Perapen Tempat Pembuatan Trompong

Perapen Tempat Pembuatan Trompong

Kiriman I Putu Juliartha, Mahasiswa PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Prapen adalah bangunan yang dipergunakan sebagai tempat melakukan aktivitas khususnya melakukan pekerjaan mengolah bahan logam yang menghasilkan barang bernilai seni yaitu keris dan gamelan. Di desa Tihingan khususnya, prapen hanya digunakan untuk membuat gamelan, tempat ini juga dianggap sebuah tempat suci karena di dalam prapen terdapat sebuah pelinggih yang dipercayai sebagai tempat memuja Dewa Brahma, maka dari itu wanita yang sedang mengalami menstruasi tidak diperbolehkan masuk ke areal prapen serta alat-alat yang terdapat di dalam prapen jika dipakai dan dibawa ke luar areal prapen mesti disucikan kembali dengan dipratista.

Pada jaman dulu prapen hanya boleh dibangun pada bagian Selatan dalam pekarangan rumah pande, dengan perkembangan jaman prapen tidak lagi dibuat dengan berpatokan pada arah Selatan, melainkan prapen pada masa sekarang dibuat dengan mengikuti situsi tempat yaitu bisa dibuat di bagian manapun asalkan tempatnya memungkinkan, pande gamelan di Tihingan yang memiliki prapen biasanya mempekerjakan kurang lebih tiga sampai tujuh orang tenaga kerja. Tiap orang pekerja memiliki fungsi dan tanggung jawab yang berbeda dalam membuat trompong maupun jenis gamelan lainnya. Tenaga kerja yang terlibat adalah pemilik prapen dan biasanya bersama orang-orang yang merupakan keluarga atau  masih kerabat dekat dan juga mempekerjakan orang berasal dari luar Desa Tihingan.

Di Desa Tihingan sampai saat ini hampir terdapat 60 buah prapen yang tersebar di masing-masing rumah penduduk, dari semua prapen tersebut ada yang dipakai sebagai tempat membuat gamelan atau hanya membuat krawang. Ada tiga jenis prapen yang ada di desa Tihingan yaitu:

(1)   Prapen pengeleburan : prapen yang memiliki luas sekitar 8 x 8 m2 hingga 8 x 10 m2, dalam prapen ini terdapat 1 atau 2 buah tungku perapian yang disebut jalikan prapen dengan ukuran 50 x 100 cm. Prapen pengeleburan berfungsi hanya sebagai tempat pembuatan krawang.

(2)   Prapen pengegongan memiliki luas 6 x 8 m2 hingga 8 x 8 m2. Terdapat 2 buah tungku, masing-masing tungku memiliki fungsi yang berbeda yaitu tungku yang pertama disebut jalikan pengeleburan dengan ukuran 40 x 50 cm yang berfungsi sebagai tungku peleburan krawang. Tungku kedua disebut jalikan penguadan dengan ukuran 1 x 1 m yang berfungsi sebagai tempat pemanasan dalam proses pembentukan. Prapen pengegongan dipakai dalam membuat gamelan berpencon yang berukuran besar seperti gong, bende, dan kempur.

(3) Prapen penguadan memiliki luas yang sama dengan luas prapen pengegongan, dalam prapen ini juga terdapat 2 buah tungku masing-masing memiliki fungsi yang berbeda, yaitu tungku yang pertama dengan ukuran 40 x 50 cm yang berfungsi sebagai tungku peleburan krawang. Tungku kedua dengan ukuran 40 x 40 cm yang berfungsi sebagai tempat pemanasan dalam proses pembentukan. Dalam prapen ini dibuat gamelan dari semua jenis gamelan bilah dan berpencon seperti trompong, reyong kajar, kempli, dan ceng-ceng.

Perapen Tempat Pembuatan Trompong, Selengkapnya

Mengenal Tokoh Panji Dalam Dramatari Gambuh di Bali

Mengenal Tokoh Panji Dalam Dramatari Gambuh di Bali

Kiriman: Ida Bagus Surya Peredantha, SSn., MSn.

Dramatari Gambuh sebagaimana kita ketahui merupakan sumber dari segala jenis kesenian yang ada di Bali sekarang. Kesenian yang  pada jaman dahulu di Jawa dikenal dengan  nama Raket ini diperkirakan masuk ke Bali pada abad ke- 14, seiring dengan eksodus orang-orang Majapahit yang melarikan diri karena terhimpit oleh masuknya paham baru (agama) dalam kehidupan di Jawa. Gambuh sangat dikagumi karena keindahan bentuk dan  penyajiannya yang akhirnya menjadi inspirasi lahirnya bentuk-bentuk tari selanjutnya. Dramatari Topeng, Arja, Wayang Wong dan bahkan Legong merupakan generasi lanjutan dari Gambuh yang mencirikan gagasan struktur pementaan, karakter, alur dramatik serta komposisi hingga perbendaharaan gerak.

Dalam tulisan ini, penulis secara khusus ingin mengupas lebih jauh tentang penampilan tokoh Panji dalam Gambuh saat pementasan berlangsung. Adapun berbagai aspek yang dimaksud antara lain :

Karakter

Dalam pementasan dramatari, yang dipentingkan adalah pemahaman setiap pelaku terhadap alur cerita yang dibawakan yang akan berdampak pada pengenalan karakter tokoh yang ditarikan oleh pelaku pementasan. Bila tidak demikian, dapat dipastikan pementasan yang dibawakan kurang memiliki penjiwaan dan bahkan mungkin pesan ataupun amanat yang terkandung dalam cerita tersebut tidak sampai pada penonton yang menunjukkan pementasan tersebut boleh jadi dikatakan gagal.

Dalam Gambuh tokoh Panji mempunyai peran yang sangat vital, mengingat ia merupakan tokoh utama yang menentukan alur cerita. Panji merupakan tokoh putra halus yang memiliki watak tenang dan manis. Dalam melantunkan wawankata, tokoh Panji memiliki kemiripan dengan tokoh Putri yaitu suaranya bernada tinggi datar, terkadang memperpanjang silabus kata dan gaya jalannya luwes. Namun demikian, penulis selalu menekankan sisi maskulinitas dari tokoh Panji tetap dikedepankan dalam setiap ragam gerak dan wawankatanya karena memang sebenarnya ia adalah seorang laki-laki.

Rias dan Busana

Rias dan busana dalam sebuah tarian merupakan hal yang sangat penting dan segera menarik perhatian karena dari sanalah penonton dapat menafsirkan apa dan bagaimana karakter seorang tokoh pementasan di atas panggung. Sebagai tokoh yang memiliki karakter halus dan manis, rias dan busana tokoh Panji harus disesuaikan untuk mendukung karakter yang diinginkan. Dimulai dari rias wajah, Panji memiliki alis yang ramping dan pada bagian ujung dibentuk agak sedikit naik untuk tetap memperlihatkan sisi maskulinnya. Panji dalam rias wajahnya tidak memakai kumis buatan.

Sementara busana tariannya memakai jenis sesaputan, dengan lelancingan yang dibuat agak panjang dibiarkan terseret. Bila diperkirakan, panjang kain untuk lelancingan ini kurang lebih 4 meter. Tokoh Panji menggunakan baju lengan panjang putih, badong manis, stewel hijau, celana panjang putih dan saput berwarna hijau. Warna hijau di sini dimaksudkan untuk memberi kesan kesejukan dan kedamaian sehingga dapat menunjuang karakter yang diinginkan. Lanjut pada hiasan kepala atau yang bisa disebut gelungan, Panji menggunakan hiasan kepala berbentuk Keklopingan dengan menggunakan bancangan / onggar ( susunan bunga berwarna putih atau kuning ) yang ditempatkan di kedua sisi gelungannya diletakkan lurus ke atas. Pada sisi kiri dan kanan gelungan tepat berada di atas telinga, terdapat perekapat dengan gelenternya yang berupa susunan pernik-pernik mote berwarna kuning emas. Terakhir, pada kedua telinga dipasangkan sepasang rumbing.

Ragam Gerak

Tokoh Panji dalam pementasannya memiliki ragam gerak yang secara kuantitas tidak begitu banyak, namun tetap memerlukan teknik yang baik utnuk melakukannya. Semisal, ngungkab langse dan berjalan milpil, nyalud, ngembat pajeng, matetanganan, nyambir dan ngerajeg. Pada bagian penglembar, gerak tersebutlah yang dilakukan. Sedangkan pada bagian penagkilan maupun peangkat tidak banyak melakukan gerak, karena yang difokuskan adalah wawankata pada para Arya atau Kade-kadean serta pembantu terdekatnya yaitu Turas.

Lakon

Pada pementasan ini, lakon yang diambil masih bersumber pada kisah Malat yang menceritakan penyamaran Panji untuk menculik kekasihnya Dyah Ratna Merta.

Tersebutlah Raden Panji dari kerajaan Jenggala putra mahkota dari Raja Jenggala. Beliau memiliki seorang kekasih yang sangat ayu rupanya bernama Dyah Ratna Merta. Oleh karena tidak disetujui oleh ayahnya, Raden Panji berupaya untuk melarikan diri bersama sang kekasih. Namun untuk menyamarkan tindakannya, Raden Panji berganti nama dan busana agar tidak diketahui orang. Selama dalam penyamaran, nama beliau adalah Kelana Carang Naga Puspa. Dengan dibantu para Arya, dibakarlah pasar kerajaan agar memperoleh kesempatan untuk melarikan diri di tengah kepanikan. Taktik ini berhasil, dimana Raden Panji berhasil mengajak lari kekasihnya.

Tak lama diceritakan bagaimana galau hati sang raja mendengar putranya melarikan diri. Lalu diutuslah Patih Kebo Angun-angun untuk mencari dimana putra mahkotanya berada. Tugas berat itu sanggup diemban sang patih dengan dibantu oleh dua orang bawahannya yaitu Demang dan Tumenggung. Setelah lama pencarian, bertemulah patih dengan Kelana Carang Naga Puspa. Keduanya berdialog dengan tegang dan pecahlah pertempuran diantara patih Kebo Angun-Angun dengan Kelana Carang Naga Puspa. Disanalah penyamaran beliau terbongkar. Patih Kebo Angun-Angun tidak menyangka bahwa lawan yang ia hadapi adalah tuannya sendiri. Kebo Angun-Angun hanya bisa berlutut keheranan dan menyampaikan maksud dan tujuannya agar bisa kembali pulang ke kerajaan karena sang ayah sedang gelisah menunggu. Akhirnya, Raden Panji beserta kekasihnya kembali ke negaranya yaitu Kerajaan Jenggala.

Mengenal Tokoh Panji Dalam Dramatari Gambuh di Bali, Selengkapnya

Etiam commodo convallis

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Sed blandit massa vel mauris sollicitudin dignissim. Phasellus ultrices tellus eget ipsum ornare molestie scelerisque eros dignissim. Phasellus fringilla hendrerit lectus nec vehicula. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas. In faucibus, risus eu volutpat pellentesque, massa felis feugiat velit, nec mattis felis elit a eros. Cras convallis sodales orci, et pretium sapien egestas quis. Donec tellus leo, scelerisque in facilisis a, laoreet vel quam. Suspendisse arcu nisl, tincidunt a vulputate ac, feugiat vitae leo. Integer hendrerit orci id metus venenatis in luctus tellus convallis. Mauris posuere, nisi vel vehicula pellentesque, libero lacus egestas ante, a bibendum mauris mi ut diam. Duis arcu odio, tincidunt eu dictum interdum, sagittis quis dui.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Etiam dictum egestas rutrum. Aenean a metus sit amet massa egestas vulputate sit amet a nisi. Sed nec enim erat. Sed laoreet imperdiet dui fermentum placerat. Donec purus mi, pellentesque et congue at, suscipit ac justo. Pellentesque et augue quis libero aliquam lacinia. Pellentesque a elit vitae nisl vulputate bibendum aliquet quis velit. Integer aliquet cursus erat, in pellentesque sapien tristique vitae. In tempus tincidunt leo id adipiscing. Sed eu sapien egestas arcu condimentum dapibus. Donec sit amet quam ut metus iaculis adipiscing eget quis eros.

Sed id dui dolor, eu consectetur dui. Etiam commodo convallis laoreet. Vestibulum ante ipsum primis in faucibus orci luctus et ultrices posuere cubilia Curae; Vivamus vel sem at sapien interdum pretium. Sed porttitor, odio in blandit ornare, arcu risus pulvinar ante, a gravida augue justo sagittis ante. Sed mattis consectetur metus quis rutrum. Phasellus ultrices nisi a orci dignissim nec rutrum turpis semper. Donec tempor libero ut nisl lacinia vel dignissim lacus tristique. Etiam accumsan velit in quam laoreet sollicitudin. Mauris euismod lacus ut magna placerat ac molestie augue consequat.

Kehidupan Berkesenian di Kota Mataram

Kehidupan Berkesenian di Kota Mataram

Kiriman I Gede Yudarta, SSKar., M.Si., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Kesenian merupakan salah satu sub unsur kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan masyarakat Bali. Ada berbagai alasan mengapa kesenian senatiasa dekat dengan masyarakat Bali, diantaranya: bagi senimannya sendiri di samping sebagai ungkapan estetik, berkesenian juga merupakan wujud persembahan baik kepada masyarakat maupun kepada sang penciptanya. Sedangkan bagi masyarakat kesenian di samping sebagai sarana hiburan, kesenian juga dapat dimanfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan terutama dalam kehidupan beragama. Dari kedua alasan inilah akhirnya muncul berbagai fungsi seni. Bandem dan Dibia (dalam Suandewi, 2001:124) secara khusus mengklasifikasikan tari Bali berdasarkan sifat dan fungsinya menjadi tari wali (sacral), tari bebali (untuk upacara keagamaan) dan tari balih-balihan (untuk tontonan atau hiburan).

Melihat kompleksnya fungsi seni dalam kehidupan masyarakat, bagi masyarakat Bali khususnya dimanapun berada akan senantiasa dekat dengan keseniannya. Sebagaimana dikatakan Suyadnya (2006:9) pada bagian lain dari catatan budayanya,

“bila bertandang pada kampung-kampung tua pada sore menjelang malam. Pada beberapa banjar yang memiliki perangkat gamelan, sayup-sayup akan terdengar suara gamelan yang dimilikinya dimainkan warga setempat, baik gong, angklung maupun rindik. Begitu juga disejumlah bale banjar, bisa dilihat adanya sekelompok teruna-teruni yang sedang belajar menari”.

Kenyataan tersebut menandakan bahwa walaupun berada jauh dari induk budayanya, kesenian Bali masih dilakoni oleh masyarakat pendukungnya. Untuk melihat lebih jauh kehidupan berkesenian di kalangan masyarakat Bali di Kota Mataram, ada beberapa poin yang dapat dijabarkan, diantaranya:

1) Seni Dalam Kehidupan Keagamaan

Masyarakat Bali di Lombok Barat dan khususnya di Kota Mataram secara mayoritas memeluk agama Hindu dan sangat taat melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya. Dalam melaksanakan kehidupan beragama, berbagai jenis upacara keagamaan tercakup dalam Panca Yadnya masih tetap dilaksanakan sebagaimana halnya di Bali. Dalam setiap pelaksanaan masing-masing dari yadnya tersebut masyarakat Bali masih menyertakan kesenian sebagai bagian yang penting. Gamelan, tari-tarian dan wayang masih merupakan bagian dari setiap pelaksanaan upacara keagamaan masyarakat di Kota Mataram. Keberadaan beberapa sekaa Gong Kebyar, Gong Gede, Angklung, Gender Wayang, Smar Pagulingan memiliki peran yang sangat penting dalam berbagai upacara yang dilaksanakan. Sebagaimana yang terjadi di lapangan, pada upacara ngaben yang dilaksanakan oleh seorang warga di Karang Kecicang terdapat beberapa jenis gamelan yang dipergunakan dalam rangkaian upacara tersebut. Terdapat gamelan Gong Gede yang sudah dimainkan hingga upacara selesai, gamelan Angklung yang memainkan tabuh-tabuh petegak (instrumental) serta mengiringi prosesi ke kuburan, serta Gender Wayang yang digunakan untuk mengiringi pesantian dan pada saat ngajum.

Demikian pula dalam pelaksanaan upacara keagamaan lainnya. Kesenian merupakan bagian yang dianggap penting dalam rangkaian upacara keagamaan tersebut. Gamelan contohnya, dari berbagai macam jenisnya, merupakan alat musik tradisional yang sangat penting dalam upacara keagamaan. Sebagaimana dikatakan Johan (2003), disebutkan bahwa gamelan yang dipergunakan dalam prosesi ritual Hindu memiliki andil yang sangat besar dalam menciptakan suasana hati, fikiran dan perasaan umat Hindu dalam keadaan mantap secara psikologis, sehingga memungkinkan untuk melaksanakan prosesi ritual secara sempurna (dalam Donder, 2005:14-15).

Demikian pula dengan tari dan wayang. Sebagaimana dikatakan Suandewi (2001:127), Tari Baris Batek yang dipentaskan pada saat pujawali (upacara) di Pura Lingsar, pada saat purnama ke enem memiliki fungsi khusus atau fungsi utama yang wajib dan harus dilaksanakan. Tarian ini dianggap sacral karena merupakan tradisi yang diwarisi secara turun temurun, sehingga melanggar kebiasaan atau tradisi ini merupakan hal yang tabu bagi masyarakat pendukungnya. Bagi masyarakat Bali dan masyarakat Sasak yang terlibat dalam pelaksanaan upacara Perang Topat, seni sacral di samping merupakan keharusan bagi masyarakat pendukungnya, dari aspek kehidupan sosial kesenian ini merupakan salah satu bentuk toleransi dan harmonisasi dalam kehidupan antar umat beragama. Tingginya nilai religious dalam kesenian ini membuktikan bahwa seni atau kesenian dalam berbagai perwujudannya sebagai hasil karya cipta budaya, memiliki fungsi ritual, yang mana dalam hal ini merupakan fungsi primer atau fungsi utama (Gie,2004; Soedarsono,1999).

Kehidupan Berkesenian di Kota Mataram Selengkapnya

Persepsi Perupa Tentang Mode

Persepsi Perupa Tentang Mode

Jakarta – Bangunan berbentuk kubus itu tersusun dari lempengan-lempengan logam berwarna perak. Masing-masing sisinya memiliki sebuah lubang besar. Dari lubang yang bentuknya berbeda-beda itu kita bisa melongok ruang di dalamnya, menyaksikan tayangan video pada layar televisi yang terpasang di sana. Semacam passion room yang mempresentasikan fantasi, kreativitas, dan hasrat melalui tekstur, visual, dan suara audio untuk memberikan suasana bagi fantasi orang-orang yang melihatnya.

Inilah kreasi eksperimental seniman multitalenta Jay Subyakto dan perancang busana Stella Ressa. Karya instalasi bertajuk Bosex itu dipajang di ruang pamer Galeri Nasional mulai 8-15 Mei 2011 . Kotak perak itu menunjukkan bahwa fashion itu sebuah pilihan yang sangat bebas. “Setiap sisinya mewakili masing-masing pilihan, feminin, maskulin, androgini, dan animal,” jelas Jay.

Jay dan Stella terpilih mewakili seniman-seniman muda tanah air untuk menunjukkan kreativitasnya. Selain mereka, terpilih pula Kiki Rizki yang berkolaborasi dengan Erika Ernawan, Oscar Lawalata, Davy Linggar, Deden Hendan D., Dita Gambiro, dan Ruang Rupa. Mereka bergabung dengan Hussein Chalayan, Antonio Marras, Gaspard Yurkievich, Raf Simons, dan Michael Sontag yang dikenal sebagai seniman besar seni kontemporer Eropa dalam pameran bertajuk Dysfashional #6.

Luca Marchetti, salah seorang kurator pameran ini menjelaskan Dysfashional dirancang sebagai sebuah situs di mana pameran menjadi ruang eksperimen, sebuah tanah eksplorasi baik untuk seniman maupun pengunjung. Dysfahional menurut pria berkebangsaan Italia itu, tidak menyuguhkan fashion dalam wujud pakaian dan sebagainya, tetapi menunjukkan bahwa fashion melampaui obyek yang menjadikannya materi. “Fashion adalah suatu sensibilitas yang tidak stabil,” jelasnya. Fashion dalam pameran ini diinterpretasikan dalam arti seluas-luasnya.

Jakarta sendiri terpilih sebagai kota pertama di luar Eropa yang menyelenggarakan pameran ini. Sebelumnya, Dysfahional yang menampilkan berbagai karya yang diseleksi dua kurator Italia, Luca Marchetti dan Emanuele Quinz, itu digelar di Luxembourg (2007), Lausanne (2008), Paris (2009), Berlin dan Moskow (2010).

Dysfashional #6 digelar di Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) Jakarta, bekerja sama dengan Goethe-Institut Indonesien, Galeri Nasional ,serta Majalah Dewi, dalam rangka pembukaan Festival Seni Prancis 2011. “Acara ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi seniman-seniman Indonesia menampilkan karya-karya kreatif mereka,” jelas Direktur CCF Jakarta David Tursz.

Inda C. Noerhadi, kurator dari Galeri Nasional Indonesia menjelaskan proyek pameran seni ini disiapkan dalam waktu cukup singkat. Rapat pertama antara CCF Jakarta, Goethe-Institut, dan Galeri Nasional digelar pada awal Februari 2011 . Kemudian, pada pertengahan Februari, dua kurator Luca Marchetti dan Emanuele Quinz datang dari Paris untuk bertemu beberapa perancang busana dan seniman Indonesia yang diundang dari berbagai tradisi, generasi, tujuan artistik, dan wilayah kerja yang berbeda, namun memiliki semangat yang sama untuk mendukung Dysfashional.

Rangkaian rapat dan diskusi dilakukan untuk menguatkan tujuan proyek seni ini, yakni bukan untuk mendefinisikan mode, tetapi untuk menekankan fenomena mode yang amat penting dalam evolusi aliran-aliran kreatif baru.

Proses menyamakan ide itu, jelas Inda, bukanlah persoalan mudah. “Ada beberapa kesalahpahaman mengenai topik, bahwa pameran ini sama sekali bukan menampilkan pakaian atau garmen,” jelasnya. Setelah melewati proses diskusi dan dialog, terpilihlah tujuh artis Indonesia (dua perancang busana dan dua seniman) dari latar belakang yang beragam. Mereka diberi kesempatan untuk mengekspresikan visi-visi , dunia, dan imajinasi mereka tentang fashion.

Dua seniman, yakni Dita Gambiro dan Deden Hendan Durahman menyajikan dua karya lama mereka. Duta memamerkan dua karya instalasinya, Mbak Yu dan Savety First yang dibuat pada 2007. Mbak Yu merupakan sebuah rangkaian tujuh sapu yang digantung di dinding dengan ukuran berbeda. “Sapu mewakili peran domestik perempuan,” katanya. Sementara, Safety First adalah lima rangkaian helm yang terbuat dari rambut sintetis, sanggul, aksesoris rambut, helm, dan rotan yang dipajang d atas meja putih. “Helm lebih sebagai lambang perlindungan,” kata Gita.

Lain lagi dengan Deden. Dalam pameran ini, dia memajang dua karya fotografi yang dibuatnya pada 2008. Karya fotografi berukuran 120 x 250 sentimeter berjudul Corpus: Perspective I & II itu dianggap sebagai cerminan pemikiran fundamental yang mengatakan bahwa mode dimulai dari titik nol. Manusia dilahirkan tanpa pakaian dan kemudian ditutupi oleh mode dan menggunakan banyak elemen atau aksesoris untuk memperkuat identitas mereka.

Emanuele Quinz menjelaskan Dysfashional yang berasal dari budaya Eropa telah melahirkan mode kontemporer yang menngandung konsep yang selalu membentuk perkembangan artistik. “Konsepnya sangat sederhana, tapi rumit untuk dipahami,” jelas Emanuele. Setiap seniman diberi kesematan mengeksplorasikan fashion dari sudut pandangnya, baik dalam bentuk karya instalasi, fotografi, dan berbagai medium lainnya.

Kiki Rizky dan Erika Ernawan, misalnya, menyuguhkan perspektif mereka tentang fashion lewat video performance berjudul “Let’s Talk About”. Di video itu, terlihat Kiki dan Erika terus mengoceh soal fashion, tapi satu sama lain “tidak nyambung”. Erika bicara soal sejarah fashion, sedangkan Kiki membaca majalah fashion secara tidak berurutan. “Kami berusaha memahami fashion dengan cara banal. Seperti menjebak diri dalam kenihilan, berawal dari ketiadaan, berakhir pada ketiadaan pula,” jelas Kiki.
NUNUY NURHAYATI

Sumber: tempointeraktif.com

Loading...