KERSOS MAHASISWA FSRD TAHUN 2011 DI MONKEY FOREST

KERSOS MAHASISWA FSRD TAHUN 2011 DI MONKEY FOREST

Kerja sossial merupakan program wajib yang diikuti oleh seluruh mahasiswa FSRD ISI Denpasar terutama bagi mahasiswa baru, Kersos merupakan sebagai wujud nyata pengamalan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya Pengabdian Kepada Masyarakat.

Kerja Sosial kali ini dibuka sekaligus dilepas oleh Rektor ISI Denpasar yang diwakili oleh Dekan FSRD ISI Denpasar di Kampus ISI denpasar

Kersos pada periode tahun 2011 ini mengambil tema : ” Lingkungan Bersih, Sehat, Hijau, dan Bebas dari sampah Plastik  Sebagai Wahana dalam Mewujudkan Karakter Bangsa” Tema ini bermakna untuk menyadarkan masyarakat dan mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat akan bahayanya Sampah Plastik.

Kersos Tahun ini diadakan pada tanggal 12 Nopember 2011 di Obyek Wisata Wenara Wana dan Pura Dalem Agung Padang Tegal Ubud Gianyar, diikuti oleh 189 mahasiswa serta melibatkan 20 orang dosen sebagai pembimbing dan dibantu oleh jajaran Senat Mahasiswa dan HMJ di Lingkungan FSRD ISI Denpasar.

Dipilihnya Mandala Wisata Wenara wana, Pura Dalem Agung Padang Tegal sebagai lokasi Kersos mengingat daerah ini sebagai salah satu obyek pariwisata yang dapat dijadikan sbagai sumber inspirasi dalam pengembangan pendidikan seni dan bahkan telah dirancang untuk mengadakan Kerjasama (MOU) dalam bentuk pameran tetap.

Kersos Kali ini dikemas dalam bentuk “Bakti Sosial” dengan Kegiatan sebagai berikut :

1. Sembahyang bersama di Pura Dalem Agung Padang Tegal untuk memohon keselamatan

2. Membersihkan Lingkungan obyek wisata Mandala Wenara Wana dari sampah organik dan anorganik khususnya sampah plastik.

3. Penanaman pohon untuk menunjang keasrian lingkungan obyek wisata

4. Memberikan bantuan Tong Sampah untuk penampungan sementara sampah plastik yang di buang disekitar obyek wisata

“Si Jepang” yang Heboh dan “Si Bali” yang Emoh: Sebuah Kritik

“Si Jepang” yang Heboh dan “Si Bali” yang Emoh: Sebuah Kritik

Kiriman: Ida Bagus Surya Peredantha, SSn., MSn, Alumni ISI Denpasar

Saniscara Kliwon, wuku Wayang, 29 Oktober 2011 merupakan hari piodalan di Pura Padma Nareswari kampus ISI Denpasar. Kampus yang terkenal sebagai “Kawah Candradimuka”-nya calon-calon seniman akademis nan unggul di Bali ini pun menggelar berbagai jenis pertunjukan tari dan tabuh, baik sebagai sarana upacara atau wali, sebagai bebali atau penunjang pelaksanaan upacara dan sekedar untuk memeriahkan suasana atau balih-balihan. Pergelaran kesenian ini pun melibatkan para mahasiswa dan dosen serta tidak lupa dimeriahkan oleh para mahasiswa asing yang tergabung dalam program pertukaran pelajar Dharmasiswa.

            Dimulai dengan pementasan tari Rejang Dewa oleh mahasiswi semester satu yang baru bergabung dalam tahun ajaran baru di ISI Denpasar, antusiasme para pemedek mulai meningkat. Maklum, pemedek yang sebagian besar dosen dan pegawai serta mahasiswa ini ingin menyaksikan langsung bagaimana potensi mahasiswa baru yang menampilkan kebolehannya pada kesempatan tersebut. Sebagai catatan, merupakan sebuah kebiasaan di ISI Denpasar beberapa tahun ini untuk melibatkan mahasiswa baru sebagai penari wali dalam piodalan di kampus. Setelah pementasan tari Rejang Dewa tadi, dilanjutkan dengan pementasan tari Baris Gede, juga oleh anak-anak semester baru. Sejenak kemudian, pementasan dramatari topeng tak pernah absen menghiasi hingar binger suasana khusuk religius di kampus seni yang dulunya bernama ASTI serta STSI tersebut.

            Beberapa saat setelah piodalan selesai dilaksanakan, pada malam harinya dipentaskan beberapa jenis tarian untuk menghibur pemedek yang baru datang. Ada tari Selat Segara ciptaan I Gusti Ayu Srinatih, SST., M.Si, dilanjutkan dengan tari Legong Keraton Lasem oleh para mahasiswa dari Jepang serta tari Satya Brasta karya I Nyoman Cerita SST., M.FA. Namun yang mengundang decak bagi penulis adalah penampilan dari para mahasiswa Jepang bernama Yasuda Sae, Ono Satomi dan Tashiro Cia dalam membawakan tari Legong Keraton Lasem.

            Ada beberapa hal yang menurut penulis perlu diperhatikan dan dicermati dalam penampilan mereka. Yang pertama adalah antusiasme mereka untuk ikut serta melibatkan diri dalam berbagai pentas seni. Partisipasi mereka dalam meramaikan acara hiburan di areal luar Pura Padma Nareswari tersebut patut diapresiasi positif sebagai kelanjutan kelas program Dharmasiswa yang mereka ikuti di kampus. Sebagai seniman dari Bali, kita patut berbangga karena kesenian yang selalu kita lestarikan ini turut dipelajari dan disukai oleh orang asing.

Hal selanjutnya adalah keseriusan para mahasiswa asing (khususnya dari Jepang) dalam membawakan tari yang tergolong cukup rumit tersebut. Dengan beberapa penonton yang lain pun penulis sempat berdialog dan menanyakan komentarnya terhadap performa para mahasiswa asing ini dalam menari. Berbagai tanggapan positif dan kekaguman pun mencuat untuk mereka. Meskipun teknik tari tidak bisa seluwes para penari Bali yang sudah mahir, namun tetap saja penampilan mereka seolah menyiratkan bahwa mereka mengerti dan menjiwai setiap gerakan yang disajikan. Tidak kali ini saja penulis menyaksikan para mahasiswa asing membawakan tari-tari tradisional Bali yang notabene adalah budaya asli masyarakat Bali dan tentu saja hal baru bagi mereka. Penampilan prima hampir selalu mereka sajikan pada tiap kesempatan menari, entah disaksikan oleh ribuan penonton atau bahkan hanya disaksikan oleh belasan penonton.

Menyaksikan penampilan para mahasiswa asing yang demikian apiknya tidak saja membuat hati penulis berdecak bangga, namun juga membangkitkan kemirisan hati bilamana penulis mengingat beberapa pagelaran tari yang dibawakan oleh mahasiswa lokal ISI Denpasar sendiri. Pada beberapa kali kesempatan tampil dalam acara workshop (atau kunjungan tamu asing), ISI Denpasar selalu menyajikan beberapa materi tari sebagai sajian pementasan. Hal yang masih hangat dalam ingatan penulis, yang kebetulan sering dipercaya ikut mementaskan tari Oleg Tamulilingan saat workshop, menyaksikan langsung beberapa oknum mahasiswa lokal kita sangat relaks dan bahkan “terlalu relaks” dalam membawakan satu tarian. Sajian mereka di atas panggung pun menurut penulis tak lebih dari sekedar parodi bercanda yang sedikit “kelewatan”. Bagaimana tidak, sebuah tari yang serius, memerlukan penjiwaan yang dalam dibawakan seolah tanpa roh. Saling ejek dan beberapa tindakan jahil antar penari di atas panggung (saat sedang menari) seolah hal yang halal dilakukan oleh penari ISI Denpasar. Tidakkah mereka berpikir bilamana pencipta tari tersebut menonton pertunjukan mereka? Bagaimanakah perasaan mereka bila nanti tarian yang berhasil mereka ciptakan dengan penuh perjuangan dibawakan dengan asal-asalan (atau lebih tepat “dilecehkan”) sedemikian rupa? Pedulikah mereka akan komentar dan kesan penonton (yang mereka anggap “tidak mengerti” tari Bali) serta bagaimana citra lembaga setelah para tamu (yang ternyata “mengerti” tari Bali) meninggalkan kampus?

Hati ini semakin teriris dan bertanya-tanya saat melihat reaksi beberapa oknum penari sesaat setelah mereka selesai menari di atas panggung. Seolah ada rasa “kebanggaan” atas segala “kelucuan” (atau kekonyolan?) yang mereka pentaskan beberapa saat yang lalu yang ditunjukkan dengan tawa-tawa puas nan lantang. Keheranan ini bertambah ketika melihat beberapa rekan mereka justru mensuport dan berpotensi meniru tindakan-tindakan semacam itu kelak. Tidak ada indikasi kritik yang mengingatkan apalagi nasehat yang bersifat preventif dari orang-orang sekitar oknum penari tersebut. Pada saat inilah penulis rasa perlu ungkapkan sebuah gambaran hidup, bahwa sebelum merasa di atas angin, kita harus berusaha untuk bisa mengepakkan sayap dan terbang melewati banyak hal terlebih dahulu.

Sungguh hal yang kontradiktif melihat fakta ironis yang telah terjadi tersebut. Bagaimana tidak, budaya adiluhung bernama kesenian yang telah membawa ISI Denpasar serta Bali menjadi terkenal justru mulai mendapat rongrongan dari dalam. Meskipun masih bersifat kecil, bilamana tidak diingatkan akan menjadi sesuatu yang massif dan bersifat dekonstruktif. Rupanya isu kedisiplinan merupakan hal yang harus kita pelajari dari mahasiswa asing yang justru mengagungkan kesenian milik kita. Mereka begitu antusias dan bangga mendapatkan kesempatan untuk belajar dan sekaligus pentas tari Bali. Berbeda dengan kita yang terkesan melecehkan kebanggaan kita sendiri. Terlebih setelah budaya atau kesenian kita diklaim bangsa lain, barulah ramai-ramai kebakaran jenggot. Maka jangan heran, rumput menjadi lebih subur di negeri tetangga karena perawatannya lebih baik, meski dari benih yang sama. Paradigma oknum mahasiswa di ISI Denpasar khususnya di Seni Tari yang bisa dikatakan memalukan tersebut harus segera diubah. Para pejabat struktural terkait, pembimbing akademik, para dosen pengajar harus selalu aktif melakukan pembinaan formal dengan pendekatan persuasif dan berkelanjutan. Di luar jam-jam belajar resmi, mahasiswa juga perlu diberikan pengertian bahwa tindakan-tindakan kurang baik seperti tersebut di atas adalah dapat dikatakan kurang menghargai hasil karya seseorang. Bahkan bila perlu, diajak untuk menonton video tari yang nyeleneh dalam arti para penarinya tidak memiliki keseriusan hati dalam menari sebagai pembanding atau cerminan dan memancing komentar mereka.

Pelecehan terhadap hasil karya menurut penulis juga merupakan sebuah pelanggaran disamping penjiplakan (plagiatisme) jika dikaitkan dengan pembelajaan HKI. Efek yang ditimbulkan dari sisi psikologis pun sama beratnya, yaitu merasa tersakiti secara emosional karena tidak adanya penghargaan atas karya yang telah tercipta. Tentu saja penulis berharap hal ini tak terjadi lagi untuk berbagai pementasan yang dilakukan oleh mahasiswa ISI Denpasar dalam kesempatan berikutnya. Banyak faktor terkait yang berpotensi dirugikan oleh tindakan semacam ini. Tulisan ini tidak lain adalah rasa jengah penulis terhadap pola pikir oknum mahasiswa terhadap keseniannya sendiri. Tiada pula tujuan untuk menyerang pribadi masing-masing. Sebelum hal ini menjadi “wabah” bagi perkembangan kesenian kita di ISI Denpasar dan Bali pada umumnya, mari berbenah diri sesegera mungkin.

“Si Jepang” yang Heboh dan “Si Bali” yang Emoh : Sebuah Kritik, Selengkapnya

 

PKB Diusulkan Digelar Tiga Tahun Sekali, Setujukah?

PKB Diusulkan Digelar Tiga Tahun Sekali, Setujukah?

Kiriman: Ida Bagus Surya Peredantha, SSn., MSn, Alumni ISI Denpasar

Di Bali sendiri, PKB digelar setiap tahunnya. Sejak diadakan pertama kali pada tahun 1978, event kesenian terbesar dan paling bergengsi di Bali ini selalu berhasil membius berbagai kalangan mulai dari para pakar seni, pelaku seni, hingga masyarakat awam untuk datang ke tempat digelarnya acara sepanjang satu bulan ini yaitu di Art Center Denpasar. Para seniman dari berbagai sanggar atau kelompok-kelompok seni di seantero Bali pun berdatangan dan saling unjuk gigi mempertontonkan kelihaiannya dalam berolah kreativitas.

Berbagai jenis kesenian baik yang bersifaat konservasi seni klasik, rekonstruksi seni-seni langka, hingga kesenian pengembangan dan partisipasi kelompok seni luar negeri tak pernah absen menghiasi indahnya PKB. Setiap tahun, selalu saja para penggemar seni dari seluruh kabupaten di Bali menyempatkan diri untuk menyaksikan primadona pertunjukan seperti Parade Gong Kebyar Pria Dewasa (yang dahulu selalu dilombakan), parade Topeng, Seni Klasik seperti Arja dan Gambuh serta Palegongan. Tidak lupa juga, kesenian pengembangan seperti tari-tari kontemporer pun menjadi warna baru yang sanggup membuka wawasan penonton akan perkembangan kesenian di Bali.

Kini, setelah memasuki usianya yang ke-33, PKB ternyata memiliki berbagai sisi lemah yang belum sepenuhnya mendapat solusi dari berbagai pihak. Seperti misalnya, kualitas penyajian kesenian yang cenderung monoton, miskin kreativitas, menghabiskan dana yang banyak dan sebagainya. Di sisi lain, faktor ketersediaan lahan parkir dan lokasi penyelenggaraan yang terlalu sentralistik pun tak luput menjadi sorotan. Tak ayal, kritik pun terlontar dari berbagai komponen masyarakat untuk penyelenggara PKB ini.

Pembenahan yang bersumber dari pemikiran-pemikiran cerdas harus segera dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari kritik yang diutarakan oleh Tjok. Raka Kerthyasa atau yang akrab dipanggil Cok. Ibah. Belau adalah seorang anggota DPRD Bali dari Puri Ubud, Gianyar. Pria yang bertugas di Komisi IV ini, kepada sebuah media ternama nasional mengungkapkan bahwa PKB idealnya diselenggarakan tiga tahun sekali. Pemikiran ini didasarkan bahwa dalam jangka waktu satu tahun, adalah waktu yang terlalu singkat bagi para kreator seni untuk melahirkan sebuah mahakarya yang benar-benar mampu memberi rasa takjub bagi para penikmat seni. Ia juga berpendapat bahwa penyelenggaraan PKB yang setahun sekali merupakan salah satu penyebab monotonnya kualitas seni yang disajikan. Jikalau pun ada pengembangan, paling-paling hanya sedikit dan itupun masih ada kemiripan dengan tahun sebelumnya.

Pemikiran ini bila dianalisis memiliki beberapa nilai plus dan minus. Pertama, untuk penyelenggaraan yang berjangka waktu tiga tahun, sisi baiknya adalah para seniman khususnya para pengkarya atau kreator seni memiliki waktu yang lebih panjang untuk berpikir, mencari ide-ide baru, kreativitas yang segar dan tentu saja original. Hal ini akan berdampak pada sisi kualitas karya yang dimaksud Cok. Ibah di mana oleh beliau dituturkan bersifat monoton alias itu-itu saja. Namun, di sisi yang berlawanan menurut beberapa pelaku dan penggiat seni yang sering terlibat dalam setiap kesempatan di PKB, waktu tiga tahun untuk memproduksi sebuah karya baru, dinilai terlalu lama. Wacana penyelenggaraan PKB tiga tahun sekali ini pun dinilai rentan terhadap serangan pengaruh budaya asing yang tidak pernah berhenti mengincar Bali. Sebagaimana kita ketahui, agama, kebudayaan dan kesenian merupakan benteng pertahanan budaya Bali yang harus diperkokoh oleh masyarakat pendukungnya dari dalam. Demikian pula, PKB sebagai sebuah event kebudayaan dan kesenian di Bali secara tidak langsung merupakan sebuah filter yang sangat baik demi mempertahankan keluhuran budaya Bali dari pengaruh global yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya lokal. Dengan diadakannya PKB setiap tiga tahun sekali, dikhawatirkan kesenian bahkan kebudayaan Bali akan mudah disusupi pengaruh negatif globalisasi.

Selain alasan tersebut, waktu satu tahun bagi seorang atau kelompok seni untuk memproduksi sebuah karya tidaklah terlalu mepet. Justru, mereka akan merasakan tantangan dan semakin terpacu untuk menemukan gagasan segar untuk dituangkan dalam karya seninya. Tetapi, apakah faktanya memang demikian? Tidak salah, namun belum sepenuhnya benar. Kesenian yang tertampil di PKB memang beragam dan masih menghormati keberadaan kesenian Bali yang sakral, klasik dan bahkan langka. Namun, dari sisi kualitas, nampaknya masih perlu dilakukan pembenahan, misalnya menyangkut masalah teknis, artistik dan tentu saja yang paling esensial adalah inovasi. Inovasi bukanlah sesuatu yang dianggap merusak tatanan seni tradisi yang sudah mapan, namun justru menempatkan seni tradisi sebagai sumber penciptaan dan inspirasi karya yang tidak akan habis untuk diolah dan setidaknya menjadi sebuah tawaran baru untuk mengatasi tudingan monotonitas PKB dari tahun ke tahun akibat miskin inovasi.

Sisi baik yang kedua adalah, bilamana PKB diadakan tiga tahun sekali, akan memberikan peluang untuk membina bibit-bibit penari unggulan di setiap kabupaten di Bali. Sebagaimana kita ketahui, Bali sangat kaya dengan potensi seniman mulai usia belia hingga uzur. Sangat mudah menemukan seorang yang bisa berkesenian di Bali. Namun, tak semua orang yang bisa berkesenian itu dapat disebut seniman. Inilah yang harus dicari oleh para pembina-pembina seni di tiap kabupaten untuk mendapat kualitas individu seniman yang menonjol yang tentu saja berpengaruh terhadap kualitas pertunjukan secara menyeluruh.

Faktor pembinaan mungkin menjadi hal yang menjadi pokok pikiran politisi adik kandung Bupati Gianyar Cok Ace ini. Sebagaimana kita ketahui, sebelum pentas di panggung utama Art Center Denpasar, para seniman yang merupakan andalan tiap-tiap kabuaten di Bali ini harus melalui tahapan seleksi yang digelar oleh kabupaten masing-masing. Namun rupanya, tudingan monotonitas yang dialamatkan beberapa komponen masyarakat dan pemerhati budaya di Bali tidak hanya berhenti pada aspek inovasi semata. Menurut penulis, monotonitas pun berlaku pada aspek pelaku dan bahkan kreator seni di masing-asing kabupaten. Hal ini bisa dilihat dari lambannya proses regenasi seniman pengkarya di masing-masing kabupaten yang mengirim dutanya sehingga kita tidak bisa menyalahkan adanya tudingan miskin seniman di kabuaten tertentu. Belum lagi masalah “ISI-nisasi” (terlalu berkiblat ke ISI Denpasar) sehingga kearifan lokal yang terdapat di daerah tertentu menjadi tersisihkan begitu saja, proses seleksi yang terkesan like and dislike, hingga dominasi kelompok seniman tertentu di suatu kabupaten yang seolah tak tergantikan posisinya sebagai pengkarya.

Kembali menurut opini penulis, usulan penyelenggaraan PKB yang tiga tahun sekali memang ada benarnya, namun mungkin akan lebih bijak bila justru setiap tiga tahun sekali diadakan regenerasi para kreator atau seniman pencipta khususnya untuk seni-seni yang bersifat tradisi. Sedangkan untuk kesenian yang bersifat rekonstruksi, diupayakan agar tiap-tiap daerah menampilkan kearifan lokal yang mereka miliki, sehingga jauh dari kesan ISI sentris karena PKB bukan ajang untuk homogenisasi atau bahkan ISI-nisasi tiap-tia kabupaten, tapi justru membuat event tersebut semakin beragam warna. Seni-seni yang langka di Bali masih banyak yang belum terekspos melalui event ini. Seperti misalnya ragam tari Sanghyang, tari Baris-baris yang kuno, permainan tradisonal yang kini semakin ditinggalkan masyarakat khususnya anak-anak, dan sebagainya. Proses penggalian dan rekontruksi ini saja jika diberikan waktu setahun, sudah dirasa cukup. Belum lagi penciptaan karya pengembangan atau seni kontemporer yang tidak memiliki batasan-batasan baku, yang setiap saat dapat merangsang imajinasi kreativitas yang unik.

            Dari sisi akomodasi, Cok. Ibah juga memberi saran bahwa PKB jangan terlalu sentralistik. Artinya, setiap kegiatan di PKB sebaiknya jangan terpusat di satu tempat tertentu, namun agar disebar ke tempat-tempat tertentu di sekitarnya. Misalnya pameran lukisan bisa diadakan di Monumen Bajra Sandhi, Parade Topeng bisa ditempatkan di lapangan Puputan Badung, dan begitu juga dengan acara lainnya. Menurut saya, ini usulan yang cukup baik dan sesungguhnya telah dilaksanakan oleh paenyelenggara PKB, meski belum sepenuhnya terealisasi. Seperti yang terjadi pada event PKB yang baru berakhir beberapa wakktu lalu, di mana materi parade Baleganjur dan Angklung Kebyar dilaksanakan di lingkungan kampus ISI Denpasar. Mungkin untuk ke depannya, penyelenggara dalam hal ini harus berpikir dan mengkaji berbagai kemungkinan, agar kesan semrawut dan sentralistik di PKB ini bisa dikurangi.

            Kesimpulannya, PKB merupakan event kesenian terbesar di Bali yang masih perlu pembenahan. Hal ini wajar, karena pada esensinya perkembangan merupakan sesuatu yang abadi terjadi khususnya pada perjalanan kesenian. Kesan monoton yang menjadi tudingan utama dari penyelenggara PKB, mau tidak mau harus dicari pangkal permasalahannya.pokok-pikiran yang muncul ke permukaan harus dicermati dari berbagai sisi agar dapat disaring nilai-nilai yang dapat memperbaiki penyelenggaraan ke depannya.

Usulan penyelenggaraan PKB tiga tahun sekali yang dilontarkan oleh Tjok. Raka Kerthyasa tersebut di atas patut kita apresiasi, sebab secara tersirat ada pemikiran untuk membenahi dan meningkatkan kualitas PKB dan menjauhkannya dari kesan monoton. Namun, mengingat usulan tersebut baru dalam tahap opini pribadi, dirasa terlalu dini dan perlu adanya analisis berikut perbandingan sudut pandang sehingga solusi yang dihasilkan dapat mengayomi berbagai pihak (win-win solution). Solusi yang sebaiknya kita laksanakan adalah dengan mengoptimalkan konsep penyelenggaraan yang telah disiapkan. Penyelenggaran PKB tiga tahun sekali mungkin belum saatnya diterapkan. Namun, bilamana situasi sudah begitu medesak, bukan tidak mungkin usulan ini akan menjadi kenyataan di masa mendatang. Tentu, dengan catatan dan pertimbangan dari berbagai pihak terkait yang juga terlibat dalam event PKB ini. Bagaimana menurut pendapat anda?

PKB Diusulkan Digelar Tiga Tahun Sekali , Setujukah? selengkapnya

Ide Garapan Tari Romanku

Ide Garapan Tari Romanku

Kiriman: Ni Wayan Nova Jayanti, PS Seni Tari ISI Denpasar

Masa yang paling indah adalah masa remaja. Masa yang paling menyedihkan adalah masa remaja. Masa yang paling ingin dikenang adalah masa remaja. Masa yang paling ingin dilupakan adalah masa remaja. Pernyataan tersebut menjadi landasan dalam karya tugas akhir, berdasarkan pengalaman yang pernah dialami.

Masa remaja merupakan masa indah yang dilalui dalam fase kehidupan setiap manusia, namun juga dirasakan sebagai masa tersulit dalam menghadapi sebuah permasalahan karena keadaan emosi seorang remaja masih labil. Dalam buku yang berjudul Psikologi Remaja, Perkembangan Peserta Anak Didik dijelaskan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa ini, remaja mengalami perkembangan mencapai kematangan fisik, mental, sosial dan emosional. Masa ini biasanya dirasakan sebagai masa sulit, baik untuk remaja sendiri maupun untuk keluarga, atau lingkungannya karena berada pada masa peralihan antara masa anak-anak menuju ke masa dewasa. Dalam buku tersebut, tersirat pendapat Mappire (1982) yang menyatakan, masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan umur 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Rentang usia remaja ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun adalah remaja awal dan usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun adalah remaja akhir. Informasi ini sangat penting diungkap agar diketahui batasan-batasan usia yang dapat dikatakan sebagai masa remaja. Pernyataan di atas relevan dengan pendapat Conny Semiawan (1989) yang mengibaratkan : “Terlalu besar untuk serbet, terlalu kecil umtuk taplak meja” karena sudah bukan anak-anak lagi, tetapi juga belum dewasa. Masa remaja biasanya memiliki energi yang besar, emosi berkobar-kobar, sedangkan pengendalian diri belum sempurna. Remaja juga sering mengalami perasaan tidak aman, tidak tenang dan khawatir kesepian.

Ketika masa remaja banyak terjadi pengalaman-pengalaman yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, namun yang paling ingin dikenang adalah masa-masa indah saat remaja. Salah satu pengalaman terindah pada masa remaja adalah ketika pertama kali jatuh cinta dengan lawan jenis. Keinginan untuk selalu bertemu, namun malu saat bertatap muka dan ketika jauh, ingin sekali berada didekatnya. Selalu menghayalkan sesuatu yang indah terahadap dirinya dengan orang yang disukainya. Namun ketika tersakiti oleh perasaan cinta tersebut, remaja kurang mampu untuk mengendalikan emosinya.

Dilatarbelakangi dari pengalaman pribadi ketika pertama kali merasakan jatuh cinta pada masa remaja, maka digarap sebuah tari sebagai karya tugas akhir dengan judul Roman Ku. Roman dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: (1) rupa, wajah, (2) karangan prosa yang melukiskan perbuatan pelakunya menurut watak dan isi jiwa masing-masing. Jika dibandingkan dengan kata romansa berarti novel atau kisah prosa lainnya yang berciri khas tindakan kepahlawanan, kehebatan, dan keromantisan dengan latar historis dan imajiner. Sedangkan arti dari romantika adalah lika-liku atau seluk-beluk yang mengandung sedih, gembira dan arti dari romantis adalah: (1) bersifat seperti dulu, (2) cerita roman, (3) bersifat mesra, (4) mengasikkan. Jika dirunut berdasarkan masing-masing arti dari kata roman maka dapat disimpulkan bahwa “Roman” merupakan lika-liku kisah percintaan dengan watak dan isi jiwa yang dialami oleh pelakunya. “Ku” adalah kata ganti orang pertama atau saya, sehingga “Roman Ku” adalah lika-liku perjalanan cinta sesuai dengan watak dan isi jiwa yang dialami oleh seseorang dengan latar historis dan imajiner. Garapan Roman Ku akan menumpahkan segala emosi yang dialami dengan permasalahan kisah cinta remaja, serta segala lika-likunya ke dalam bentuk tari kontemporer.

Kata kontemporer berasal dari bahasa Inggris yaitu contemporary yang mempunyai arti: (1) hidup atau terjadi dalam kurun waktu yang sama, (2) pada waktu yang sama; dewasa ini; pada masa kini, (3) berasal dari atau dalam gaya masa kini atau mutakhir. Arti yang terakhir inilah yang dipakai dalam dunia kesenian dan sangat dekat dengan arti kata modern, yaitu yang berkaitan dengan gaya, gagasan baru yang tidak ketinggalan jaman. Tari kontemporer adalah suatu tarian yang mengungkapkan dimensi kekinian, yaitu dengan “bebas” tanpa keterikatan dalam mengungkap adegan-adegan yang menyangkut masalah-masalah aktual atau yang berkomentar tentang kehidupan sekarang, sehingga pola geraknya kebanyakan memunculkan gerak baru dan sedikit dikombinasikan dengan adegan yang dramatis.

Berdasarkan uraian di atas mengenai arti dari kata kontemporer, maka karya tugas akhir diejawantahkan melalui tari kontemporer dengan pendekatan teknik Balet. Balet adalah nama dari salah satu teknik tarian yang meliputi: tarian itu sendiri, mime, akting dan musik (baik musik orkestra ataupun nyanyian). Teknik Balet lebih menekankan pada gerak-gerak yang lurus dan kencang serta pengolahan tubuh yang baik dan ringan. Balet terkenal dengan teknik virtuoso seperti pointe work, grand pas de deux dan mengangkat kaki tinggi-tinggi. Teknik Virtuoso adalah keahlian menggunakan teknik yang sulit. Terdapat 2 teknik virtuoso pada Balet, yaitu grand pas de dedeux dan teknik pointe work adalah gerakan berjinjit hingga ujung jari kaki, sambil melakukan gerakan-gerakan Balet.

Kendatipun menggunakan pendekatan teknik Balet, tetapi tidak serta-merta melupakan unsur dari pola tradisi yang telah mendarah daging, sehingga akan dihasilkan sebuah garapan yang mempunyai ragam gerak yang unik dengan perpaduan dan pengembangan dari teknik Balet dan pola tradisi.

Ide Garapan

            Menentukan ide adalah tahap paling awal yang dilalui seorang penggarap. Ide merupakan gagasan atau konsep dasar yang menjadi sebab terwujudnya sebuah garapan, ide inilah yang ingin disampaikan melalui media gerak. Ide terkadang muncul begitu saja dalam pikiran seorang penggarap, dan seketika juga hilang, untuk itu perlu dilakukan pencatatan setiap kali memikirkan ide sebagai referensi pemikiran. Ada juga yang mencari ide melalui proses merenung, menghayal, menonton, membaca, melihat fenomena di sekitar, mendengarkan cerita orang lain dan sebagainya, proses ini disebut dengan eksplorasi (exploration). Untuk mendapatkan ide perlu adanya beberapa pertimbangan dan pemikiran yang matang, kesiapan dan kematangan ide akan berpengaruh besar pada wujud garapan, sehingga ide tersebut dapat divisualisasikan secara jelas melalui media gerak dan tersampaikan dengan baik serta dapat dimengerti oleh penonton.

            Ide dari garapan Roman Ku berangkat dari pengalaman pribadi, ketika remaja pernah mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seorang anak laki-laki. Selain itu, termotivasi kembali pada garapan duet yang berjudul “Can De Cing” pada kelas koreografi IV semester V, digarap bersama I Ketut Jully Artawan. Garapan ini mengisahkan percintaan remaja yang pertama kali jatuh cinta, dalam kisah tersebut sepasang remaja ini terkadang akur dan kadang kala bertengkar sehingga dipilih judul “Can De Cing” untuk mewakili garapan ini. “Can De Cing” merupakan singkatan dari bahasa daerah Bali yaitu Cande-Cande Cicing sedangkan jika diindonesiakan berarti seperti bermain dengan anjing, yang disayang tetapi jika sayang itu dipermainkan akan menyulut amarah dan menimbulkan pertengkaran. Ide tersebut juga menjadi landasan dasar untuk menggarap tari kontemporer yang bertemakan percintaan remaja sebagai karya tugas akhir. Keyakinan memilih ide ini karena banyak orang yang mengatakan bahwa postur tubuh yang dimiliki penggarap masih terlihat seperti remaja usia 17 tahun.

Latar Belakang Penciptaan Tari Romanku Selengkapnya

Loading...