Struktur Pertunjukan Wayang Calonarang Lakon Kautus Rarung Dalang Ida Bagus Sudiksa, Bagian I

Struktur Pertunjukan Wayang Calonarang Lakon Kautus Rarung Dalang Ida Bagus Sudiksa, Bagian I

Kiriman I Ketut Gina, Mahasiswa PS. Seni Pedalangan

            Sebelum melangkah ke dalam pertunjukan Wayang Kulit Calonarang, terlebih dahulu meninjau sejarah dari Calonarang yang ada di Jawa ada dua (2) versi, yaitu: 1) Versi keraton yang mengisahkan tentang “Diusir Ratna Menggali”, dan 2) Versi masyarakat yang mengisahkan tentang “Bahula Duta”. Versi cerita yang dikuasai oleh dalang Ida Bagus Sudiksa meliputi: 1) Cerita “Kautus Rarung”, 2) Cerita “Ngeseng Bingin” (Bahula Duta), dan 3) Cerita “Diah Padma Yoni”. Yang menjadi pokok penelitian adalah cerita Diah Padma Yoni.

1 Lakon dan Pembabakan Ceritera

            Pertunjukan Wayang Calonarang persembahan dalang Ida Bagus Sudiksa di Pemuwunan Setra Pura Dalem Desa Kerobokan telah mengalami perubahan, baik cerita, lakon, maupun gamelan (musik iringannya). Sperti halnya di tahun 1989 sampai tahun 1996 dengan cerita penyalonarangan, lakon “Kunti Yadnya”, musik iringan menggunakan seperangkat gamelan batel. Penyalonarangan yaitu Calonarang hanya sebagai konsep pertunjukan, bukan cerita Calonarang. Pada awal ceritanya adalah Wayang Parwa dengan, kemudian pada babak ke dua dilanjutkan dengan cerita Calonarang, karena kemarahan Sang Duryodana tidak terima bahwa para Pandawa mengadakan upacara, maka Sang Duryodana datang ke kuburan minta kepada Betari Durga, agar memberikan anugerah agar dia dapat menghancurkan upacara para Pandawa. Permintaan Sang Duryodana dipenuhi oleh Betari Durga, malahan terlibat langsung menghancurkan upacara para Pandawa, dengan perubahan wujud menjadi Rangda atau Calonarang.

Setelah tahun 1997 sampai tahun 2008, dalang Ida Bagus Sudiksa mementaskan Wayang Calonarang dengan lakon “Ngeseng Bingin” (Bahula Duta), dengan musik iringan seperangkat Semar Pegulingan. Cerita singkatnya adalah Prabu Erlangga membatalkan peminangan terhadap Diah Ratna Menggali untuk dijadikan permaisuri, karena Diah Rangda Menggali merupakan anak seorang leak. Karena Walu Nata merasa tersinggung dengan perlakuan Prabu Erlangga, maka Walu nata berangkat ke kahyanga Dalem mohon kepada Betari Durga agar diberikan ilmu hitam tingkat tinggi. Permintaan walu nata dipenuhi oleh Betari Durga dengan menganugrai sepasang rontal yang bernama “Niscaya Lingga” ilmu hitam), dan “Nircaya Lingga” (ilmu putih). Karena kesaktian yang dimiliki oleh Walu Nata, maka hancurlah kerajaan Kediri ditimpa wabah penyakit, setiap harinya puluhan orang meninggal dunia. Prabu Erlangga bingung, cemas memikirkan kerajaannya hancur, maka minta pertolongan kepada Mpu Beradah yang tinggal di Pesraman Lembah Tulis. Mpu Beradah menyanggupinya dan mengutus anaknya yang bernama Mpu Bahula agar datang ke Kerajaan Dirah mencuri ke dua pustaka itu, dengan tipu muslihat mempersunting Diah Ratna menggali, siasat Mpu Bahula berhasil, kemudian diserahkan ke dua pustaka itu kepada Mpu Beradah, dan setelah dipelajari, Mpu Beradah tahu kelemahan Walu Nata, akhirnya Walu Nata dapat dibuatnya bertekuk lutut. Kembalilah normal kerajaan Kediri.

Pada tahun 2009 dalang Ida Bagus Sudiksa mementaskan Wayang Calonarang dengan cerita Diah Padma Yoni, dengan mengangkat lakon “Kautus Rarung”, dengan petangkilan mulai di Kerajaan Kediri. Menceritakan bahwa permaisuri Prabu Erlangga bernama Diah Padma Yoni sedang hamil muda menginginkan (ngidam) otak dan daging hati manusia. Diah Padma Yoni diusir dan terlunta-lunta di Hutan Dirah. Setelah beberapa tahun Diah Padma Yoni mampu membangun sebuah kerajaan yang diberi nama Kerajaan Tanjung Pura, karena status Diah Padma Yoni seorang janda di Kerajaan di Hutan Dirah, maka dia bernama Walu Nateng Dirah. (ceritanya dapat dibaca pada lampiran lima antawecana halaman 120.

Struktur pertunjukan Wayang Calonarang persembahan dalang ida Bagus Sudiksa tidak mengalami perubahan, karena masih mengikuti struktur pertunjukan tradisional, seperti tari kayonan I, nyejer, tari kayonan II (ngabut kayonan), petangkilan, penyacah kanda, pengalang ratu (bebaturan), angkat-angkat, dan siat. Pertunjukan Wayang Calonarang ini kalau dilihat dari fungsinya termasuk seni balih-balihan, karena merupakan tontonan di luar jalannya upacaya, dan bebas dinikmati oleh siapapun yang ingin menonton pertunjukan tersebut. Begitu pula wayang Calonarang dipentaskan di luar pura, yaitu di Pemuwunan Setra Pura Dalem Desa Kerobokan, lokasinya ada di pinggir jalan utama. Tempatnya dapat dijangkau dan dinikmati oleh penonton masyarakat umum, tidak terikat dengan aturan-aturan pakaian adat seperti layaknya orang ke Pura, Esensi atau makna pertunjukan ini ada kesucian (sakral), karena mengungkap mistikisme kehidupan tokoh yang berperan penting (tokoh antagonis) di dalam ceritera Calonarang.

Sedana dalam disertasinya yang berjudul Kawi Dalang: Creativity in Wayang Theatre menjelaskan, bahwa pakem dibagi menjadi tiga bagian yaitu: pakem balungan, pakem gancaran, dan pakem jangkep. Pakem balungan merupakan tuntunan pembelajaran pedalangan Bali atau playskrip yang hanya memaparkan cerita secara ilustratif atau garis besar saja, tanpa diikuti oleh susunan pementasan atau dialog yang jelas. Pakem gancaran merupakan naskah cerita yang berbentuk prosa atau sinopsis, bentuknya lebih jelas dibandingkan dengan pakem balungan (kitab Ramayana dan Mahabharata beserta sumber-sumber cerita lainnya dikategorikan sebagai pakem gancaran). Pakem jangkep yaitu sebuah naskah yang lengkap berisi struktur atau satu alur cerita pementasan pewayangan beserta dialognya (antawecana/retorikanya). Bandem menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Mengembangkan Lingkungan Sosial yang Mendukung Wayang, bahwa pakem itu sifatnya masih sangat subyektif, seperti pengalaman yang mereka peroleh secara turun tumurun dari guru-guru mereka. Struktur pementasan beserta dialog-dialog yang dipentaskan sifatnya masih konvensional seperti yang diwarisi dari generasi sebelumnya. Djelantik, dalam bukunya yang berjudul Falsafah Keindahan dan Kesenian menyebutkan, bahwa struktur di dalam karya seni itu terdapat suatu pengorganisasian, pengaturan, mempunyai hubungan tertentu antara bagian-bagian dari keseluruhan itu. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa struktur adalah pengaturan atau ketentuan dari unsur-unsur suatu benda.  Pengertian yang menyiratkan, bahwa unsur-unsur yang membangun sebuah struktur harus berhubungan secara fungsional, artinya unsur itu saling mendukung dan melengkapi, sehingga mampu membangun suatu struktur yang kokoh. Sementara menurut Poerwadarminta struktur dapat diartikan bermacam-macam. Struktur bisa berarti susunan, bangunan, atau struktur berarti bagaimana sesuatu disusun.

Menurut Marajaya, untuk menyebutkan suatu karya yang bernilai estetis sesungguhnya terletak pada struktur pertunjukan Wayang Kulit Bali. Struktur atau susunan dalam pertunjukan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: struktur dalam arti luas dan struktur dalam arti sempit. Struktur dalam arti luas yaitu struktur yang membangun pertunjukan yang terdiri dari beberapa bagian atau adegan, seperti adegan petangkilan, adegan angkat-angkatan, adegan siat, dan lain sebagainya. Sementara struktur dalam arti sempit, yaitu struktur yang di dalamnya terdapat bagian-bagian yang saling keterkaitan, misalnya di dalam adegan  petangkilan  biasanya  terdapat  beberapa  macam  elemen  estetik  seperti

gending alas arum, penyacah parwa, tetikesan, gancaran (antawacana) dan iringan. Elemen-elemen tersebut ditampilkan secara terstruktur.

Purnamawati dalam tesisnya menyebutkan, bahwa setidak-tidaknya ada sepuluh jenis motif gending yang mengiringi pertunjukan wayang kulit Bali, yaitu pategak (gending awal sebagai pembuka untuk menarik minat pertunjukan), pamungkah (sama dengan pategak tetapi segera untuk mengawali pertunjukan), petangkilan (suasana persidangan), pengalang ratu (persidangan lanjutan), angkat-angkatan (perjalanan laskar menuju medan peperangan), rebong (suasana romantis dari tokoh-tokoh penting), tangis (suasana sedih para tokoh-tokoh penting), tunjang (suasana keras), batel (perkelahian dan peperangan yang sesungguhnya), dan penyudamalan (penutup).

Struktur Pertunjukan Wayang Calonarang Lakon Kautus Rarung Dalang Ida Bagus Sudiksa, Bagian I Selengkapnya

Seniman Bali Cemas Ketika Seni Dikemas

Seniman Bali Cemas Ketika Seni Dikemas

Kiriman Kadek Suartaya, SSKar., MSi., Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.

“Seni tradisi melarat, Barong Batubulan perang komisi, Cak Bona tinggal kenangan”. Demikian jeritan yang mengemuka di surat kabar belakangan ini sehubungan kian carut marutnya seni pertunjukan wisata di Pulau Dewata. Pemerkosaan terhadap seni tradisi  dan teraniayanya seniman Bali pelaku seni pentas turistik, merupakan cerita laten yang tak pernah menemukan solusi hingga hari ini. Soal seniman berhimpitan pentas naik truk, honor ala kadarnya, standar tarip pentas yang amburadul, kualitas seni yang asal-asalan, sertifikat laik pentas yang semu, dan seterusnya, adalah sederetan persoalan ruwet yang senantiasa berkemelut di sekitar seni pertunjukan wisata Bali. Objek penderitanya, yang pasti: seni dan seniman.

            Kisah pilu jagat seni wisata adalah derita yang umum mendera seni tradisi lokal yang dikemas sebagai objek komoditi di berbagai destinasi dunia. Topik ini diungkapkan sebuah makalah bertajuk “Komoditifikasi Seni Pertunjukan Bali” yang disajikan dalam Sarasehan Budaya Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-33 tahun 2011, Jumat (1/7) lalu, bertempat di Gedung Natya Mandala Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Sebagai nara sumber, Dr. I Ketut Suwentra, SST, mengungkapkan bahwa industri pariwisata adalah sebuah situasi dan kondisi yang memberi ruang dan peluang terhadap komodifikasi seni. “Dalam konteks industri pariwisata, nilai-nilai estetik lokal masyarakat menjadi atraksi andalan. Seni pertunjukan Bali telah dikomodifikasi sejak awal kedatangan para pelancong di Pulau Dewata. Komodifikasi seni pertunjukan Bali dalam jagat kepariwisataan itu juga telah merambah bentuk-bentuk seni pentas yang tergolong sakral,“ ujar Ketut Suwentra yang dikenal sebagai Pekak Jegog ini.

Sebagai destinasi wisata dunia, papar Ketut Suwentra, Bali, kini, adalah sebuah komoditi. Bali memiliki nilai jual. Adalah industri pariwisata yang semakin mengukuhkan Bali sebagai sebuah komoditi. Begitu pesatnya perkembangan pariwisata di pulau ini menyebabkan semua pihak ingin mengkomodifikasikan hampir seluruh lekuk sekala dan niskala Bali, dari gunung hingga laut, dari relegi hingga mistik. Anugrah alam Bali dikomodifikasi tanpa sisa. Danau, sungai, pantai dan laut yang diyakini oleh orang Bali sebagai tempat pembersihan suci kini telah dikomodifikasi. Gunung, bukit, tebing yang dipercaya orang Bali sebagai bersemayamnya para dewa dan mahluk halus kini juga dikomodifikasi. Euporia mengkomodifikasi alam Bali begitu sarat gairah, baik oleh orang Bali sendiri maupun pihak luar yang mencari rejeki ekonomi di Bali. “Karena begitu permisifnya paham komodifikasi dijadikan prinsip meraup keuntungan finansial, sehingga nilai-nilai sakral, terlarang, dan rahasia pun dijajakan sebagai sebuah komoditi,“ ujarnya lugas.

Komoditifikasi adalah anak cucu dari kapitalisme yang kini mengungkung afmosfer Bali. Tarik-ulur, konfrontasi  dan  proses  tawar-menawar, kini sedang gencar berlangsung dalam masyarakat Bali kontemporer.  Sebagai  bagian dari peradaban   global, masyarakat Bali  sedang mengalami perubahan-perubahan, baik yang bergolak secara internal maupun yang menggedor secara eksternal. Konsekuensinya adalah  terjadi pergeseran-pergeseran nilai. Semua ini berimplikasi terhadap  prilaku dan pola berpikir masyarakatnya. Misalnya mengemuka kecendrungan sadar sesadar-sadarnya akan arti ekomomi-uang  dan  pasar.   Tengok misalnya bisnis kesenian dalam  jagat pariwisata Bali dan berkesenian di tengah masyarakat lokal. Merupakan suatu persoalan yang dilematis adalah bagaimana para seniman Bali menyikapi  atau mengkompromikan  antara budaya  “tulus”  ngayah  dengan budaya “materialistis”  ekonomi-uang-pasar yang menggedor  hampir  dalam setiap lekuk dan sendi kehidupan mereka.

Bali diidentikkan dengan jagat seni. Kehadiran beragam ungkapan seni itu seirama dengan denyut dan tarikan napas religius masyarakatnya dalam semangat kolektif sekaa-sekaa kesenian di banjar atau dalam ketulusan ngayah di pura. Tetapi ketika zaman berubah dan kini ketika globalisasi menerjang, tak pelak membawa dampak yang besar dalam berbagai aspek kehidupan penghuni jagat ini, termasuk pada masyarakat Bali dan keseniannya. Kesenian Bali tidak lagi hanya diperuntukkan untuk persembahan belaka, namun juga dipertontonkan kepada wisatawan. Seperti kita ketahui era kesejagatan yang lazim bertiup dengan transformasi budaya sudah tentu membawa guncangan besar dan kecil pada tata kehidupan dan perilaku masyarakatnya. Dunia ide dan rasa dalam selimut estetika yang disebut kesenian Bali, rupanya tak juga luput dari  “provokasi“  semangat zaman. Industri pariwisata sebagai salah satu representasi globalisasi, mengkomodifikasi seni pertunjukan dengan ikutan beragam dampaknya.

        Menurut Ketut Suwentra,  komodifikasi adalah sebuah ideologi pasar. Ideologi ekonomi-uanglah yang menyangga komodifikasi seni pertunjukan Bali dalam jagat kepariwisataan. Sebagai sebuah industri perpanjangan tangan dari kapitalisme, tentu tujuan memperoleh keuntungan sebanyak-banyak adalah yang menjadi kredonya, sementara bagaimana dampak negatif dari praktek komodifikasinya bukan menjadi domainnya. Sedangkan komodifikasi seni pertunjukan di tengah masyarakat Bali masih berada di wilayah antara ketulusan ngayah, berkesenian untuk masyarakat, dan komodifikasi situasional. “Untuk meminimalisir dampak negatif dari praktek komodifikasi, kiranya diperlukan kesadaran masyarakat  dan kepedulian pemerintah terhadap keberadaan seni pertunjukan Bali sebagai sebuah kristalisasi budaya yang patut diberdayakan posisinya di tengah keniscayaan globalisasi,“ himbau Suwentra.

Seniman Bali Cemas Ketika Seni Dikemas, selengkapnya

Awal Mula Munculnya Tari Legong Sambeh Bintang

Awal Mula Munculnya Tari Legong Sambeh Bintang

Kiriman Ni Wayan Ekaliani, Mahasiswa PS. Seni Tari ISI Denpasar

Untuk menjelaskan awal mula munculnya tari Legong Sambeh Bintang ini digunakan teori Religi. Taylor mengungkapkan bahwa religi adalah suatu keper-cayaan atau keyakinan yang dimiliki oleh seseorang yang membuat mereka wajib melakukan sesuatu untuk persembahan baik dalam bentuk perilaku, sesaji  untuk upacara ritual, maupun tarian untuk menunjukkan rasa baktinya kepada Sang Maha Pencipta Alam Semesta/Tuhan Yang Maha Esa karena mereka meyakini adanya kekuatan gaib di lingkungan sekitar kehidupannya.

Suatu ritus atau upacara religi umumnya terdiri dari kombinasi yang merang-kaikan satu-dua kegiatan. Sebagaimana masyarakat Hindu-Bali ketika mereka melakukan upacara ritual keagamaan, mereka umumnya melakukan upacara ritual keagamaan dengan  mempersembahkan sesaji yang disertai persembahan seni pertunjukan. Mereka akan merasa upacara persembahan yang dilakukannya itu kurang lengkap jika tidak dilengkapi unsur bunyi-bunyian dan tari-tarian. Hal itu juga dilakukan  masyarakat Desa Bangle.  Untuk mensyukuri berkah dan memohon agar pertaniannya tidak diserang hama penyakit, mereka melakukan upacara persembahan kepada para dewata,  setiap enam bulan sekali pada upacara piodalan Ngusaba Desa di Pura Desa yang jatuh pada hari Umanis Kuningan. Sebagaimana diungkapkan I Nengah Wati (70 th), pada wawancara tgl 21 Desember 2010 sebagai berikut.

…penduduk desa ini miskin. Sebagian besar dari kami menghidupi keluarga dari hasil bertani, dan melaut sebagai nelayan. Dari dua mata pencaharian penduduk di desa ini, yang paling sering mendapat cobaan adalah kami yang menggantungkan hidup ini dari hasil bertani. Tanaman kami dulu sering terserang hama penyakit, sehingga kami sering kebingungan karena gagal  panen. Keluarga kami sering kelaparan dan sakit-sakitan. Pada suatu hari, saya mendapat pewisik agar warga di sini menghaturkan sesaji di Pura Desa ini. Saya heran, setelah melakukan upacara di pura itu perlahan-lahan hasil pertanian warga di sini mengalami peningkatan. Sejak itu kami selalu mempersembahkan sesaji di pura itu agar Beliau melindungi kami.

            Dari pernyataan tersebut di atas dapat diketahui bahwa masyarakat Desa Bangle yakin akan adanya kekuatan gaib yang dapat memberi mereka perlindungan dari serangan wabah penyakit.

Semula, masyarakat Desa Bangle hanya memiliki Gamelan Terompong Beruk sebagai pelengkap persembahan mereka di pura. Seiring berjalannya waktu, mereka pun berkeinginan untuk menampilkan pependetan (tari-tarian) pada saat upacara piodalan di Pura Desa tersebut. Sebagaimana diungkapkan I Nengah Wati (70 th), ketika wawancara dilakukan pada tgl 21 Desember 2010, sebagai berikut.

… dulu pada saat upacara piodalan di Pura Desa kami hanya mem-persembahkan tetabuhan (lagu) dari menabuh gamelan Terompong Beruk. Gamelan ini sudah ada sejak zaman kakek saya. Kami tidak tahu secara pasti tahunnya. Tetapi ketika zaman Belanda gamelan ini sudah ada, dan kami hanya meneruskan saja. Kami belajar menabuh gamelan ini secara tradisi, turun-temurun. Semua warga desa, khususnya yang laki-laki, harus bisa memainkan gamelan ini karena kami harus ngayah megamel (menabuh) di setiap upacara piodalan di pura ini.

Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa gamelan Terompong Beruk telah muncul dan berkembang ketika zaman penjajahan Belanda. Karena dibutuhkan untuk digunakan sebagai persembahan di setiap upacara piodalan di Pura Desa, maka warga masyarakat setempat belajar dan mampu memainkan alat musik tradisional tersebut.  Dari penuturan informan tersebut juga dapat diketahui, bahwa walaupun mereka berada dalam kondisi serba terbatas baik dalam pengetahuan  maupun  sarana yang dimimilikinya, namun hal itu tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk hidup berkesenian.

Penyajian bunyi-bunyian berupa gamelan ini berlangsung cukup lama. Sampai suatu ketika tetua pura yang bernama I Nyoman Karang (75 tahun) mem-punyai gagasan untuk meramaikan upacara Usaba Desa tersebut dengan memper-sembahkan tari-tarian. Desa tersebut tidak mempunyai gamelan lain selain Terom-pong Beruk maka tarian yang ditampilkan oleh para pemedek (warga yang bersembahyang) di pura tersebut menari diiringi Gamelan Terompong Beruk. Sebagaimana diungkapkan oleh informan I Nyoman Kaler pada sebuah wawancara yang dilakukan di rumahnya tgl 21 Desember 2010, pukul 10.00 wita menuturkan sebagai  berikut:

“… ketika upacara piodalan sedang berlangsung, saya lupa tahunnya, ada petunjuk dari Beliau agar kami mempersembahkan tari-tarian untuk persembahan kepada para dewata. Saya bingung pada waktu itu. Ketika itu seketika ada inisiatif, agar para warga (para gadis) yang datang sembahyang di pura ini menari di hadapan pelinggih ini.  Maklum anak-anak itu bukan penari, jadi mereka melakukan secara seadanya, sebagaimana yang ditampilkan itu”.

Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa tari Legong Sambeh Bintang ini memang diciptakan untuk tari persembahan kepada para dewata, yang dipentaskan masyarakat setempat di setiap upacara piodalan Ngusaba Desa, di Desa Bangle, Abang, Karangasem.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat penyungsung pura itupun merasa perlu mempersembahkan tari-tarian selain tetabuhan pada saat upacara piodalan Ngusaba Desa itu dilaksanakan. Mereka berkeyakinan bahwa dengan mempersem-bahkan sesaji dilengkapi tetabuhan dan tari-tarian para dewata penguasa alam di desa tersebut akan  merasa lebih senang, dan berkenan mengabulkan permohonannya yakni diberi perlindungan agar pertanian mereka tidak diserang hama penyakit. Untuk itu, mereka pun berupaya menampilkan tari-tarian seadanya diiringi Gamelan Terompong Beruk pada saat upacara piodalan Ngusaba Desa yang jatuh tiap enam bulan sekali tepatnya pada hari Umanis Kuningan.

            Berawal dari mempersembahkan Gamelan Terompong beruk yang mereka buat dari batok kelapa, masyarakat setempat mulai berkreasi menciptakan sebuah tarian yang walaupun dilakukan dengan ragam gerak bebas dan seadanya, mereka bangga akan kesenian yang mereka miliki itu. Hal itu tampak dari ekspresi dan sikap masyarakat setempat ketika mereka mempersembahkan tarian tersebut di setiap upacara piodalan Ngusaba Desa, di Pura Desa, desa setempat. Hal itu diperkuat oleh pernyataan salah seorang informan bernama I Nyoman Kaler (75 tahun) pada wawancara tgl 21 Desember 2010, pukul 10.00 wita yang menuturkan sebagai berikut.

“untuk melengkapi persembahan sesaji yang kami haturkan kami selalu mempersembahkan Tari Legong Sambeh Bintang diiringi Gamelan Terompong Beruk pada upacara piodalan di Pura Desa”.

Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa masyarakat di Desa Bangle, Karangasem sejak dahulu telah hidup berkesenian untuk persembahan kepada para dewata.  Hal senada juga dikemukakan oleh salah seorang seniman tua yang ada di Desa Bangle, bernama Ni Luh Rongket (80 tahun), pada wawancara yang dilakukan di rumahnya tanggal 10 Desember 2010, pukul 14.00 wita menuturkan sebagai berikut.

“tari Legong Sambeh Bintang ini sudah ada sejak saya lahir.  Menurut Ibu saya, penari pertama tarian ini adalah nenek saya ketika beliau masih gadis. Katanya beliau didapuk menarikan tarian ini di depan pelinggih pura ketika upacara piodalan berlangsung. Kira-kira hal itu terjadi pada zaman penjajahan Belanda”.

Dari pernyataan tersebut dapat di ketahui bahwa awal mula munculnya tari Legong Sambeh Bintang ini kira-kira ketika zaman penjajahan Belanda, yakni pada tahun 1920-an.  Sejak awal muncul dan berkembangnya tari Legong Sambeh Bintang yang hingga kini tetap disakralkan masyarakatnya ini ditarikan oleh para gadis (daha) yang belum mengalami akil balik. Sebagaimana diungkapkan oleh informan bernama I Ketut Puger, salah seorang seniman Desa Bangle pada sebuah wawancara yang dilakukan tanggal 5 Desember 2010, yang menuturkan antara lain sebagai berikut.

“Tari Legong Sambeh Bintang ditarikan oleh 50 orang gadis yang belum mengalami akil balik dan belum potong gigi. Kira-kira umur mereka 10-13 tahun.  Namun walaupun penari yang diperbolehkan menarikan tarian ini belum mengalami akil balik, tetapi jika mereka masih terlalu kecil (tangan mereka belum dapat menyentuh apit-apit Bale Agung) yang ada di Pura Puseh, desa setempat, merekapun tidak diperkenankan menarikan tarian ini”.

Awal Mula Munculnya Tari Legong Sambeh Bintang selengkapnya

Ngayah  Di  Pura  Pauman

Ngayah Di Pura Pauman

Kiriman Dewi Yulianti, Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.

Kegiatan “ngayah” merupakan kegiatan rutin kampus ISI (Institut Seni Indonesia) Denpasar.Pada hari Senin (15/8) yang lalu,pada saat rainan Kajeng Kliwon, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar ‘ngayah’ di Pura Kauman Banjar Sumerta Kaja, Denpasar, dalam pementasan Calon Arang berjudul “Gusti Ayu Pelung”.

Dalam pementasan ini, ISI Denpasar membawakan tarian Telek dan Watangan. Tarian Telek dibawakan oleh Kadek Arsiniwati, Nyoman Sriwahyuni, Gusti Ayu Srinatih, Ni Nyoman Kasih, Oka Surya Negara, serta  Sutirta. Kemudian untuk Tarian Watangan atau Bangke-Bangke dibawakan oleh I Nyoman Kerta yang merupakan dosen ISI Denpasar serta warga dari Banjar Lebah jalan Kecubung, Denpasar. Dalam kesempatan ini turut hadir pula Rektor ISI Denpasar yang menyaksikan pementasan Calon Arang, dimana beliau sempat mengungkapkan bahwa  ISI Denpasar mengikuti acara ngayah di Pura Kauman yang merupakan perwujudan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi. “Kami sangat bersyukur kepada Tuhan, karena kami diberikan kesempatan untuk “ngayah” dengan talenta seni yang kami miliki, untuk dipersembahkan kembali kepada Tuhan. Terima kasih juga kepada panitia yang telah member kami kesempatan untuk turut serta dalam kegiatan ngayah ini, yang mana para seniman ISI Denpasar mendapat kesempatan untuk berkolaborasi dengan masyarakat dalam kegiatan ngayah ini,”papar Prof. Rai.

Ketua Pelaksanaan kegiatan ini mengungkapkan bahwa kegiatan yang berlangsung tepat pada malam Kajeng Kliwon ini merupakan rangkaian acara odalan dari Pura Kauman. Rangkaian acara ini akan dimulai pada pukul delapan malam hingga selesai, adapun susunan acara dalam pementasan Calon Arang ini adalah Barong 1, Legong Kuntul, Jauk Manis, Barong 2, Telek, Sisya, Desak Rai, Liku, Matah Gede, Penasar Wijil, Mantri, Bendega, Sisia Ngereh, Watangan, Bondres, Banjar-Banjaran atau Grubug, Balian, Pandung, serta Rangda dan Unying. Rangkaian Acara yang berjumlah 19 tarian ini baru usai hingga dini hari.

Loading...