by admin | May 9, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Drs I Wayan Mudana, M.Par. Dosen PS. Seni Rupa Murni FSRD. ISI Denpasar
Posendo Art
Muncul dari seni pertunjukan tentang adanya keinginan wisatawan untuk mengetahui suatu bentuk garapan tari yang dipentaskan ditengah-tengah masyarakat. Karena wisatawan memiliki waktu yang sangat terbatas, pertunjukan tarian juga harus diketahui esensinya secara utuh, oleh para seniman diciptakanlah tarian kemasan wisata dengan cara mengambil poin-poin penting dari bentuk tarian tersebut tanpa menghilangkan esensi sebenarnya.
Demikian juga dalam wujud karya-karya seni rupa, dalam memberikan informasi atau seniman ingin berkomunikasi tentang sesuatu hal hanya dengan mengangkat hal-hal penting yang dianggap mewakili secara keseluruhan dari phenomena tersebut.Lihat gambar nomor 51)
Ekletek Art
Karena adanya pemahaman dari latar belakang budaya yang berbeda, oleh para seniman/pengrajin dicermati sebagai peluang untuk menciptakan bentuk-bentuk karya seni baru sebagai seni kemasan wisata dengan cara mensinkritisme karya-karya seni dari masing-masing daerah atau Negara dipadukan menjadi satu kesatuan yang memiliki nilai seni harmonis tanpa menghilangkan identitas aslinya namun memiliki kekhasan pribadi yang tinggi sehingga dapat mewakili cirri khas seseorang. Contoh Karya seni patung India dengan sikap tri bangganya dan atribiut, ekpresi dipadukan dengan karya seni patung Bali dengan ornament dan sikap-sikap patungnya.(lihat photo halaman 50)
Airport Art
Karena keterbatasan waktu wisatawan dalam memenuhi kebutuhan akan barang-barang cendra mata, para pebisnis seni membuat satu tempat biasanya berdampingan dengan bandara(airport) untuk memajang berbagai bentuk barang cendramana sebagai bentuk barang souvenir denganmaksud memudahkan wisatawan bertransaksi dalam waktu yang singkat.
Pressible Art
Wisatawan pada umumnya menyukai suatu hal yang bernuansa unik, jarang dijumpai pada suatu daerah. Istilah pressible art pada awalnya muncul pada seni masak memasak dengan memampaatkan bahan-bahan masakan yang masih segar dan murni tanpa dimasak, direbus, digoreng, dipanggang, atau ditanak. Tetapi diolah sedemian rupa secara murni(fresh), disajikan dengan olahan bumbu sampai siap hidangan dan siap dimakan dengan kualitas tinggi.
Dalam bentuk karya seni, karya ini muncul sebagai seni instalasi, rice teras, mengclose up gunung menjadikarya seni, art and pece, dan performing art lainnya.
Salah satucontoh bentuk seni ini yang menonjol adalah tidak pernah diulang, dan ciptan tuhan.
Pop Art
Karya seni pop muncul karena adanya tuntutan industry, yang dikemas dengan memasukkan unsur-unsur local dan luar yang dikombinasikan sesuai dengan selera pasar. Kemasan seni pop banyak dislimuti oleh kreatif yang semu, lebih tepatnya merupakan pemalakan seni local yang diadopsi menjadi identitas pribadi. Pada dasarnya seni pop yang lebih mengutamakan komersialisasi, komodifikasi, provanisasi,dan industrialisasi (power,order dan interest) dibangun sebagaimana layaknya seniman/pengrajin berkreatifitas sedapat mungkin menghindari dari hal-hal tersebut.
Kekuatan akan uang akan dapat mengalahkan siapa saja sehingga akan berlaku hegemoni dalam berkesenian. Para pengusaha akan menekan order sebagai kontrak kerja sekecil-kecilnya dengan harapan dengan prilaku sesuka hati (interst) karena seniman dalam posisi tidak berdaya.
Wujud dari bentuk karya seni pop adalah cerminan dari modifikasi dari bentuk-bentuk seni etnik yang memiliki daya tarik tinggi dibuat tiruannya(provanisasi) agar dapat dijual dengan harga yang menjangkau sebagai bentuk industry.
3.3. Pangsa Pasar
Kemampuan melihat tantangan untuk dimaksimalkan menjadi peluang, dengan pertimbangan yang matang, itulah yang disebut pangsa pasar. Seorang pebisnis harus mampu menghitung tingkat kerugian maksimal dari situasi apapun, untuk mengantisipasinya disiapkan langkah-langkah analisis untuk mengoptimalkan kekuatan berupa potensi-potensi yang dimiliki dan menutupi kelemahan(analisis SWOT, rakuti,2002).
Produk Seni Kemasan Pariwisata selengkapnya
by admin | May 9, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Saptono, SSen., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar.
Teknik Pencarian Nada
Teknik pencarian dalam menentukan nada selain dari kepekaan dari panca indra pendengaran telinga sepenglaras, juga akan dibantu dengan alat yang namanya malam (untuk batuk) atau tanah liat. Baik menurut Suraya maupun Sutarno bahwa malam atau tanah liat, ini satu-satunya alat yang tidak bisa ngapusi untuk menentukan tinggi rendahnya nada. Nada-nada pada ricikan gamelan baik nada pada ricikan yang berbentuk bilah (gender, balungan, dan gambang) maupun nada pada ricikan yang berbentuk pencon (gong, kempul, kenong, kethuk, kempyang, dan bonang). Dan sudah pasti setiap bilah atau pencon yang sudah memiliki nada tertentu jika diberi atau ditempel malam, nada tersebut akan menjadi lebih tinggi. Penglaras ketika mencari (bereksplorasi) nada ideal adalah dengan menempelkan malam pada bilah-bilah gender, saron, maupun, pencon, tergantung instrument/ricikan apa yang sedang dicari nadanya.
Teknik Membuat Nada
Di dalam pelarasan gamelan teknik membuat nada yang dimaksud adalah meninggikan dari nada yang sudah ada maupun menurunkan dari nada yang sudah ada. Di dalam bahasa pembuat atau penglaras gamelan Jawa istilah meninggikan nada lebih lumrah dengan menggunakan istilah dijuluk (dari asal kata “juluk” yang artinya naik) dan kebalikannya untuk istilah menurunkan nada dengan menggunakan istilah diendak (dari asal kata “mendak” yang artinya turun). Perlu diketahui bahwa ricikan/instrument gamelan Jawa bentuknya terdiri dari bilah dan pencon, maka teknik meninggikan dan teknik merendahkan nada caranya berbeda-beda tergantung dari ricikannya.
1.Melaras Ricikan Bilah
Untuk kelompok ricikan/instrument gamelan Jawa yang berbentuk bila seperti berikut.
- Gender barung
- Gender penerus
- Slenthem
- Demung
- Saron
- Peking
- Gambang
Hanya saja untuk ricikan gambang bahan bilah-bilahnya terbuat dari kayu, maka peralatan dan cara yang digunakan untuk meninggikan atau merendahkan nada-nadanya pun berbeda dengan bilah-bilah yang terbuat dari perunggu.
Peralatan yang digunakan untuk membuat nada-nada pada bilah yaitu gerenda listrik, wadung, dan air. Gerenda listrik digunakan untuk meninggikan ataupun merendahkan bilah-bilah nada dari bahan perunggu, sedangkan wadung digunakan untuk mengerjakan pada bilah-bilah gambang. Sementara air berfungsi membasahi setiap permukaan bilah yang sedang digerenda.
Teknik yang digunakan untuk membuat nada pada bilah-bilah perunggu yaitu menipiskan bilah dengan cara digerenda pada bagian dalam bilah (lambung) pada posisi wilayah samping kanan atau kiri untuk meninggikan, dan posisi wilayah tengah untuk merendahkan nada.
Adapun teknik meninggikan nada (membuat nada menjadi lebih tinggi) bilah agar bilah-bilah tersebut tetap kondisi baik/seimbang tebal tipisnya, maka cara penggerendaannya diambil pada wilayah 1 dan 3 (samping kanan/kiri dari posisi lubang bilah. Agar bilah-bilah instrumen memiliki bentuk yang seimbang tebal tipisnya, maka cara penggerendaannya dipertimbangkan dengan kondisi bilah tersebut. Sebaliknya teknik untuk merendahkan nada (membuat nada agar menjadi lebih rendah) instrumen bilah yaitu dengan cara menipiskan pada posisi tengah diantara lubang bilah (bagian lambung).
Menurut Suraya untuk menjaga kondisi dan kwalitas bilah instrumen tetap baik, maka ketika menggerenda bilah-bilah instrumen gamelan harus dibasahi air. Adapun cara mengairi bilah yang sedang digerenda bisa dibawah pancoran air/kran atau disiapkan ember yang berisi air dan gelas plastik/botol plastik yang dipotang dan diberi lobang agar airnya bisa mengalir.
Melaras Gamelan Jawa, Bagian II, selengkapnya
by admin | May 8, 2011 | Berita
Kiriman Arba Wirawan, Ka. Prodi. Fotografi.
Denpasar, Delegasi Panitia Forum Komunikasi Mahasiswa Fotografi Se Indonesia (FKMFI) diterima Wali Kota Denpasar, diwakili Asisten II Administrasi Pembangunan, Ir. IGN Eddy Mulya, SE.M.Si didampingi dari Dinas Kebudayaan dan Dinas Kesra di ruang kerjanya Rabu,(4/5). Pemerintah Kota menyambut baik pelaksanaan forum mahasiswa ini, saya mohon mahasiswa fotografi dapat menjadi tuan rumah yang baik menunjukkan karakter budaya Bali. kata Eddy. Sesuai dengan visi pemerintah kota Denpasar sebagai kota yang kreatif dan berbudaya, sejalan dengan tema kegiatan FKMI yang mengusung “Tri Hita Karana” Photography as creativity to realize peace, love and harmony, Imbuh Eddy.
Sehubungan dengan penyelenggaraan FKMFI Wali Kota denpasar, akan menjadi key note speaker :Denpasar sebagai kota kreatif dan berbudaya pada pelaksanaan seminar dan worksop nantinya. Kegiatan ini juga direncanakan akan dibuka oleh Bapak Dirjen Pendidikan Tinggi atau bapak rektor ISI Denpasar. Selanjutnya panitia akan mohon audensi bimbingan kepada bapak gubernur Bali dalam pelaksanaan ini iatuntuk dapat memberikan arahannya kepada mahasiswa ISI.
Kegiatan FKMFI ini juga melibatkan Fakultas Seni Pertunjukan , Jurusan Tari dan Pedalangan termasuk Musik yang akan terbentuk menjadi jurusan baru nantinya. Ketua Program Studi Fotografi mohon dukungan baik moril dan materiil kepda semua pihak demi kelancaran kegiatan ini. Saya mengharapkan peran seluruh civitas akadmika ISI Denpasar, untuk dapat membingbing kami sebgai Program Studi Baru, harap Arba Wirawan.
Program Studi Fotografi, FSRD, ISI Denpasar, dipinpin ketua Program studinya I Komang Arba Wirawan,S.Sn.,M.Si dan I Made Saryana,S.Sn.,M.Sn sekretaris dan Ketua HMJ Ngurah Arya Sutawan dan ketua panitia I Gede Budiwijaya, dan Adie Darmawan dan Devira. Pada kesempatan itu diserahkan hasil karya foto “Beauty of Denpasar” kepada Bapak Walikota.
Kegiatan nasional berupa forum komunikasi mahasiswa Indonesia (FKMFI), yang memiliki misi peran mahasiswa dalam pembangunan nasional yang diselenggarakan di ISI Denpasar Bali. Berikut sekilas sejarah FKMFI yang memiliki peran ajang silahturahmi dan ajang kreativitas mahasiswa se Indinesia.
Forum Komunikasi Mahasiswa Fotografi Indonesia (FKMFI) pertama kali diadakan di Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada tanggal 25 Oktober 2005, dan dideklarasikan di Bandung 2 Maret 2005. Dengan berasaskan kebersamaan, kekeluargaan, dan kesetaraan, FKMFI ingin menjalin jaringan komunikasi dan kerjasama antar mahasiswa Fotografi dan masyarakat dengan potensi lokal yang beragam, sehingga dapat menumbuhkembangkan seni fotografi di Indonesia.
FKMFI pada kesempatan kali ini diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Fotografi ISI Denpasar pada tanggal, 2 –4 Juli 2011 , dengan mengangkat tema Tri Hita Karana : photography as creativity to realize peace, love and harmony.
Tri Hita Karana adalah ajaran tentang tiga cara untuk mencapai kebahagiaan hidup. Tiga cara ini adalah hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam lingkungannya. Jika seseorang mampu menjalankan ketiga hal tersebut dengan baik, niscaya akan memperoleh kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup. Ketiga hubungan yang harmonis inilah yang diharapkan bisa menjadi inspirasi dalam berkarya seni fotografi. Karya foto yang dihasilkan nantinya diharapkan mampu membawa sebuah harmoni, menunjukan kreativitas berkarya yang membawa kedamaian dan cinta ke dalam kehidupan manusia.
by admin | May 7, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: I Nyoman Kariasa,S.Sn., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Sebagai salah satu karya seni musik tradisional tabuh, Lelambatan tentu memiliki tiga aspek dasar estetika yaitu wujud, bobot, dan penampilan. Dari ketiga aspek tersebut dapat lihat bagaimana bentuk dan struktur sebuah komposisi tabuh lelambatan serta bagaimana suasana, ide atau gagasan yang terdapat dalam tabuh lelambatan tersebut. Secara umum tabuh lelambatan memiliki bentuk, struktur dan tata penyajian yang khas.
Bentuk dan Struktur
Tabuh dalam konteks karawitan Bali memiliki pengertian yang sangat luas, adakalanya tabuh juga dipergunakan untuk menunjukkan bentuk-bentuk komposisi lainnya di luar dari gending-gending lelambatan tradisional misalnya tabuh kreasi baru yaitu suatu bentuk komposisi karawitan yang di luar dari kaidah-kaidah tetabuhan klasik. Di samping itu kata ‘tabuh’ juga dipergunakan untuk menyebutkan bentuk-bentuk komposisi dari berbagai jenis barungan gamelan seperti tabuh Smar Pagulingan, tabuh Gong Gede, tabuh Kekebyaran dan sebagainya. Tabuh bila dilihat sebagai suatu estetika teknik penampilan adalah hasil kemampuan seniman mencapai keseimbangan permainan dalam mewujudkan suatu repertoir hingga sesuai dengan jiwa, rasa dan tujuan komposisi. Selanjutnya pengertian tabuh sebagai suatu bentuk komposisi didifinisikan sebagai kerangka dasar gending-gending lelambatan tradisional. Misalnya tabuh pisan, tabuh telu, tabuh pat dan sebagainya (Rembang, 1984/1985:8-9).
Lelambatan diperkirakan berasal dari kata Lambat yang berarti pelan yang mendapat awalan Le dan akhiran an kemudian menjadi Lelambatan yang berarti komposisi lagu yang dimainkan dengan tempo dan irama yang lambat/pelan. Tambahan kata Pegongan pada bagian belakang kata Lelambatan sebagai penegasan pengertian bahwa gending-gending lelambatan klasik pegongan adalah merupakan repertoar dari gending-gending yang dimainkan dengan memakai barungan gamelan “Gong”. Gamelan Gong yang dimaksud adalah gamelan-gamelan yang tergolong dalam kelompok barungan yang memiliki Patutan Gong yaitu istilah yang dipergunakan untuk menyebutkan kelompok gamelan Bali yang mempergunakan laras pelog 5 (lima) nada. Adapun kelompok gamelan yang berlaras pelog lima nada di Bali ada beberapa jumlahnya diantaranya: Gamelan Gong Gede, Gamelan Gong Kebyar, Gamelan Palegongan, Gamelan Gandrung. Namun demikian dari berbagai jenis tersebut yang biasanya dipergunakan untuk menyajikan tabuh-tabuh lelambatan pegongan adalah gamelan Gong Gede dan Gamelan Gong Kebyar.
Dalam terjemahan Prakempa pada bagian ke 35 disebutkan bahwa:
“…ini asal mula tabuh(lagu) dan nyanyian-nyanyian, karena nyanyian dan lagu sesungguhnya sama beda, karena ada tersebut nyanyian yaitu tabuh pisan, tabuh telu, tabuh pat, tabuh nem, dan tabuh kutus ini bukan tabuh namanya, sebenarnya angsel dan pepada, karena segala alat-alat nyanyian harus memakai kempli dan kempul. Bila nyanyian memakai kempli delapan kali dan juga kempul delapan kali itu namanya Asta pada…(Bandem, 1985:63)
Kutipan di atas apabila dihubungkan dengan komposisi tabuh-tabuh lelambatan, akan dapat dilihat beberapa pepada pada bagian pengawak dan pengisepnya. Seperti halnya tabuh pat, terdapat empat kali pukulan kempli dan kempur. Begitu juga tabuh nem, dan tabuh kutus. Namun penanda ini tidak berlaku pada tabuh pisan dan tabuh telu, terutama pada lelambatan gaya Batubulan.
Bentuk dan struktur tabuh-tabuh lelambatan pada umumnya menentukan ciri khasnya. Begitu halnya dengan tabuh-tabuh Lelambatan yang ada di Banjar Tegaltamu juga memiliki struktur dan bentuk yang hampir sama. Yaitu menggunakan konsep struktur komposisi klasik terdiri dari kawitan, pengawak, pengisep, pengecet, pengembat dan pekaad. Pada bagian pekaad (tabuh pat, tabuh nem, tabuh kutus) menggunakan tabuh telu atau gilak, dan atau menggunakan keduanya. Masing-masing struktur ini dibentuk dengan menggunakan hitungan atau angka-angka. Hitungan angka-angka tersebut digunakan untuk menentukan birama 4/4 yang ditandai dengan jatuhnya pukulan, jegog, kempli, kempur, dan diakhiri dengan jatuhnya pukulan gong. Selain menggunakan hitungan juga sangat menentukan adalah pukulan kendang terutama dalam pengawak dan pengisep pada jenis tabuh pat, tabuh nem dan tabuh kutus. Pengulangan frase frase /pepada dalam setiap bagian gending juga didukung oleh dinamika yang dibawakan oleh instrumen gangsa, intrumen reyong dan cengceng kopyak yang dikendalikan oleh kendang.
Secara umum tabuh lelambatan di Banjar Tegaltamu menggunakan bentuk atau format ngewilet dan periring, Terutama pada bagian pengawak dan pengisep. Periring berasal dari istilah paca periring dalam karawitan vokal yang berarti membaca kalimat pokok sebuah kalimat lagu. Sedangkan Ngewilet sendiri merupakan pengembangan irama atau ketukan dari pada periring. Tentunya irama ngewilet lebih panjang dan lebih lambat dari pada irama periring. Sebagai perbandingan, bentuk periring gaya Batubulan berbeda dengan bentuk periring yang ada dalam lelambatan gaya Badung. Dalam lelambatan gaya Badung periring dimainkan menggunakan melodi pokok pengawak dengan pola pukulan kendang pengisep. Dimainkan dengan tempo yang lebih cepat dari standar tempo yang dimainkan pada bagian pengawak. Periring ini dimainkan sebelum memainkan bagian pengawak. Berbeda halnya dengan bentuk periring gaya Batubulan.
Perspektif Musikalitas Tabuh Lelambatan Banjar Tegaltamu, selengkapnya
by admin | May 4, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman I Putu Juliartha, Mahasiswa PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Dalam membuat trompong, pande bersama dengan pemesan atau pembeli gamelan tentu terlebih dahulu memikirkan dan memperhitungkan secara matang tentang jenis bahan yang akan dipakai dalam membuat trompong. Pande merupakan orang yang terlibat langsung pada suatu proses kreativitas dalam menghasilkan benda-benda yang berupa alat musik atau gamelan, senjata tradisional maupun seni rupa yang berupa ukiran. Seorang pande sangat pintar menggunakan berbagai kesempatan apa pun, asal tidak berlawanan dengan hati nuraninya akan dia kerjakan dengan sepenuh hati tanpa menoleh walaupun orang sekitarnya menganggapnya pekerjaan itu ’nista’ ia tak akan peduli asal tujuan mulianya dapat dicapai.
Di Desa Tihingan orang yang membuat gamelan disebut dengan pande gamelan atau tukang gambelan. Pande gamelan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu orang yang memang merupakan keturunan warga pande (salah satu jenis kasta atau komunitas tertentu dalam wangsa tri wangsa di Bali) dan orang diluar warga pande seperti orang dari warga pasek dan arya tetapi memiliki kemampuan dalam hal pembuatan gamelan. Mereka menggeluti pekerjaan membuat gamelan berdasarkan pengaruh-pengaruh dari keturunan atau keterampilan yang dimiliki oleh leluhur mereka yang berkembang secara turun temurun sampai ke generasi berikutnya. Seperti keahlian seorang bapak membuat gamelan akan diikuti oleh anaknya, selain itu keahlian ini tidak terlepas dari bakat, kecerdasan serta kemampuan mereka, keterampilan ini dipergunakan sebagai sumber penghidupan bagi mereka, dan atas keterampilan dan kebiasaan mereka membuat gamelan maka mereka disebut dengan pande gambelan/pande gamelan.
Pande gamelan dalam menghasilkan kerajinan yang berupa Trompong Gong Kebyar tentu membutuhkan bahan-bahan maupun alat-alat sebagai unsur terpenting dalam proses pembuatannya. Di Bali pada umumnya gamelan yang sudah ada biasanya dibuat dengan bahan-bahan tersebut seperti besi, krawang, bamboo, kayu, kulit, dan kerang
Jenis-jenis bahan di atas menghasilkan karakteristik gamelan yang berbeda, serta masing-masing memiliki kualitas suara atau warna suara(colorite) yang berbeda dan tergantung dari bahan pembuatannya tersebut, maka dari itu dalam membuat gamelan terlebih dahulu harus mempertimbangkan jenis bahan yang cocok dipakai demi tercapainya keinginan yang sesuai dengan selera pemesan dan pembuatnya.
Trompong Gong Kebyar bisa saja dibuat dengan menggunakan bahan dari besi, namun mengingat penelitian ini dilakukan di Desa Tihingan dimana di daerah tersebut merupakan komunitas pengrajin gamelan yang membuat gamelan dengan memakai bahan dari krawang atau perunggu. Maka dari itu bahan yang menjadi obyek dalam pembahasan ini adalah bahan pembuatan Trompong Gong Kebyar dari bahan krawang.
Krawang telah diketahui oleh masyarakat Bali sebagai bahan pembuatan gamelan yang dapat menghasilkan gamelan dengan karakteristik yang berbeda dengan gamelan yang memakai bahan di luar krawang. Gamelan yang dibuat dari bahan krawang memiliki penampilan dan suara yang khas. Meskipun Trompong Gong Kebyar dan instrumen-instrumen lain yang dibuat oleh pande gamelan bisa dibuat mempergunakan bahan di luar krawang yaitu menggunakan bahan besi, tetapi lebih banyak orang pemesan atau pembeli maupun pande gamelan memilih bahan krawang sebagai bahan baku pembuatannya, karena gamelan yang terbuat dari bahan krawang menghasilkan suara yang lebih nyaring dan getaran suara yang lebih panjang dari pada gamelan memakai bahan besi.
Krawang sebagai bahan pembuatan gamelan telah disebut dalam tulisan R.Goris dalam buku sekelumit cara-cara pembuatan gamelan Bali oleh I Nyoman Rembang, yaitu:
Tentang memakai dan mengerjakan logam-logam, yang kemudian masuk ke Indonesia yaitu berasal dari India belakang teristimewa dari propinsi : tongkin. Kira-kira tiga ratus tahun sebelum masehi, orang-orang mulai memperdagangkan perkakas-perkakas perunggu dan juga alat-alat besi ke Indonesia. Dengan cepat orang Indonesia sendiri bisa menuangkan perunggu. Masa itu dinamai zaman perunggu ataupun juga kebudayaan Dongsen, yang berasal dari India belakang.
Dari kutipan di atas memberi gambaran bahwa pada mulanya barang-barang atau perkakas yang ada di Indonesia merupakan barang-barang dari hasil perdagangan negara luar yang memberikan pengaruh pada perkembangan keterampilan orang Indonesia yang sebelumnya tidak bisa melakukan pengolahan terhadap bahan logam yaitu khususnya krawang. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, orang Indonesia telah memiliki teknik-teknik yang matang dalam mengolah bahan-bahan perunggu atau krawang hingga mampu menghasilkan barang-barang kerajinan yang berupa perabotan, perkakas, senjata tradisional, dan gamelan.
Beberapa pande gamelan di Desa Tihingan yang memiliki pengalaman dalam pengolahan dan membeli atau mencari krawang sebagai bahan pembuatan gamelan menceritakan bagaimana asal-usul krawang dijadikan bahan baku dalam pembuatan gamelan Bali. Menurut informasi dari I Wayan Redana. seorang penjual gamelan Bali menuturkan bahwa konon krawang didatangkan dari Negara Thailand melalui jalur perdagangan masuk ke Indonesia melewati perairan Sumatera ke Jawa. Melalui pulau Jawa didatangkan ke Bali hingga ke Desa Tihingan Klungkung oleh pedagang-pedagang logam dari Jawa yang dinamai pedagang rosoan. Bahan baku tersebut dinamakan lakar Siam atau krawang Siam. Disebut krawang Siam karena berasal dari daerahnya yaitu Thailand yang dikenal dengan sebutan Negara Siam.
Krawang Siam dianggap memiliki kualitas yang sangat bagus terutama memiliki kelebihan dalam keawetannya setelah menjadi gamelan, dikatakan “gambelan ane melakar aji lakar Siam kar mekelo tuwuhne keweh lakar lung”, maksudnya gamelan yang bahannya memakai krawang Siam memiliki kekuatan yang tahan lama dan susah patah atau pecah dan akan memiliki umur yang sangat lama.
Krawang Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Trompong, selengkapnya