by admin | May 26, 2011 | Berita
Wacana ISI Denpasar untuk ‘going internasional’ bukanlah hanya isapan jempol. Dalam kesibukan kampus melaksanakan pementasan ujian TA (Tugas Akhir ) Fakultas Seni Pertunjukan, persiapan pengiriman mahasiswa ke Thailand dan Malaysia, seniman ISI Denpasar mendapat undangan istimewa dalam Konferensi International yang dihadiri oleh Presiden SBY dan delegasi dari negara-negara di dunia untuk menampilakn tari Pendet, Rabu pagi (25/5) di hotel Grand Hyatt, Nusa Dua Bali.
Tari Pendet yang ditarikan oleh mahasiswa ISI Denpasar, yaitu Sri Widyaningsih, Ratih Satria Ningsih, Indrayanti, Ayu Lestari, Lia Candra Dewi, I A Sasrani Widyastuti pada acara The 16th Ministerial Conference and Commemorative Meeting of the Non-Aligned Movement 23-27 May 2011 bertajuk “Shared Vision on the Contribution of NAM for the Next 50 years”, memukau seluruh peserta konferensi.
Para penari pilihan dan berprestasi ini, menari gemulai diiringi tabuh mahasiswa jurusan Karawitan. Ida Ayu Wimba dan Ni Ketut Yuliasih yang mendampingi para penari, serta I Wayan Suharta, Kejur Jurusan Karawitan yang mendampingi para penabuh, tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya dengan keberhasilan mahasiswa, yang telah tampil cantik, walau malam sebelumnya seluruh mahasiswa terlibat dalam pementasan ujian TA para seniornya.
Rektor ISI Denpasar yang dihubungi secara terpisah mengatakan bahwa pihaknya sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Sang Pencipta, atas kelancaran dalam setiap kegiatan kampus ISI Denpasar. “Terima kasih kepada seluruh mahasiswa yang selalu bekerja keras, dan juga para dosen pendamping. Terima kasih pula kepada pihak panitia yang telah memberi kepercayaan kepada ISI Denpasar untuk tampil di ajang internasional ini,”papar Rai didampingi Pembantu Rektor bidang kerjasama I Wayan Suweca,M.Mus.
Humas ISI Denpasar melaporkan
by admin | May 26, 2011 | Berita
NEW YORK.- Agus Suwage, Masriadi, Arahmaiani, dan Heri Dono adalah sejumlah perupa muda Indonesia yang bermunculan dalam sepuluh tahun belakangan. Karya-karya mereka tidak sebatas pada lukisan, tetapi juga memanfaatkan elemen video, kain, atau benda-benda lain yang ditata secara artistik, sehingga lahirlah istilah seni rupa kontemporer.
Mereka inilah generasi baru seni rupa Indonesia, yang sebelumnya didominasi karya-karya Affandi, Basuki Abdullah, Joko Pekik, Hardi dan lain-lain.
Sayangnya, hasil karya kontemporer Indonesia ini tidak banyak dikenal oleh publik internasional. Kesempatan mereka untuk mengadakan pameran di pusat-pusat seni Eropa atau Amerika Serikat, juga tidak sebesar para seniman Cina dan India.
Topik ini diangkat dalam obrolan seni bersama Melissa Chiu, Direktur Asia Society Museum New York, Amerika Serikat Kepada “VOA”, Melissa Chiu mengatakan, pengaruh kemajuan ekonomi dan geopolitik pada kedua negara tersebut tidak dapat diabaikan.
Kurator seni yang bermukim di New York ini menilai Indonesia perlu mengundang kurator internasional, agar karya-karya para perupa muda dapat dikenal luas oleh publik internasional. Peranan kurator yang melakukan seleksi atas setiap karya seni yang dianggap layak dipasarkan secara global, sangat penting untuk membuat calon kolektor memahami makna dari setiap karya.
“Saya kira ini lebih kepada dukungan agar Indonesia lebih banyak lagi mengadakan pameran karya-karya kontemporer, apakah itu pameran tunggal atau pameran bersama. Boleh juga dalam bentuk pameran online lewat internet, karena kami ingin lebih banyak lagi melihat ragam seni kontemporer Indonesia melalui website,” kata Melissa Chiu.
Dari data balai lelang Christie’s Hongkong, sepanjang Mei 2011 terdapat 223 seniman Cina yang berhasil menjual lebih dari 700 karya mereka. Sementara, hanya ada 41 seniman Indonesia, dengan jumlah karya 65 buah.
Dari jumlah tersebut, hanya 8 perupa Indonesia yang karyanya dihargai di atas 100.000 dolar Amerika. Sedangkan 52 seniman Cina berhasil menjual 220 karyanya, dengan harga yang sama.
Tapi, Melissa Chiu percaya, seni kontemporer Indonesia bisa lebih maju. Ia mencontohkan karya-karya Heri Dono, yang bahkan menurutnya cukup layak dipamerkan di The Museum of Modern Art (MoMA), New York.
Sementara itu, pelukis Astari Rasjid mengatakan seni di Indonesia berjalan sendiri-sendiri, tanpa dukungan pemerintah. Situasi ini, menurutnya, jauh berbeda dengan Tiongkok dan India.
“Di Indonesia, tanpa dukungan pemerintah saja kita sudah bila berjalan sendiri, meskipun tidak maksimal. Kalau Cina itu negara besar dengan ekonomi yang mulai maju, dan ini termasuk dalam seninya. India dan Thailand juga. Kita tidak bisa mengemis-ngemis negara lain untuk mempromosikan, karena itu semua harus dari kita sendiri,” katanya.
Sumber: pikiran-rakyat.com
by admin | May 25, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Ida Bagus Gede Surya Peradantha, S.Sn., Alumni ISI Denpasar
Dalam kehidupan masyarakat Bali, Geriya merupakan sebuah rumah atau tempat tinggal bagi seorang pendeta suci Hindu beserta keluarganya. Geriya, secara etimologis berasal dari kata Grha (baca : Griha) dalam Bahasa Sansekerta yang berarti rumah. Dalam perkembangan bahasa, maka kata Grha berubah menjadi kata Geriya. Di dalam Geriya, pada umumnya dapat dilihat dan dirasakan begitu kentalnya nuansa budaya yang tercermin dari berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang di dalamnya.
Di bidang kesenian, Geriya juga merupakan tempat olah seni yang konservatif, khususnya pembelajaran seni tradisional seperti tari dan pedalangan. Hal ini dikarenakan seni tradisional tersebut bersentuhan langsung dengan sumber pustaka suci yang dijadikan sumber acuan dalam setiap isi pementasannya, misalnya tari topeng maupun wayang. Kedatangan orang-orang yang ingin menimba ilmu kesenian tradisional di Geriya Bongkasa menjadikan suasana begitu hidup, di mana interaksi guru dan murid membawa suatu dinamika kehidupan seni yang indah. Pola kehidupan seperti inilah yang menjadi tradisi kehidupan di dalam lingkungan Geriya yang ingin terus dipertahankan.
Salah satu Geriya yang masih kuat mempertahankan tradisi olah spiritual dan olah seni di Bali adalah Geriya Gede Bongkasa. Geriya yang terletak di Desa Bongkasa, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung ini hingga kini masih teguh mempertahankan nilai-nilai di bidang spiritual dan kesenian. Di bidang spiritual, hal ini ditunjukkan dengan adanya tradisi kependetaan yang tidak pernah putus semenjak Geriya Bongkasa berdiri (sekitar tahun 1840). Hingga kini telah ada lima keturunan pendeta yang ada dan akan terus berlanjut.
Cerita indah tentang berkesenian di Geriya Gede Bongkasa diawali sekitar 1890-an yang ditandai dengan adanya seorang dalang bernama Ida Pedanda Gede Singarsa (juga seorang pendeta). Beliau adalah dalang wayang kulit tradisional Bali yang khusus bertutur tentang cerita Ramayana. Pada jamannya, beliau dijuluki dengan sebutan Dalang Bongkasa, yang sangat disegani karena kemampuannya menghayati cerita, olah vokal yang mumpuni dengan ciri khas yaitu ngore (meniru suara kera), tarian wayang yang sangat luwes dan tentu saja taksu yang beliau miliki. Karena hal-hal tersebutlah, beliau selalu mendapat kesempatan melayani permintaan masyarakat untuk memainkan wayang-wayang beliau ke berbagai tempat di seluruh pelosok Bali. Berbagai cerita mengesankan dan juga berbau mistis menghiasi perjalanan beliau dalam mengarungi jagat seni pedalangan.
Kemampuan utama ini lalu diturunkan kepada cucu beliau yaitu Ida Bagus Gede Sarga. Beliau adalah putra pertama dari Ida Pedanda Gede Oka Singarsa dan Ida Pedanda Istri Oka yang lahir pada tahun1906. Seolah sudah menjadi sebuah identitas, julukan Dalang Bongkasa yang melekat pada sang kakek, diturunkan secara alami oleh masyarakat kepada Ida Bagus Gede Sarga. Saban hari, saat masa kecilnya, Dalang Sarga kerap duduk dipangku sang kakek dan mulutnya diludahi dengan sisa kunyahan sirih. “cuiiihhh… cuuuiihh.. dumadak cai lantang tuwuh, cai suba buin mani nerusang taksun kakyange ngewayang” (cuiiihhh… cuuuiihh.. semoga kamu panjang umur, kamulah yang akan meneruskan taksu kakek dalam menarikan wayang kelak), kenang beliau akan harapan sang kakek supaya dirinya menjadi pewaris taksu dalang (Bali Post : 9 November 2003).
Seperti kakeknya, Dalang Sarga juga dibekali ilmu kadyatmikan (kebatinan), ketrampilan menarikan tiap tokoh wayang, pengetahuan cerita dan tentu saja ciri khas trah Dalang Bongkasa yaitu ngore. Salah satu kekhasan beliau yang paling dikenal ialah tarian wayang tokoh Anggada. Identitas yang dahulu telah melekat kuat pada diri sang kakek, kini seolah menjadi semakin melekat di hati masyarakat dengan semakin seringnya beliau pentas memainkan wayang atau pun menjadi dalang sendratari Ramayana pada awal digelarnya Pesta Kesenian Bali pada akhir tahun 1960-an. Penampilan dalang yang selalu berpenampilan necis ini selalu ditunggu-tunggu oleh penikmat seni pada masa itu. Hal ini diutarakan sendiri oleh para seniman yang sempat satu pentas dengan beliau, pun demikian dengan komentar para murid yang sangat hormat pada beliau. Seiring dengan panggilan untuk menjadi pelayan umat sebagai tradisi yang harus dilanjutkan di Geriya, maka Dalang Sarga pun sampai harus menitikkan air mata meninggalkan segala kesenangan dunia luar untuk menapak jenjang kehidupan yang lebih mulia yaitu malinggih, ditasbihkan menjadi seorang pendeta bergelar Ida Pedanda Gede Putra Singarsa pada tahun 1984.
Aktivitas mendalang yang beliau geluti tatkala masih walaka (belum menjadi pendeta), tetap berlangsung namun tak lagi sesukanya untuk pentas ke luar Geriya. Beliau lebih memilih untuk menggelar pementasan wayang ke arah spiritual yaitu ruwatan Sapuleger. Setelah menjadi pendeta, banyak orang yang datang ke Geriya, memohon ilmu pedalangan kepada beliau. Tentu saja, hal ini ibarat penawar rindu akan aktivitas yang membesarkan nama beliau di jagat kesenian Bali. Ida Bagus Gede Mambal, I Made Persib (Kab. Badung), Ida Nyoman Sugata (Kab. Karangasem), dan tak lupa putra beliau sendiri yaitu Ida Bagus Gede Mahardika (kini telah duduk menggantikan ayahnya menjadi pendeta, bergelar Ida Pedanda Gede Giri Sunia Arsa) adalah beberapa dari murid-murid unggul yang beliau miliki. Perjalanan kesenian beliau yang luhur dan penuh kesan sebagai Dalang Bongkasa berakhir pada tahun 2003.
Keberagaman aktivitas kesenian di Geriya Gede Bongkasa tak hanya berhenti sampai di sana. Tempat ini ternyata masih menyimpan seorang putra utama yang digariskan untuk menjadi seorang penari. Beliau adalah Ida Bagus Made Raka Yoga, yang lebih akrab dipanggil Ida Bagus Aji Raka. Beliau adalah adik kandung dari Dalang Bongkasa/Dalang Sarga. Seniman kelahiran tahun 1929 ini dikenal publik sebagai Baris atau Jauk Bongkasa karena keterampilan beliau menarikan tari Baris Tunggal dan Jauk Keras, sehingga identitas tersebut diberikan oleh masyarakat.
Diperlakukan sama oleh kakeknya, Ida Bagus Made Raka dipersiapkan menjadi seorang penari karena menilik bakat yang dimilikinya. Dalam memulai karir kesenimanannya, di usia 10 tahun beliau berguru pada seorang guru tari bernama I Sampih dari desa Ubud, Gianyar sebagai guru tari Kebyar Duduk. Setelah itu, beliau sempat pula berguru pada seniman I Nyoman Kakul dan A.A. Raka Pajenengan dari desa Batuan. Dari I Nyoman Kakul, beliau memperdalam Tari Jauk Keras sedangkan dari A.A. Raka Pajenegan, memperdalam Tari Baris. Dari Desa Batuan beliau melanjutkan perjalanan kesenimanannya menuju seni Pearjaan (Arja).
Untuk mempelajari kesenian tersebut, beliau mendatangi Cokorda Oka Tublen dari Desa Singapadu, Kabupaten Gianyar. Beliau adalah seniman multi talenta yang menguasai berbagai bidang seni seperti menari, menabuh dan juga membuat topeng. Di sana, Ida Bagus Made Raka mendalami teknik menabuh kendang secara intensif. Setelah merasa cukup menguasai, lalu penjelajahan beliau mengarah ke tari Patopengan, dengan mendatangi seniman I Ketut Rindha dari Desa Blahbatuh, Kabupaten Gianyar (Dibia : 2004).
Geriya Gede Bongkasa : Mata Air Kesenian Bali di Masa Lalu, Selengkapnya.
by admin | May 25, 2011 | Berita, pengumuman
PENGUMUMAN (revisi)
Nomor: 935/IT5.1/DT/2011
Diberitahukan kepada Mahasiswa FSRD ISI Denpasar yang telah mendaftar Ujian Tugas Akhir (TA) Semester Genap 2010/2011 bahwa:
1. Pameran akan diadakan tanggal 7 – 15 Juni 2011 bertempat di BENTARA BUDAYA, Jl. Prof. I.B. Mantra.
2. Pengumpulan dan pemajangan karya dikoordinir oleh Bp. I Dewa Putu Gede Budiarta, S.Sn, M.Si.
3. Seluruh mahasiswa TA wajib hadir pada pembukaan pameran yang akan diadakan pada:
Hari/Tanggal : Selasa, 7 Juni 2011
Jam : 17.00 Wita
Pakaian : Atasan putih, bawahan hitam & dasi hitam lengkap dengan jas Almamater.
4. Ujian TA akan dilaksanakan pada tanggal 8 – 17 Juni 2011.
5. Yudisium akan diadakan tanggal 27 Juni 2011.
Demikian kami sampaikan untuk diperhatikan dan dilaksanakan.
Terima kasih.
Denpasar, 25 Mei 2011
A.n. Dekan
Pembantu Dekan I,
Drs. Olih Solihat Karso, M.Sn
NIP. 196107061990031005
by admin | May 25, 2011 | Berita
London – Sebanyak 15 lukisan karya Heri Dono mengenai Raden Saleh dan pemikiran serta pengalamannya digelar dari tanggal 22 Mei hingga 11 September mendatang di Istana Maxen, Jerman.
Pameran yang diselenggarakan Heimat Museum atau museum warisan budaya Maxen mendapat dukung KBRI Berlin, demikian Fungsi Penerangan, Sosial dan Budaya KBRI Berlin, Purno Widodo kepada Antara London, Selasa.
Dalam acara pembukaan pameran ini dihadiri berbagai tokoh politik, seni dan budaya Jerman serta masyarakat pecinta seni di Dresden dan sekitarnya.
Duta Besar RI untuk Jerman Dr. Eddy Pratomo dalam sambutannya menyatakan bahwa Raden Saleh merupakan Duta Indonesia pertama untuk Jerman.
“Raden Saleh telah meninggalkan warisan berupa ikatan persahabatan dan membangun kerjasama konstrukstif bagi dua bangsa yang terpaut jarak dan budaya,” ujarnya.
Raden Saleh meletakkan fondasi hubungan dua bangsa dan juga perdamaian dunia dengan tulisan Jawa yang berarti “Sembahlah Tuhanmu dan Cintai Sesama Manusia” di Masjid Kubah Biru yang dibangunnya di atas tebing, tak jauh dari Istana Maxen.
Masjid Kubah Biru tersebut saat ini menjadi salah satu icon Maxen dan juga daya tarik wisata disana.
Istana Maxen dipilih sebagai tempat penyelenggaraan pameran karena disanalah tempat Raden Saleh pernah tinggal selama beberapa tahun.
Di istana tersebutlah Raden Saleh berinteraksi dengan berbagai seniman, pelukis, penyair, dan musisi elit kala itu, seperti Ludwig Tieck, Robert dan Clara Schumann, Karl Gutzkow, pendongeng Hans Christian Andersen, dan Ottilie von Goethe.
Banyak bangsawan kerap mengunjungi tempat ini untuk menyaksikan karya seni mereka, ujarnya.
Di tempat itu pulalah Raden Saleh berkenalan dengan Raja Sachsen Coburg dan Gotha Ernst II serta istrinya, Alexandrine.
Satu lukisan akrilik berjudul Express yang menggambarkan jeep dengan penumpang yang terlihat tidak nyaman diatasnya merupakan salah satu dari lima belas lukisan yang sangat menarik perhatian tak kurang dari seratus pengunjung Istana Maxen yang terletak sekitar 20 Km dari pusat Kota Dresden, Jerman.
Tokoh dalam lukisan tersebut menggambarkan seorang priyayi Jawa yang merupakan personifikasi Raden Saleh dan kegalauannya berjalan sendirian ditengah bingkai pikiran orientalisme, ketegangan kolonialisme, dan beban mental “inlander” yang menjangkiti warga pribumi yang terjajah pada saat itu.
Hal tersebut yang berusaha ditangkap Heri Dono, seniman kontemporer Indonesia yang sangat sukses saat ini dengan membawa aliran post expressionims dan cubism.
Pameran lukisan bertajuk Homage to Raden Saleh dalam rangka memperingati 200 tahun lahirnya Raden Saleh bertempat di Istana Maxen, Dresden tempat Raden Saleh sempat tinggal dan menghasilkan karya-karya besarnya di Jerman 150 tahun lalu.
Jejak Raden Saleh sebagai pelukis masyhur dari tanah Jawa yang dihormati sangat jelas terlihat di Dresden. Dresden bagi Raden Saleh sangat berperan dalam memberinya inspirasi luar biasa sehingga dirinya berhasil menyelesaikan lukisan-lukisannya dengan cepat dan banyak.
Perpaduan antara Dresden sebagai kota seni budaya dan keindahan panoramanya telah membuatnya semakin kreatif dan betah tinggal beberapa tahun lamanya.
Interaksi Raden Saleh dengan berbagai tokoh terkemuka Jerman, Belanda, Perancis, Denmark bahkan Aljazair pada saat itu dengan tetap membawa identitasnya sebagai warga pribumi yang dipandang eksotis dan sejajar dengan bangsa lain tak pelak menjadikan Raden Saleh sebagai representasi Indonesia di jamannya.
Selain sambutan Pemilik Istana Maxen Herr Peter Flache, Anggota Parlemen Jerman dari Dresden Herr Klaus Breming serta Dubes RI Dr. Eddy Pratomo, dalam acara pembukaan tersebut ditampilkan Tari Legong Keraton Bali dan Topeng Kelono Jawa dari KBRI Berlin.
Dr. Werner Kraus seorang ahli Raden Saleh juga berkesempatan memberikan paparannya kepada pengunjung pameran.
Berbagai brosur dan buku pariwisata Indonesia juga disediakan KBRI Berlin di tempat penyelenggaraan semakin meningkatkan pengetahuan masyarakat Dresden mengenai Indonesia, tempat Raden Saleh berasal.
Sumber: antaranews.com