanya, dan lain-lain).
Tanda koma (,), titik dua (:), titik koma (;), dan tanda baca yang lain seperti tanda tanya (?), tanda seru (!), diletakkan segera atau menempel pada kata yang mendahuluinya. Misalnya: “Ketiganya adalah Andy, Anna, dan Anggun.” Perhatikan tanda koma yang diletakkan segera tanpa spasi setelah kata Andy, Anna, dan Anggun. Demikian juga dengan tanda-tanda baca lainnya, misalnya (contoh:), (saya;), (mengapa?), (pergilah!) (“dia sedang bepergian”), dan seterusnya. Khusus tanda kurung (…), tanda kurung pembuka diletakkan segera sebelum kata atau menempel pada kata yang akan mengikutinya; dan tanda kurung penutup diletakkan segera sesudah kata yang mendahuluinya. Demikian juga dengan tanda petik (“… “), tanda petik pembuka ditempelkan pada kata yang akan mengikutinya, sedangkan tanda petik penutup ditempelkan setelah kata yang mendahuluinya. Namun perlu diperhatikan bahwa bila kalimat yang dalam tanda petik itu adalah sebuah kalimat langsung yang diikuti tanda titik, maka tanda baca titik itu harus diletakkan sebelum tanda petik penutup. Misalnya: dia berkata “Kami akan segera ke sana.” Perhatikan tanda titik yang ada di dalam tanda petik.
Kesalahan editing lainnya yang sering sekali muncul dari artikel-artikel penulis, baik penulis pemula maupun profesional adalah “salah ketik”. Seperti sudah disebutkan di atas, kita tidak terlepas dari kekurangtelitian pengetikan ini. Misalnya, kata “bisa” tertulis “bias”, kata “hukum” menjadi “hukom”, “menganggap” menjadi “mengangap”, dan seterusnya. Kesalahan-kesalahan ketik seperti contoh berikut ini lebih fatal akibatnya karena merubah makna. Oleh sebab itu perlu benar dihindari agar pesan yang ingin disampaikan tidak harus hilang oleh kesalahan ketik. Contohnya: kata “tetapi” menjadi “tetap”, kata “memang” menjadi “menang”, kata “busung” menjadi “burung”, dan lain-lain.
Perlu diingat bahwa dalam melakukan editing, penulis juga perlu memperhatikan kaidah-kaidah bahasa yang berlaku. Contoh kesalahan yang sering terjadi adalah penempatan spasi di antara suku kata “di” dan kata yang mengikutinya, seperti “di bahas” yang seharusnya “dibahas”, “di rekam” yang mestinya “direkam”, “di balas” seharusnya “dibalas”, dan lain-lain. Satu kunci sederhana untuk menentukan apakah suku kata “di” itu perlu dipisahkan dari kata dasarnya adalah apakah kata setelah “di” itu merupakan kata tempat atau bukan. Misalnya “di sekolah” bukan “disekolah”. Perhatikan bahwa sekolah adalah kata tempat sehingga kata itu dipisahkan dari partikel “di” yang mendahuluinya. Namun akan berbeda jika suku kata “di” itu berfungsi sebagai awalan (prefix), semisal “disekolahkan”, bukan “di sekolahkan”.
Berkenaan dengan komitmen KabarIndonesia yang akan terus-menerus mendukung semua orang menjadi penulis atau pewarta, maka amat wajar jika terdapat banyak sekali tulisan dari para penulisnya yang masih belum sesuai dengan ketentuan tata bahasa Indonesia. Namun demikian, jangan berkecil hati karena semua itu dapat diatasi secara perlahan-lahan, terutama karena dukungan Anda sebagai penulis KabarIndonesia, para pembelajar yang akan terus belajar mengetahui dan memahami tata bahasa kita sendiri, Bahasa Indonesia. Sebab itu, menyempatkan diri mempelajari peraturan ketatabahasaan Indonesia adalah mutlak bagi seorang penulis KabarIndonesia.
Anda boleh saja melakukan kesalahan hari ini, entah salah ketik, salah tata bahasa, dan lain-lain. Namun satu hal yang tidak boleh terjadi jika kesalahan itu harus terulang pada tulisan Anda berikutnya. Penyesuaian tulisan kita terhadap peraturan kebahasaan diperlukan tidak hanya untuk meningkatkan kualitas tulisan Anda tetapi juga dalam kerangka membiasakan diri sendiri dan bangsa Indonesia berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Sumber: kabarindonesia.com
by admin | Apr 17, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Drs. I Dewa Putu Merta, M.Si., Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar.
Perkembangan yang terjadi tidak lepas dari adanya suatu perubahan. Gustami menjelaskan, perubahan dan perkembangan berarti bergerak dari suatu titik ke titik yang lain, bergerak dan mengalir dengan arus yang semakin meningkat. Tidak sekedar berubah, tetapi dengan perubahan memberikan suatu peningkatan di segala aspek. Perubahan dan perkembangan merupakan proses perjalanan yang mengalir bergerak menuju titik yang dituju. (Gustami, 1984: 25).
“Kerajinan”, Dalam Kamus Basar Bahasa Indonesia, artinya: barang yang dihasilkan
melalui ketrampilan tangan, biasa mengandung unsur seni (Tim, 2001, 922). Pertumbuhan kerajinan kayu di Desa Singakerta berangkat dari bentuk-bentuk seni tradisi yang merupakan kekayaan budaya sebagai landasannya. Dalam buku yang berjudul Seni Hias Damar Kurung membahas tentang seni tradisi. Seni Tradisi dijelaskan merupakan kekayaan budaya yang dipergunakan sebagai landasan pertumbuhan seni daerah yang tumbuh dengan subur sejak jaman dulu menjadi kekuatan lokal (Ika, 2002, 26-27). Penjelasan buku tersebut sangat penting artinya dalam penelitian ini karena terkait dengan pembahasan tentang bentuk-bentuk seni tradisi yang berkaitan dengan landasan seni kerajinan yang berkembang di Singakerta.
Gustami dalam bukunya Seni Kerajinan Mebel Jepara menjelaskan tentang bentuk-bentuk seni ukir yang dipergunakan pada mebel yang diambil dari bentuk tradisi atau seni hias tradisi (Gustami, 2000, 273).
Penjelasan buku di atas sangat penting artinya dalam penelitian ini, karena dipergunakan sebagai acuan dalam membahas dasar-dasar seni kerajinan, dan melihat fungsi masing-masing serta pemafaatannya.
Kerajinan kayu artinya pembuatan barang-barang bahan kayu yang dihasilkan melalui ketrampilan tangan manusia. Terkait dengan penelitian ini adalah pembuatan barang-barang bahan kayu yang berupa relief dan patung dengan motif bentuk binatang kaki empat dan binatang laut yang dihasilkan melalui ketrampilan tangan manusia.
Selain pengertian diatas juga membutuhkan teori sebagai pendekatan masalah agar sasaran yang diinginkan dapat tercapai. Penggunaan beberapa teori selalu ada kaitannya dengan sasaran yang telah ditentukan.
Dalam sebuah penelitian, teori sangat dibutuhkan untuk mendekatkan masalah dengan hasilnya agar sasaran yang diinginkan dapat tercapai. Penggunaan beberapa teori selalu ada kaitannya dengan sasaran yang telah ditentukan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan, teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi (Poerwadarminta, 2001:1177).
Selanjutnya dalam buku Teori Budaya dijelaskan, bahwa pengetahuan teoretik artinya pengetahuan yang berusaha menjelaskan fenomena empirik. Dengan demikian, teori bukanlah sekedar ikhtisar data yang ringkas, melainkan merupakan generalisasi fenomena namun bercorak khusus (Kaplan, 2000: 15).
Menurut Siswojo, teori dapat diartikan sebagai seperangkat konsep dan definisi yang saling berhubungan yang mencerminkan suatu pandangan sistematik mengenai fenomena dengan menerangkan dan meramalkan fenomena. Teori menjalin hasil pengamatan ke dalam suatu pengertian utuh yang memungkinkan ilmuwan untuk membuat pernyataan umum tentang variabel-variabel dan hubungannya (dalam Mardalis, 2003:42).
Terkait penelitian ini dengan analisis bentuk, fungsi, teknik, proses dalam kerajinan kayu di Desa Singakerta Ubud, Gianyar digunakan beberapa teori anatara lain :
Teori Bentuk
Bentuk dalam konteks kerajinan merupakan wujud fisik. Bentuk dapat ditangkap atau dilihat oleh panca indera pengelihatan (mata). Menurut Mikke Susanto, bentuk artinya gambaran, bangun. Bentuk ada yang lengkung, lentur, kuku, busur. Bentuk adalah rupa, wujud, dan dalam karya seni rupa dikaitkan dengan matra seperti dwi matra (bentuk dua demensi), dan tri matra (bentuk tiga demensi) (2002: 21). Dharsono Sony Kartika menjelaskan, shape (bangun) bisa berupa : (a) yang menyerupai wujud alam (figur), dan (b) yang tidak sama sekali menyerupai wujud alam (non figur). Keduanya akan bisa terjadi menurut kemampuan senimannya dalam mengolah objek sehingga bisa terjadi perubahan wujud yang sering disebut stilisasi, distorsi, transformasi, dan deformasi (2004: 102).
Kerajinan Kayu selengkapnya
by admin | Apr 16, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Drs. I Gede Mugi Raharja, M.Sn., Dosen PS. Desain Interior ISI Denpasar.
Kaitan dengan Ekologi
Pengembangan konsep desain taman tradisional Bali, khususnya yang berkaitan dengan taman peninggalan kerajaan-kerajaannya dapat dilakukan melalui “interpretasi” dan “pemahaman” tehadap makna filosofis desainnya. Dengan dapat dipahaminya konsep bentuk dan ruang desain pertamanan peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali, maka akan diperoleh perluasan wawasan terhadap desain taman melalui suatu wacana tentang makna dalam desain pertamanan Bali, yang dapat dikembangkan di dalam desain pertamanan modern.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada, hakikat konsep filosofis desain pertamanan peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali, baik dari era Bali kuna maupun era Bali Madya, adalah perlindungan terhadap sumber mata air alam (kelebutan) . Perlindungan terhadap sumber mata air ini sangat berkaitan erat dengan filosofi “Pemutaran Mandhara Giri di Ksirarnawa” yang dikembangkan dalam desain taman kerajaan era Bali Madya, maupun yang ditemukan dalam bentuk reief pada bejana batu (Sangku Sudamala) peninggalan kerajaan Bali kuna akhir di Pura Pusering Jagat (Pejeng, Gianyar).
Air kehidupan abadi (Amertha) yang bisa membuat hidup kekal bila meminumnya, seperti yang tersirat dalam kisah pemutaran Mandhara Giri di Ksirarnawa, tidak ada dalam kehidupan masa kini. Tetapi makna filosofisnya dapat dianalogikan dengan air yang berasal dari alam (kelebutan) seperti mata air di Pura Tirta Empul. Karena itulah mata air kelebutan memiliki makna yang “utama” bagi masyarakat Hindu di Bali. Sehingga sering difungsikan sebagai air suci dalam upacara keagamaan. Apabila mata air alam (amertha) salah pemanfaatannya, bisa menyebabkan kerusakan ekologi.
Dengan melakukan “perlindungan” dan “penyelamatan” sumber mata air alam melalui pertamanan, berarti juga melakukan upaya perlindungan (konservasi) terhadap alam lingkungan. Hal ini juga sesuai dengan falsafah Tri Hitakarana di Bali, yang mengajarkan agar umat manusia senantiasa menjaga keselarasan hubungan vertikal dengan Tuhan, hubungan horisontal dengan sesama dan alam lingkungan, serta mahluk-mahluk lain. Karena itu pula sumber mata air di pertamanan harus dimanfaatkan secara positif untuk fungsi sosial, ekonomi dan religius.
Nilai positif perlindungan dan pemanfaatan sumber mata air alam dalam pertamanan Bali, pada hakikatnya merupakan kearifan lokal menyangkut perlindungan terhadap sistem ekologi yang tetap relevan dikembangkan dalam desain pertamanan modern.
Ruang dan Keseimbangan Kosmos
Di dalam perencanaan ruang taman peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali, falsafah Tri Hitakarana dijabarkan ke dalam perencanaan ruang dari yang bersifat makro hingga ke perencanaan ruang yang bersifat mikro. Penjabarannya adalah berupa tiga hirarki ruang (Tri Mandala). Hirarki ruang ini ditata sesuai dengan tiga jenis aktivitas, yaitu ruang untuk aktivitas religi (sacred space), ruang untuk aktivitas manusia (human space), serta ruang yang bersifat profan dan pelayanan (Sevice place). Ruang untuk aktivitas religi berada di bagian hulu (Utama Mandala), ruang untuk aktivitas manusia berada di bagian tengah (Madya Mandala) dan ruang yang bersifat pelayanan/servis berada di bagian hilir (Nista Mandala).
Makna yang tetap relevan diterapkan menyangkut falsafah Trihitakarana ke dalam struktur ruang taman modern adalah tetap memperhatikan aspek “keseimbangan ruang di dalam kosmos”. Falsafah Trihitakarana mengajarkan manusia untuk memperlakukan ruang secara tepat sesuai dengan fungsinya. Seperti untuk fungsi religi,fungsi humanis, konservasi atau ekologi dan sanitasi. Membentuk ruang untuk suatu aktivitas itu sama artinya dengan menciptakan suatu kehidupan (mikrokosmos), yang menjadi bagian dari makrokosmos.
Pengembangan Taman Kerajaan Bali ke Desain Taman Modern selengkapnya
by admin | Apr 16, 2011 | Berita, pengumuman
Perkembangan teknologi di dunia terus berkembang pesat, khususnya di Indonesia sebagai negara berkembang. Penerapan dan pemanfaatan teknologi harus bisa dikuasai oleh anak bangsa yang akan menjadi penerus bangsa nantinya.
Teknologi identik dengan komputer yang secara umum kita kenal dan dioperasikan oleh sebuah sistem operasi. Sistem operasi inilah yang nantinya akan digunakan untuk melakukan operasi-operasi dan pemasangan aplikasi-aplikasi untuk menunjang kinerja perusahaan dan perkantoran.
Untuk itulah dibutuhkan tenaga-tenaga ahli IT yang bisa membantu untuk memberikan pengajaran kepada masyarakat tentang perkembangan teknologi ini. Open source adalah sebuah istilah yang digunakan bagi pengembang teknologi yang menyertakan kode sumbernya dan tidak memungut biaya atas lisensi atau dengan kata lain tidak ada lisensi dalam program atau aplikasi dan sistem operasi yang dibuat. Gratis. Walau demikian pihak pengembang diperbolehkan untuk memungut dana distribusi kepada pengguna.
Berbicara tentang open source tentunya akan ada banyak pertanyaan serta argumen terkait masalah ini. Open source perlu diterapkan dalam dunia pendidikan karena selain sifatnya yang gratis, juga kode sumbernya bisa kita dapatkan. Artinya kita dapat membangun ulang aplikasi atau sistem operasi yang disertakan kode sumbernya yang legal karena open source di bawah lisensi GPL (General Public License). Kita telah melakukan modifikasi atas program tersebut, melaporkan hal ini kepada pihak GPL dan mengonfirmasikannya. Selanjutnya adalah selesai. Hanya seperti itu, asal tidak mengatasnamakan program yang dibuat atas nama sendiri jika program itu berasal dari orang lain.
Apakah open source itu sulit? Jawabannya tidak sulit, hanya saja perlu pembiasaan. Contoh-contoh dari open source adalah sistem operasi linux, aplikasi pengolah kata open office.org yang sekarang sudah ada versi libre office.org, aplikasi pemutar lagi exaile, dan masih banyak lagi.
Pembiasaan open source perlu diterapkan sejak dini karena jika tidak, pembajakan akan terus dilakukan, dan pembajakan itu dilarang. Selain itu juga bisa menekan biaya pengeluaran. Dapat kita bayangkan jika harus membeli sebuah program dengan lisensi Rp. 2.000.000 per programnya. Dengan sebuah aplikasi gratis yang hanya mengeluarkan dana sekitar Rp. 10.000 untuk biaya ongkos kirim saja dan memiliki kualitas yang tidak jauh berbeda dari aplikasi yang berbayar. Tentunya kita akan lebih memilih yang mana? Dengan begitu nantinya Indonesia bisa memiliki akreditas dalam produksi teknologi dan menghentikan pembajakan. Kita dapat melakukannya. Kapan lagi kalau bukan sekarang? (*)
Penulis: Efrizal Hardiman
Sumber: kabarindonesia.com