Ngelawang Tergusur, Industri Pariwisata Tergiur

Ngelawang Tergusur, Industri Pariwisata Tergiur

Kiriman: Kadek Suartaya, Dosen PS. Seni Karawitan, ISI Denpasar.

Arena Pesta Kesenian Bali (PKB) 2011 lalu,  dimeriahkan oleh penampilan puluhan Barong utusan kabupaten/kota se-Bali.. Barong Bangkal, Barong Macan, Barong Ket atau Ketet, Barong Landung, Barong Kedingkling atau Blasblasan dan beberapa jenis Barong lainnya, disamping dipentaskan di atas panggung juga menyusuri ruang dan lorong-lorong yang ramai pengunjung. Ngelawang, demikian seni pentas nomaden ini disebut yang lazim dihadirkan saat ritus dan perayaan hari besar keagamaan seperti Galungan dan Kuningan.  Masih eksiskah tradisi itu kini?

            Ngelawang telah tergerus. Ketika tradisi ngelawang masih bergulir harmonis, betapa terkesan tenteram dan damainya pulau Bali ini. Perayaan Galungan dan Kuningan yang dimaknai sebagai hari kemenangan dharma atas adharma, rasanya kurang afdol tanpa dimeriahkan oleh sajian puspa ragam seni yang membuncah dalam pentas ngelawang itu. Gairah berkesenian dan perhatian terhadap jagat seni tersebut mengesankan betapa sejuknya hati sanubari masyarakatnya.

            Ada yang menafsirkan filosofi ngelawang sebagai ruwatan bumi demi terawatnya kemanusiaan. Tradisi pentas seni nomaden ini diduga berakar pada psiko-relegi dari sebuah mitologi Hindu, Siwa Tatwa. Alkisah ketika Dewa Siwa dan Dewi Uma bercinta tidak pada tempat dan waktunya, harmoni terguncang. Bumi gonjang ganjing, gunung meletus, laut mengamuk, hutan terbakar, dan banjir menerjang. Akibatnya adalah kesengsaraan bagi umat manusia dan makhluk hidup yang lainnya. Sadar akan kekhilapannya itu, Dewa Siwa mengutus para dewa untuk menenangkan dan menemteramkan kembali seisi alam. Setiba di bumi, para dewa itu menciptakan dan mementaskan beragam bentuk kesenian. Lewat  pagelaran seni itu seisi jagat kembali damai.

            Persembahan ngelawang pada Galungan juga disangga konsepsi alam pikiran menolak bala yang berangkat dari legenda kemenangan kebajikan melawan kezaliman. Konon, dulu di Bali berkuasa seorang raja zalim yang bernama Mayadanawa. Raja berwujud raksasa ini dengan sewenang-wenang melarang rakyatnya menyembah Tuhan. Turunlah kemudian Dewa Indra dari kahyangan untuk memerangi Mayadanawa. Melalui sebuah pertempuran yang dahyat  Dewa Indra berhasil membinasakan si angkara murka Mayadanawa. Sejak itu rakyat Bali kembali tenteram yang kemudian mensyukurinya sebagai hari Galungan. Seni pentas ngelawang dalam konteks ini dimaknai untuk menjaga kesucian jagat dan melindungi manusia dari gangguan roh-roh jahat.

            Akar mitologi dan sanggaan legenda yang mengusung keberadaan ngelawang itu kini, setidaknya sejak 20 tahun terakhir, rupanya mulai rapuh. Padahal dalam konteks berkesenian, tradisi ngelawang  adalah wahana pelestarian  dan pengembangan  nilai-nilai  estetis  nan alamiah. Dan interaksi yang terjadi dalam ngelawang  adalah  hasrat sukmawi  masyarakat dalam arti luas untuk berkomunikasi, menjalin solidaritas, merajut ketenteraman hidup bersama.   Ketenteraman hidup itu tak hanya yang bersifat lahiriah namun juga yang transendental, keduanya harus dirawat. Ketika kedamaian dharma hari suci Galungan-Kuningan sedang berdesir, tradisi ngelawang berperan serta untuk merawat kehidupan, merawat kerukunan sesama, merawat alam lingkungan, dan merawat harmoni dengan yang menciptakan kehidupan ini.

Namun pergeseran nilai rupanya  harus  mencabik energi budaya  yang memiliki  aspek spiritual, seni dan hiburan ini. Ngelawang kini kian menepi. Fenomana kehidupan transformatif ini tak bisa dipungkiri memang membawa konsekuensi multidimensional   dalam  berbagai  aspek.  Atmosfir masyarakat agraris   tradisional   dengan   kekentalan psiko-religiusnya mungkin  memang kontekstual dengan  persemaian  yang kondusif   bagi eksisnya  tradisi ngelawang  pada  masa   lalu. Sementara kini di tengah dinamika dan konfrontasi  nilai-nilai, pola pikir rasional dan pola laku pragmatis-sekuler, membumbung naik  daun.

Pamor  tradisi ngelawang  dalam esensi seni dan terutama subtansi makna ritual magis yang dikandungnya  bisa jadi telah terkikis, kehilangan konteks. Masyarakat pendukungnya sedang  bimbang di persimpangan zaman dalam  guncangan dahsyat modernisasi. Reaktualisasi dan kontektualisasi ngelawang yang digaungkan setiap tahun dalam  PKB, belum mampu menggugah bangkitnya kembali pentas seni itu di tengah masyarakat Bali. Jika pun ada, tampak terkesan sebuah pertunjukan emosional  romantis sesaat bagi generasi yang pernah mengenal tradisi ini. Justru saat Galungan-Kuningan ini, dengan hasrat komoditifikasi, ngelawang dikemas industri pariwisata di hotel-hotel dan objek-objek wisata komersial.

Ada kecenderungan makna-makna sakral-magis-simbolik sedang tereduksi. Sebaliknya materialisme hedonistis sedang berhembus kencang mengoyak  tatanan kehidupan. Karena itu, masuk akal bila seni pentas ngelawang tergusur, kehilangan fungsi dan makna, linglung di persimpangan jalan dalam kegalauan  masyarakat pendukungnya yang sedang bimbang di persimpangan zaman. Apa boleh buat,  pada tahun-tahun belakangan ini jagat seni pertunjukan Bali pada umumnya memang sedang berkeluh kesah. Oleh karena itu, dapat dipahami bila belakangan para pegiat  seni pertunjukan tradisional Bali didera kegamangan dan kian ciut nyalinya melakoni kehidupan ini. Termasuk gamang meneruskan dan mewarisi pentas seni ngelawang.

Jika kegamangan itu semakin akut  mendera kehidupan  berkesenian secara umum, tentu ini adalah alamat buruk bagi eksistensi nilai-nilai kasih tenteram yang dipancarkan oleh spiritualitas, kejujuran serta kebenaran, dan keindahan jagat seni. Fenomena ini bisa jadi merupakan prolog dari krisis kemanusiaan dan kebersamaan sosial. Mudah-mudahan para seniman sebagai insani terdepan mengawal damainya dunia seni masih tegar dan tak kehilangan gairah menghadapi guncangan dan godaan kehidupan ini. Namun jika para pegiat seni sendiri sudah tidak arif memformulasikan pesan-pesan moral dalam ekspresi keseniannya, niscaya akan kian menjauhkan masyarakat dari indahnya kedamaian itu.

Ngelawang Tergusur, Industri Pariwisata Tergiur, selengkapnya

Sisa Kayu Di Tangan Geledih, Unik Dan Bernilai Tinggi

Sisa Kayu Di Tangan Geledih, Unik Dan Bernilai Tinggi

Kiriman: I Made Sumantra, SSn., Dosen PS. Kriya Seni ISI Denpasar.

            Kreatif, inovatif, dan selalu menjaga keseimbangan alam adalah apa yang  menjadi dasar pertimbangan di dalam menghasilkan karyanya. Bila kita melihat karya I Ketut Geledih, terlihat pendeformasian sangat kental mewarnai karya apa saja yang diciptakannya. Ini mungkin karena adanya  pengaruh dari pendahulunya Ide Bagus Nyana, karya I Ketut Geledih yang berjudul gadis mandi, 1996 menggambarkan figur seorang gadis yang sedang mandi. Liukan aliran air serta uraian rambut basah karena habis keramas dibuat halus dan licin. Di sini terlihat dalam menggabungkan antara bentuk-bentuk yang langsing dan memanjang dengan bentuk-bentuk yang menggelembung elastis.

            Pendeformasian bentuk yang dilakukan, maupun bentuk kayu aslinya sebagai respon pembuatan karya tersebut. Karya ini dalam pencapaian bentuk figurnya sangat kental dengan pendeformasian bentuknya yang mengelembung elastis, tetapi dalam karya ini terlihat adanya usaha untuk memanfaatkan materialnya dengan menonjolkan tekstur yang tidak seluruhnya licin. Dengan demikian karya tersebut kalau dilihat keseluruhan tampak adanya kesan kelembutan dan tidak membosankan bila dipandang. Di sini tampak adanya suatu keberanian dalam menonjolkan ekspresi dari figur tersebut disertai dengan ketepatan dalam pengaturan komposisi maupun kematangan dalam penguasaan teknis, baik dalam melakukan pendeformasian maupun dalam menampilkan ekspresi wajah figur tersebut. Hal ini menyebabkan timbulnya kesan suasana sedang mandi yang digambarkan dalam karya ini tampak sangat mengena. Terlihat tampak jelas sekali dalam pembuatan bentuknya mengikuti bentuk kayu. Karena kepandaian komposisinya secara menyeluruh, maka karya tersebut dengan kejelasan tentang melukiskan seorang yang sedang mandi. Karya ini, sudah menonjolkan adanya usah untuk membuat kesan gerak dari figur yang ditampilkan. Hal ini, terlihat dari cara penggambaran posisi dari figur tersebut dengan sikap menukik yang kedua tangannya dibuat seakan-akan sedang melakukan keramas. Maka, kalau diperhatikan secara keseluruhan tampak adanya kesan dinamis.

            Pendek kata, bahan yang dipakai dari kayu-kayu yang biasanya dianggap sudah tidak berguna lagi. Karena idenya untuk memanfaatkan barang-barang yang sudah tidak berguna itu, maka dalam proses pembuatannya selalu mengikuti bentuk bahan tersebut, dideformasi menurut cita rasanya. Bentuk akar dan sisa-sisa kayu itu pada umumnya bentuknya meliuk-liuk aneh, seringkali karyanya juga rumit dan unik. Tekstur selalu dibikin halus mengkilat seperti halnya karya-karya Ide Bagus Nyana. Dari bahan yang tak terpakai ternyata dapat menjadi barang yang indah dan tinggi nilainya.

            Teknik penggarapan karya Geledih sama dengan pemahat-pemahat Bali lainnya, yaitu menggunakan permukaan yang halus dan licin. Hanya dalam gaya, Geledih punya ciri khas yaitu tidak pernah meninggalkan kesan materialnya yang asli. Bentuk kayu semula masih kelihatan, objeknya hanya dideformasi dengan mengikuti lekuk-lekuk serta sifat kayu yang ada. Bagian-bagian tekstur kayu yang menarik dimanfaatkan untuk pencapaian artistik.

            Pemahat kreatif ini yang sejak sebelumnya telah menciptakan bentuk patung yang sederhana, tetapi berjiwa dan asli menurut bentuk/ potongan kayu asalnya. Patung ini memiliki bentuk dan susunan yang amat sederhana, tetapi cukup menampilkan bentuk baru dewasa ini. Bentuknya sering mengikuti bentuk/ potongan bahan kayunya yang besar pendek ataupun yang orisinil.

            Gaya karya-karya Geledih menjelmakan suatu bentuk watak atau ide yang sederhana. Menonjolkan apa-apa yang murni (esensial), penting dan mengesampingkan atau meninggalkan hal-hal yang berarti. Bentuk patung sederhana, akan dapat memancarkan kekuatan-kekuatan spiritual dan jiwa kebatinan yang kuat. Kalau kita menghadapi serta menikmati patung-patung karya Geledih benar-benar kita merasakan keindahan garis, bentuk, susunan sepotong kayu memiliki jiwa dan nafas.

              Mula-mulanya bentuk ini dipandang aneh dan tidak mendapat perhatian di masyarakat pemahat  tetapi kemudian yang terjadi adalah yang sebaliknya. Banyak tamu asing (Barat) banyak yang menanyakan dan mencari siapa penciptanya. Patung ini banyak dibicarakan dan sangat digemari oleh tamu-tamu Barat kerena bentuk sederhana itu, menyerupai corak perwujudan patung modern di dunia Barat.

            Dalam menciptakan bentuk  itu Geledih tidak berdasarkan suatu pertimbangan yang rasionil atau berdasarkan suatu teori. Benar-benar perwujudan patung tersebut merupakan cetusan jiwa yang terpendam. Mulai saat itulah nama pemahat yang kreatif ini mulai menanjak dan akhirnya banyak pemahat Bali yang membuat patung-patung  yang diilhami karya I Ketut Geledih.

            Di dunia kesenian Barat baru sekali terjadi pengakuan atas mutu seni dari suatu corak perwujudan (style) dalam seni rupa yang halus, yang dengan tegas mengesampingkan hal-hal yang kurang berarti, yang kurang esensial untuk perwujudan watak atau ide dan mempergunakan bentuk yang sederhana untuk menciptakan karya-karyanya. Kalau di dunia kesenian Barat corak Kubisme ini dengan sengaja menjadi dasar pikiran dan titik tolak dari suatu perwujudan seni yang bermaksud berekspresi atau menyatakan sesuatu, patung ini mencapai corak yang menyerupai corak Kubisme itu dari segi dan dasar yang sangat berlainan.

            Perwujudan lain dari pada perwujudan Kubisme Barat tidak berdasarkan pertimbangan yang rasional atau suatu teori yan menggunakan pikiran, akan tetapi merupakan suatu letusan dari api yang sudah beberapa waktu sebelumnya berkobar di dalam jiwanya. Letusan yang terjadi dari jiwa seorang manusia yang terpilih oleh suatu kekuatan yang ada dalam alam semesta.

            Jiwa seniman yang demikianlah yang kita sebutkan genius terpilih oleh Tuhan untuk menghantarkan umat manusia kearah yang belum terduga. Tidaklah mengherankan bahwa karena perkembangan jiwa beliau sejak dulu sudah menuju ke arah yang sangat kreatif, imajinasi pikiran yang beliau miliki sudah mulai berkembang atau dikembangkan dengan ikut sertanya dalam seni tari, drama wayang yang merupakan suatu bidang kesenian yang dari turun temurun , di mana dengan sendirinya jiwa dari para seniman menikmati keluhuran falsafah-falsafah klasik. Perkembangan itu hanya bercorak klasik pewayangan seperti Dewi Ratih yang di telan Kalarau, Dewi Sita dengan kijang, Rama sedang memanah, Ganesa dan sebagainya.

Sisa Kayu Di Tangan Geledih, Unik Dan Bernilai Tinggi, selengkapnya

Hasil Reformasi Birokrasi Internal (RBI) Kemdiknas

Hasil Reformasi Birokrasi Internal (RBI) Kemdiknas

Dokumen-dokumen Hasil Reformasi Birokrasi Internal (RBI) Kementerian Pendidikan Nasional :

Sumber: kemdiknas.go.id

Sekilas Tentang Gamelan Gambang Kromong

Sekilas Tentang Gamelan Gambang Kromong

Kiriman: I Gde Made Indra Sadguna, SSn., MSn., Alumni ISI Denpasar

Pengantar

            Gambang Kromong merupakan salah satu jenis perangkat musik yang berasal dari DKI Jakarta. Perangkat musik ini dapat digolongkan ke dalam perangkat gamelan. Sebutan Gambang Kromong di ambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Bilahan Gambang yang berjumlah 18 buah, biasa terbuat dari kayu suangking, huru batu, atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Kromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah (sepuluh pencon). Perangkat musik ini merupakan sebuah produk hasil akulturasi dari budaya Tionghoa dengan pribumi. Hal ini bisa dilihat pada instrumen-instrumen yang digunakan pada perangkat musik Gambang Kromong.

            Secara umum, Gambang Kromong disajikan pada pesta-pesta rakyat, perkawinan, pesta tahun baru Cina, serta pada acara Tapekong (tempat peribadatan Cina). Jumlah pemain Gambang Kromong terdiri dari 8 sampai 12 orang pemusik ditambah beberapa penyanyi, penari, bahkan pemain lenong. Gambang Kromong telah mengalami banyak perkembangan pada repertoar lagunya. Hingga sekarang terdapat tiga jenis lagu yang disajikan pada musik Gambang Kromong, yakni lagu Pobin, lagu Dalem, dan lagu sayur.

            Lagu-lagu yang dibawakan oleh Gambang Kromong pada awalnya hanya lagu-lagu instrumentalia yang disebut lagu-lagu Pobin. Lagu-lagu Pobin dapat ditelusuri kepada lagu-lagu tradisional Tionghoa di bagian barat propinsi Hokkian (Fujian) di Cina Selatan. Lagu-lagu pobin inilah yang kini merupakan lagu tertua dalam repertoar Gambang Kromong. Di antara lagu-lagu Pobin yang kini masih ada yang mampu memainkannya, meskipun sudah sangat langka, adalah Pobin Khong Ji Liok, Peh Pan Thau, Cu Te Pan, Cai Cu Siu, Cai Cu Teng, Seng Kiok, serta beberapa Pobin lain yang khusus dimainkan untuk mengiringi berbagai upacara dalam pernikahan dan kematian Tionghoa tradisional.

            Setelah lagu-lagu Pobin, mulai diciptakan lagu-lagu yang dinyanyikan. Lagu-lagu ini disebut lagu Dalem. Lagu-lagu Dalem ini dinyanyikan dalam bentuk pantun-pantun dalam bahasa Melayu Betawi. Di antara lagu-lagu Dalem yang ada, tinggal Masnah dan Ating (sebagian) yang masih mampu menyanyikannya antara lain: Poa Si Li Tan, Peca Piring, Semar Gunem, Mawar Tumpa, Mas Nona, Gula Ganting, dan Tanjung Burung. Setelah generasi lagu Dalem yang kini telah menjadi lagu klasik Gambang Kromong, generasi selanjutnya adalah lagu-lagu yang disebut lagu sayur. Berbeda dengan lagu Dalem, lagu sayur memang diciptakan untuk ngibing (menari). Beberapa contoh lagu sayur di antaranya adalah: Kramat Karem (Pantun dan Biasa), Ondé-ondé, Glatik Ngunguk, Surilang, Jali-jali (dalam berbagai versi: Ujung Mèntèng, Kembang Siantan, Pasar Malem, Kacang Buncis, Cengkarèng, dan Jago), Stambul (Satu, Dua, Serè Wangi, Rusak, dan Jalan), Pèrsi (Rusak, Jalan, dan Kocok), Centè Manis, Kodèhèl, Balo-balo, Rènggong Manis, Kakang Haji, Rènggong Buyut, Jeprèt Payung, Lènggang Kangkung, Kicir-kicir, dan Siri Kuning.

Laras Gambang Kromong

            Pelarasan perangkat gamelan Gambang Kromong menggunakan lima nada (pentatonis) dan bukan tujuh nada (diatonis). Dalam permainannya juga terdengar adanya dua gembyangan. Hal ini juga bisa dibuktikan dengan jumlah pencon pada instrumen Kromong yang berjumlah 10 buah. Jika dalam satu gembyangan terdapat lima nada, maka secara jelas instrumen Kromong memiliki dua gembyangan.

            Lima nada pada Gambang Kromong semuanya mempunyai nama dalam bahasa Tionghoa yaitu: sol (liuh), la (u), do (siang), re (che) dan mi (kong). Tidak ada nada fa dan si seperti dalam musik diatonis. Sedangkan larasnya adalah slèndro yang khas Tionghoa yang disebut Slèndro Cina atau ada pula yang menyebutnya Slèndro Mandalungan. Dengan demikian semua instrumen dalam orkestra Gambang Kromong dilaras sesuai dengan laras musik Tionghoa, mengikuti laras Slèndro Cina tadi.

 Instrumen-instrumen pada Perangkat Musik Gambang Kromong

            Seperti dijelaskan sebelumnya, Gambang Kromong merupakan perpaduan antara budaya Tionghoa dengan pribumi. Hal itu dapat dilihat juga pada jenis-jenis instrumen pada perangkat Gambang Kromong. Instrumen Gambang dan Kromong merupakan instrumen yang utama. Instrumen lainnya yang mewakili budaya Tionghoa dapat dilihat pada beberapa alat gesek yaitu Khong Ah Yan, The Yun, sedangkan budaya pribumi diwakili oleh instrumen lokal seperti gong, gendang, kecrek, suling, dan kempul.

 Sekilas Tentang Gamelan Gambang Kromong selengkapnya

[IS]

KKN Mahasiswa Diterima Resmi Bupati Klungkung

KKN Mahasiswa Diterima Resmi Bupati Klungkung

Kiriman Dewi Yulianti, Dosen PS. Seni Karawitan. Bertempat di Wantilan Desa Nyalian, Kecamatan Banjarangkan, Jumat pagi (5/8), mahasiswa  peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) ISI Denpasar  tahun akademik  2011/2012 dengan jumlah peserta 147 diterima secara resmi oleh Bupati  klungkung yang  diwakili  oleh Asisten I Bupati, dalam acara Pembukan KKN yang mana mahasiswa peserta KKN  akan ditempatkan di empat  lokasi, yaitu  di  Desa Dinas Bakas,Nyalian, Timuhun, dan Nyanglan, yang  akan berlangsung selama satu bulan, dari tanggal 5 Agustus sampai 5 September 2011.
Ketua Panitia KKN, I Wayan Sudana, S.ST.,M.Hum. dalam laporannya mengatakan bahwa program prioritas di Desa Bakas adalah Seni Pertunjukan untuk  persiapan Lomba Desa, sedangkan di  rogram lainnya adalah penataan kantor desa, membuat  dekorasi  kantor, penataan taman, yang  mana pada  akhir program, akan diadakan pentas hasil binaan, lomba lukis.

Rektro ISI Denpasar yang dalam kesempatan tersebut diwakili oleh Pembantu Rektor I, bidang Akademik Drs. I Ketut Murdana, M.Sn. dalam sambutannya mengungkapkan rasa terima kasih kepada Bupati Klungkung dan segenap lapisan masyarakat Kecamatan Banjarangkan yang telah menerima mahasiswa ISI Denpasar peserta KKN dengan sangat ramah. “Mahasiswa kami masih dalam proses belajar. Untuk itu kami mohon bimbingan masyarakat  sehingga anak-anak kami dapat meningkatkan kemampuan diri, serta kedisiplinan sebagai upaya meningkatkan pendidikan karakter. Mahasiswa peserta KKN saat ini tidak lagi hanya menjadi agent of development, tapi lebih berperan sebagai agent of empowerment  dalam masyarakat ” ujar Murdana didampingi  Ketua LP2M ISI Denpasar, Drs. I Gusti Ngurah Sramasara,M.Hum.

Bupati  Klungkung dalam sambutannya yang dibacakan Asisten I Bupati, menyambut  baik  mahasiswa ISI Denpasar  peserta KKN, dan menghimbau mahasiswa untuk dapat bersinergi dengan masyarakat guna  meningkatkan  kemampuan diri, sehingga kegiatan KKN dapat berjalan dengan baik.

Setelah mengikuti acara pembukaan dan penyerahan mahasiswa  oleh pihak ISI Denpasar kepada Bupati Klungkung, mahasiswa KKN juga  melaksanakan kegiatan tambahan serangkaian KKN di  Desa Surabrata dan Tinungan, Tabanan yg merupakan bimbingan seni, yang dimulai sore kemarin.

Loading...