Warisan Budaya Indonesia Diakui Dunia

Warisan Budaya Indonesia Diakui Dunia

Solo – Organisasi PBB untuk ususan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya, UNESCO, telah mengakui 850 situs di dunia menjadi warisan budaya, termasuk diantaranya 11 situs yang ada di Indonesia.

Ke-850 situs yang diakui menjadi warisan budaya dunia itu terdiri dari 689 mengenai budaya dan 176 alam, kata Menteri Kebudayaan Dan Pariwisata Jero Wacik dalam sambutan tertulis yang dibacakan oleh Dirjen Nilai Seni Budaya Dan Film, Ukus Kuswara, pada Kongres Sekretariatan Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI) di Solo, Rabu.
Sebanyak 11 situs budaya Indonesia yang telah diakui sebagai warisan budaya dunia, antara lain mengenai Batik, Wayang, Keris, Angklung, dan situs manusia purba Sangiran.
Mengenai batik, dalam menjaga dan mengembangkannya kedepan tidak ada masalah, karena sekarang tidak hanya kaum tua, generasi muda pun sudah memakai kain batik, sementara keris hanya digunakan sebatas sebagai pelengkap pakaian adat.
“Untuk mempertahankan keris sebagai warisan budaya dunia, memang tidak mudah dan ini menjadi tantangan tersendiri, maka lewat kongres ini harus bisa dijabarkan untuk keris agar tidak saja menjadi pelengkap pakaian adat. Tapi juga bisa sebagai benda seni dan bisa menjadi nilai tambah dan tidak hanya generasi tua, tetapi juga muda yang menyenangi,” katanya.
Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo dalam sambutan tertulis yang dibacakan Staf Ahlinya Bidang Politik Maryanto mengatakan bahwa keris memang pada awalnya sebagai senjata untuk melindungi diri, tetapi sekarang sudah tidak terbatas pada fungsi tersebut saja.
Keris selain untuk senjata melindungi diri, dan simbol status sosial juga sebagai barang seni yang bernila tinggi dan juga sebagai barang sovenir yang bisa mendatangkan keuntungan bagi perajin keris.
“Jadi mengenai pelestarian keris itu apa bila dikelola dengan baik juga bisa mendatangkan kesejateraan bagi masyarakat,” katanya.
Kongres SNKI perta yang berlangsung dari 19-21 April 2011 di Solo, itu selain untuk memilih pengurus baru, juga menysun program kerjas.
Bersama kongres SNKI tersebut juga digelar pameran dan bursa keris dan juga diadakan demontrasi membuat keris oleh para empu-empu muda.

Sumber: antaranews.com

Kehidupan Masyarakat Bali di Kota Mataram

Kehidupan Masyarakat Bali di Kota Mataram

Kiriman I Gede Yudarta, SSKar., M.Si., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Prihal keberadaan orang-orang Bali di Kota Mataram tidak terlepas dari catatan sejarah yang terjadi dari beberapa abad yang lalu. Dari catatan sejarah, masa lampau raja-raja yang berkuasa di Bali untuk alasan tertentu melakukan ekspansi ke beberapa wilayah di luar Bali, dan salah satunya adalah ke wilayah Lombok. Anak Agung Ketut Agung (1991) dalam bukunya Kupu-Kupu Kuning Yang Terbang Di Selat Lombok, Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem (1661-1950) banyak mengungkap tentang sejarah kedatangan orang-orang Bali di wilayah Lombok pada masa pemerintahan raja-raja di Bali. Sebagaimana diuraikan, gelombang kedatangan orang-orang Bali di Lombok di mulai pada abad ke 12, pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu di Bali, dimana pada saat itu pulau Lombok dapat ditaklukan oleh Bali. Selanjutnya pada  tahun 1530 M, sebagaimana terdapat dalam Babad Sangupati, diungkapkan kedatangan Dang Hyang Nirarta (Pangeran Sangupati) yang merupakan utusan dari kerajaan Gelgel dalam penyebaran agama Hindu diwilayah tersebut. Gelombang ke tiga terjadi pada masa pemerintahan Raja Karangasem Tri Tunggal I (I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ketut Karangasem) tahun 1692.

Dalam versi yang lain, Suyadnya (2006) dalam catatan budayanya menyebutkan bahwa, keberadaan warga Bali di Lombok secara garis besar di bagi dalam tiga gelombang. Gelombang pertama, dari berbagai referensi sejarah disebutkan Kerajaan Gelgel Klungkung pernah mengutus Dang Hyang Dwijendra/Pedanda Sakti Wau Rauh yang akhirnya di Lombok dikenal dengan sebutan Pangeran Sangupati. Kedatangan Rsi tersebut di Lombok, mengajak sejumlah pengikut yang banyak diantaranya menetap di Lombok. Gelombang kedua, terjadi ketika Kerajaan Karangasem berkuasa di Lombok. Pada masa itu warga Bali, khususnya warga Karangasem berbondong-bondong datang ke Lombok ngiring sesuhunan raja yang berkuasa pada saat itu dan ada juga yang mengikuti keluarganya. Kedatangan mereka di Lombok akhirnya membuat pemukiman-pemukiman yang di sebut sebagai “Kampung Tua”. Gelombang ketiga terjadi di era kemerdekaan dimana kedatangan orang Bali di Lombok terkait dengan tugas-tugas baik sebagai PNS/TNI/POLRI serta sebagai wirausaha. Sebagaian besar diantara mereka memilih menetap di Lombok tinggal bergabung dengan masyarakat di Kampung Tua serta sebagaian lainnya membentuk pemukiman baru dengan cara membeli tanah tempat tinggal secara bersama-sama di wilayah-wilayah tertentu.

Kehidupan Sosial

Orang Bali, dimanapun keberadaan mereka baik secara individu maupun berkelompok akan senantiasa hidup sebagaimana di daerah asalnya yaitu Bali. Bagi yang hidup secara berkelompok atau tinggal pada suatu kawasan tertentu di luar Bali, akan senantiasa hidup dengan sistem yang telah melekat dari diwarisi oleh para leluhur mereka. Menyimak kehidupan masyarakat Bali di Mataram, dilihat dari sistem sosial yang dianut, mereka masih tetap mewarisi dan melaksanakan sistem sosial sebagaimana layaknya di Bali, bahkan dalam menjalankannya mereka lebih ketat, taat dan disiplin dari pada di daerah asalnya.

Kehidupan Masyarakat Bali di Kota Mataram, selengkapnya

Kajian Fungsi, Bentuk Dan Makna Angkul-Angkul Rumah Adat Penglipuran Bagian II

Kajian Fungsi, Bentuk Dan Makna Angkul-Angkul Rumah Adat Penglipuran Bagian II

Kiriman: Ida Bagus Purnawan, Dosen PS. Desain Interior ISI Denpasar.

Pedoman Ukuran dan Bentuk Bangunan Tradisional Bali

Konteks ukuran dan bentuk Bangunan Tradisional Bali mengacu pada Skala bagian – bagian tubuh manusia seperti ; lengan, tangan, jari , kaki dan telapak kaki. Jika yang dibangun rumah tinggal, maka yang menjadi skala pokok ukuran adalah si pemilik rumah atau kepala keluarga. Sedangkan untuk tempat suci ( Pura, Merjan dan lainnya ) mengacu pada ukuran pengemong tempat suci tersebut.  Ukuran bentangan tangan ( depa agung, depa madya dan depa alit ) dipakai untuk mengukur panjang dan lebar pekarangan, tapak kaki dipakai untuk mengukur jarak anatra komponen bangunan dengan bangunan lain yang ada di halaman peumahan atau natah umah, dan jarak masa bangunan ke tembok – tembok pekarangan sekelilingnya. Sedangkan untuk tinggi bangunan dan atau dimensi bangunan sipakai satuan ukuran, dari bagian-bagian tangan, ruas-ruas jari, tebal jari yang masing-masing disebit dengan Aguli, agemel, acengkang dan amusti. Sebagai satuan ukuran bangunan tradisional Bali adalah Rai ( 1 rai = +_ 10cm )

Metode Penelitian

Penelitian tentang angkul-angkul menggunakan metode penelitian kualitatif yang dipayungi oleh Ilmu Kajian Budaya ( cultural studies ) terutama kajian budaya makna simbolik ( Sepradly, 1987: 121 )

Teknik pengumpulan data melalui ; Metode Kepustakaan ( Library Research ) dengan mengambil referensi dari sumber-sumber terkait pengkajian Ilmu Arsitektur Tradisonal Bali  ( Terjemahan Lontar Asta kosala-kosali, ), makalah-makalah seminar.melakukan Observasi yaitu mengamati secara langsung obyek penelitian dengan sistematis tentang fenomena social dan gejala-gejala spikis di desa Adat Pengelipuran serta melakukan wawancara ( Indepth Interview ) untuk menggali informasi-informasi dari tokoh-tokoh masyarakat terutama terkait dengan analisis fungsi dan makna angkul-angkul  dalam hubungannya dengan kehidupan sosial budaya masyarakat desa adat Penglipuran kabupaten Bangli.

Dalam penelitian ini menggunakan metode analisis data deskriptif kualitatif deangan fakta-fakta dan sifat-sifat dari obyek penelitian tersebut ( Suryabrata 1983 : 94 )

Hasil Dan Pembahasan

Desa Adat Penglipuran yang terletak di dataran tinggi ( perbukitan ) dikelilingi oleh hutan bambu dan hutan  lindung tropis. Kawasan Desa Adat Penglipuran sebagai salah satu warisan kebudayaan Jaman Bali Age yang sampai sekarang masih tetap bertahan dan tetap terjaga keberadaannya.

Kajian Fungsi, Bentuk Dan Makna Angkul-Angkul Rumah Adat Penglipuran Bagian II, selengkapnya

Pedoman Upacara Hardiknas 2011

Pedoman Upacara Hardiknas 2011

Dalam rangka peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2011, dengan hormat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:

Upacara bendera memperingati Hari Pendidikan Nasional secara nasional dilaksanakan dengan ketentuan:

  • hari, tanggal : Senin, 2 Mei 2011
  • pukul : 08.00 waktu setempat
  • sifat upacara : Tertib, Khidmat, dan Sederhana
  • tempat upacara : Lapangan Upacara (terbuka)

Adapun tema yang telah ditetapkan pada peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2011 adalah Pendidikan Karakter sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa dan  subtema adalah Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti.

Kepada seluruh pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota, kepala perwakilan Indonesia di luar negeri, kepala dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota, rektor perguruan tinggi negeri/swasta, kepala unit pelaksana teknis Kementerian Pendidikan Nasional agar menyelenggarakan upacara bendera peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2011

Untuk lebih menyemarakkan peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2011 diharapkan masing-masing instansi memasang spanduk dengan tema tersebut di atas merangkaikan berbagai kegiatan dan lomba untuk meningkatkan prestasi dan mutu pendidikan

Untuk lebih memupuk rasa patriotisme, selain mengadakan upacara bendera, panitia nasional peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2011 akan melakukan ziarah ke makam Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta. Berkenaan dengan itu, dihimbau kiranya Bapak/Ibu Gubernur dan Bupati/Walikota juga berkenan melakukan ziarah ke taman makam pahlawan di wilayah masing-masing.

Untuk Bahan Pedoman Upacara Hardiknas 2011 bisa di Unduh dibawah ini:

Pedoman Upacara Hardiknas 2011

Sumber: kemdiknas.go.id

Ngayah Di Pura Bujangga Waisnawa Gunung Sari

Ngayah Di Pura Bujangga Waisnawa Gunung Sari

Kegiatan “ngaturang ayah” adalah bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni implementasi dari pengabdian masyarakat, yang dilaksanakan kampus ISI Denpasar secara rutin. Baru-baru ini ISI Denpasar ngayah di pura Bujangga Waisnawa Gunung Sari dalam acara Tawur Agung, pecaruan, pelaspasan pedagingan  yang diselenggarakan dari taggal 12 s/d 17 april yang lalu. Dalam Karya suci tersebut,  ISI mempersembahkan tarian Rejang Dewa, Baris Gede, dan Wayang yang ditarikan oleh mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan ISI, serta Tari Topeng yang dimainkan oleh dosen FSP  diantaranya Dalang ternama I Ketut Kodi dan I Nyoman Sukerta.

Acara tersebut juga dihadiri oleh Wakil Wali Kota Denpasar, PHDI se Bali, serta para masyarakat Bujangga Waisnawa seluruh Indionesia diantaranya berasal dari Banyuwangi, Lampung, Sulawesi yang juga turut serta dalam perembahyangan di pura tersebut. Hujan deras yang mengguyur pada saat berlangsung upacara, tidak mengurangi kekhusukan para pemedek ngaturang bakti. Acara tersebut dipuput oleh Para Resi Bujangga Waisnawa  yang datang dari berbagai kabupaten di Bali.

Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A., yang juga hadir dalam acara ngayah tersebut mengucapkan terima kasih kepada panitya karya atas kesempatan yang diberikan untuk ISI Denpasar dalam ngaturang ayah pada acara tersebut.”Atas nama Pimpinan, kami mengucapkan terima kasih kepada Panitia, ISI Denpasar telah diberi kesempatan untuk turut serta dalam upacara, ngaturang ilen-ilen, serta berdoa bersama untuk memohon keselamatan, agar kita semua selalu dalam lindungan Ida Sang Hyang widhi,”papar Prof. Rai.

Humas ISI Denpasar melaporkan

Loading...