Kiprah ISI Denpasar Dalam Pembukaan PKB 2011

Kiprah ISI Denpasar Dalam Pembukaan PKB 2011

“Dewabharata Putra Gangga bersumpah,Wahai para Dewata, aku bersumpah tidak akan menjadi raja Hastina.Dengan tulus ikhlas, mahkotaku akan kuberikan kepada putra Satyawati. Wahai para dewata agung, aku, Dewabharata bersumpah, tidak akan kawin sepanjang hayatku. Dengarlah, mulai detik ini aku seorang brahmacari“. Demikianlah sepenggal narasi oratorium Bisma Dewabharata berkumandang agung di panggung terbuka Ardha Candra dalam acara pembukaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke XXXIII dengan tema Desa, Kala, Patra, Adaptasi diri dalam multikultur, Jumat malam (10/6) yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudoyono beserta Ibu Negara, Menbudbar, Gubernur Bali serta undangan lainnya. Penampilan ISI Denpasar malam itu mengundang decak kagum seluruh undangan yang hadir malam itu.

ISI Denpasar yang setiap tahunnya selalu tampil dalam kegiatan PKB, kali ini mempersembahkan oratorium  yang melibatkan 175 mahasiswa  dan dosen dari fakultas seni pertunjukan, dengan iringan gamelan Gong Gede. Selain itu, ISI Denpasar juga mempersembahkan tari penyambutan (Pendet) yang dibawakan oleh mahasiswa Dharmasiswa  asal Jepang berkolaborasi dengan murid- murid dari SLB. Paduan suara ISI Denpasar  juga tampil malam itu, dengan membawakan lagu Indonesia Raya.

Pada acara pawai yang diadakan pada hari Sabtu (11/6), ISI Denpasar tampil terdepan dengan Adi Merdangga, yang telah ada sejak tahun 1984 serta tarian kolosal Siwa Nata Raja  mengawali atraksi budaya pembukaan PKB tersebut. Penampilan tim ISI Denpasar dalam atraksi budaya dimulau dari depan bangsal Jaya Sabha Gubernuran Denpasar hingga Taman Budaya Denpasar, tempat berlangsungnya aktivitas seni tahunan di Bali itu. Disusul dengan duta seni dari delapan kabupaten dan satu kota di provinsi itu.

Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Rai S.,M.A. yang hadir dalam acara tersebut, tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya atas sukses ISI Denpasar dalam acara pembukaan dengan penampilan Oratorium Bisma Dewabharata maupun Adi Merdangga dan Tari Siwa Nata Raja.”Semua ini adalah berkat tuntunan Tuhan, serta kerja keras seluruh keluarga besar ISI Denpasar. Semua hasil dari kerja keras kita adalah untuk membangun Bali, serta bangsa Indonesia yang kita cintai,”ujar Prof. Rai seraya tersenyum.

Humas ISI Denpasar melaporkan

Lomba Foto Sadar Wisata: Giatkan Kecintaan Wisata dengan Lomba Foto

Lomba Foto Sadar Wisata: Giatkan Kecintaan Wisata dengan Lomba Foto

Masyarakat yang gemar berwisata sekaligus hobi memotret bisa lebih mengeksplorasi bakatnya lewat lomba foto Sadar Wisata 2011. Lomba yang diselenggarakan Direktorat Pemberdayaan Masyarakat, Ditjen Pengembangan Destinasi Pariwisata (Ditjen PDP) Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) ini menyiapkan total hadiah Rp 50 juta.

Direktur Pemberdayaan Masyarakat Kemenbupar Drs. Bakri, MM mengatakan, lomba ini bertujuan untuk menggalakkan kesadaran masyarakat agar semakin mencintai daerah wisata di Tanah Air. “Kami berharap komunitas fotografi dan masyarakat umum bisa mengikuti lomba ini, sekaligus untuk menginformasikan daerah tujuan wisata di Indonesia, “kata Bakri saat jumpa pers di Gedung Sapta Pesona kantor Kementerian Budpar Jakarta, Kamis (9/6).

Tema lomba foto kali ini “Peran Masyarakat dalam Menggalakkan Sadar Wisata di Destinasi Pariwisata Melalui Penerapan Sapta Pesona”. Lomba ini telah berlangsung sejak 1 Maret lalu dan penyerahan karya foto masih ditunggu hingga 24 Juni mendatang. Hingga kini sudah ada 210 foto yang masuk ke meja dewan juri. Masih banyak waktu dan kesempatan untuk mengirimkan foto tersebut. “Syaratnya mudah, yang penting foto itu bisa menggerakkan orang yang melihat untuk datang dan berkunjung ke destinasi wisata tersebut, “ujar Bakri.

Ada lima dewan juri yang akan menilai foto-foto tersebut yakni Sigit Pramono (Ahli fotografi ” BCA), Arbain Rambey (Fotografer – Kompas), Darwis Triadi (Darwis Triadi – School of Photography), Bambang Wijanarko (Komunitas Fotografi Budpar), dan Hilda Sabri (Wartawan Bisnis Indonesia). Kelima dewan juri tersebut akan melakukan penilaian terhadap foto yang bertema Sapta Pesona, yakni Aman, Tertib, Bersih, Sejuk, Indah, Ramah, dan Kenangan.

Fotografer kawakan Indonesia, Darwis Triadi berujar, untuk menghasilkan sebuah foto yang bagus tidak perlu menggunakan kamera yang mahal. Tidak perlu yang mahal. Zaman sekarang kamera pocket digital sudah banyak dijual di pasaran dengan harga murah dan kualitas bagus. “Apalagi kalau yang dipotret tempat yang memang sudah indah. Tidak perlu ragu, capture, lalu kirimkan pada kami,” ujarnya.

Ketua Dewan Juri, Sigit Pramono juga menyampaikan hal senada. Ini semua bisa menjadi sumbangan kecil bagi pariwisata di Indonesia. Kita semua sudah tau, negeri kita adalah negeri yang indah, namun sayang banyak warganya yang tidak sadar akan hal itu, ujarnya sambil berharap masyarakat mau ikut mempromosikan daerah wisatanya melalui lomba ini.

Adapun karya foto terbaik dan masuk dalam nominasi juara lomba akan dipamerkan di Mal Artha Gading – Jakarta Utara selama tiga hari pada 22 hingga 24 Juli 2011 mendatang.

Sumber: budpar.go.id

Instrumen Musik Minangkabau Kelompok Aerophone

Instrumen Musik Minangkabau Kelompok Aerophone

Kiriman: Wardizal Ssen., Msi., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Saluang Darek

Merupakan jenis instrumen musik tiup yang sangat popoler di Minangkabau. Dinamakan saluang darek, karena tempat tumbuh dan berkembangnya instrumen ini terutama di daerah darek (daratan) Minangkabau yang lebih dikenal juga dengan sebutan Luhan Nan Tigo (luhak Agam, Luhak Tanah Datar dan luhak Lima Puluh Kota). Saluang Darek terbuat dari bambu talang (sejenis bambu tipis) yang mempunyai ruas yang panjang. Talang yang baik untuk dijadikan saluang adalah talang yang agak tebal. Besar dan panjang saluang darek tergantung pada keinginan orang yang membuat atau si peniup saluang itu sendiri. Walaupun ukuranya tidak pasti, pada umumnya orang membuat saluang darek mempunyai garis tengah lebih kurang 3 s/d 3.5 centimeter. Saluang darek mempunyai 4 (empat) buah lobang nada dengan keadaan ujung dan pangkal saluang tetap bolong. Bunyi dihasilkan melalui tiupan pada salah satu sisi yang bolong tersebut.

Dilihat dari segi bentuknya, instrumen musik saluang darek termasuk jenis end blown flute (tidak mempunyai lidah). Fungsi yang utama dari saluang darek adalah sebagai alat untuk mengiringi dendang (musik vokal Minangkabau). Di damping itu, juga difungsikan sebagai hiburan pribadi bagi anggota masyarakat yang dimainkan secara tunggal, sebagai ungkapan perasaan yang tak mungkin disampaikan pada orang lain.

Saluang Pauah

Jenis instrumen musik keluarga aerophone dan mempunyai lidah (wistle flute) yang sangat dikenal di daerah Pauah IX (Pauh sembilan) dan Pauah V (Pauh lima) Kota Madya Padang. Saluang ini mempunyai enam buah lobang nada dengan teknik meniup hampir sama dengan recorder. Saluang pauah biasanya digunakan untuk mengiringi dendang kaba dalam acara adat di daerah Pauah dan sekitarnya yang pelaksanaanya dilakukan pada malam hari sampai menjelang subuh. Pertunjukan Saluang Pauah dalam konteks upacara adat lebih bersifat hiburan untuk memeriahkan upacara.

Saluang Sirompak

Bentuk lain dari instrumen musik keluarga aerophone yang berkembang di Minangkabau jenis end blown fulte (tidak mempunyai lidah). Saluang Sirompak tumbuh dan berkembang terutama di daerah Taeh Barueh Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Saluang Sirompak mempunyai lima buah lobang nada dengan ketentuan empat buah lobang nada terdapat pada bagian atas, dan satu buah lobang nada terdapat pada bagian belakang (sejajar atau tepat di bawah lobang nada keempat).

Pada masa dahulu, fungsi yang utama dari saluang sirompak adalah sebagai alat untuk mengiringi dendang yang lebih dikenal dengan dendang sirompak. Dendang dan saluang sirompak merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pertunjukan musik sirompak, suatu pertunjukan yang bersifat ritual magi. Tradisi pertunjukan sirompak biasanya difungsikan untuk mempengaruhi orang lain melalui kekuatan magi yang dihimpun dari unsur-unsur pertunjukan. Pertunjukan sirompak menurut tradisi kuno terdiri dari musik dan tari. Biasanya dimainkan oleh 3 s/d 5 orang; satu atau dua orang bertindak sebagai peniup saluang; satu atau dua orang lagi bertindak sebagai pendendang dan satu orang sebagai penari, yang kesemuanya adalah laki-laki. Peranan penari dalam pertunjukan sirompak sangat penting. Kehadiranya tidak hanya semata-mata sebagai penari, akan tetapi lebih dari itu adalah sebagai pawang atau pemimpin pertunjukan (Yuniarti, 1990:35).

Oleh karena ada salah penggunaan terhadap saluang sirompak di masa lalu, sampai sekarang saluang sirompak tidak mengalami perkembangan yang berarti. Namun demikian, sisa-sisa kesenian ini masih bisa ditemui, akan tetepi penggunaanya sangat terbatas. Kadang-kadang masih dilakukan ditempat terpencil yang jauh dari lingkungan masyarakat banyak. Kecuali kalau digunakan sebagai kesenian saja, seperti yang dipelajari di STSI Padang Panjang.

Saluang Panjang

Intrumen musik keluarga aerophone jenis wistle flute (tidak mempunyai lidah) berkembang terutama di daerah Sungai Pagu, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Oleh karena itu, jenis instrumen saluang ini sering juga disebut dengan saluang sungai pagu. Instrumen saluang panjang mempunyai 3 (tiga) buah lobang nada dengan ketentuan: 2 (dua) buah lobang nada terletak pada bagian atas dan satu buah lobang nada terletak pada bagian bawah. Saluang panjang biasanya difungsikan untuk mengiringi dendang, khusunya dendang-dendang yang berkembang di daerah Sunagi Pagu. Pertunjukannya dilaksanakan dalam rangka memeriahkan upacara adat.

Sampelong

Jenis instrumen keluarga aerophone, berkembang terutama di daerah Mungka, Kecamatan Guguk, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Instrumen Sampelong mempunyai 4 (empat) buah lobang nada yang terletak pada bagian atas. Kehadiran sampelong pada masa dahulunya sangat erat dengan kepercayaan gaib, karena sampelong ini harus dilengkapi dengan syarat-syarat tertentu untuk mengunakannya. Tempat memainkannya harus jauh dari keramaian. Sama halnya dengan saluang sirompak, pada masa dahulu sampelong digunakan sebagai kekuatan magi untuk menggilakan anak gadis orang karena menolah cinta seorang pemuda. Syarat-syarat untuk memainkan sampelong antara lain: kemeyan, tulang tengkorak manusia dan limau purut (Erizal, 1990:55). Pada masa sekarang sudah terjadi pergeseran fungsi pertunjukan sampelong, kehadiranya tidak lagi sebagai kekuatan magi dan dimainkan ditempat sunyi. Akan tetapi lebih berfungsi sebagai seni hiburan .

Instrumen Musik Minangkabau Kelompok Aerophone, selengkapnya

Tari Asal Bali Utara Berduel Mesra Di Bali Selatan

Tari Asal Bali Utara Berduel Mesra Di Bali Selatan

Kiriman: Kadek Suartaya, S.Skar., Msi., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Pada tahun 1950-an, di Bali Utara menguak dua karya seni pentas yaitu tari Tarunajaya dan tari Wiranjaya. Kedua ungkapan cipta seni tari ini bersaing sengit merengkuh kedigjayaannya. Tari Tarunajaya merupakan kebanggaan masyarakat Dangin Enjung (Buleleng Timur) sedangkan tari Wiranjaya adalah maskot seni pentas kebyar masyarakat Dauh Enjung (Buleleng Barat). Dalam gelanggang gamelan mebarung Gong Kebyar yang gencar digelar saat itu, khususnya saat pertemuan antara para seniman Dangin Enjung versus Dauh Enjung, Tarunajaya dan Wiranjaya ditampilkan dengan sarat euforia, heboh, dan bergengsi.

Namun setelah lebih dari setengah abad rivalitas dua karya tari seniman Bali Utara itu senyap, Sabtu (19/2) malam lalu, tari Wiranjaya dan Tarunajaya berduel di Jaba Pura Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar. Adalah ISI Denpasar dalam kesempatan ngayah melakukan pengabdian masyarakat di Sukawati–berkaitan dengan sebuah piodalan–menyajikan gamelan serta aneka tari klasik dan kreasi. Di antara puspa ragam tari yang disuguhkan adalah tari Tarunajaya dan tari Wiranjaya. Penonton yang penuh sesak menyimak dengan antusias seluruh pementasan. Penampilan Wiranjaya dan Tarunajaya diapresiasi penuh gairah.

Pada awal pemunculannya dulu, Tarunajaya dan Wiranjaya memang sempat bersanding dan bersaing ketat. Tetapi dalam perjalanannya kemudian, masyarakat Buleleng dan Bali pada umumnya lebih mengenal tari Tarunajaya sementara tari Wiranjaya sendiri redup dan tenggelam. Kukuhnya eksistensi tari Tarunajaya di tengah masyarakat pecinta seni tak lain dari peran sekolah kesenian Konservatori Karawitan (Kokar) Bali dan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar. Masyarakat penonton masa kini umumnya hanya mengenal tari Tarunajaya style Kokar/ASTI  tersebut.

Sejatinya, tari Tarunajaya dan Wiranjaya lahir dari rahim yang sama yaitu tari Kebyar Legong, sebuah seni pentas gaya bulelengan ciptaan Pan Wandres dari Desa Jagaraga. Disebut Kebyar Legong karena tari yang menggabungkan elemen-eleman tari klasik Bali ini, dikagumi sebagai seni pentas tari yang luwes-dinamis bak Legong yang diiringi Gong Kebyar. Ada pula dugaan ia disebut Kebyar Legong karena pada sebuah koreografinya memasukkan secara kental penggalan tari Legong Keraton, tari klasik yang berkembang di Bali Selatan. Namun yang pasti, Kebyar Legong yang di  masa lalu selalu ditampilkan dalam tradisi gamelan mebarung di Bali Utara tersebut, menjadi stimulasi kegairahan berkesenian dan sumber inspirasi utama lahirnya tari Tarunajaya di Dangin Enjung dan Wiranjaya di Dauh Enjung.

Tersebutlah  seniman tabuh dan tari I Gede Manik, penari pertama dari tari Kebyar Legong. Pada suatu saat, Gede Manik menunjukkan jati dirinya sebagai seorang kreator tari. Berorientasi dari tari Kebyar Legong yang sering dibawakannya, ia menggagas karya tari Kebyar Legong versi lain, lebih pendek durasinya namun tetap menunjukkan karakteristik tari yang dinamis. Tari yang bernuansa gelora taruna nan heroik ini tidak mempunyai nama, hanya dikenal sebagai tari kebyar Dangin Enjung. Pada suatu hari, tahun 1950, ketika ditampilkan di depan Bung Karno dan tamu-tamunya di sebuah hotel di Denpasar, presiden yang dikenal sebagai penyayang seni itu tak menyembunyikan ekspresi takjubnya terhadap pentas tari yang begitu energik dengan dukungan tatabuhan gamelan yang gegap membuncah. Soekarno kemudian memberi nama karya tari tersebut Tarunajaya, taruna yang digjaya.

Tari Tarunajaya memesona penonton hingga kini. Ekspresi estetik yang disajikan dan gelora optimistik yang dipancarkan masih menggugah,  berhasil menembus selera estetik masyarakat Bali secara lintas zaman. Simaklah, betapa dinamisnya ungkapan estetik pada tari yang dibalut dengan busana ornamentik ini. Betapa berbinarnya semangat pantang menyerah yang terasa dalam tampilan gerak, mimik dan ayunan lincah iringan gamelannya. Demikian juga penampilan tari Tarunajaya di Wantilan Pura Desa Sukawati, malam itu, mengundang decak kagum penonton. Dosen ISI, I Wayan Suweca, yang dikenal sebagai maestro kendang tampil virtuoso mengomandoi iringan tari ini. Ayu Larasari, Juara I Tari Tarunajaya Se-Bali 2011, bersama tiga rekannya menggebrak dengan daya pukau nan menyengat.

Keperkasaan Tarunajaya di tengah masyarakat Bali masa kini rupanya menggedor rasa jengah Wiranajaya. Dibawakan oleh enam orang mahasiswi ISI, malam itu, Wiranjaya  tak kalah membuncah. Tari yang diciptakan tahun 1958 oleh Ketut Merdana dan Putu Sumiasa dari Desa Kedis, Busungbiu, Buleleng ini bertutur tentang para kesatria Pandawa yang sedang berlatih memanah. Kendati tata busananya bernuansa pewayangan, tetapi struktur dan konstruksi koreografi serta iringannya tampak dan terasa mirip dengan Tarunajaya. Walau terasa mirip dengan “kompetitor“nya—karena memang keduanya bersumber dari embrio Kebyar Legong–daya pesona Wiranajaya tak kalah menggigit. Penonton dibuat terkagum-kagum.

Tari Asal Bali Utara Berduel Mesra Di Bali Selatan, selengkapnya

Lima Provinsi Ikuti Festival Film di Bali

Lima Provinsi Ikuti Festival Film di Bali

Lima provinsi di Indonesia mengikuti festival film dokumenter untuk memeriahkan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-33 di Taman Budaya Denpasar, Bali, 10 Juni hingga 8 Juli 2011.

“Sedikitnya 27 judul film sudah masuk ke panitia untuk selanjutnya diseleksi oleh satu tim dari unsur film internasional, nasional dan lokal Bali,” kata pelaksana festival film dokumenter Bali, Maria Ekaristi, di Denpasar, Kamis.

Ia mengatakan, kelima provinsi yang ikut serta dalam kegiatan tersebut meliputi Aceh, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jakarta, dan tuan rumah (Bali).

Tim juri dari unsur internasional adalah lain Dr. Lawrence Blair, pakar film dokumenter dari Inggris, unsur nasional diwakili Hadi Hartono serta unsur lokal diwakili Prof. Dr. Wayan Dibia dan Rio Helmi melakukan seleksi terhadap film-film yang masuk ke panitia.

Sepuluh judul film terbaik hasil seleksi tim juri diputar di Gedung Ksiarnawa, Taman Budaya Denpasar, selama PKB berlangsung, yang akan dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jumat (10/6).

Bali mempersiapkan diri secara matang menjadi tuan rumah festival film dokumenter dengan harapan generasi muda Bali mulai tertarik menekuni industri kreatif produksi film.

Upaya tersebut diawali pada bulan Februari lalu mengadakan lokakarya film dokumenter dengan menampilkan sejumlah pembicara antara lain Dr Lawrence Blair, pakar pembuat film dokumenter Inggris.

Kegiatan tersebut melibatkan pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali, dengan harapan mereka tertarik membuat film dokumenter.

Menurut Kasi Perfilman dan Perizin pada Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Wayan Dauh, dari lokakarya tersebut, Dr. Lawrence Blair mempunyai kepedulian untuk memajukan perkembangan film dokumenter di Pulau Dewata.

Jalinan kerja sama itu termasuk dalam menyukseskan festifal film dokumenter terkait pelaksanaan PKB, yang diharapkan tetap dapat berlangsung pada pelaksanaan PKB di masa-masa mendatang.

Dengan demikian materi PKB bertambah selain festival film dokumenter, juga pawai budaya, pementasan, perlombaan, sarasehan serta pameran industri kecil dan kerajinan rumah tangga, tutur Wayan Dauh.

Sumber: budpar.go.id

Loading...