by admin | Aug 10, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: I Gde Made Indra Sadguna, SSn., MSn., Alumni ISI Denpasar
Pendahuluan
Keberadaan suatu jenis kesenian di Indonesia nampaknya tidak bisa dijauhkan dari cerita-cerita mitologi. Hal tersebut juga dapat dilihat pada sebuah kesenian dari daerah Sulawesi Selatan yakni tari Pakarena. Awal kemunculannya tidak dapat diperkirakan dengan pasti sebab hanya terdapat cerita lisan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon diceritakan bahwa tari Pakarena berawal dari kisah mitos perpisahan penghuni boting langi (negeri kahyangan) dengan penghuni lino (bumi) zaman dulu. Sebelum perpisahan, boting langi mengajarkan penghuni lino mengenai tata cara hidup, bercocok tanam, beternak hingga cara berburu lewat gerakan-gerakan tangan, badan dan kaki. Gerakan-gerakan inilah yang kemudian menjadi tarian ritual saat penduduk lino menyampaikan rasa syukurnya kepada penghuni boting langi. Cerita lain menyebutkan bahwa tari Pakarena dihubungkan dengan legenda Tumanurung ri Tamalate sebagai Somba (raja) pertama kerajaan Gowa. Dikisahkan bahwa Pakarena pertama kali muncul bersamaan dengan Putri Tumanurung ri Tamalate. Menurut kisah, Pakarena merupakan pengiring dan pelengkap kebesaran Tumanurung ri Tamalate.
Sebelum menjadi bentuk tari Pakarena yang sekarang, dahulu disebut dengan nama sere jaga yang berfungsi sebagai bagian upacara ritual sebelum menanam padi dan usai menanam padi. Para penari memegang seikat padi pilihan (padi bibit yang telah dipilih melalui upacara) yang dianggap dewi padi. Kemudian tari sere jaga berkembang menjadi bagian upacara ritual yang dilakukan semalam suntuk. Upacara tersebut antara lain: ammata-mata jene, ammata-mata benteng, dan lain-lain. Taripun mengalami perkembangan dalam bentuk penyajian dan piranti. Padi yang dipegang sekarang diganti dengan kipas.
Pertunjukan Tari Pakarena
Secara garis besar pelaku pertunjukan tari Pakarena dapat dibagi menjadi dua, yakni penari dengan pemusik. Penari memperagakan gerakan yang sangat lembut dan halus yang dianggap sebagai cerminan wanita Sulawesi Selatan. Tarian ini dibagi ke dalam 12 babak, akan tetapi sangat sulit untuk mengidentifikasi pembabakan tersebut karena gerakannya tetap lembut dan monoton. Adapun beberapa gerakan yang menjadi penanda dalam tarian tersebut seperti gerakan pada posisi duduk adalah sebagai pertanda awal dan akhir dari tarian tersebut, dan ada gerakan berputar mengikuti arah jarum jam yang diibaratkan seperti siklus kehidupan manusia. Sementara gerakan naik turun, tak ubahnya cermin irama kehidupan. Aturan mainnya, seorang penari Pakarena tidak diperkenankan membuka matanya terlalu lebar. Demikian pula dengan gerakan kaki, tidak boleh diangkat terlalu tinggi.
Tiap jenis tari Pakarena mempunyai pola iringan yang harus diketahui oleh penari dan pemusik. Penyusunan iringan ditentukan secara kreatif oleh seorang sutradara yang disebut Anrong Guru. Dalam hal gerak, penari berpatokan pada penari terdepan sebelah kanan Anrong Guru yang disebut Pauluang. Selain itu, judul dan jenis tari Pakarena sangat ditentukan oleh nyanyian dalam tari tersebut. Nyanyian tersebut disebut Lelle dan Dondo. Misalnya Lelle dan Dondo Samboritta hanya akan dibawakan pada tari Pakarena Samboritta. Selain itu ada juga Kelong atau nyanyian yang disajikan berdasarkan pilihan anrong guru.
Jika melihat aksi dari pemusik tari Pakarena maka akan terlihat suatu sajian yang sangat kontradiktif dengan tari. Para pemusik akan bermain dengan sangat kencang dan keras. Hal tersebut sangat nampak pada pemain gendang yang menghentakkan alat musik membranofon dengan sangat energik dan bersemangat secara sepintas terlihat tidak ada kaitannya dengan tarian. Ini merupakan cerminan dari kaum pria masyarakat Sulawesi Selatan yang keras dan tegas. Pemain gendang adalah pemimpin dari kelompok musik ini karena ia yang menentukan irama dan tempo dari jalannya suatu lagu. Ada dua jenis pukulan yang dikenal dalam tabuhan Gendang. Pertama, adalah pukulan Gundrung, yaitu pukulan Gendang dengan menggunakan stik atau bambu yang terbuat dari tanduk kerbau. Kedua adalah pukulan tumbu yang dipukul hanya dengan tangan. Selain instrumen gendang, adapun beberapa instrumen lainnya pada kelompok musik ini adalah gong, katto-katto, dan puik-puik. Khusus untuk pemain puik-puik (sejenis alat musik tiup menyerupai preret), harus memiliki keahlian meniup secara terus menerus (circular breathing) atau disebut juga dengan a’mai lalang.
Keberadaan Tari Pakarena Di Sulawesi Selatan, selengkapnya
by admin | Aug 9, 2011 | Berita
Kiriman Hery Budiyana, Staf FSRD ISI Denpasar
ISI Denpasar dalam waktu dekat ini akan mengirim seorang dosen berprestasi untuk maju di tingkat Nasional, yaitu Tjok Istri Ratna Cora S, S.Sn., M.Si yang merupakan dosen Desain Interior FSRD ISI Denpasar. Beliau terpilih dalam daftar 15 besar Dosen Berprestasi tingkat Nasional. Tahap penjurian akan diadakan di Jakarta dari tanggal 14 hingga 16 Agustus 2011, dimana nantinya hanya akan dipilih 3 orang dosen berprestasi, besar harapan agar ISI Denpasar masuk dalam urutan tersebut. Kemudian tepat tanggal 17 Agustus 2011 beliau diundang oleh Presiden Republik Indonesia untuk berkunjung ke Istana Negara. Kebanggaan yang luar biasa dirasakan oleh seluruh pihak di lingkungan ISI Denpasar.
Pada hari Selasa (9/8) dalam kesempatan pertemuan di ruang rektor, Ibu Ratna Cora menyampaikan mengenai persiapan untuk keberangkatannya yang tinggal beberapa hari lagi, kemudian menyampaikan judul presentasi yang diangkat, yaitu “Produk Aksesoris Interior dan Fashion dengan Konsep Fullyhandpainted (lukis tangan keseluruhan) Berdasarkan Perpaduan dan Pencampuran Warna pada Media Tekstil sebagai Representasi Perubahan Gaya Hidup Masyarakat Kontemporer”. Beliau mengungkapkan bawa lahirnya judul ini tidak terlepas dari keinginnannya untuk menwujudkan Think Locally and Act Globally dalam setiap karyanya. Dalam kesempatan ini Dekan FSRD, Ibu Rinu, sangat setuju dan mendukung pernyataan ibu Ratna Cora tersebut dan berharap agar dapat diaplikasikan dengan baik, berfikir secara lokal dengan tetap mempertahankan lokal genius kemudian mengaplikasikannya secara luas dan global. Pembantu Rektor I yang juga hadir dalam kesempatan ini juga memberikan masukan untuk selalu menyeimbangkan diri baik secara vertical; dengan bersyukur dan berdoa agar diberikan kemudahan, maupun secara horizontal untuk selalu berkompetisi dengan baik.
Pencapaian ini merupakan kebahagaiaan seluruh pihak baik beliau sendiri maupun seluruh civitas akademika di ISI Denpasar. Rektor ISI Denpasar, Prof I Wayan Rai S, M.A mengungkapkan beliau turut berbangga dan berterima kasih atas usaha dosen yang bersangkutan serta semua pihak yang telah mendukung, sehingga mampu meningkatkan pencitraan kampus ISI Denpasar, dan beliau berpesan untuk tidak mudah puas dengan pencapaian ini namun bisa lebih meningkatkan prestasi lagi, serta besar harapan agar hal ini diikuti oleh dosen-dosen yang lain.
Di luar pertemuan yang diadakan siang tadi ada beberapa masukan yang berdatangan dari teman serta pimpinan di FSRD ISI Denpasar yaitu bapak Olih Solihat Karso selaku Pembantu Dekan I FSRD, mengungkapkan bahwa Tjok Istri Ratna Cora S, S.Sn., M.Si merupakan dosen yang selalu haus akan keilmuwan serta tidak pernah berhenti berusaha serta dikenal juga sebagai orang yang memiliki personal approach yang baik. Harapan positif juga diucapkan oleh PD II FSRD ISI Denpasar yang mengungkapkan prestasi yang ditorehkan ini menunjukkan kualitas Dosen yang meningkat sehingga dengan sendirinya kualitas sumber daya mahasiswa pun turut meningkat. Semoga kedepannya prestasi yang mampu diraih oleh ISI Denpasar tidak hanya berhenti disini namun terus maju untuk meningkatkan eksistensi ISI Denpasar baik di tingkat nasional maupun internasional.
by admin | Aug 9, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Kadek Suartaya, S,S.Kar, M.Si., Dosen PS. Seni Karawitan, ISI Denpasar.
Disampaikan pada seminar dalam rangka kegiatan dies natalis dan wisuda tahun 2011
I. Optimisme-Pesimisme Jagat Seni
Segumpal kegundahan yang dilontarkan oleh seorang gadis belia dalam sebuah lomba pidato berbahasa Bali di arena Pesta Kesenian Bali (PKB) 2011 yang baru lalu membuat penonton tertegun. Dalam pidatonya yang berjudul “Ngewangun Karakter Wangsa Melarapan Pesta Kesenian Bali”, dara belia duta Kabupaten Gianyar itu dengan intonasi galau mengungkapkan tergerusnya seni tradisi oleh hegemoni globalisasi. “Indayang cingak, aduh dewa ratu, akehan mangkin kula wargane sane ngengebin selebriti ring tivi-ne. Jegegne Dewi Sita miwah Dewi Subadra sampun kalah baan I Luna Maya miwah Cut Tari. Bagusne Sang Arjuna taler doh kasub antuk Ariel Peterpan. Wayang kulit, sane dumun dados balih-balihan sane akeh micayang piteket lan suluh agama, mangkin sayan-sayan rered kakutang penonton. Sekulerisasi lan komersialsisasi ngancan ngicalang taksu seni budaya druwene. Riantukan punika, ngiring mangkin lestariang lan limbakang seni budaya sami, angge ngewangun karakter wangsane“.
Seni tradisi, karakter bangsa, dan globalisasi adalah ide, konsep, fenomena yang akan dipertautkan dalam paper kecil ini. Ketiganya dipertautkan untuk mengartikulasikan tentang peranan dan pentingnya seni tradisi sebagai alternatif pondasi karakter bangsa ketika kini berhadapan dengan keniscayaan gelombang globalisasi. Ada beberapa argumentasi, kenapa seni dipandang berkontribusi penting membangun karakter bangsa dan kenapa seni diketengahkan sebagai benteng jati diri bangsa di tengah era globalisasi ini. Sebab, seni adalah gudang penyimpanan makna-makna kebudayaan. Budaya dan seni tradisi merupakan bagian integral dari kehidupan sosio-kultural-religius masyarakat. Tradisi merupakan akar perkembangan kebudayaan yang memberi ciri khas identitas atau keperibadian suatu bangsa … seni tradisi menyediakan bahan baku yang melimpah. Di Bali dan di Indonesia pada umumnya para seniman tidak membiarkan kesenian tradisi menjadi beku, dan untuk itu setiap generasi terus berusaha untuk melakukan inovasi terhadap kesenian tradisi milik mereka.
Sebagai bagian dari kebudayaan, kesenian adalah salah satu perlengkapan manusia dalam memenuhi kehidupannnya. Adalah kehidupan akan menjadi gersang tanpa kehadiran kesenian. Akan tetapi arti seni bagi nilai kehidupan tentulah lebih multidimensional. Sepanjang sejarahnya seni memang mengabdikan diri untuk kemanusiaan. Jika kebudayaan dirumuskan sebagai gejala apa yang dipikirkan, menurut Mochtar Lubis, maka seni merupakan unsur yang amat penting yang memberikan wajah manusiawi, unsur-unsur keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif, irama, harmoni, proporsi dan sublimasi pengalaman manusia, pada kebudayaan. Tanpa nilai-nilai maka manusia akan jatuh menjadi binatang ekonomi atau kekuasaan belaka.
Seni sebagai gudang penyimpan makna-makna kebudayaan berarti di dalamnya mengkristalisasikan pencapaian peradaban manusia pelaku utama kebudayaan itu yang terimplementasi dalam karakter bangsanya. Karakter bangsa dalam antropologi dipandang sebagai tata nilai budaya dan keyakinan yang mengejawantah dalam kebudayaan suatu masyarakat dan memancarkan ciri-ciri khas keluar sehingga dapat ditanggapi orang luar sebagai kepribadian masyarakat tersebut. Karakter bangsa adalah kualitas jati diri bangsa yang membedakannya dengan bangsa lain. Karakter bangsa Indonesia bersumber pada nilai-nilai kebangsaan yang kita miliki Karena itu, dalam konteks kehidupan kekinian, karakter sebuah bangsa dapat dieksplorasi dari nilai-nilai seni kebudayaannya. Konstruksi karakter bangsa itu kini kita sadari sebagai sebuah pondasi signifikan dalam kehidupan berbangsa di era kesejagatan ini. Carut-marutnya kehidupan berbangsa ditengarai disebabkan kelalaian membangun karakater bangsa. Soekarno dan Ki Hajar Dewantara telah jauh-jauh hari mengingatkan bangsa Indonesia tentang pentingnya karakter bangsa Urgensi perlunya pembangunan karakter bangsa itu, salah satunya dapat digali dan ditimba dari jagat seni. Seni tradisi sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal yang berkarakter.
Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk kesenian yang merupakan subsistem dari kebudayaan. Meneropong jagat seni dalam konteks globalisasi dewasa ini menghadapkan kita pada berbagai panorama masa depan yang menjanjikan berbagai optimisme, akan tetapi sekaligus pesimisme. Sebagai bagian dari peradaban global, masyarakat Indonesia pun kiranya sulit melepaskan diri dari arus transformasi budaya. Konsekuensinya adalah terjadi pergeseran-pergeseran nilai yang membawa dampak yang besar dalam berbagai aspek kehidupan penghuni jagat ini, termasuk pada ekspresi artistik.
Bagaimana dunia seni, seni tradisi khususnya sebagai representasi karakater bangsa mengaktualisasikan diri di tengah hegemoni globalisasi tersebut yang akan didiskusikan dalam kesempatan ini. Pertama, dilema kultural seni tradisi di tengah tranformasi budaya yang dibawa gelombang globalisasi. Kedua, rekonstruksi dan dekonstruksi seni tradisi sebagai proses kreativitas seni membangun karakter bangsa. Kedua masalah tersebut, bahasannya akan mengacu pada suasana berkesenian, seni pertunjukan, di Bali.
II. Dilema Kultural Seni Tradisi
Seni tradisi yang pada hakikatnya merupakan representasi dari kebudayaan luhur, sejak dulu telah menjadi media pendidikan yang ampuh dalam membentuk karakter masyarakatnya. Di Bali, hampir dalam semua seni pertunjukan tradisi, selain berfungsi sebagai persembahan, juga berkontribusi penting mencerahkan karakter masyarakatnya. Saat menonton teater Topeng atau dramatari Gambuh di pura, penonton memperoleh spirit keagamaan dan siraman rohani. Ketika menonton Arja atau Drama Gong di Bale Banjar, masyarakat penonton menyerap nilai-nilai moral dan sosial yang berguna. Lebih-lebih bila menyimak pementasan Wayang Kulit, penonton akan dihidangkan ensiklopedi kehidupan yang semuanya patut dijadikan pegangan diri.
Tetapi, masyarakat modern masa kini telah kehilangan orientasi hidup, terombang-ambing oleh centang perenang kusutnya zaman. Pergeseran budaya dan nilai-nilai mendistorsi pola pikir dan prilaku masyarakat kita. Guncangan budaya itu juga berimbas pada keberadaan lokal jenius yang terurai dalam ekspresi seni tradisi bangsa. Wayang Kulit yang dulu sangat karismatik di tengah masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali, kini terpojok lunglai. Di tengah masyarakat Bali tempo dulu, wayang merupakan tontonan favorit yang begitu deras mengisi alam pikiran dan dunia nyata masyarakatnya. Pesan-pesan ceritanya diresapi cermat dan tokoh-tokoh idolanya dijadikan teladan serta identifikasi diri. Namun kini, pendidikan karakter yang diberikan oleh teater wayang dan seni tradisi kita itu telah rapuh dan mandul. Seni tradisi kita tergilas laju era kekinian.
Tak kenal tak sayang. Kira-kira seperti itulah nestapa sebagian seni tradisi Bali di tengah masyarakat masa kini. Karena semakin tak dipedulikan, tidak sedikit kemudian bentuk-bentuk kesenian itu teronggok di pojok, hidup payah matipun pasrah. Komunitas pendukungnya pun tak lagi memiliki ikatan batin dengan nilai keindahan yang mungkin dulu pernah disanjung-sanjung dan dibanggakan. Kini, bentuk-bentuk kesenian yang telah mengisi dinamika kehidupan masyarakat tersebut kian marginal dan langka. Pencapaian estetik yang pernah diraihnya tergerus tak terurus. Fungsi-fungsi sosial dan religius yang sempat diisinya terkikis. Makna-makna kultural dan filosofis yang dulu mengawalnya terpental entah kemana. Tragisnya, kesenjangan bentuk-bentuk kesenian itu dengan generasi muda, semakin lebar. Orientasi masyarakat kita di tengah gelombang globalisasi yang cenderung materialis-kapitalistik, sungguh membuat butir-butir budaya itu tergelincir.
Harapan untuk menyelamatkannya kembali memang belum sirna. Pesta Kesenian Bali (PKB) masih gigih menghadirkan kesenian tradisi, termasuk yang dikatagorikan tua dan langka. Bagi masyarakat umum, mungkin bentuk-bentuk kesenian langka tersebut terdengar asing, lebih-lebih di kalangan generasi muda masa kini. Gamelan Gambang misalnya yang dentang bilah-bilah bambunya kian sayup di tengah euforia ritual keagamaan, tak begitu banyak dikenali masyarakat karena ensambel tua itu sendiri memang hampir punah. Begitu pula mata air seni pertunjukan Bali, Gambuh, mungkin hanya dikenal oleh komunitas yang terbatas. Demikian pula halnya dengan Wayang Gambuh, lebih-lebih pernah menonton, bagi masyarakat masa kini, mungkin mendengar namanya pun agaknya baru kali ini.
Sekaratul maut memang sedang mengintai bahkan telah merenggut sebagian nilai-nilai tradisi, tersemasuk warisan kesenian tradisional Bali. Dialektika budaya global dan lokal sekarang ini cenderung menggiring masyarakat hanyut mengorbankan jati dirinya terdistorsi oleh dinamika budaya semu yang sedang menghegemoni. Seni-seni tradisi yang merupakan bagian integral dengan sosio-kultural-religius masyarakat, kini berona gamang, sebagian tertidur lelap.
Dis-apresiasi bukan hanya mendera kesenian yang telah tua dan kuyu, bahkan seni-seni tradisi primadona di tahun 1970-an pun telah semakin tak mendapat perhatian. Arja dan Drama Gong misalnya, telah kehilangan pamor. Pementasannya kian sulit dicari. Arena panggung pertunjukan di bale banjar pun semakin lengang dari pentas kedua teater itu. Ekspresi seni tradisi pada umumnya tampak kikuk berinteraksi dengan dinamika zaman. Masyarakat kekinian dimanjakan oleh beragam pilihan seni dan hiburan modern, salah satunya lewat presentasi televisi.
Komunalitas yang menjadi identitas masyarakat Bali dalam menghayati kehidupan lewat teks yang disajikan oleh kesenian tradisionalnya, ke depan, jika tak segera dibenahi, agaknya akan merenggang. Muatan nilai-nilai keindahan yang disuguhkan seni tradisi tak akan mampu lagi menularkan kebeningan nurani. Pesan-pesan moral yang diungkapkan seni tradisi tak kuasa lagi menerbitkan fajar budi masyarakat. Keberadaaan seni tradisi hanya dipandang sebagai seonggok hidangan basi. Seni tradisi hanya sekali-sekali dilirik sebagai ekspresi budaya yang kusut masai.
Penyelamatan dan aktualisasi terhadap bentuk-bentuk seni tradisi sudah sepatutnya diapresiasi. Sebab dalam seni tradisi tidak hanya merupakan kristalisasi estetik suatu rentangan zaman namun juga sarat dengan makna kultural. Kini, ditengah laju trasformasi budaya, keberadaan seni tradisi sebagai formulasi artistik kian redup dan sebagai pencatat makna budaya kurang dipedulikan. Perubahan budaya sebagai imbas dinamika kehidupan, berkontribusi besar pada cara pandang, pola berpikir, sikap hidup masyarakat, termasuk pada sikap masyarakat Bali masa kini dalam berinteraksi dengan keseniannya.
Bersambung
by admin | Aug 9, 2011 | Artikel, Berita
Post By. I Wayan Sudirana, Ph.D Candidate, ISI Denpasar Alumni
Introduction
The following paper is a brief biography of the Canadian composer and pianist, Colin McPhee, focusing mainly on his work as an ethnomusicologist. As a Balinese musician and composer, I am primarily interested in his works as they relate to Balinese culture. I will also introduce some of his western music compositions that were inspired by the gamelan music of Bali. I hope that by doing this project, I will gain a better understanding and insight into what Colin McPhee has done for my music as well as for the field of ethnomusicology in general.
When I was studying at ISI, the Institute of Arts in Bali, my teacher introduced me to a name of composer, Colin McPhee, who spent his time studying Balinese culture in Sayan, a small village outside of Ubud in central Bali. I wanted to study more about him and what he did to promote my culture among scholars in the world. As a Balinese person and on behalf of the Balinese community, I want to give my respect to Colin McPhee for all his works on behalf of Balinese culture, especially his masterpiece “Music in Bali”. In addition, I want to know more about his life as well as his research in other kinds of music or cultures in the world, and possibly to define the influence of Balinese music on his compositions.
Colin McPhee’s Life, Carrier, and Journey in Exploring Balinese Culture
Colin McPhee was a composer, pianist, and pioneer researcher on the gamelan music of Bali. He was born in Montreal on March 15, 1900 and raised in Toronto. His family and teachers recognized his talent in music when he was a child. Therefore, his family sent him to study at the Peabody Conservatory in Baltimore, Maryland in 1918. Later, in 1924, he continued to study piano with Isidore Philip and studied composition with Paul Le Flem in Paris. While he studied in Baltimore and Paris, he became a well-known musician in western music and returned to New York to establish himself as an important member of the musical avant-garde. He worked as a composer under the direction of his teacher, Arthur Friedheim who was a pupil of Franz Liszt. During that time, he was also busy performing, touring with the singer Eva Gauthier, playing for contemporary music concerts as well as giving solo recitals. Arthur Friedheim (1859-1932), an eminent pianist, wrote in his autobiography:
And the day has dealt kindly with me too, for I have received from far-off Java a letter from a former Toronto pupil, Colin McPhee, perhaps the most gifted pupil I ever had. His innate musical sense, his sturdy application and a striking personality marked him out for a brilliant career on the concert platform. I felt a personal sense of loss when, after I left Canada, he gave up the piano altogether and applied himself entirely to composition. Now he is in Java and other distant lands seeking new inspiration in the relatively unfamiliar native music. Yet I must not criticize him because he has neglected my favorite instrument. Did I not do the same thing when I was his age? (Friedheim 1961: 256)
Around the late 1920s, while Colin McPhee exploring his talents as a member of the New York Polyhymnia symphony, he became interested in the study and performance of music from different cultures outside of European music. When he discovered newly released recordings of the exotic music of Bali, it ignited an instant desire to perceive what kinds of instruments made such beautiful and intricately textured sounds. The vibrant timbres and complex rhythms of Balinese gamelan completely changed his life. In his book House in Bali, he wrote:
I was a young composer, recently back in New York after student days in Paris, and the past two years had been filled with composing and the business of getting performances. It was quite by accident that I had heard the few gramophone records that were to change my life completely, bringing me out here in search of something quite indefinable – music or experience, I could not at this moment say. (McPhee 1946:9)
As a composer, McPhee saw the instruments of the Balinese gamelan as a new resource for creating music, a “crystal, vibrant sound” (Oja 1984: 3) he had looked for since he was a child, but was ultimately unable to find in the world of western music. To understand this music became an obsession for him. McPhee described clearly the complex sound of gamelan in his letter to Dr. William Mayer after his Bali years (Oja 1984 : 3). In that letter McPhee explained that when he was 12 years old, he composed a piece for a children’s percussion band which he had various ideas for sound effects, but the effects were not satisfying his expectations. However, ten years later, he tried again incorporating glass wind chimes into a piano concerto, but it was not able to produce the exact sound he wanted. Surprisingly, at the moment he heard Balinese and Javanese music, the sounds that those instruments produced instantly achieved for him that elusive sonority he had looked for. Like others who sought to explore the island, such as the critic and novelist Carl Van Vechten, the Mexican artist Miguel Covarrubias, the painter George Biddle, and Jane Bello (who later become his wife), he sailed to Bali for the first time in 1930.
After staying in a special hotel for foreign guests for a time, Colin McPhee ventured out away from the other visitors and stayed in village of Kedaton, south of Denpasar (capital city of Bali). Balinese musical activity there was unbelievable to him, and people seemed to be very creatively free in their cultural life. In that era, there was a shifting of tradition or artistic centers from the palaces to the village banjar (Tenzer 1998 : 16). It was changing the way that Balinese people develop their traditions from the community’s perspective, though they still paid respect to the courts. Colin McPhee become fascinated with the unique culture of Bali as he started to explore the music had dreamed about. Because the Balinese are mostly a friendly people, he quickly found master Balinese musicians to study and transcribe the music, met friends in a Balinese friendship style and gathered information from everyone he met. One of them was I Nyoman Kaler, a Balinese musician deeply knowledgeable about the more ancient traditions. Kaler said that 20 years earlier, each palace would have had two orchestras. Outside of the palace would stand one gamelan with great gongs, which was used for ceremonies and to welcome the guest and inside the palace, and there was a little gongs and keyed instruments of delicate tone to play more romantic music. This Gamelan was called gamelan Semara Pegulingan, the gamelan of Semara, God of Love, (Young 1984 :15).
Biography of Colin McPhee (Part I) more
by admin | Aug 8, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Made Agus Wardana, S.Sn., alumni PS. Seni Karawitan, STSI/ISI Denpasar
Disampaikan pada seminar dalam rangka diesnatalis dan wisuda tahun 2011
Kesenian Bali
KESENIAN adalah bahasa universal yang memiliki kemampuan menembus suatu batasan-batasan nyata dari perbedaan golongan, ras, agama, etnik dan sebagainya. Seni sebagai media komunikasi dapat mempererat tali persahabatan di antara perbedaan-perbedaan tersebut. Makna universal yang terkandung dalam kesenian ini, menggugah perasaan hati seniman untuk berkreasi menebar pesona kesenian dimanapun berada. Salah satu primadona kesenian Indonesia yang menjadi ujung tombak pencitraan positif tentang Indonesia di Eropa adalah gamelan dan tari Bali.
Gamelan dan tari Bali yang dikenal sangat dinamis, fleksibel dan adaptif diyakini secara arti luas memiliki daya tarik tersendiri dalam upaya memperkenalkan kebudayaan Indonesia di luar negeri. Daya tarik tersebut meliputi ekspresi kebyar gerak tari yang lincah, luwes, agresif dan dinamisnya suara gamelan serta kekhasan ekspresi mata ‘seledet’ yang selalu mengundang apresiasi positif penonton.
Gamelan Bali Di Belgia
Sejak dihibahkannya Gamelan Gong Kebyar oleh Pemda Bali kepada KBRI Brussel, yang dilanjutkan dengan pengiriman tenaga pengajar Sdr. I Made Agus Wardana (Alumni ISI Denpasar), bulan Pebruari 1996 menjadi langkah awal penyebaran seni Bali di Belgia. Belgia sebagai jantung Uni Eropa sangat strategis dijadikan sebagai sentra kebudayaaan Bali, Indonesia untuk wilayah Eropa.
Pada awalnya menebar seni gamelan dan tari Bali, bukan sesuatu yang mudah. Berbagai cara dilakukan untuk menarik minat masyarakat Belgia agar mencintai budaya Bali. Walaupun demikian, dengan pendekatan ke berbagai pihak serta menguatnya semangat jengah, akhirnya terbentuk berbagai ragam organisasi gamelan dan tarian. Adapun beberapa grup kesenian tersebut antara lain : Saling Asah, Kembang Nusantara, Sekolah Musik Konservatorium, Muzieklabyrint, Arjuna, PPI (Pelajar Indonesia), Iswara, Anak-Anak Indonesia, dan Dharma Wanita KBRI.
Grup tersebut terdiri dari masyarakat Belgia dan masyarakat Indonesia. Bagi mereka, menebar seni Gamelan dan tari Bali adalah sebuah kebanggaan, karena disamping kepiawaian memainkan gamelan dan menari, mereka secara langsung memperkenalkan budaya Indonesia kepada dunia internasional. Maka dari itu, serangkaian kegiatan seni budaya diagendakan secara rutin dan teratur. Partisipasi dalam aneka festival, pameran budaya, karnaval, konser, program televisi dan radio, workshop budaya di sekolah-sekolah dilakukan secara berkelanjutan.
Menebar Seni Melalui Media Massa
Media massa baik itu cetak ataupun elektronik mempunyai peranan dan kekuatan yang sangat besar dalam kaitannya dengan usaha mencapai keberhasilan menebar seni Bali di Eropa. Media cetak seperti koran, majalah, brosur, buletin dan media televisi dan radio dijadikan mitra khusus bahwa menebarkan seni itu memerlukan media untuk mempublikasikan semua informasi seni tsb. Disamping itu pemanfaatan situs youtube.com sebagai situs web video sharing terbesar di dunia, dimana segala video seni dapat diupload secara gratis dan di sharing kepada pengguna internet di seluruh dunia. Sebanyak 120 video seni Bali telah diupload di youtube.com, dengan jumlah pengunjung/views diatas 266,520 (sumber : data youtube.com ). Begitupula dengan situs jejaring sosial facebook dan twitter yang begitu dahsyat digemari, akan sangat berguna jika bisa dimanfaatkan sebagai media promosi secara baik. Adapun links yang digunakan sebagai media promosi tersebut adalah : www.youtube.com/agusbelgique, www.salingasah.be, facebook : Made Agus Wardana dan twitter Made Agus Wardana.
Dalam jaman yang serba praktis ini, para seniman dituntut untuk mampu bersaing dan memanfaatkan tekhnologi informasi. Seniman tidak saja mampu berkreasi dan berinovasi didalam seni, tetapi mampu menguasai dan memanfaatkan kecanggihan masa kini dalam upaya mengembangkan dan menebarkan seni Bali kepada dunia internasional.
Kolaborasi Seni
Sebagai upaya untuk mengembangkan kreatifitas seni gamelan dan tarian, cara mudah untuk mendekatkan diri dengan seniman di Eropa adalah dengan cara berkolaborasi. Kolaborasi yang berarti perpaduan dua/lebih kesenian yang berbeda latar belakang, dapat disatukan ke dalam sebuah bingkai harmonisasi. Dalam seni musik misalnya, gamelan yang terdiri dari gangsa, suling, kendang, cengceng dll, dapat menjadi penghubung melodi, aksentuasi, dinamika dari setiap perpaduan musik. Diantara alat musik yang paling menarik digunakan untuk berkolaborasi adalah Suling. Suling dapat dimainkan dalam berbagai nada, baik itu pentatonis maupun diatonis. Adanya tekhnik ngunyal angkihan dengan suara gregel yang unik ternyata mendapat sambutan luar biasa dalam setiap pertunjukan.
Kolaborasi seni musik atau tari yang dilakukan selama ini, mengindikasikan bahwa kesenian Bali dengan segala keunikannya dapat memberikan pengaruh besar dalam proses penciptaan karya seni yang baru. Untuk itulah apapun bentuk kolaborasi itu, bentuk musik ataupun tarian, tradisi atau kontemporer semakin sering dilakukan, semakin besar pula pengaruh seni yang disebarkan. Pada akhirnnya kesenian Bali itu dijadikan sumber inspirasi oleh seniman-seniman di Eropa didalam proses penciptaan sebuah karya seni.
Banjar Shanti Dharma, Belgia-Luksemburg
Kegiatan menebar seni Bali di Eropa ini, tidak terlepas dari dukungan perkumpulan komunitas nyame Bali yaitu Banjar Shanti Dharma. Banjar ini berjumlah 50 orang anggota. Mereka secara aktif melakukan kegiatan keagamaan dan belajar berkesenian seperti mekidung, menabuh dan menari. Kegiatan tersebut merupakan bagian penting penunjang ritual keagamaan. Apalagi dengan diplaspasnya sebuah Pura yang berdiri megah di tengah sebuah taman wisata burung Parc Paradisio/Pairi Daiza, Belgia yaitu Pura Agung Santi Bhuwana. Tepatnya Senin Umanis Medangkungan tanggal 18 Mei 2009, berlangsung upacara suci pemelaspasan yang dipuput oleh Ida Pedanda Putra Telabah dan Ida Pedanda Panji Sogata. Pemelaspasan itu juga dihadiri oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI, Jero Wacik didampingi Duta Besar RI Nadjib Riphat Kesoema, Menteri Ekonomi wilayah Walonia, Belgia dan Eric Domb, CEO Parc Paradisio/Pairi Daiza.
Keberadaan Pura ini menguatkan hati masyarakat Bali di Belgia akan pentingnya menjaga identitas diri. Mengajegkan budaya Bali dan tidak melupakan tanah leluhur Bali. Banjar Shanti Dharma adalah tempat berkumpulnya Komunitas Bali untuk mendukung kegiatan menebar seni Bali di Belgia khususnya dan Eropa pada umumnya.
Bersambung