PENGUMUMAN KELULUSAN PESERTA SELEKSI CALON MAHASISWA BARU TAHUN 2011
Ingin melih/mengunduh?
Ingin melih/mengunduh?
Kiriman I Made Gede Arimbawa, Dosen PS. Kriya Seni, ISI Denpasar
I. Pendahuluan
Persoalan membangun karakter bangsa (Nation Character Building) di era global, sebenarnya merupakan wacana yang sudah lama dan banyak dikaji oleh para pakar dari berbagai disiplin dan disampaikan diberbagai media, baik cetak maupun elektronik. Didiskusikan diberbagai forum, baik nasional maupun internasional. Namun hingga kini masih cukup menarik untuk dijadikan topik pembicaraan. Hubungan kedua hal tersebut, khususnya bagi Indonesia merupakan permasalahan yang sangat penting dibahas, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan dengan memiliki khazanah keragaman atau diferensiasi seni budaya, heterogenitas masyarakat dengan beragam etnit, kesenian, peninggalan sejarah dan sebagainya. Pada demarkasi budaya yang satu dengan yang lainnya cukup berpotensi dan rawan terjadinya permasalahan. Selain hal tersebut, mengingat belakang ini marak terjadi peristiwa, seakan-akan bangsa Indonesia sedang mengalami krisis etika dan kepercayaan diri yang merupakan bagian dari degradasi karakter bangsa (Hartiti, 2010).
Globalisasi merupakan suatu fenomena dalam peradaban manusia yang terus bergerak dalam masyarakat global dan ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga mampu mengubah dunia secara mendasar. Menurut Robertson (1991), bahwa dengan kemajuan dan perkembangan pengetahuan dan teknologi mengakibatkan terjadinya penyempitan dunia secara insentif dan peningkatan kesadaran akan dunia. Dalam pergerakannya dapat menyentuh seluruh aspek penting kehidupan manusia, sehingga tidak dipungkiri dapat menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru bagi bangsa-bangsa di dunia. Hal tersebut disebabkan dalam globalisasi selain terjadi pergerakan barang dan jasa antar negara diseluruh dunia secara bebas dan terbuka juga menyangkut teknologi, pola konsumsi, pendidikan, nilai budaya dan lain-lain. Dalam istilah globalisasi juga mengandung suatu pengertian universalitas dan homogenisasi budaya yang cenderung berorientasi pada kapitalisme konsumtif (Barker, 2003). Hal tersebut dapat menjadi ancaman terhadap heterogenitas budaya lokal dan kemungkinan akan terjadi suatu dominasi cultural. Kondisi tersebut secara tidak langsung juga dikawatirkan dapat berpengaruh terhadap karakter bangsa.
Bagi bangsa Indonesia dengan keragaman seni dan budaya, heterogenitas masyarakat dengan beragam etnit, hal tersebut menjadi masalah yang serius, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah pemecahannya yang menyangkut aktivitas di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam kreativitas penciptaan karya seni rupa dan desain. Dibutuhkan tindakan-tindakan yang bijak dan terkendali, mengingat karya seni rupa juga dapat sebagai “tanda” dan “petanda” secara implisit padat menyiratkan kararter bangsa Indonesia.
II. Pembahasan
Pengertian Karakter Bangsa
Karakter secara etimologis barasal dari bahasa Yunani “kasairo” berarti “cetak biru” (blue print), “format dasar”, atau “sidik” (seperti sidik jari), namun dalam aplikasi istilah tersebut kadang dapat menimbulkan pengertian yang ambiguitas, pertama merupakan sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja, anugrah, kodrat atau sesuatu yang telah ada begitu saja dalam diri manusia. Kedua, karakter juga bisa dipahami sebagai tingkat kemampuan atau kekuatan seorang individu untuk menguasai kondisi tertentu. Karakter yang demikian disebutnya sebagai sebuah proses yang dikehendaki (Mounier, 1956). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994), karakter berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak, budi pekerti atau kepribadian yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (nilai, moral, dan norma) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.
Karakter merupakan perpaduan segala tabiat manusia yang bersifat tetap, sehingga menjadi “ciri” khusus , jati diri atau identitas yang membedakan orang satu dengan yang lain. Jadi karakter atau watak dapat terjadi karena perkembangan potensi dasar atau bakat yang merupakan kodrat dan telah mendapat pengaruh dari luar dirinya (Hamid, 2010). Berdasarkan pendapat tersebut, maka karakter sebenarnya dapat dibentuk melalui suatu “proses”, misalnya melalui proses pendidikan dan pengajaran atau pengalaman hidup.
Menurut Hamid (2010), bahwa karakter bangsa Indonesia adalah karakter yang dimiliki warga Negara Indonesia berdasarkan tindakan-tindakan yang dinilai sebagai suatu kebajikan berdasarkan nilai yang berlaku di masyarakat. Bagi bangsa Indonesia ada 17 potensi dasar yang diharapkan dapat dibangun terkait dengan karakter bangsa, yakni: religius, jujur, toleransi , disiplin , kerja keras , kreatif , mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat dan komunikatif, cinta damai, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung-jawab.
Kuat atau lemah karakter seseorang atau bangsa sangat ditentukan oleh kemampuan untuk mengelola kondisi-kondisi yang telah ada dari ‘sana’-nya atau menjadi tuan atas kondisi natural yang telah diterima. Seseorang disebut memiliki karakter kuat adalah mereka yang tidak mau dikuasai oleh sekumpulan realitas yang telah ada begitu saja. Sedangkan orang yang memiliki karakter lemah adalah mereka yang terdominasi dan tanpa daya untuk menguasainya atau tunduk pada sekumpulan kondisi kodrati yang telah diberikan kepadanya. Orang atau bangsa yang berkarakter adalah orang atau bangsa yang mampu membangun, mengembangkan dan merancang masa depannya sendiri demi kesempurnaan “kemanusiaannya” (Kusuma, 2007). Bangsa-bangsa yang maju saat ini adalah bangsa yang berkarakter dengan jati diri yang kuat, seperti: Jepang, Cina dan Korea.Walaupun bangsa-bangsa tersebut juga tidak luput dari terpaan gelombang globalisasi, namun mereka dengan cerdas, selektif dan tidak serta merta meninggalkan jati diri. Mereka dapat mengeleminasi sisi buruk dan mengambil sisi baik dari globalisasi serta dijadikan sebagai peluang terutama pada globalisasi ekonomi dan budaya. Bahkan dengan cara tersebut mereka dapat menunjukkan kepada dunia bahwa mereka eksis melalui budaya mereka yang khas yang diakui dunia.
Sedangkan pengertian “bangsa” menurut Otto Bauer dalam Budiyanto (1997) adalah kelompok manusia yang mempunyai persamaan nasib dan memiliki hasrat ingin hidup bersatu. Faktor obyektif terpenting dari suatu bangsa adalah adanya kehendak atau keingianan hidup bersama atau dikenal dengan nasionalisme. Cara yang dilakukan untuk mengwujudkan hasrat tersebut adalah dengan “mendirikan” negara dengan berbagai persyaratannya yang tujuan untuk dapat menampung aspirasi dan kepentingan bersama secara adil. Seperti bangsa Indonesia dengan keragaman seni budaya, heterogenitas masyarakat dengan beragam etnit, bahkan agama, dan memiliki persamaan karakter sejarah serta didukung oleh keinginan untuk hidup bersatu, maka terbentuklah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan dilandasi Pancasila.
Jadi berdasarkan uraian tentang karakter dan bangsa tersebut dapat diambil suatu pengertian bahwa karakter bangsa adalah ciri khas dan sikap suatu bangsa yang tercermin dari tingkah laku, sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti dari warga suatu negara. Sikap tersebut dapat dibangun dari sesuatu yang sudah ada dan dapat pula karena diusahakan sesuai dengan visi suatu negara atau pemerintah untuk kemajuan bangsanya. Demikian juga dalam aktivitas berkesenian perlu ditentukan suatu sikap terkait dengan membangun karakter bangsa.
Globalisasi dan Karakter Bangsa
Sekalipun globalisasi bukan merupakan wacana baru, namun isu globalisasi merupakan dinamika yang paling strategis dan membawa pengaruh terhadap nilai fundamental berbagai bangsa di dunia, tanpa kecuali bangsa Indonesia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa wacana globalisasi merupakan fenomena multidemensional yang menjalar dan menular ke berbagai aspek kehidupan. Kini era globalisasi sudah berlangsung, semua bangsa-bangasa tidak akan dapat melepaskan diri dari globalisasi. Globalisasi akan berdampak terhadap aspek-aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk dalam aktivitas berkesenian. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam paper ini kembali mengangkat isu globalisasi dan dijadikan sebagai pijakan, karena dikawatirkan dapat mempengaruhi karakter bangsa.
Globalisasi merupakan sebuah proses yang muncul sekitar dua puluh tahun yang lalu dan mulai populer sebagai ideologi baru sekitar sepuluh tahun terakhir. Istilah “globalisasi” diambil dari kata global yang mengandung makna universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia mengalami kompresi ruang-waktu serta makin terkait satu sama lain (Sutrisno, 2007)
Globalisasi budaya yakni merupakan “serangkaian proses dimana relasi akal dan budi manusia relatif terlepas dari wilayah geografis”. Hal tersebut memunculkan jalinan situasi yang integratif antara akal dan budi manusia di suatu belahan bumi dengan yang lainnya. Dari pemahaman tersebut tidak menutup kemungkinan muncul budaya pop yang mengglobal atau disebut dengan global pop culture, yakni budaya tren dalam suatu wilayah atau region yang kemudian dipopulerkan dan diterima hingga ke taraf dunia atau lingkup global. Hal tersebut sesuai dengan pendapat kaum hiperglobalis bahwa globalisasi budaya adalah, …homogenization of the world under the auspices of American popular culture or Western consumerism in general (Held, at al, 1999), bahwa globalisasi budaya adalah proses homogenisasi dunia dengan mengusung kemasan budaya popular Amerika dengan paham konsumerisme budaya barat pada umumnya. Kondisi tersebut jelas dapat dilihat dan dinilai dari penekanan konsumsi terhadap budaya Barat pada umumnya, sehingga muncul istilah Westernisasi yang digunakan sebagai simbol terhadap sifat konsumerisme. Paham hiperglobalis tersebut tidak terlepas dari sifat-sifat yang cenderung berorientasi pada ekonomi kapitalis. Dalam konteks tersebut dapat diartikan bahwa “Budaya Barat” adalah budaya yang “diperjual-belikan”, sementara masyarakat dunia pada umumnya sebagai konsumen atau penikmat. Sebagai contoh konsumsi terhadap bentuk pemerintahan atau sistem politik, mekanisme pasar atau paham ekonomi, aliran musik, gaya hidup, makanan, seni, desain, pakaian, dan sebagainya (Bridging World History, 2004).
Walapun demikian, banyak pihak anti globalisasi yang berseberangan dan kawatir dengan paham tersebut, karena dapat menjadi “ancaman” dan dapat merusak tatanan kehidupan heterogenitas budaya lokal dengan mengabaikan keragaman kearifan lokal atau local wisdom untuk menuju pada universalitas. Kedua kekuatan paham tersebut merupakan situasi yang dikotomi dan delematis serta tarik menarik. Menurut Yasraf (2005), bila homogenisasi daya tariknya lebih kuat, maka budaya lokal akan terseret ke dalam arus globalisasi, sehingga merupakan ancaman terhadap kesinambungan, eksistensi dan kehilangan identitas. Sedangkan bagi budaya lokal, jika tidak mengadakan “pengembangan”, maka peluang penciptaan keunggulan lokal tidak dilakukan, maka budaya etnik Nusantara justru akan dimanfaatkan oleh pihak luar yang berkepentingan, berupa “pencurian” kemudian dimodifikasi disesuaikan dengan kepentingan ekonomi-kapitalistik global.
Bagi masyarakat Indonesia dalam menghadapi fenomena globalisasi budaya sebenarnya tidak perlu dikawatirkan secara berlebihan, sebab pada globalisasi budaya ada ambiguitas yang melekat, yakni disatu sisi dunia sangat terbuka saling mengenal budaya antar bangsa dan di sisi lain ada kekuatan untuk mempertahankan identitas lokal. Menurut (Wolton dalam Nafi, 2004), bahwa Indonesia memiliki hal-hal yang positif untuk menghadapi globalisasi seni budaya. Pertama, karena jumlah penduduk sangat besar, sehingga dapat menciptakan kekuatan bagi kebudayaan lokal. Kedua adalah bahasa Indonesia yang hadir sebagai bahasa yang menyatukan keanekaragaman bahasa dan suku di Indonesia. Ketiga karena keragaman warisan seni budaya tradisional di Indonesia memiliki karakter yang sangat kuat dan telah mengakar serta sangat adaptif.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka dalam proses kreativitas seni rupa dan desain dalam era global diupayakan agar terjalin simbiosis mutual, di satu sisi perlu usaha untuk memperkokoh dan memelihara struktur nilai-nilai yang dikandung pada seni tradisi. Di isi lain agar tidak dieliminasi oleh budaya asing, perlu usaha pengambangan dan mengambil manfaat dari seni tradisi sebagai daya tarik yang khas, mencegah sisi buruk dari pengaruh budaya asing dan sekaligus sebagai usaha untuk memperkokoh karakter bangsa Indonesia.
Bersambung
Kiriman: Kadek Suartaya, SSKar., M.Si., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Suasana kampus Universitas Udayana di Jalan Sudirman pada Sabtu (30/4) itu terasa agak lain. Selain tampak adanya rutinitas kegiatan akademis, di sebuah aula kampus tersebut menggeliat meriah aksi pentas seni tradisi. Ratusan penari anak-anak dan remaja yang datang dari penjuru Bali hadir unjuk kemampuan. Hari itu, Fakultas Ekonomi Unud menggelar lomba tari se-Bali. Para penari dan penonton mendengarkan penuh perhatian pengumuman hasil lomba yang dibacakan oleh salah seorang juri. Suara gegap gempita merebak ketika nama-nama para juara disebutkan. Para juara menerima piala kemenangan dengan rona suka cita, bangga. Bagaimana dengan mereka yang belum masuk hitungan predikat juara?
Adalah manusiawi bagi para peserta lomba yang belum masuk deretan juara merasa kecewa dan tidak puas. Tetapi berkesenian sejatinya tidak hanya untuk lomba. Berkesenian sesungguhnya selain memiliki mamfaat individual bagi pelakunya juga dapat dijadikan media pergaulan dan jembatan bersosialisasi di tengah masyarakat. Lebih-lebih di tengah masyarakat Bali dimana dunia seni dengan kehidupan sosio-releginya begitu integral. Dalam ritual keagamaan misalnya, tidak ada upacara keagamaan yang dianggap sempurna tanpa kehadiraan penampilan seni tari, seni tabuh, seni vokal, seni teater hingga seni rupa. Lomba hanya sebuah pemicu untuk menginternalisasi rasa sayang dan cinta terhadap seni budaya bangsa di tengah era globalisasi ini.
Tentu, bagi para peserta yang berhasil menjadi sang juara, akan memberi stimulasi dan motivasi yang kuat untuk lebih berprestasi. Bahkan reputasi dalam bidang seni dijadikan muara membangun dirinya menjadi sumber insani bangsa yang berkarakter. Laras (13 tahun), misalnya, yang keluar sebagai juara I Tari Tarunajaya, mengaku sangat bangga dan bersyukur bergelut dalam dunia seni tari. “Dalam upacara keagamaan, saya senantiasa didaulat ngayah menari dan juga sering ditunjuk atau diutus mewakili sekolah dalam kompetisi seni,” ujar pelajar putri yang Ketua OSIS SMP Negeri 1 Sukawati, Gianyar ini mantap, penuh percaya diri.
Rasa percaya diri generasi muda kita akan terbangun jika dibekali dengan jati diri yang juga kokoh. Kesenian adalah sekumpulan nilai-nilai yang dipercaya dapat dijadikan pondasi mengarahkan insan-insan berkarakter humanis. Sebagai bangsa yang kaya dengan puspa ragam ekspresi seni dan budaya, semestinya negeri ini tidak perlu direcoki oleh prilaku-prilaku tak terpuji, hasrat-hasrat busuk, ulah tak senonoh dan seterusnya. Tapi apa boleh buat, krisis moral itu rupanya sedang menjangkiti bangsa ini. Belakangan, dari presiden hingga pejabat paling bawah mewacanakan urgennya pendidikan karakter, jika kita ingin menjadi bangsa yang bermartabat dan berkeadaban.
Pendidikan karakter itu dapat disemai dari kearifan lokal bangsa kita. Seni tradisi kita yang pada hakikatnya merupakan representasi dari kebudayaan luhur, sejak dulu telah menjadi media pendidikan yang ampuh dalam membentuk karakter masyarakatnya. Di Bali, hampir dalam semua seni pertunjukan tradisi, selain berfungsi sebagai persembahan, juga berkontribusi penting mencerahkan karakter masyarakatnya. Saat menonton teater Topeng atau dramatari Gambuh di pura, penonton memperoleh spirit keagamaan dan siraman rohani. Ketika menonton Arja atau Drama Gong di Bale Banjar, masyarakat penonton menyerap nilai-nilai moral dan sosial yang berguna. Lebih-lebih bila menyimak pementasan Wayang Kulit, penonton akan dihidangkan ensiklopedi kehidupan yang semuanya patut dijadikan pegangan diri.
Tetapi, masyarakat modern masa kini telah kehilangan orientasi hidup, terombang-ambing oleh centang perenang kusutnya zaman. Pergeseran budaya dan nilai-nilai mendistorsi pola pikir dan prilaku masyarakat kita. Guncangan budaya itu juga berimbas pada keberadaan lokal jenius yang terurai dalam ekspresi seni tradisi bangsa. Wayang Kulit yang dulu sangat karismatik di tengah masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali, kini terpojok lunglai. Di tengah masyarakat Bali tempo dulu, wayang merupakan tontonan favorit yang begitu deras mengisi alam pikiran dan dunia nyata masyarakatnya. Pesan-pesan ceritanya diresapi cermat dan tokoh-tokoh idolanya dijadikan teladan serta identifikasi diri. Namun kini, pendidikan karakter yang diberikan oleh teater wayang dan seni tradisi kita itu telah rapuh dan mandul. Seni tradisi kita tergilas laju era kekinian.
Era baru semestinya tak melumpuhkan karakter bangsa. Beruntung, semangat untuk memperkuat karakter diri, masyarakat, dan bangsa itu masih terasa membuncah di Pulau Dewata. Gairah berasyik masyuk dengan seni tradisi masih menyala-nyala di tengah masyarakat Bali. Kekhusukan ritual keagamaan masih dimeriahkan oleh persembahan seni ngayah. Para seniman Bali masih jengah mengawal dan mengembangkan warisan seni leluhurnya. Pemerintah Bali pun masih bergairah menyokong Pesta Kesenian Bali (PKB) yang direspons riuh masyarakat. Suara gamelan masih mengalun dan lenggok tari masih mengumbar senyum di Pulau Kesenian ini.
Di tengah masyarakat Bali pada umumnya, hasrat berkesenian dan menyimak kesenian tampak tumbuh dan berkembang sejak masa bocah. Ini berarti pendidikan karakter tunas-tunas bangsa itu sudah bersemi sejak dini. Oleh karena itu, berkesenian dalam konteks ritual keagamaan dan berkesenian dalam presentasi estetik festival atau lomba patut terus digelorakan, semuanya memiliki andil membentuk karakter manusia Bali.
Jakarta – Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 155/1998 tentang pedoman umum organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi dinilai sudah tidak relevan dengan dinamika kehidupan perguruan tinggi saat ini. Keputusan Menteri (Kepmen) tersebut belum memfasilitasi kebutuhan organisasi kemahasiswaan sekarang yang semakin hari semakin kompleks.
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh menyatakan, kepmen tersebut akan direvitalisasi. “Kondisi sekarang sangat berbeda dengan 1998. Organisasi kemahasiswaan merupakan alat untuk menata bagaimana energi dari mahasiswa bisa diarahkan untuk efektivitas,” ujar Menteri Nuh ketika berdialog dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Indonesia, Selasa (9/08) sore, di gedung D Kemdiknas.
Dialog dengan BEM ini merupakan langkah awal yang dilakukan Kementerian Pendidikan Nasional, melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, untuk menyusun kerangka revitalisasi kepmen ini.
Jika dilihat hierarki pendidikannya, Menteri Nuh mengatakan, mahasiswa telah melalui seleksi alam dalam sosial kemasyarakatan. Seperti diketahui jumlah siswa sekolah dasar ada 31 juta, siswa sekolah menengah pertama 27 juta, siswa sekolah menengah atas sembilan jutaan, dan jumlah mahasiswa hanya 5,2 juta. “Dari 237 juta penduduk Indonesia, hanya 5,2 juta di antaranya yang bisa menjadi mahasiswa.” katanya. Dari fakta sosial itulah,muncul penilaian bahwa ada potensi pemikiran yang tersimpan pada mahasiswa yang harus dikembangkan untuk masa depan yang lebih baik.
Mendiknas menyebutkan, ada tiga potensi yang dimiliki mahasiswa. Pertama, potensi akademik. Dengan potensi tersebut, kata Menteri Nuh, sayang sekali jika mahasiswa belum melakukan interaksi sosial kemasyarakatan. Kedua, potensi masa depan. Hampir bisa dipastikan tampuk kepemimpinan di masa yang akan datang akan diteruskan oleh mahasiswa. Maka dari itu, kata Menteri Nuh, integritas kepribadian mahasiswa harus dipelihara. Dan yang ketiga adalah potensi kontrol sosial. Mahasiswa akan menyuarakan apa yang menjadi keluhan rakyat tanpa harus terlibat dalam politik praktis. “Mahasiswa itu nothing to lose. Yang hitam disampaikan hitam,” kata Menteri Nuh.
Pada kesempatan tersebut Mendiknas secara langsung mendengarkan masukan dari mahasiswa. Salah satu masukan yang didengar Mendiknas selama berdialog dengan BEM ini adalah agar adanya aturan tentang organisasi mahasiswa dengan profesi sejenis. Masukan ini disampaikan Billa, mahasiswa kedokteran dari Universitas Indonesia. Billa mengatakan, penting adanya satu standar aturan bagi organisasi profesi. Menurutnya, dengan adanya standar tersebut memudahkan mahasiswa seprofesi untuk berinteraksi.
Sumber: kemdiknas.go.id
Kiriman: Gd Lingga Ananta Kusuma Putra, SSn., Alumni PS. DKV ISI Denpasar
Animasi
Penulis akan membahas tentang visualisasi desain pembuatan media animasi banner yang digunakan sebagai salah satu media promosi SD Saraswati 2 Denpasar.
Unsur Visual Desain
1. Bentuk Fisik
Animasi ini hasil file jadinya berformat AVI dan disimpan dalam CD-R.
2. Ilustrasi
Ilustrasi yang digunakan adalah karakter seorang murid SD Saraswati 2 Denpasar yang perannya sebagai guide memperkenalkan semua informasi yang ada di SD ini, ada juga beberapa karakter tambahan yaitu teman-temannya, guru, seorang anak dan orang tua murid. Jenis karakter yang digunakan adalah bentuk manga,
3. Teks
Pada media animasi ini, menggunakan teks selain nama SD Saraswati 2 Denpasar sendiri, ada juga syarat dan tempat pendaftaran untuk bersekolah di SD ini.
4. Huruf / Typografi
Menggunakan 1 jenis huruf, yaitu Times New Roman. Huruf jenis ini digunakan karena bentuknya yang simpel/sederhana juga mudah dibaca. Keseluruhan jenis typografi tersebut diatas dikomposisikan menurut ukuran dan keseimbangan guna mendapatkan kesatuan serta ritme yang tepat dimana nantinya dapat memberikan keseimbangan informasi yang dinamis.
5. Warna
Dalam perancangan animasi ini, menggunakan warna merah dan putih pada baju setiap murid SD Saraswatinya, Abu dan hitam pada baju guru, biru, putih, hitam pada orang tua dan anak.
6. Format
Dalam pembuatan media ini hasil akhirnya akan disimpan dalam format AVI.
Kreatif Desain
Kreatif desain merupakan proses kreatif yang terdiri dari layout/gambar kasar dan gambar detail, serta mempertimbangkan indikator serta unsur-unsur desain dan bobot penilain desain sebagai acuan desain terpilih. Dalam proses kreatif perancangan desain tas ini, dibuat 3 alternatif desain.
Desain tas ini dipilih karena jika dibandingkan dengan 2 alternatif desain yang lainnya, tata letak dan ilustrasi dalam desain ini dianggap lebih menarik, lebih banyak memenuhi kriteria desain serta paling sesuai dengan konsep perancangan yang digunakan yaitu “ceria dan informatif”. Teks yang digunakan dalam desain ini berupa slogan promosi yang singkat, jelas dan informatif. (untuk lebih jelasnya lihat lampiran)
CD Interaktif
Pada sub ini penulis akan membahas tentang visualisasi desain pembuatan media CD Interaktif yang merupakan salah satu media promosi SD Saraswati 2 Denpasar.
Unsur Visual Desain
1. Bentuk File
Bentuk File dari CD Interaktif ini adalah AVI, dan disimpan dalam bentuk CD-R.
2. Ilustrasi
Dalam perancangan media CD Interaktif ini menggunakan ilustrasi karakter yang berbentuk seorang anak SD Saraswati 2 Denpasar.
3. Teks
Pada media CD Interaktif ini, menggunakan teks berupa tombol navigasi visi dan misi, fasilitas, pengajar, ekstrakurikuler, prestasi dan penutup. Dan masing-masing navigasi memiliki teks yang berisi mengenai informasi yang berhubungan dengan SD Saraswati 2 Denpasar.
4. Huruf / Typografi
Menggunakan jenis huruf, yaitu Times New Roman. Huruf jenis ini digunakan karena bentuknya yang simpel/sederhana juga mudah dibaca.
5. Warna
Dalam perancangan pin ini menggunakan warna sebagai berikut :
– Untuk warna background menggunakan warna putih.
– Untuk ilustrasi karakter menggunakan warna merah dan putih pada pada bajunya dan kulitnya serta hitam pada rambut.
– Tulisan pada tombol navigasi didominan warna gelap seperti abu-abu dan hitam.
6. Format
Perancangan media CD Interaktif ini, hasil akhirnya akan berformat SWF dan disimpan dalam bentuk CD-R
7.Teknik
Untuk mewujudkan media ini menggunakan teknik burning CD.
Kreatif Desain
Kreatif desain merupakan proses kreatif yang terdiri dari layout/gambar kasar dan gambar detail, serta mempertimbangkan indikator serta unsur-unsur desain dan bobot penilain desain sebagai acuan desain terpilih. Dalam proses kreatif perancangan desain sampul CD Interaktif ini, dibuat 3 alternatif desain.
Desain CD Interakti ini dipilih karena jika dibandingkan dengan 2 alternatif desain yang lainnya, tata letak dalam desain ini dianggap lebih menarik, lebih banyak memenuhi kriteria desain serta paling sesuai dengan konsep perancangan yang digunakan yaitu “ceria dan informatif”.
Animasi Dan CD Interaktif Sebagai Sarana Promosi SD Saraswati 2 Denpasar, Selengkapnya