by admin | Sep 7, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Ni Wayan Ekaliani, Mahasiswa PS. Seni Tari ISI Denpasar
Sebuah pertunjukan hubungan antara tari dan musik tidak dapat dipisahkan, karena musik memiliki peranan yang sangat penting untuk memberikan irama dan aksen-aksen di dalam pementasan. Tanpa adanya musik iringan, maka sebuah pertunjukan tarian tidak akan sempurna. Begitu juga dengan tari Legong Sambeh Bintang musik iringan di sini memiliki peranan yang sangat penting dalam mendukung jalannya pertunjukan. Tarian Legong Sambeh diiringi oleh barungan Gamelan Terompong Beruk. Gamelan ini merupakan sebuah barungan gamelan yang sebagian besar instrumennya menggunakan beruk atau tempurung kelapa sebagai resonator. Adapun instrumen-instrumen yang terdapat dalam barungan Terompong Beruk adalah sebagai berikut.
1 Dua buah kendang yaitu kendang lanang dan wadon yang berfungsi sebagai penguasa irama penghubung bagian gending-gending, membuat angsel dan mengendalikan irama gending.
2. Tujuh buah cenceng Baleganjur yang terbuat dari besi bekas singkal dan kejen yang telah rusak (alat pembajak tradisional) yang berfungsi sebagai penggaris bawah ritme gamelan.
3. Empat suling berfungsi melembutkan gending-gending yang lirih dan memperindah lagu.
4. Satu buah trompong yang terbuat dari bilah-bilah kayu dan dan beruk atau tempurung kelapa adapun fungsinya pemegang melodi utama dalam sebuah gamelan.
5. Tujuh buah reong yang dipakai di sini tidak sama seperti reong yang jumpai di Gamelan yang lainnya. Namun jenis reongnya menggunakan bilah yang terbuat dari besi yang berbentuk seperti bilah yang ada pada ugal dalam Gong Kebyar. Berfungsi sebagai pembuat angsel gending.
6. Satu buah kajar yang terbuat dari beruk dan bilahnya terbuat dari besi yang di bentuk seperti bilah ugal. Berfungsi sebagai pemegang tempo.
7. Dua buah ugal yang terbuat dari kayu dan beruk yang memiliki fungsi sebagai pembawa lagu dan penyambung bagian-bagian gending.
9. Gong yaitu terbuat dari bilah bambu petung atau kayu lekukun, sedangkan pelawahnya terbuat dari sebuah waluh (labu) besar yang isinya sudah dihilangkan, kemudian labu itu dijemur hingga kering. Memberikan tekanan pada kalimat-kalimat lagu dan mengakhiri lagu.
Seiring perkembangan kebudayaan masyarakat setempat, yang sudah mampu membeli seperangkat Gamelan Gong Kebyar maka, iringan musik tari Legong Sambeh Bintang ini pun mengalami perkembangan. Masyarakat Desa Bangle pun akhirnya memiliki seperangkat Gamelan Gong Kebyar yang kemudian juga akhirnya digunakan untuk mengiringi tarian sakral ini. Seiring dengan perubahan alat musik yang digunakan maka, ada beberapa perubahan penyajiannya. Misalnya dari segi temponya lebih cepat yang tadinya menggunakan musik yang mengalun namun sekarang lebih terlihat dinamis.
Prosesi Penyajian Tari Legong Sambeh Bintang
Koentjaraningrat menyatakan bahwa ada lima ketentuan yang harus diper-hitungkan dalam setiap upacara religi dalam masyarakat. Kelima ketentuan itu selalu berhubungan secara holistik. Ketentuan itu adalah :
pertama, tentang waktu. Bahwa setiap upacara tidak dapat dilakukan tanpa memper-hitungkan hari baik (dewasa ayu), sehingga umat Hindu telah menetapkan hari upacara suatu pura dengan sistem kalender Bali. Setiap anggota pendukung pura akan selalu ingat hari diadakan-nya upacara pada suatu pura tertentu.
Kedua, tentang tempat. Mengingat bahwa upacara religi mempunyai struktur dan fungsi yang sangat banyak dan bertahap maka setiap tahapan dan bentuk upacara biasanya dilakukan pada tempat yang berbeda-beda sesuai dengan ketentuan dan tradisi yang berlaku di wilayah upacara yang sedang berlangsung.
Ketiga, peralatan yang diperlukan dalam sebuah sistem ritus sangat kompleks dan mempunyai banyak variasi. Peralatan tersebut ada yang habis dalam sekali pakai seperti banten (sesaji), tetapi ada pula peralatan yang dapat diguna-kan secara berulang-ulang seperti: pakaian, perhiasan, arca, tombak, umbul-umbul, gamelan, keris, dan lain sebagainya.
Keempat, keyakinan. Bahwa setiap orang yang terikat sebagai anggota pendukung suatu sistem ritus mempunyai suatu keyakinan, dan mereka melakukan sesuatu yang mempunyai makna khusus yang berhubungan dengan kehi-dupan nyata dan tidak nyata. Oleh karena, itu melakukan upacara religi merupakan suatu lingkaran yang terkadang tidak bisa dihindari bagi sekelompok umat. Upacara religi sering diartikan sebagai tindakan yang dapat memberikan kenyamanan dan menetralisir kondisi kritis yang sedang melanda suatu masyarakat. Keyakinan ini ikut mendorong suatu masyarakat untuk melakukan aktivitas religi, karena jika tidak melakukan hal itu dikhawatirkan akan menimbulkan suatu bencanan atau mala petaka bagi masyarakat itu.
Kelima, emosi. Bahwa masing-masing individu yang melakukan upacara religi akan merasakan adanya getaran dalam jiwanya masing-masing, pada saat mereka masuk dalam lingkaran batas wilayah suatu upacara. Getaran ini tidak dapat dipisahkan dengan keyakinan yang telah tumbuh pada diri mereka masing-masing.
Prosesi penyajian adalah suatu urut-urutan atau struktur penyajian pementasan, yang dilakukan oleh warga masyarakat Desa Bangle ketika mereka mempersembahkan tari Legong Sambeh Bintang ini pada saat upacara piodalan Ngusaba Desa di Pura Desa, Desa Bangle, Abang, Karangasem. Sebagai sebuah tari sakral, tari Legong Sambeh Bintang ini selalu ditampilkan pada hari pertama tepatnya pada puncak upacara piodalan Ngusaba Desa dan hanya dipentaskan hanya sekali. Tari ini biasanya ditampilkan masyarakat setempat ketika acara mendak tirta dilakukan. Mereka selalu menampilkan tari Legong Sambeh Bintang ini dengan menghaturkan sesaji tertentu, baik sebelum maupun sesudah tarian ini dipentaskan.
Dari hasil pengamatan tampak bahwa ketika tari Legong Sambeh Bintang ini akan ditampilkan, warga, khususnya para ibu-ibu, melakukan upacara mendak tirta terlebih dahulu di jeroan (halaman dalam) Pura Desa. Mendak tirta adalah suatu upacara yang khusus dilakukan untuk mencari air suci ketempat yang diyakini sebagai tempat pencarian air yang disucikan oleh warga setempat. Mereka menghaturkan sesaji canang sari (rangkaian bunga beralaskan janur) sambil menari secara bebas (improvisasi) dengan durasi kurang lebih selama 10 menit.
Setelah ibu-ibu ini memperoleh air suci/tirta, mereka kemudian kembali ke tempat/lokasi para penari tari Legong Sambeh Bintang ini berada. Ibu-ibu yang membawa air suci/tirta ini kembali ke tempat para penari tari Legong Sambeh Bintang ini atau ke pura diikuti oleh sekelompok laki-laki membawa canang sari berjalan secara perlahan-lahan sambil menari membentuk pola lantai lingkaran dengan gerakan tari bebas (improvisasi). Perilaku masyarakat menari dengan gerak tari bebas seperti ini lazim mereka sebut sebagai memendet (menari).
Setelah air suci/tirta tiba di lokasi para penari tari Legong Sambeh Bintang ini berada, para ibu-ibu ini kemudian menghaturkan sesaji pejati dan perani untuk menyucikan dan memohon keselamatan bagi para penari tari Legong Sambeh Bintang ini agar mereka memperoleh keselamatan ketika menari di hadapan para Dewata.
Musik Iringan dan Prosesi Penyajian Tari Legong Sambeh Bintang, selengkapnya
by admin | Sep 6, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Ni Made Wiryani, Mahasiswa PS. Seni Tari ISI Denpasar.
Awal mula atau sejarah tari Mekotekan di Desa Munggu Kabupaten Badung ini masih diliputi ketidakjelasan. Sementara ini yang berkembang di masyarakat adalah versi dari Ida Pedande Gede Sidemen Pemaron dan versi yang bersumber dari Bendesa Adat Munggu I Ketut Kormi. Informasi ini dimuat jelas di Koran Nusa Bali terbitan hari Minggu, tanggal 25 Oktober 2010.
Sejarah Tari Mekotekan berdasarkan Versi Ida Pedanda Gede Sidemen Pemaron
Sejarah tari Mekotekan ini berawal dari keberadaan, Raja IV Cokorda Nyoman Munggu pada Keraton Puri Agung Munggu. Beliau adalah seorang raja yang sangat arif dan bijaksana serta dicintai dan disegani oleh rakyat Mengwiraja dan sekitarnya, khususnya masyarakat di Munggu. Beliau memiliki kebun yang sangat luas yang sekarang disebut “Uma Kebon” serta memiliki peternakan yang disebut “Uma Bada”.
Beliau ingin meneruskan cita-cita pendahulunya, yaitu Raja I Gusti Agung Putu Agung yang mebiseka Cokorda Sakti Blambangan. Beliau membentuk pasukan berani mati di Desa Munggu, yang dibina oleh Bhagawantha raja dari Ida Brahmana di Munggu, dengan sebutan pasukan “Guak Selem Munggu”.
Pada suatu hari, sungai Yeh Penet yang melingkari ujung utara sampai tepi bagian barat Desa Munggu, airnya terus mengalir menuju ke laut selatan, dan meluap sehingga menimbulkan banjir bandang. Air sungai yang sangat deras itu menghanyutkan sebuah pelinggih yang terapung-apung di permukaan air kemudian tersangkut pada akar pohon kamboja besar (pohon jepun sudamala). Atas kejadian itu masyarakat Munggu berduyun-duyun untuk melihatnya. Masyarakat Munggu yang tinggal di dauh rurung kemudian melaporkan hal tersebut ke hadapan Ida Bhagawantha Brahmana Pemaron Munggu yang berlanjut kehadapan Raja Cokorda Nyoman Munggu, yang pada saat itu raja kebetulan berada di keraton puri Agung Munggu Pura di Mengwiraja. Beliau menitahkan masyarakat Munggu untuk mengangkat dan melestarikan pelinggih itu di tempat yang aman.
Pada saat itu pula ada salah seorang penduduk di Munggu kesurupan (kerauhan) dan mengaku sebagai utusan dari Ida Betari Ulun Danu Bratan, atas permohonan Ida Betara di Pura Puncak Mangu, yang memohon kepada Raja Bhagawantha untuk menyelamatkan pelinggih itu serta membangun sebuah pura yang merupakan stana Ida Betara Luhur Sapuh Jagat, untuk menjaga keselamatan rakyat Mengwiraja sebagai kahyangan jagat. Atas petunjuk orang yang kesurupan itu, diyakini bahwa pada waktu akan mulai meletakkan batu pertama (nasarin) Pura Luhur Sapuh Jagat akan menemukan segumpalan besi dan batu-batu yang berbentuk senjata. Gumpalan besi itu agar diamankan dijadikan senjata-senjata kerajaan Mengwipura, sedangkan batu-batu itu agar dilestarikan di tempat pembangunan pura tersebut.
Raja Cokorda Nyoman Munggu beserta Ida Bhagawantha Brahmana Munggu tidak begitu cepat percaya dengan ucapan-ucapan orang kesurupan itu, beliau ingin membuktikan lagi. Untuk meyakinkan, akhirnya orang yang kesurupan yang mengaku utusan Ida Betara Ulun Danu menjadi sangat jengkel dan berlari menuju pura Puseh Munggu, serta mengambil sebuah tedung yang panjangnya kurang lebih 5 meter dan menancapkan pada halaman pura Puseh, serta meloncat-loncat ke atas tedung. Di atas tedung itulah orang yang kesurupan itu menari-nari sambil menantang Rajabhagawantha dengan kata-kata yang sangat meyakinkan, bahwa ia benar-benar utusan Ida Betara Ulun Danu Bratan.
Dalam suasana hujan lebat serta angin puyuh, Raja beserta Ida Bhagawantha Brahmana Munggu, bersama-sama seluruh masyarakat Munggu menyaksikan hal itu. Setelah itu barulah beliau sadar serta berjanji memenuhi semua apa yang menjadi petunjuk yang diucapkan oleh orang kesurupan itu, yang merupakan pawisik Ida Batara (Sang Hyang Widi Wasa) sehingga orang itu langsung disucikan dijadikan pemangku Pura Puseh. Diputuskanlah oleh Ida Bhagawantha Brahmana Munggu, bahwa hari Rabu Kliwon Ugu mulai diadakan pembangunan atau nasarin Pura Luhur Sapuh Jagat di Desa Munggu Kabupaten Badung.
Benar-benar suatu keajaiban pada jagat Bali. Setelah penggalian pembangunan pura seperti petunjuk yang diucapkan pemangku itu, terdapatlah gumpalan batu-batu. Ada yang berbentuk tamiang, besi-besi tua yang berbentuk senjata tajam. Setelah disaksikan oleh Ida Bhagawantha Brahmana Munggu dan seluruh masyarakat Munggu, akhirnya benda-benda tersebut diangkat dan ditempatkan pada bangunan suci untuk diamankan dan dilestarikan.
Sesuai dengan pawisik yang telah didapatkan sebelumnya, maka dipanggillah seorang wiku pande besi Desa Munggu oleh Cokorda Munggu untuk menjadikan besi tua itu senjata keris dan tombak, sehingga menghasilkan 5 buah senjata tajam yang terdiri dari keris dan tombak yang diserahkan kembali ke hadapan Cokorda Munggu. Kemudian diadakan upacara pasupati senjata oleh Ida Bhagawantha Brahmana Pemaron Munggu dan seluruh rakyat Munggu diperintahkan untuk membuat tempat pemujaan berupa panggung setinggi 6 m di perempatan Banjar Munggu untuk kegiatan upacara pasupati senjata-senjata tersebut.
Keris dan tombak tersebut disucikan terlebih dahulu dengan mempergunakan air bungkak kelapa gading, setelah itu dipercikan air suci dan sarana banten, lalu keris dan tombak langsung dihias dengan bunga pucuk merah yaitu pucuk rejuna dan busana kain serba merah. Keris-keris dan tombak pada saat dipasupati Ida Pedanda ditempatkan pada sebuah singgasana khusus dan selanjutnya keris-keris dikemit selama 3 bulan di panggung upacara tersebut secara silih berganti oleh warga desa Munggu yang mekemit untuk mohon keselamatan, keamanan, serta kenyamanan. Selama tiga bulan mekemit Ida Pedanda mendapat wahyu agar keris-keris dan tombak itu masing-masing diberi nama :
- Sebuah keris runcing luk 11 (sebelas) diberi nama I Raksasa Bedek
- Sebuah keris runcing luk 7 (tujuh) diberi nama I Sekar Sungsang
- Sebuah keris runcing luk 5 (lima) bernama I Jimat
- Sebuah keris runcing bernama I Sapuh Jagat
- Sebuah tombak bernama I Bangun Oleg (Olog)
Setelah senjata-senjata yang didapatkan melalui pawisik gaib dipasupati dan dikemit selama tiga bulan, maka pada hari Sabtu Kliwon Kuningan pada Tumpek Kuningan, mulai diperagakan mengadakan perang-perangan yang diikuti oleh para laki-laki dewasa yang berasal dari seluruh Desa Munggu, kecuali bagi yang sedang cuntaka. Tari-tarian inilah yang kemudian dalam perkembangannya dikenal dengan tari Mekotekan.
Sejarah Tari Mekotekan berdasarkan Versi Bendesa Adat Munggu, I Ketut Kormi
Versi lain dari sejarah tari Mekotekan di Desa Munggu Kabupaten Badung dikemukakan oleh Bendesa Adat Munggu I Ketut Kormi sesuai dengan yang termuat dalam surat kabar harian Nusa Bali terbitan hari Minggu, 25 Oktober 2010. Dalam surat kabar tersebut I Ketut Kormi mengatakan tradisi Mekotek yang telah digelar warga Munggu secara turun temurun terkait dengan sejarah Raja Munggu, yang pergi ke Blambangan untuk melakukan perluasan wilayah. Pada peperangan itu Raja Munggu menang dan kembali ke Munggu bersama seluruh bala tentaranya. Rasa gembira bala tentara tersebut mengangkat tombak berjalan ke desa. Bahkan hingga mengenai bala tentara sendiri yang menyebabkan luka. Melihat kejadian tersebut, raja bertapa di Wesasa dan mendapatkan petunjuk bahwa luka itu bisa cepat sembuh dan kemudian menggelar ritual Mekotek. Selain itu, raja juga mengatakan jika ritual ini tidak digelar maka bisa terkena gerubug atau wabah petir. Hal ini membuat masyarakat Munggu tetap menggelar ritual Mekotek hingga sekarang ini.
Asal Mula Tari Mekotekan di Desa Munggu Kabupaten Badung, selengkapnya
by admin | Sep 6, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Kadek Suartaya, SSKar., Msi., Dosen PS. Seni Karawitan
Dalang terkenal Bali asal Desa Sukawati, Gianyar, I Wayan Wija, pertengahan Agustus ini menuju negaranya Barack Obama, Amerika Serikat. Pada awal September nanti, seniman serba bisa Desa Bona, Blahbatuh, I Made Sija, juga akan hadir di Negeri Paman Sam itu. Sebelumnya, pada akhir Februari lalu, beberapa orang pelukis ternama dan sekelompok penari-penabuh Bali telah tampil di negeri multi etnis tersebut. Hingga pertengahan September nanti akan ada lagi para seniman dan sanggar seni dari Bali bertandang ke negeri adi daya itu. Yang menarik, tempat yang dituju oleh para seniman Bali itu adalah kota yang sama yakni San Francisco di negara bagian California. Untuk apa mereka ramai-ramai ke sana?
Selama enam bulan, Februari-September tahun ini, nama Bali berkibar tinggi-tinggi di San Francisco, kota berpenduduk terpadat keempat di California. Sebuah museum terkenal di sana, Asian Art Museum San Francisco, menggelar pameran seni budaya Bali dari tanggal 25 Februari hingga 11 September 2011. Pameran ini disebut-sebut sebagai pameran terbesar dan terlama tentang Bali di AS. Direktur Asian Art Museum,
Dr. Jay Xu, di situs Asian Art Museum, menyebut pameran yang bertajuk “Bali: Art, Ritual, Performance” sebagai pameran terbesar dan terdalam tentang tradisi Bali di seantero Amerika Serikat. Beberapa pengurus Himpunan Museum Bali (sebagai utusan resmi Gubernur Bali), yang dipimpin pelukis I Nyoman Gunarsa, menghadiri dengan rasa bangga dan suka cita pembukaan pameran yang dimeriahkan dengan sajian gamelan dan tari Bali yang dibawakan oleh penabuh dan penari warga negara Amerika.
Para seniman dari Bali diundang secara khusus ke San Francisco, AS, untuk mengisi serangkaian program dalam pameran akbar seni budaya Bali itu. Dalang Wayan Wija akan mementaskan wayang kulit tradisi dan juga mempertunjukkan wayang hasil kreasinya. Seniman sepuh Made Sija akan menunjukkan keempuannya dalam drama tari klasik Bali. Sekaa atau sanggar seni tari-tabuh yang telah dan akan tampil dalam pameran itu menyuguhkan puspa ragam seni pertunjukan Bali dari seni tradisi hingga bentuk-bentuk seni pentas pengembangan. Kehadiran sekian banyak para seniman Bali yang mementaskan aneka jenis seni pertunjukan, selama enam bulan di kota belahan selatan benua Amerika itu, merupakan sejarah baru lawatan kesenian Bali di luar negeri.
Pameran kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat sudah beberapa kali digelar, seperti KIAS misalnya pada tahun 1990-an. Akan tetapi pameran khusus tentang seni budaya Bali yang digelar Asian Art Museum San Francisco ini memang istimewa dan cukup lengkap. Selain mementaskan seni pertunjukan Bali, pameran ini juga menunjukkan gengsinya dengan menampilkan koleksi seni yang merupakan koleksi Asian Art Museum dan koleksi yang khusus dipinjam dari Belanda diantaranya Museum Tropen, Amsterdam dan Rijkmuseum voor Volkenkunde, Leiden. Di samping itu, karya seni yang ditampilkan dipinjam dari Library of Congress, Washington DC, Museum of Natural History, New York, dan Fowler Museum, Los Angeles. Selain menampilkan koleksi seni, khusus untuk pameran Bali ini Asian Art Museum juga mengadakan simposium, kegiatan pendidikan untuk anak-anak dan pertunjukan kesenian yang diisi oleh grup-grup kesenian Bali yang berlokasi di San Francisco dan sekitarnya.
Keberadaan kesenian Bali, khususnya gamelan dan seni tari di Amerika Serikat, tak kalah wibawa dengan kesenian dari India, Cina, atau Afrika. Sejak Mantle Hood, pakar musik bangsa-bangsa dari Amerika memboyong sebarung gamelan Bali ke negerinya pada tahun 1956, seni pertunjukan Bali kian menggeliat di sana, dipelajari secara praktis dan teoretis di universitas-universitas ternama dan dieksplorasi sebagai media musikal yang menantang oleh para musisi Amerika. Eksistensi gamelan Bali yang meluas di penjuru Amarika Serikat juga sekaligus disertai dengan perhatian dan pembelajaran tari Bali. Warga Amerika peminat seni pertunjukan Bali, kini sering dapat dipergoki menabuh gamelan dan berlenggok tari Bali di KBRI dan juga Konjen kita di sana.
Di kota San Francisco sendiri, gamelan dan tari Bali, beberapa tahun belakangan, cukup intim dengan masyarakat yang berpenduduk lebih dari 200.000 jiwa itu. Adalah sekelompok penekun gamelan Bali asal kota San Francisko yang bernama Sekar Jaya, sejak berdiri tahun 1979, berkontribusi besar mengibarkan seni pertunjukan Bali di kota itu. Selain Sekar Jaya di San Francisco, keterampilan dan penampilan yang mengagumkan grup-grup gamelan dan tari Bali warga negara Amerika juga dapat dijumpai kota-kota lain. Di New York misalnya, grup gamelan Dharma Swara juga tak kalah tangguhnya. Baik Sekar Jaya maupun Dharma Swara telah pernah unjuk kebolehan dalam pesta kesenian Bali, yang, mengundang decak penonton.
Kita tentu berharap, pameran seni budaya Bali yang kini digelar di kota San Francisco, akan juga mengundang decak kagum masyarakat Amerika. Bagaimana pun, jagat seni merupakan media komunikasi yang humanis dalam pergaulan antar bangsa. Karena itu seni secara ideal dipercaya sebagai media diplomasi budaya, soft diplomacy, yang andal dalam pencitraan bangsa. Masalahnya, sadarkah kita, bangsa Indonesia, yang memiliki modal keragaman budaya nan kaya, memposisikan harkat dan martabat keseniannya sebagai aset bangsa yang penting di era globalisasi ini? Ternyata, tampaknya, belum.
Seni Budaya Bali Berkibar Di Amerika Serikat, selengkapnya
by admin | Sep 5, 2011 | Berita
Deretan kaos oranye, dengan kain madya Bali dan sumpangan bunga jepun di kuping yang dikenakan anak-anak sanggar Jepun Putih berderet penuh senyum saat pamerannya dibuka Rektor ISI Dps, Prof. Dr. I Wayan Rai.,S.MA. Senin (5/9). Saya mencium semerbak harum bunga jepun di kampus seni “ungkap Rai, saat menyampaikan sambutan yang sekaligus membuka pameran dengan memberikan torehan di atas kanvas yang disiapkan panitia.” Kampus seni ini merupakan milik masyarakat yang selalu terbuka untuk membangun seni”,imbuh Rai. Terasa lain kampus ISI yang penuh dinamika sore ini, setelah menyelesaikan tugas-tugas yang padat Rektor ISI menyempatkan diri membuka pameran sanggar Jepun Putih yang dibimbing oleh alumni FSRD ISI Dps I Wayan Adnyana,S.Sn. Pembukaan juga disambut dengan tari pendet oleh dua gadis cantik anggota sanggar, yang menarik para undangan.
Undangan yang hadir saat pembukaan diantaranya, PR I, Drs. I Ketut Murdana,M.Sn, Dekan FSRD Ni Made Rinu,M.Si, PD II, Drs. I Made Bendi Ydha,M.Sn, Kejur Seni Lukis, Drs. I Wayan Kondra,M.Si, Ketua Program Studi Fotografi, I Komang Arba Wirawan,S.Sn,M.Si, dan Ketua Ajang Gelar Drs. Anak Agung TY,M.Si, piminan jurnal Mudra Drs. I Wayan Setem,M.Sn dan dosen, mahasiswa serta ibu-ibu anggota sanggar jepun putih dan masyarakat umum.
Sanggar Jepun Putih merupakan wadah bagi anak-anak penerus bangsa ini untuk mengembangkan bakat, minat unbtuk memberikan mereka ruang berapresiasi dan berkreasi sesuai dengan bakat dan potensi yang miliki. “Saya mengucapkan terimakasih kepada Bapak Rektor ISI atas perhatian dan bimbingannya kepada anak-anak sanggaer ini”, ungkap Adnyana. Sanggar yang berdiri Sembilan tahun yang lalu, telah melaksanakan pameran di berbagai tempat seperti di HUT Pemkot Kota Denpasar, Art Centre, dan lain-lain sebanyak enam kali. “Pameran kali ini merupakan kebanggaan bagi anak anak Jepun Putih dapat berpameran di kampus pusat seni di Denpasar dan Bali pada umumnya, yang telah go Internasional”ungkap Adnyana. Kebanggaan anak-anak kami ini juga disampaikan oleh para ibu orang tua yang dengan berpakaian adat Bali yang indah dan cantik mengiringi anak-anak mereka. “Pameran membawa kebahagiaan bagi kami semua dari sanggar”imbuh Adnyana. Sebagai alumnus, ketua sanggar merasa terhormat diberikan ruang dan waktu Bapak Rektor untuk memajangkan karya.
Pameran yang diikuti anak dari tingkat TK, SD, sampai SMP, menampilkan 35 peserta dengan jumlah 60 karya, dengan gaya naïf, dan penuh warna. “Saya sangat tertarik dengan lukisan anak-anak ini” ungkap A/Prof. Paul Trinidad, professor kolega kerjasama ISI Dps dengan ALVA-UWA Australia.
Pameran yang direncanakan sampai Minggu (11/9) akan diselenggarakan lomba mewarnai dan menggambar dari Tingkat TK, SD dan SMP yang memperebutkan piala Rektor ISI Dps. Segala saran dan masukan dan kritikan juga diharapkan untuk kemajuan sanggar Jepun Putih. (arba wirawan-dosen ISI Dps).
by admin | Sep 5, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman I Ketut Gina, Mahasiswa PS. Seni Pedalangan
Bahasa merupakan alat komunikasi. Pada pertunjukan wayang bahasa memegang peranan yang sangat penting, dapat dibayangkan betapa tidak mungkinnya sebuah pertunjukan wayang tanpa adanya bahasa sebagai medianya. Penggunaan bahasa sebagai bentuk bahasa dalam pertunjukan Wayang Kulit Bali adalah hal yang tidak asing lagi, karena bahasa sebagai mata rantai jalannya ceritera. Bahasa yang digunakan dalam pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung oleh dalang Ida Bagus Sudiksa adalah: Bahasa Kawi, Bahasa Jawa Kuno, Bahasa Bali, Bahasa Indonesia dan sebagainya, yang sesuai dengan kebutuhan tokoh tertentu. Bahasa Kawi yang dipergunakan oleh tokoh (raja, dewa, ksatria) yang kemudian diterjemahkan oleh punakawan. Gaya bahasa dalam pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung oleh dalang Ida Bagus Sudiksa sangat variatif. Ada yang bersifat sindiran (ironi), ada yang bersifat perumpamaan (personifikasi), ada yang bersifat perbandingan (metafora) dan ada pula dialog yang mengagung-agungkan sesuatu secara berlebihan (hiperbolisme). Dari bahasa-bahasa yang digunakan dalam pertunjukan Wayang Calonarang oleh dalang Ida Bagus Sudiksa ada yang berbahasa alus (singgih), ada yang biasa (pepadan), ada pula yang estetik sehingga membuat penonton menjadi teringat terus. Bahasa seperti itu biasanya berupa tutur, tidak terlepas dari kemampuan seorang dalang selaku orator yang ulung. Menurut Marajaya, pengelompokan bahasa tersebut antara lain ; (1) berbentuk prosa atau gancaran (bahasa Kawi dan bahasa Bali); (2) berbentuk tembang atau puisi (kekawin, tandak, bebaturan); dan (3) berbentuk prosa liris atau palawakya (penyacah dan pengelengkara).
1). Gaya Alternasi
Menurut Rota teknik penyampaian tutur secara berselang-seling disebut gaya alternasi. Gaya alternasi merupakan jenis gaya tutur yang paling banyak digunakan oleh dalang dalam pertunjukan wayang kulit Bali, baik dari bentuk tut tutur antara bahasa Bali dengan bahasa Kawi, maupun berbentuk tembang maupun gancaran.
a) Gaya Alternasi Bahasa Kawi dengan Bahasa Bali
Gaya bahasa seperti ini paling banyak ditemukan jenisnya dalam pertunjukan wayang kulit Bali. Pada Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung banyak sekali dipergunakan, adapun contoh-contoh gaya ini dapat dilihat dari kutipan-kutipan dialog sebagai berikut:
Twalen : (dalam bahasa Bali)
sawirira cerakanira..! (tembang). Aratu.. sang amurbeng
Jagat Kediri, sugra titiang sugra, aksi sembah pangubak- tin titiang aratu, sapunika taler gusti patih mamitang lugra, pinaka pengabih linggih ida. Ring tepenganemangkin presangga purun titiang ngojah maka kawit atur palungguh gusti ring ida, Ida Dewa Agung. Inggih aratu sang anyakra werti Jagat Kediri palungguh iratu, aksi ratu sembah pangu baktin titiang pina ka pengabil linggih iratu, saha tan keni kecakra bawa, presangga puruntitiang ngeriinin mapaungu atur, napi te awinan asapunika.., riantukan iratu sampun malinggih iriki ring singasanane. Napi awinan nadak sara ngutus sikian titiang mangda tangkil iriki ring ajeng?, yan kapinih kangkat,durusangtelin pawecana mangda galang apadang titiang nampanyuwun pakinkin, panglelaca druwene, asapunika daging atur dane gusti patih.
Arti bebasnya adalah:
menjawablah seorang abdi, wahai paduka Raja Kediri, hamba mohon ampun, terimalah sembah hamba ini paduka,begitu pula sang maha Patih sebagai abdi baginda raja. Di
saat seperti ini hamba memberanikan diri menyampaikan, apa yang maha patih katakan kepada baginda raja. Maafkan hamba yang mulia sebagai Raja Kediri, terimalah sembah
hambamu sebagai abdi, agar tidak terkena kutuk, karena hamba terlalu berani mengawali berbicara, apa sebabnya demikian ? Karena paduka telah duduk di singgasana. Apa sebabnya paduka mendadak menyuruh hamba agar menghadap, kalau ada sesuatu, silahkan katakan agar hamba jelas menerimanya, apa tujuan baginda memerintahkan hambaini. Demikian kata-kata maha patih.
Penggunaan Bahasa Dalam Wayang Calonarang Lakon Kautus Rarung Dalang Ida Bagus Sudiksa, selengkapnya