Workshop Internasional Fotografi Under Water

Workshop Internasional Fotografi Under Water

Program Studi Fotografi, FSRD, ISI Denpasar selenggarakan Workshop fotografi internasional dalam industry kreatif, yang menghadirkan Pembicara Keith Ellenbogen (Fotografer Amerika Serikat) Fulbright Fellow, dan Dosen Departemen Fotografi di Parsons School of Desain, New York, Senin (12/12/11) ini.

Saat ini Keith Ellenbogen sedang melakukan kunjungan di Indonesia untuk mengabadikan lingkungan laut Indonesia untuk program World Ocean Health Index, dan bekerja pada Conservation International Indonesia, di Denpasar sebuah konservasi non profit yang berfokus p[ada konservasi laut Indonesia.

Keith menawarkan sebuah workshop fotografi bagi mahasiswa jurusan Fotografi dan Seni di ISI Denpasar pada tanggal 12 Desember 2011 di siang hari (sekitar 3 jam). Tujuan workshop ini adalah mengkomunikasikan masalah- masalah lingkungan kepada para mahasiswa jurusan seni melalui kisah-kisah visual berbasis konservasi. Beberapa hal menarik yang dapat ditawarkan dalam workshop tersebut adalah integrasi konservasi laut dan seni;; warna/tekstur, pola-pola yang diperoleh dari alam, dst.

Kami dari CII merasa workshop ini adalah suatu kesempatan pembelajaran yang baik bagi mahasiswa ISI jurusan fotografi karena mereka dapat belajar tentang fotografi dari seorang pakar yang memang bekerja di lapangan. Workshop ini juga mungkin dapat mengembangkan minat riset bagi para mahasiswa fotografi khusunya dan ISI pada umumnya di masa depan. (kata Putu Liza Mustika dari CII.

Rektor ISI Denpasar Prof. Dr. I Wayan Rai.,S.MA menyambut dengan gembira pelaksanaan workshop ini, agar dimanfaatkan untuk PS. Fotografi dapat go internasional. Begitu juga dekan FSRD memberikan dukungan penuh terhadap penyelenggaraan workshop ini. Sementara Ketua Program Studi I Komang Arba Wirawan, mengucapkan terimakasih kepada Ratna Cora sebagai penghubung dari penyelenggaraan workshop ini. Sementara peserta akan dibatasi dari anak-anak SMK/SMU dan Mahasiswa serta umum yang berminant pada fotografi bawah laut. “Saya berharap kita dapat belajar mencintai lingkungan, alam laut dari fotografi üngkap Arba.

ARBA WIRAWAN (HP: 085792291498 Email: [email protected]

Karakteristik Akustika Gamelan Selonding

Karakteristik Akustika Gamelan Selonding

Kiriman: I Wayan Ekajaya Suputra, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar

Gambelan Selonding adalah merupakan peninggalan historis dari kegiatan berkesenian nenek moyang di masa silam. Gambelan Selonding merupakan salah satu contoh mengenai Local Genius dari lelhur, yang mampu mengantarkan kita kepada suatu jenjang puncak budaya, sehingga keberadaannya masih eksis sampai saat ini. Peninggalan historis tersebut masih mampu menjembatani suatu masa ribuan tahun yang lalu dengan masa kini.

Gambelan Selonding memang masih dapat bertahan dari terpaan gelombang peradaban manusia dalam rentang waktu yang cukup lama, dan ini hanya dimungkinkan oleh adanya suatu vitalitas nilai universal yang terkandung di dalamnya dan terjalin erat dengan masyarakat pendukungnya.

Pada dasarnya gambelan Selonding yang lahir dari hasil, cipta, rasa, dan karsa nenek moyang, itu adalah sebagai perwujudan dari pengalaman estetis dikala keadaan jiwa sedang mengalami kedamaian dan kesucian. Pendakian ini hanya mungkin dapat dicapai dengan penghayatan dan pengalaman yang immanent dari ajaran agama hindu. Rupa-rupanya gambelan Selonding tumbuh, hidup dan berkembang sebagai kultur religius, sehingga dapat dipahami bahwa gambelan Selonding banyak terdapat dipusat-pusat keagamaan pada zaman Bali kuno yang oleh R. Goris disebut sebagai basis kebudayaan Bali Kuno. Dapat dimengerti, mengapa gambelan Selonding yang pernah ada di Jawa Timur pada zaman Kediri kini sudah lenyap (Tusan, 2001 : 2).

Gambelan Selonding bukanlah segugusan instrumen primitif yang kosong tanpa makna. Gambelan ini banyak tercatat dalam prasasti raja-raja Bali Kuno dari babakan pemerintah Maharaja Sri Jaya Sakti sampai dengan awal pemerintahan Majapahit di Bali. Dan juga sejumlah karya sastra para pujangga dari zaman Kediri sampai Babakan zaman Majapahit akhir. Seperti Kekawin Bharata Yudha, Hari Wangsa, Gatot Kaca Sraya, Sumana Santaka, Wrttasancaya, Wrttayana, dan Rama Parasu Wijaya, banyak merekam nuansa keindahan gambelan Selonding yang masih dapat diwarisi sampai sekarang.

Istilah Selonding yang kemudian dikenal dengan nama Selonding di Bali, berdasarkan temuan dalam sebuah lintar kuno yaitu Babad Usana Bali yang menyebutkan seorang raja besar di zaman dahulu yang bergelar Sri Dalem Wira Kesari yang bertahta di lereng gunung Tolangkir (Gunung Agung) (Tusan, 2001 : 12)

Bila dirunut asal muasal kosa kata Selonding itu berasal dari kata Salunding. H.N. der Tuuk dalam bukunya Kawi Balineesch-Nederlandsch-1984, menyebutkan bahwa Salunding itu identik dengan gambelan gender.C.F. Winter SR menyebutkan Salunding adalah gambelan Saron.Wayang Warna menyebutkan kosa kata Salunding adalah nama gambelan yang suci yang ditabuh pada upacara tertentu.

Guru-guru Kokar pada waktu mengadakan penelitian di Tenganan (1971) mengemukakan bahwa Selonding berasal dari kata Salon + Ning yang diartikan tempat suci. Karena gambelan Selonding itu dikenal sebagai perangkat gambelan yang disucikan dan disakralkan oleh masyarakat pendukungnya.

Gambelan Selonding adalah salah satu gambelan kuno yang masih dapat diwarisi sampai sekarang di Bali. Gambelan ini semula dikenal pada masa pemerintahan Sri Jaya Bawa di Kediri yang berlanjut sampai pada zaman Majapahit.

Di Bali gambelan Selonding telah dikenal pada pemerintahan Sri Maharaja Jaya Sakti (1052-1071 C), merupakan suatu kesenian yang populer pada zamannya, mengingat kewajiban-kewajiban berupa pajak yang dikenakan yang merupakan pajak tertinggi diantara kesenian lainnya.

Pada zaman pemerintah Sri Maharaja Bhatara Guru Sri Adikutiketana pada tahun 1126 C, kesenian Selonding ini akhirnya dibebaskan dari segala macam pajak, karena telah menjadi kesenian untuk mengiringi upacara keagamaan sampai dewasa ini. Gambelan Selonding tersebut masih sangat disakralkan sebagai sarana upacara keagamaan di Bali, seperti yang terdapat di Tenganan, Bungaya, Asak, Timbrah, Bugbug, Ngis, Trunyan, Kedisan ,Batur, Bantang, Manikliyu, dan Tigawas.

 Jumlah

Satuan Ciri-ciri Instrumen
8 tungguh berisi 4 buah bilah
6 tungguh masing-masing berisi 4 buah bilah
2 tungguh berisikan 8 buah bilah

 Karawitan Bali mencatat bahwa instrumentasi dari gambelan Selonding, yaitu :

Jumlah Satuan Instrumen
2 tungguh gong
2 tungguh kempul
1 tungguh peenem
1 tungguh petuduh
1 tungguh nyongnyong alit
1 tungguh nyongnyong ageng

 Tabuh-tabuh yang dimainkan dengan patet yang berbeda-beda, dapat dikelompokkan menjad:

Karakteristik akustika dari gambelan selonding selengkapnya

Jes Gamelan Fusion

Jes Gamelan Fusion

Kiriman: I Wayan Eris Setiawan, Mahasiswa PS Seni Karawitan ISI Denpasar.

            Jes Gamelan Fusion merupakan sebuah group musik yang dibentuk oleh I Nyoman Windha pada tanggal 31 Januari 2006. Group musik ini terlahir dari adanya kegelisahan dan kepedulian Windha terhadap kesenian Bali di masa-masa yang akan datang. Darikegelisahannya itulah memunculkan keinginan untuk mewujudkan sebuah gagasan yang mungkin bisa dikatakan agak radikal yang sebenarnya semata-mata sebagai ekspresi yang meluap betapa ia mencintai Bali. Ide ini lahir dari rasa peduli dan pengamatannya meneropong dan menyayangi Bali dari jauh yang juga didukung oleh pengalamannya mengajar di beberapa group gamelan dan tari Bali di Amerika Serikat serta kontribusi penempaan dan pengalamannya belajar komposisi musik di Mill College. Disamping itu ia juga mengakui bahwa pengalamannya berkolaborasi dengan Indra Lesmana dalam konser kolosal Megalitikum Kuantum (2005) telah memberikan motivasi yang kuat buat Windha untuk membentuk group musik Jes Gamelan Fusion ini.

Fusi dari gamelan yang terbuat dari bambu dan tembaga ini diintegrasikan menjadi sebuah barungan gamelan yang sistem nadanya dilaras mendekati tangga nada diatonis. Sejalan dengan konsep fusion yang diungkapkan Windha, dalam Jes Gamelan Fusion ini ia juga juga menggunakan beberapa instrument gamelan Jawa seperti kendang Ciblon dan sitar Jawa; alat-alat musik barat seperti biola, keyboard, bas gitar, drum set, saxsophone dan alat-alat musik non gamelan lainnya seperti djembe, dan tabla.

Seperti yang sudah kita ketahui bahwa gamelan Jegog adalah salah satu jenis perangkat gamelan yang menjadi ciri khas daerah Jembrana. Sebuah karya seni yang lahir di bumi makepung ini banyak memiliki kekhasan yang yang dapat membedakannya dengan ensambel gamelan lainnya di Bali. Kekhasan itu dapat diamati dari sistem pelarasannya yang menggunakan laras pelog empat nada, penampilannya yang selalu enerjik. Demikian juga halnya dengan gamelan Semar Pagulingan yang sudah memiliki kekhasan yaitu memakai laras pelog tujuh nada. Lalu kenapa Windha memilih kedua ensambel ini untuk digabungkan dan dirubahnya sistem pelarasan yang sudah mentradisi dari kedua ensambel tersebut mendekati tangga nada diatonis? Apakah ia tidak akan merusak dari khasanah budaya yang sudah ada?

Menurut Windha, aspek musikal Jes Gamelan Fusion dibentuk atas dasar pertimbangan konsepsi musikal yang telah diperhitungkan dengan masak-masak. Pengabungan Jegog dengan Semar Pagulingan tidak semata-mata digabung begitu saja, namun berangkat dari aspek estetik-musikal yang cermat dan atas pertimbangan yang jeli dalam hal pemilihan nada dasar yaitu mengambil tonika nada diatonis untuk digunakan dalam kedua ensambel itu. Dengan tonika nada diatonis tersebut, secara praktis akan membuat kedua ensambel ini akan lebih mudah berinteraksi dan beradaptasi dengan instrument musik Barat. Pembuatan nada yang tidak sama dengan aslinya juga dilakukan atas dasar pertimbangan model atau jenis musik yang akan dihasilkan. Windha menambahkan bahwa dengan memakai media ini ia akan coba menggarap komposisi musik dengan menggunakan konsep-konsep musik jazz.

Inovasi yang dilakukannya terhadap gamelan Jegog dan Semar Pagulingan tidak membuatnya menjadi khawatir akan pertanyaan apakah perbuatannya itu dapat dikatakan merusak dari kesenian tradisi atau tidak. Justru Windha memberi jawaban dengan memberi pertanyaan ”apakah kemunculan gamelan seperti Semarandhana yang juga merupakan penggabungan dari gamelan Gong Kebyar dan Semar Pagulingan akan merusak dari keberadaan gamelan lainnya di Bali?” Windha menegaskan bahwa apa yang ia perbuat sekarang justru akan menambah keragaman seni yang di miliki Bali dan ini merupakan sebuah usaha yang dilakukannya untuk dapat dipersembahkan kepada tanah kelahirannya

Instrumentasi dan Jumlah Instrument

            Media ungkap yang digunakan oleh I Nyoman Windha adalah Jes Gamelan Fusion. Jes adalah singkatan dari Jegog dan Semar Pagulingan, serta gamelan fusion didefinisikan sebagai sebuah perpaduan gamelan. Intrumen gamelan Jegog dan Semar Pagulingan yang dipakai disini tidaklah komplit, namun yang dipakai hanya beberapa instrument saja yang diperhitungkan sesuai dengan kebutuhan garap.

            Gamelan Jegog yang digunakan disini adalah gamelan Jegog Tingklik. Jegog Tingklik adalah bentuk lain dari Gamelan Jegog Jembrana dimana alatnya berbentuk Jegog bilah/daun yang menggunakan resonator lepas, namun hanya instrument Jegognya saja yang memakai resonator yang menyatu dengan sumber getarnya. Adapun intrumen yang digunakan yaitu:

  1. Sepasang instrumen barangan yang berdaun 10;
  2. Sepasang instrumen undir yang berdaun 10;
  3. Sepasang instrument jegog berdiri yang berdaun  10;

Mengenai gamelan semar Pagulingan, instrument yang digunakan disini yaitu:

  1. satu tungguh instrument trompong;
  2. Sepasang gangsa pemade yang berdaun 14;
  3. Sepasang instrumen jublag yang berdaun 10;
  4. Sepasang instrumen jegogan yang berdaun 7;
  5. Sebuah instrumen gentorag;
  6. sebuah instrumen rebab;
  7. Sepasang instrumen gong (lanang wadon);
  8. Sebuah instrument ceng-ceng gecek (ceng-ceng kecil);
  9. Sepasang instrument kendang cedugan (lanang wadon);
  10. Sepasang kendang krumpungan/kendang palegongan (lanang wadon).

Jes Gamelan Fusion Selengkapnya

Loading...