Indonesia Cetak Rekor Dunia Permainan Angklung di Amerika

Indonesia Cetak Rekor Dunia Permainan Angklung di Amerika

New York  – Indonesia berhasil menggalang pembuatan rekor dunia “Guinness World Records” permainan angklung dengan peserta multibangsa terbanyak setelah lebih dari 5.000 orang mampu memainkan lagu “We Are the World” di Washington DC, Amerika Serikat, Sabtu petang (9/7).
Lagu ciptaan Michael Jackson dan Lionel Richie itu berhasil dimainkan para peserta di bawah panduan yang diberikan oleh Daeng Udjo dari Saung Angklung “Udjo” di Bandung, Jawa Barat.
Pencetakan rekor dunia itu berlangsung di taman National Mall-Washington Monument, yang lokasinya antara lain menghadap Capitol Hill (Gedung Kongres AS) serta berseberangan dengan Gedung Putih, yaitu kantor dan kediaman resmi Presiden AS.
Para peserta yang masing-masing mendapatkan sebuah angklung serta syal batik atau ikat kepala khas Bali saat memasuki arena, mengikuti panduan Daeng Udjo dengan membunyikan angklung berdasarkan salah satu nama pulau di Indonesia yang tercantum pada angklung mereka.
Nama-nama pulau tersebut –Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi, Lombok, Maluku, Flores, Papua, Halmahera– secara berurutan menggambarkan not do-re-mi-fa-so-la-ti-do-re (atas)-mi (atas).
Peserta membunyikan angklung masing-masing saat Daeng Udjo memberikan tanda not-not tersebut dengan menggunakan berbagai bentuk tangan.
Dari atas panggung, Daeng melatih para peserta memainkan beberapa lagu termasuk “Take Me Home, Country Roads” ciptaan John Denver, Taffy Nivert, dan Bill Danoff, sebelum akhirnya masuk ke lagu resmi pencetakan rekor, “We Are the World“.
Sebelum pengumuman, juri dari pihak “Guinness World Records” mengaku terkesima dengan kenyataan bahwa banyak peserta sebelumnya sama sekali tidak pernah memegang angklung namun pada Sabtu sore di National Mall bisa bersama-sama memainkan “We Are the World“.
“Ini di luar dugaan. Saya tadi di panggung hampir menangis,” kata Duta Besar Indonesia untuk AS, Dino Patti Djalal, kepada ANTARA, tentang kepastian yang diumumkan pihak “Guinness World Records” dari atas panggung bahwa rekor angklung berhasil dicetak dengan peserta mencapai 5.182 orang.
Sebelumnya pada Sabtu siang, Dino mengaku tidak dapat memprediksi berapa –dari target 5.000 orang– yang akan hadir memainkan angklung untuk mencetak rekor.
“Hanya 1.000 orang pun bisa mencetak rekor kalau bisa memainkan lagu,” tuturnya.
Hingga Jumat (7/7), calon peserta yang terdaftar baru mencapai 1.600 orang.
Pembuatan rekor dunia permainan angklung itu juga diikuti dari atas panggung oleh sejumlah tokoh, termasuk Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan, Duta Besar RI untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York Hasan Kleib, Managing Director Bank Dunia Sri Mulyani serta pengusaha dan promotor musik Peter Gontha.
Selain pencetakan rekor dunia permainan angklung, hari Sabtu di tempat yang sama juga dijadikan sebagai Festival Indonesia dan hari perayaan multikulturalisme.
Festival menghadirkan sejumlah artis Indonesia, seperti Sherina, Elfa`s Singers, Denada, Balawan serta artis mancanegara termasuk Brazilian Percussion, Interfaith Concert hingga kelompok musik kondang dari Australia, Air Supply.

Sumber: antaranews.com

Seniman Bali Menerima Penghargaan Pemerintah RI

Seniman Bali Menerima Penghargaan Pemerintah RI

Kiriman: Ida Bagus Gede Surya Peradantha SSn., Alumni ISI Denpasar

Pada tanggal 5-7 Juli 2011, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, mengadakan sebuah acara penghargaan tahunan yang diberikan kepada mereka yang tekun dan sungguh-sungguh mengabdi di dunia seni budaya.  Ada empat kategori yang disediakan oleh Kemenbudpar RI kali ini yauti : 1. Bidang Maestro Seni Budaya, 2. Bidang Pelestari dan Pengembang Warisan Budaya, 3. Anugerah Seni dan 4. Anak/Remaja/Pelajar yang Berprestasi di Bidang Seni Budaya.

Masyarakat Bali saat ini pantas berbangga diri, karena salah satu putra-putri terbaiknya di bidang seni tari kembali mendapat penghargaan bergengsi tingkat nasional oleh pemerintah pusat di Jakarta. Acara bertajuk “Penghargaan Maestro Seni Tradisi dan Anugerah Kebudayaan Tahun 2011” ini diberikan kepada mereka yang telah berjasa dan mendedikasikan dirinya di bidang seni budaya. Setelah tahun lalu (2010) seniman Bali I Made Sija menerima penghargaan dari pemerintah pusat, kali ini adalah (alm.) Jero Puspawati, seniwati dramatari Arja, dari Geriya Bongkasa, Abiansemal, Kab. Badung, Bali. Beliau mendapat penghargaan di bidang Maestro Seni Tradisi. Penghargaan Kali ini diserahkan oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono yang diwakili oleh Wakil Presiden Boediono beserta Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Ir. Jero Wacik kepada perwakilan (alm.) Jero Puspawati yaitu Ida Ayu Wimba Ruspawati selaku putri sulung beliau.

Jero Puspawati adalah seorang seniman yang bergelut khusus di bidang seni tradisi Dramatari Arja. Dilahirkan sekitar 77 tahun yang lalu di Desa Pejeng, Kab. Gianyar, beliau terlahir dengan nama Ni Wayan Sembo. Sejak umur 7 tahun, beliau memulai karir berkesenian secara otodidak. Hal ini dipelajari langsung dari ayahnya yang bernama I Raos yang pada jamannya dikenal sebagai pemeran tokoh Pandung dalam dramatari Calonarang yang cukup populer karena penguasaan teknik serta penjiwaannya. Beliau sangat rajin mengikuti kiprah ayahnya pentas kesana-kemari demi sebuah pengalaman sekaligus menjalankan kegemarannya menyaksikan orang menari. Dari berbagai pengalaman-pengalaman menonton tersebutlah, secara tidak disadari ketajaman intuisinya akan seni tradisi menjadi terasah. Tak heran, ia pun dengan mudah menghafal urutan pementasan karakter-karakter yang terdapat dalam dramatari Arja.

Bakat emas ini ternyata cepat disadari oleh ayahnya kala itu. I Raos kemudian mengajarinya tembang-tembang Sekar Alit sebagai modal utama dalam memerankan tokoh dalam opera tradisional tersebut. Karena memang sudah memiliki potensi unggul, Ni Sembo tak membutuhkan waktu lama untuk menguasai berbagai pupuh yang diajarkan ayahnya. Selanjutnya, perjalanan karir keseniannya di dramatari Arja pun dimulai. Pelatihannya dimulai dari belajar tari Condong, lalu beralih ke Mantri Manis, Mantri Buduh, lalu berakhir di tokoh Limbur. Seiring dengan meningkatnya jam terbang pementasan beliau, maka semakin matanglah pengalaman di bidangnya. Pun demikian dengan kematangan penokohan karakter yang mulai mengarah secara spesifik. Setelah demikian lama berlatih dan pentas, akhirnya beliau dikenal cocok membawakan tokoh Mantri Buduh dan Limbur. Identitas pun disematkan oleh masyarakat kepada beliau sebagai Mantri Buduh Pejeng atau Limbur Pejeng, karena memang berasal dari Pejeng, Gianyar.

Karena kemampuan serta pengalamannya itulah, beliau sempat tergabung dengan berbagai seniman dramatari Arja yang terkenal dan pentas di seluruh Bali. Beliau sempat bergabung dalam grup Arja Singapadu yang disesaki oleh seniman-seniman besar seperti (alm.) Tjokorda Oka Tublen, (alm.) I Wayan Geria, (alm.) I Made Keredek, serta sering pentas bersama seniman besar (alm.) I Ketut Rindha dari Blahbatuh, Gianyar, (alm.) Jero Suli dari Denpasar serta pasangan punakawan (alm.) I Sadru dan (alm.) I Monjong dari Keramas, Gianyar. Dengan seniman-seniman tersebutlah, Ni Sembo sering bertukar pikiran, berdialog dan tanpa sungkan-sungkan menggali ilmu pada siapapun. Oleh karenanya, interaksi yang intensif dengan seniman berbagai karakter di luar desanya membuat Ni Sembo semakin diperhitungkan di jagat dramatari Arja pada jamannya.

Pada tahun 1952, Ni Sembo sempat mengadakan pentas tari Arja ke Lombok bersama grup ayahnya. Beliau kesana atas undangan komunitas Bali yang rindu akan seni tradisional di tanah leluhurnya. Di tempat inilah beliau bertemu dengan Ida Bagus Made Raka, seniman besar Bali yang berasal dari desa Bongkasa, kec. Abiansemal, Kab Badung. Mereka pun saling jatuh hati dan tak lama kemudian melangsungkan proses pernikahan. Ni Sembo resmi menikah ke Geriya Gede Bongkasa dan berganti nama menjadi Jero Puspawati. Karir keseniannya di bidang dramatari Arja bukannya terganjal karena menikah dan mengurusi rumah tangga, namun sebaliknya, justru semakin berkibar berkat dukungan sang suami. Ida Bagus Made Raka yang tak hanya dikenal tangguh sebagai Baris atau Jauk Bongkasa, juga dikenal sebagai juru kendang tari Arja yang sangat mahir. Atas prakarsa mereka berdua bersama Ida Pedanda Gede Putra Singarsa (alm.) yang juga dikenal sebagai Dalang Bongkasa pada masa lalu, terbentuklah grup kesenian Parwa Agung yang berbasis di desa Blahkiuh, Kec. Abiansemal, Kab. Badung. Grup ini sangat terkenal pada masanya dan hingga kini masih tetap eksis. Selain itu, mereka pun secara berpasangan mengabdikan diri memenuhi permintaan masyarakat di berbagai desa di Bali untuk mengajar dramatari Arja. Berdua, mereka merasakan indahnya kebersamaan tak hanya sebagai pasangan hidup, namun juga sebagai pasangan seniman yang sangat serasi dan bermental pengabdian yang sangat tulus.

Pada tahun 2002, sang suami yaitu Ida Bagus Made Raka berpulang menghadap Sang Pencipta karena sakit yang dideritanya. Tentu, kesedihan yang mendalam menghinggapi Jero Puspawati selaku pasangannya. Namun hal ini tak menyurutkan niat beliau untuk terus mengabdi di bidangnya secara professional. Hidup harus terus berlanjut dan tiada henti mengabdi. Setidaknya prinsip itulah yang menguatkan mental Jero Puspawati dalam melanjutkan sisa hidupnya. Terbukti, beliau didaulat oleh para anggota sekaa santi Gita Keheningan Banjar Kehen Kesiman untuk membina pesantian ini di bidang Sekar Alit. Senyum girang kembali menghiasi bibir beliau ketika mengingat sisa hidupnya yang masih memiliki guna dan manfaat bagi masyarakat sekitarnya.

Kepercayaan masyarakat di desa Kesiman (tempat domisili sementara beliau sepeninggal sang suami) kepada beliau semakin tebal ketika beliau didaulat menjadi duta Br. Kehen sebagai penari Joged Bumbung dalam parade pentas tari Joged Lansia yang digelar oleh Pemerintah Desa Kesiman Petilan pada tanggal 6 Februari 2011 yang lalu. Keceriaan beliau nampak jelas menghiasi hari tuanya. Menari seolah sebagai terapi kesehatan bagi beliau. Sesakit apapun tubuhnya, dapat dilupakan sejenak bilamana beliau mendengarkan lantunan pupuh Sekar Alit yang dikumandangkan oleh orang di sekitarnya maupun lewat siaran radio. Pun demikian ketika suatu waktu ada beberapa orang datang ke tempat beliau mendiskusikan masalah pakem tari Arja.

Akhirnya, Sabtu, 21 Mei 2011 beliau menghembuskan nafas terakhirnya karena sakit lever yang dideritanya dan sekaligus sebagai pertanda perpisahan beliau pada pengabdiannya di jagat seni tradisi Bali. Beliau meninggalkan dua orang putri yaitu Ida Ayu Wimba Ruspawati (51 th) dan Ida Ayu Mas Yuniari (47), serta enam orang cucu. Dua di antaranya merupakan tunas muda yang diharapkan dapat meneruskan pengabdian beliau di jagat seni, sesuai bidangnya masing-masing. Mereka adalah Ida Bagus Gede Surya Peradantha S.Sn., serta Ida Ayu Gede Sasrani Widyastuti. Ida Ayu Wimba Ruspawati selaku putri almarhum mengucapkan terima kasih kepada perhatian pemerintah pusat kepada seniman-seniman di Bali khususnya yang telah berjasa di bidangnya masing-masing. Ia berharap agar pemerintah tak henti-hentinya membangun usaha untuk memperhatikan keberadaan para seniman yang telah mengharumkan nama daerah dan bahkan negara di dunia internasional. Tak hanya TKI yang merupakan pahlawan devisa, namun seniman melakukan hal yang lebih sebagai media promosi potensi seni dan budaya seuatu negara.

Seniman Bali Menerima Penghargaan Pemerintah RI, selengkapnya

Komodifikasi Obyek Wisata Puri Saren Agung Ubud, bagian II

Komodifikasi Obyek Wisata Puri Saren Agung Ubud, bagian II

Kiriman Dr. Ni Made Ruastiti, SST. MSi., Dosen PS Seni Tari ISI Denpasar

4.  Puri Sebagai Komoditas Pariwisata

Pesatnya perkembangan pariwisata di Ubud tentunya tidak terlepas dari potensi yang ada di daerah ini, baik potensi alam, budaya maupun potensi sumber daya manusianya. Potensi yang dimiliki inilah yang dikembangkan masyarakatnya untuk meningkatkan industri pariwisata daerah ini. Sebagai sebuah obyek wisata, Ubud yang penuh dengan hasil karya seni maupun keindahan alam ini telah mampu membuat kesan tersendiri bagi wisatawan yang datang berkunjung ke daerah ini (Damardjati, 1981: 79).

Melihat potensi ini, Puri Saren Agung pun terdorong untuk mempergunakan purinya sebagai komoditas pariwisata. Hal ini tentu didasari oleh berbagai pertmbangan. Puri sebagai obyek wisata atau destination tentu harus dilengkapi berbagai sarana pendukungnya, antara lain meliputi attractions yaitu hal-hal yang menarik perhatian, jasa pengangkutan dan keramah-tamahan untuk menerima wisatawan (Spilane, 1994 : 63).

Sebagai sebuah obyek wisata, daya tarik Puri Saren Agung ini tidak dapat dilepaskan dari faktor yang melatar-belakanginya, khususnya yang berkaitan dengan produk wisata yang ditawarkan kepada wisatawan sehingga mereka ingin mengunjungi puri ini kembali.  Menurut Kayam ( 1981) salah satu faktor yang dapat mendorong wisatawan datang ke suatu daerah adalah kesan yang mereka peroleh ketika datang ke daerah tersebut. Sebagaimana wisatawan yang datang berjunjung ke Puri Saren Agung ini, yang tidak terlepas dari keunikan puri yang terletak di pusat kawasan wisata Ubud ini. Selain itu, keindahan panorama alam daerah  ini juga tidak kalah menariknya. Wisatawan yang datang ke puri ini biasanya berjalan-jalan mengelilingi lingkungan puri melalui jalan setapak sambil memotret bangunan dan aktivitas budaya yang sedang berlangsung.

Panorama alam desa Ubud yang indah mampu memberikan nilai tambah bagi daya tarik wisata Puri Saren Agung.  Sebagai sebuah obyek wisata, Puri Saren Agung ini dibangun berdasarkan tata-nilai budaya masyarakatnya. Hal itu dapat dilihat dari adanya tinggalan budayanya yakni berbentuk pura dan puri (Wahab, Crampon, dan Rothfield, 1989 : 41).  Tata-ruang puri yang terdiri dari jaba sisi, jaba tengah dan jeroan ini mempunyai fungsi tersendiri, dimana di jaba sisi (halaman luar) wisatawan dapat menyaksikan keindahan puri karena itu setiap ada wisatawan berkunjung di puri ini, mereka tidak akan melintasi pamerajan puri dan merajan agung yang disakralkan masyarakat setempat.

Sebagai sebuah obyek wisata, Puri Saren Agung ini dilengkapi berbagai fasilitas pariwisata, misalnya sanitasi umum, tempat parkir, restaurant dan art shop, warung tempat wisatawan membeli makanan dan minuman serta aneka barang cendramata yang semuanya terletak di jaba sisi. Dengan dilengkapi fasilitas-fasilitas penunjang pariwisata ini tentu dapat membuat wisatawan merasa lebih mudah dan nyaman. Berkaitan dengan sarana transportasi, obyek wisata ini sangat mudah dijangkau. Dengan biaya yang memadai, aman, dan nikmat selama dalam perjalanan, wisatawan tidak merasa beban menuju Puri Saren Agung ini. Sebagaimana diungkapkan oleh Kayam ( 1981) bahwa pariwisata berkembang karena adanya keinginan wisatawan untuk melihat sesuatu sebanyak mungkin, dengan biaya rendah, dan dalam waktu pendek.Untuk memenuhi tuntutan itu, maka ketersediaan prasarana dan sarana transportasi menjadi sangat penting. Dalam kaitan ini, jalan yang menghubungkan antara Puri Saren Agung Ubud dengan kota Denpasar pun dibuat beraspal (hotmik) sehingga dapat ditempuh mempergunakan mobil atau sepeda motor dengan lancar.

Dengan pesatnya perkembangan pariwisata di Ubud, wisatawan yang berkunjung ke Puri Saren Agung inipun dikunjungi wisatawan mancanegara yang tinggal di puri ini sekurang-kurangnya 24 jam dengan tujuan : a). Pesiar, yaitu hubungan dagang, sanak keluarga, konferensi-konfrensi dan misi (Pendit; 1976 : 11). Tipologi wisatawan yang datangpun ada bermacam-macam, tergantung jenis kriteria yang dipakai untuk merumuskan tipologi tersebut. Atas dasar kriteria kenegaraan pada umumnya dibedakan antar wisatawan domestik dan wisatawan asing. Perbedaan ini pun diajukan menurut kriteria tujuan wisatawan dan lain-lain. Wisatawan yang datang ke Puri Saren Agung ini disebut tamu sehingga pihak puri merasa berkewajiban untuk menerima dan melayaninya dengan baik. Pada umumnya wisatawan Amerika, Eropa dan Jepang yang datang berkunjung ke puri ini untuk melihat-lihat bangunan fisik puri maupun untuk menginap. Keterbukaan keluarga Puri Saren Agung dalam menerima kunjungan wisatawan disebabkan dari pengalaman mereka dalam bidang kepariwisataan.

Secara konseptual pariwisata budaya bertumpu pada potensi budaya. Budaya adalah sumber yang sangat potensial bagi kehidupan  masyarakat. Dalam konsep budaya itu, budaya sebagai modal dasar mempunyai pengertian dan fungsi normatif dan operasional (Mantra, 1991 : 4 ). Sebagai konsep normatif aturan budaya diharapkan dapat mempunyai potensi dalam memberikan identitas aturan prinsipil dan memiliki pola kontrol yang secara operasional diharapkan dapat menjadi daya tarik wisatawan.

Konsep pariwisata budaya diharapkan antara budaya dan ekonomi pariwisata dapat  saling mengisi dan menikmati keuntungan. Industri pariwisata tidak hanya diartikan dari sisi ekonomi saja, namun memiliki implikasi yang lebih luas dan mencakup keuntungan sosial budaya. Sejalan dengan itu, Mantra ( 1991) mengatakan bahwa dalam memuat program pengembangan kepariwisataan diharapkan mampu meningkatkan keseimbangan karakter dan budaya. Terkait dengan ini, puri diangap memiliki fungsi sosial yakni setiap orang bisa menikmati keindahan maupun untuk memanfaatkan sebagai tempat penelitian.

Sehubungan dengan keterbukaan puri dan proses komodifikasi yang berlangsung di puri sebagai obyek wisata, beberapa jenis-jenis komoditas Puri Saren Agung tampak tetap dipertahankan, antara lain : a). Puri sebagai pusat kebudayaan dan agama. b). Image puri tetap dipertahankan sebagai warisan budaya. Untuk itu pihak Puri Saren Agung ini tidak memasang papan penunjuk hotel dan tidak mengenakan biaya masuk bagi wisatawan dengan tujuan menghindari komersialisasi. Bangunan fisik dan arsitekturnya tetap dipertahankan berdasarkan konsep Sanga Mandala dan ditata tanpa menghilangkan identitas Puri Saren Agung sebagai pusat budaya dan keagamaan masyarakat setempat.

Komodifikasi Obyek Wisata Puri Saren Agung Ubud, bagian II, selengkapnya

Loading...