Gamelan Gambang Di Bali  Memprihatinkan

Kiriman : I Kadek Sugiarta (Mahasiswa Program Studi Magister Seni (S2) Institut Seni Indonesia Denpasar)

ABSTRAK

Gamelan gambang diperkirakan telah muncul pada abad ke-9 di Bali. Di Bali tengah dan selatan, gamelan gambang dimainkan pada upacara ngaben (Pitra Yadnya), sementara di Bali timur, gamelan gambang juga dimainkan dalam kaitan upacara odalan di pura-pura (Dewa Yadnya). Gamelan dipergunakan sebagai sarana pengiring upacara, karena esensinya adalah untuk membimbing pikiran umat yang sedang mengikuti prosesi, agar terkonsentrasi pada kesucian, sehingga pada saat persembahyangan pikiran fokus kepada Tuhan. Dalam konteks ini gamelan memiliki nilai regilius, karena fungsinya sebagai pengiring upacara keagamaan, dan dapat menambah religiusitas sebuah prosesi keagamaan. Sebagai salah satu instrumen musik tradisional yang diwarisi masyarakat Bali secara turun temurun, gamelan gambang memiliki banyak gending (pupuh), namun sebagian besar tanpa disertai teks. Gending-gending gambang yang lebih popular dengan sekar alit (mecepat), hingga kini masih lestari dalam kehidupan masyarakat Bali, namun keberadaannya semakin langka. Gamelan gambang merupakan salah satu gamelan langka dan sakral, termasuk dari barungan alit, yang dimainkan hanya untuk mengiringi upacara keagamaan. Gamelan gambang berlaras pelog (tujuh nada) dibentuk 6 buah instrument berbilah. Yang paling dominan adalah 4 buah instrumen berbilah bambu. Yang dinamakan gambang, terdiri atas bilah paling kecil ke bilah paling besar (pemetit, penganter, penyelad, pamero, dan pengumbang). Setiap instrumen dimainkan oleh seorang penabuh, menggunakan sepasang panggul bercabang dua, untuk memainkan permainan kotekan atau ubit-ubitan, dan sekali-sekali pukulan tunggal atau keklenyongan. Instrumen lainnya adalah dua tungguh saron krawang, yang terdiri atas saron besar (demung) dan kecil (penerus atau kantilan). Kedua saron biasanya dimainkan oleh seorang penabuh dengan pola pukulan tunggal keklenyongan.

Kata Kunci: Upacara, Riligius, Pelog, Berbilah, Langka

Selengkapnya dapat unduh disini

Sebuah Kajian Ciptaan Karya Seni “Anusapati  Jananuraga”

 

Kiriman :  I Wayan Budiarsa (Dosen Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar)

Abstrak

Tari Anusapati Jananuraga merupakan garapan yang berbentuk tunggal. Garapan ini masih berpijak pada gerak-gerak tari tradisi pegambuhan dan beberapa gerakan pengembangan yang sesuai imajinasi penata dan disesuaikan dengan kebutuhan garapan ini. Begitu juga halnya mengenai tata rias dan busana garapan ini mengenakan busana jenis sesaputan, gelungan jenis keklopingan sesuai ciri khas tari Panji. Tema yang diangkat adalah kepahlawanan yang bersumber dari cerita Panji (Malat). Struktur garapan tunggal ini memunculkan beberapa keahlian yang dikuasai oleh Anusapati sebagai putra Kahuripan, seperti ahli menari, menembang, bermain musik, serta ahli dalam peperangan. Proses penciptaan karya seni ini melalui tiga tahapan, yakni tahap penjajagan, percobaan, dan tahap pembentukan. Melalui ketiga tahapan tersebut akhirnya terwujud garapan tunggal yang berjudul Anusapati Jananuraga.

Kata kunci: Anusapati Jananuraga, Tari Tunggal.

Abstract

The Anusapati Jananuraga dance is a singular claim. This claim is grounded in the traditions of dance movements and some movements pagambuhan corresponding development of imagination stylists and tailored to the needs of this claim. As well as the makeup and fashion  wear this claim sesaputan type, gelungan type keklopingan, according Panji typical dance. The theme is heroism that comes from the Panji stories (Malat). Structure of a single claim has raised some of the skills mastered by the son Kahuripan kingdom, such as a dance, sing, play music, as well as experts in warfare. The process of creating art is through three steps, namely the exploration, improvisation, and forming. Through the three steps is finally realized single claim entitled Anusapati Jananuraga.

Keyword: Anusapati Jananuraga, Single Dance.

 

 Selengkapnya dapat unduh disini

Kembar Mayang

 

Kiriman : Tri Haryanto (Dosen FSP ISI Denpasar)

Abstrak

Kembar mayang adalah sepasang hiasan dekoratif simbolik setinggi setengah sampai satu badan manusia yang dilibatkan dalam upacara perkawinan adat Jawa, khususnya sejak sub-upacara midodareni sampai panggih. Kembar mayang biasanya dibawa oleh pria dan mendampingi sepasang cengkir gading yang dibawa oleh sepasang gadis. Rangkaian Kembar Mayang dibuat sesuai dengan kemampuan pembuatnya, baik model, ukuran, dan fariasi isiannya, meskipun sebenarnya dari masing-masing rangkaian janur dan isian tersebut masing-masing memiliki simbolisasi. Aturan yang perlu dicermati oleh pembuat Kembar Mayang adalah meliputi 1) harus menggunakan bahan yang sudah dipilih dan paling baik, 2) harus dibuat pada waktu yang longgar dan tidak boleh dikerjakan dengan pekerjaan lain (fokus dalam pembuatan), 3) dalam membuat harus selesai dalam satu waktu, tidak boleh ditunda-tunda apalagi dilanjutkan di lain hari, 4) harus dibuat di ruang yang bersih dan terhormat, 5) dari mulai mengerjakan sampai selesai harus disertai pembacaan doa. Prosesi kegiatan upacara kecil setelah selesai pengerjaan kembar mayang harus dilakukan panebusan atau yang sering disebut dengan panebusing kembar mayang. Waktu pelaksanaan pada malam hari menjelang hari resepsi atau yang sering disebut dengan midodareni, yaitu kegiatan pembuatan kembar mayang sampai panebusing kembar mayang yang kadang-kadang diteruskan dengan kegiatan macapat yang isinya doa-doa. Harapan dari kegiatan ini, untuk memohon ke hadapan Tuhan agar pelaksanaan upacara pernikahan keesokan harinya berjalan lancar sesuai harapan, tanpa ada aral yang melintang.

Kata Kunci: kembar mayang, midodareni, panebusan

Selengkapnya dapat unduh disini

Pemaknaan Karikatur Karya Wahyu Kokkang, Mengkritisi Kehidupan Sosial Masa Kini

 

Kiriman : I Wayan Nuriarta (Program Studi Desain Komunikasi Visual

Fakultas Seni Rupa dan Desain-Institut Seni Indonesia Denpasar)

 

Abstrak

Karikatur karya Wahyu Kokkang pada Koran Jawa Pos 22 April 2017 adalah sebuah kartun opini yang menggambarkan Kartini masa kini. Kartun tersebut sebagai sebuah karya yang merepresentasikan kehidupan sosial masyarakat. Sebuah potret seorang Kartini (perempuan) masa kini yang sibuk dengan dirinya sendiri.  Menggunakan smartphone—bermain media sosial, sampai tidak memperhatikan anaknya, karena lebih mementingkan dunia maya. Sebagai ktirik melalui media kartun, Wahyu bermaksud mengkritisi masyarakat luas (perempuan dan laki-laki) yang terlalu sibuk dengan urusan sendiri dan terlalu larut dengan kemajuan teknologi/sosial media. Akhirnya, mereka sampai melupakan banyak hal, seperti melupakan teman di dekatnya, lupa sebagai seorang ibu, maupun sebagai seorang bapak yang memiliki kewajiban menjaga anak. Kritik ini tentu bertujuan untuk mengingatkan masyarakat luas agar nilai-nilai Kartini tentang kemandirian, dan kepedulian terhadap lingkungan, serta bangsa, bisa terus dijaga. Semangat untuk selalu memajukan bangsa seharusnya terus dirawat di tengah-tengah berbagai tantangan yang dialami Indonesia sampai saat ini.

Kata kunci: Kartun, Kartini-masa kini, Media sosial, Kritik.

 Selengkapnya dapat unduh disini

 

 

 

 

Keindahan Arca Buddha Indonesia, Pengaruh Kebudayaan Hellenisme

Kiriman : I Gede Mugi Raharja (Dosen FSRD Institut Seni Indonesia Denpasar) 

Abstrak

Kebudayaan Indonesia (Nusantara) memang tidak ada hubungan secara langsung dengan kebudayaan Yunani  di masa lalu. Akan tetapi, secara tidak langsung pengaruh kebudayaan Yunani telah masuk melalui kesenian Agama Buddha yang datang dari India pada awal abad Masehi. Kesenian Buddha yang masuk ke Indonesia setelah melalui percampuran budaya India dengan Yunani disebut kebudayaan Hellas atau Hellenisme. Percampuran budaya itu terjadi pada masa berkembangnya kebudayaan Gandhara, yang berlanjut pada kebudayaan Mathura dan Gupta. Gaya arca-arca Buddha dari zaman Gupta inilah kemudian mempengaruhi seni arca di Indonesia. Pengaruh kebudayaan Hellas sangat besar pada kebudayaan India, karena telah merubah gaya seni pengarcaan India kuno, dari wujud simbolik ke naturalis. Seperti pengarcaan Buddha yang semula dengan simbol-simbol, berubah menjadi berwujud manusia memakai jubah pendeta seperti di Yunani, menghias rambut dan melukiskan roman muka seperti manusia biasa. Hal ini merupakan suatu revolusi seni dalam Agama Buddha.

Kata Kunci: Hellenisme, Gandhara, Gupta, Simbolik-Naturalis, Revolusi seni.

Selengkapnya dapat unduh disini

Mimpi Buruk Wanita Pada Karya Nyoman Nuarta

Kiriman : I Wayan Endra Kurniawan (Mahasiswa Ps. Seni Pascasarjana ISI Denpasar

ABTRAK

Patung berjudul Mimpi Buruk, yang memperlihatkan figur seorang wanita tersiksa karya Nyoman Nuarta adalah karya seni yang bisa dilihat dari berbagai sudut pandang, karena karya ini merupakan sebuah karya tiga dimensi. Karya Nyoman Nuarta yang berjudul Mimpi Buruk, menggambarkan seorang wanita keturunan Tionghoa yang disiksa dan dibunuh pada kerusuhan Mei 1998, setelah tertembaknya mahasiswa Tri Sakti, yang melakukan demonstrasi menuntut turunnya Presiden Suharto, akibat terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Karya yang diciptakan oleh Nyoman Nuarta tersebut menggunakan bahan logam, karena bahan logam yang paling kuat. Berkembangnya seni patung di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman prasejarah, pada masa berkembangnya budaya megalitik (batu besar). Seni patung di Indonesia kini sudah makin berkembang, dengan banyaknya aliran yang muncul dalam seni patung. Di antaranya aliran realis, naturalis, surealis, figuratif dan tradisi. Karya-karya patung pada masa kini banyak menggunakan bahan yang alternatif, seperti bahan beton, fiber, logam, plastic dan lain sebagainya.

Kata Kunci: Mimpi Buruk, Wanita, Tiga Dimensi, Kerusuhan, Logam.

 

 Selengkapnya dapat unduh disini

Loading...